Kamis, 28 Mei 2020

75.Asep Muhlis Penasehat Tak Bersertifikat


75.Asep Muhlis

Penasehat Tak Bersertifikat

Ramadhan kali ini
tak ada suara petasan
anak-anak  tak lagi main meriam dari karbit di waktu sore
keriuhan beralih ke dalam gawai
anak-anak mengejakan tugas sekolah
membaca Al qur’an dan hapalan do’a-do’a
lalu mengirimkan laporan harian kepada guru
virus corona telah menjadi  penasehat paling berhasil

Jalanan  lengang
pohonan dan tiang listrik menunjuk
toko dan warung telah lama murung
dalam bungkaman sunyi dan gigil

Di dalam mesjid
orang-orang masih terlihat ber tadarus, berdzikir, bershalawat
di atas lantai  bersih, tanpa karpet tebal, tanpa sajadah lembut
tanpa pengeras suara
virus corona layaknya pembersih ibadah dari sipat riya

Biarlah, Ramadhan kali ini
tak perlu merindukan kerlip lampu hias
di jalan , di mesjid atau di rumah
karena do’a mendo’akan di ruang hati masing-masing
lebih gemerlap dari lampu termewah

Pada Ramadhan yang langka ini
jeritan do’a dari ribuan orang  yang kehilangan pekerjaan
tangisan ratusan lelaki yang merasa gagal mencukupi makan  anak-istri
keringat petugas kemanusiaan menumpahkan keiklasannya
menggumpal menjadi bongkahan kristal di langit

dan akan turun  menjadi  kemakmuran penghuni bumi
di waktu yang ditentukan Tuhan

Serang, 23 Mei 2020

































Asep Muhlis

JAHIDIN DAN SORE HARI

Jika  menjelang waktu asyar tiba
teringat masa kecil
menimba air untuk bak wudhu
ember karet yang meluncur ke gelap sumur
bagai bongkah hati yang tak ragu
menyelami kerumitan dalam keterbatasan.
Tak pernah dihitung berapa kali timbaan
aku begitu bersemangat , sarung dililitkan di atas bak
peci hitam di kepala

dalam rongga mulut terhimpun do’a
semoga air baik yang dipakai orang-orang berwudhu
pahala sholat, pahala bacaan Al Qur’an, atau
ibadah lain dari berudhu, mengalir kepadaku
dan kepada ibu-bapakku
hanya itu yang ada di kepala Jahidin kecil

Selepas shalat asyar
Jahidin menuju stasiun kerta api
melintasi jalan desa, melintasi sawah,
melintasi jembatan, melintasi jalan raya

Di stasiun kecil itu
puluhan anak bermain, hingga menjelang berbuka puasa
jahidin lebih menyukai main serodotan
ketimbang main damdaman atau main karet gelang
karena serodotan di atas tembok yang licin
adalah barang mewah saat itu

Sore hari di stasiun kecil
bersiuran pedagang asongan
dengan nampan kayu di kepala
rebus biji nangka, rebus kacang tanah,
rebus pisang mengkel, dan rebus umbi-umbian
dibungkus daun pisang seukuran kepal
subur hasil bumi penebar rejeki bagi orang desa
benteng ketahanan tubuh bagi anak-anak

Ada juga yang menjajakan mangga, nangka,
manggis, sirsak dan rambutan
keharuman yang terbit dari hasil bumi
mengambarkan cita rasa alami
kemolekan warna dari hasil bumi
adalah pesona yang tak menipu

Sesekali Jahidin melihat jam gantung di ruangan masinis
bandul jam itu berayun ke kanan ke kiri
seperti cita-citanya yang tetap berdetak
di redam dalam dada.

Dengan menggenggam sepincuk nangka kupas
ia pulang, menusuri jalan raya, melintasi jembatan
menembus perkampungan kecil, menapaki  pematang
ibunya cemas, bedug magrib usai, anaknya belum tiba
dan Jahidin melaporkan bahwa ia telah berbuka puasa di tengah sawah

dengan sepincuk nangka yang harum dan ramum
diciuminya Jahidin kecil bertubi-tubi
air mata ibunya jatuh
bak mesjid yang selalu penuh menjelang shalat asyar
adalah hasil anaknya yang tekun dan sabar

Serang, 23 Mei 2020






walau selalu begitu, stasiun tempat yang tak pernah membosankan

Ternyata rindu pada masa kanak gemerincing
Bagai  musik penggugah