Sabtu, 27 April 2019

Jiarah Sastra kampung Bustaman

Bayu Aji Anwari Kiyai Mbeling (Gus Bayu) dalam wajengannya di Jiarah Sastra kampung Bustaman Semarang. Gus Bayu mengatakan bahwa makna jiarah itu berarti memberi penghargaan kepada pendahulu kita yg telah memberi dampak kemajuan spt Kiyai Bustam seorang kiyai yg hudup di zaman kerajaan Kudus yang tinggal di Semarangan tepatnya yg sekarang bernama kampung Bustaman. Gus Bayu, pimpinan pondok pesantren Tlagasari Semarang itu juga memberi ceramahnya tentang nilai-nilai sebuah kampung dan pelestariannya. Sebab sekarang banyak kampung-kampung yang hilang akibat pengembangan kota seperti di Semarang. Turut hadir dalam acara tersebut Harry Bustaman, Slamet Unggul, Agung Wibowo, Bambang Subagio, dan lain-lain.(rg bagus w 26-04-2019)


Senin, 01 April 2019

Untukmu Garut, oleh Rg Bagus Warsono

Garut kota di lembah Guntur dan gunung lain menjulang Cikurai dan Papandayan .Tampomas dan Tangkuban Perahu di baratmu
aku bersembunyi
di rumah2 desa yg indah dengan air cipanas garut yg hangat
membuat rangkaian rumah rumah bambu dengan pisau cukur dan selimut kulit domba
aku seakan dekat rumah
lumbung puisi
ada di mana mana
indahmu
tak akn lupa
bagi pecinta alam
sajian gaya arsitektur alam dengan sentuhan kejujuran.


Jatuhnya Wahyu Keraton oleh Rg Bagus Warsono

Pulung Wreh

Pulung Wreh (Wahyu Keraton) adalah jatuhnya tahta keraton pada seseorang calon raja. Pulung Wreh hanya dapat dilihat oleh orang-orang yang memiliki waskita (mata batin dan ilmu penglihatan). Pulung Wreh jatuh atau memasuki seseorang tidak pada mendekati saat sidang / musyawarah sesepuh kerajaan dimulai tetapi bisa saja jatuh dalam 2 tahun sebelumnya.
Tanda tanda Pulung Wreh tiba dan tanda-tanda seseorang memiliki wahyu keraton itu dapat dilihat oleh orang yang memiliki mata bathin / ilmu penglihatan.

Ciri-ciri yang sering terjadi di bumi nusantara ini, pulung wreh dapat dirasakan ketika ada peristiwa seseorang ingin merebut dan berambisi tahta kerajaan . Sejarah mencatat akan wahyu keraton Kerajaan Demak. Sultan Trenggono yang bijaksana itu tiba-tiba menikahkan anaknya dengan seorang prajurit kerajaan bernama Jaka Tingkir. Kejadian yang tak disangka-sangga. Sedangkan para penasehat kerajaan dan kaum cerdik cendekia membiarkan keadaan itu. Para cerdik cendekia dan penasehat kerajaan ruipanya sudah mengetahui keadaan jatuhnya Pulung Wreh. Sebagian menilai karena Sultan Trenggono tak memiliki anak laki-laki.

Adalah Ario penangsang, kemenakan Sultan Trenggono, anak dari Pangeran Sekar, (Sekar Seda Lepen) merasa semakin memiliki peluang setelah Sunan Prawoto (ahli waris lainnya) disingkirkan. Ambisi yang berlebihan semakin menjadi-jadi. Setelah Sultan Trenggono mempunyai menantu maka muncullah pesaing lagi bagi dirinya. Maka tiada jalan kain kecuali menghabisi Mas Karebet yang menetap di Pajang itu agar kesempatannya menjadi lebih besar. Ambisi Aryo Penangsang dinilai oleh masyarakat adalah wajar karena ia memiliki hak waris atas tahta Demak itu.

Sunan Kudus, menjadi prihatin akan hal ini, perannya sebagai penasehat kerajaan pengasuh dan penjaga Tanah Air itu tak dapat berbuat apa-apa karena ia memiliki mata bathin dan ilmu penglihatan yang tajam.

(bersambung, rg bagus warsono)