Tampilkan postingan dengan label SEJARAH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label SEJARAH. Tampilkan semua postingan

Selasa, 28 Oktober 2014

Persiapan Kongres Pemuda indonesia II di Jakarta

Persiapan Kongres

Upaya mempersatukan organisasi-organisasi pemuda pergerakan dalam satu wadah telah dimulai sejak Kongres Pemuda Pertama 1926. Sebagai kelanjutannya, tanggal 20 Februari 1927 diadakan pertemuan, namun pertemuan ini belum mencapai hasil yang final. Sebagai penggagas Kongres Pemuda Kedua adalah Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Hindia Belanda.
Pada tanggal 3 Mei 1928 diadakan pertemuan lagi untuk persiapan kongres kedua, dan dilanjutkan pada 12 Agustus 1928. Pada pertemuan terakhir ini telah hadir perwakilan semua organisasi pemuda dan diputuskan untuk mengadakan kongres pada bulan Oktober 1928, dengan susunan panitia yang membagi jabatan pimpinan kepada satu organisasi pemuda (tidak ada organisasi yang rangkap jabatan) sebagai berikut:

Pelaksanaan

Kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.
Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, diadakan di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Dalam sambutannya, ketua PPPI Sugondo Djojopuspito berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Muhammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia, yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.
Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, kongres diadakan di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula mendapat keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.
Pada rapat penutupan di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Sunario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri: hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.
Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman yang dimainkan dengan biola saja tanpa syair, atas saran Sugondo kepada Supratman. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres akhirnya ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia.

Peserta

Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dll. Di antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie namun sampai saat ini tidak diketahui latar belakang organisasi yang mengutus mereka. Sementara Kwee Thiam Hiong hadir sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond. Turut hadir juga 2 perwakilan dari Papua yakni Aitai Karubaba dan Poreu Ohee. Diprakarsai oleh AR Baswedan pemuda keturunan arab di Indonesia mengadakan kongres di Semarang dan mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab.

Gedung

Bangunan di Jalan Kramat Raya 106, tempat dibacakannya Sumpah Pemuda, adalah sebuah rumah pondokan untuk pelajar dan mahasiswa milik Sie Kok Liong [1].
Gedung Kramat 106 sempat dipugar Pemda DKI Jakarta 3 April-20 Mei 1973 dan diresmikan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada 20 Mei 1973 sebagai Gedung Sumpah Pemuda. Gedung ini kembali diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 20 Mei 1974. Dalam perjalanan sejarah, Gedung Sumpah Pemuda pernah dikelola Pemda DKI Jakarta, dan saat ini dikelola Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.[2]

Senin, 28 Oktober 2013

SAMBUT HARI PAHLAWAN 10 NEVEMBER 2013

SAMBUT HARI PAHLAWAN 10 NEVEMBER 2013

DEMOKRASI KITA TAK LEPAS DARI RASA
Jika terjadi di zaman sekarang, tentu akan diprotes. Belum jelas apakah Kolonel Muhammad Nuh , kepala staff TKR Komandemen Sumatra itu memegang 6 mandat dari 6 divisi militer di sumatra atau tidak dalam proses pemilihan Pucuk Pimpinan tentara Keaman Rakyat (TKR) 12 Nofember 1945 di Yogyakarta. Pasalnya Oerip Sumoharjo telah mengantongi 21 suara, dan Soedirman 16 suara sebelum menghitung suara dari Sumatera yang dipegang Kolonel Muhammad Nuh.
Agaknya sejak dulu orang Indonesia telah gampang terpesona oleh hal-hal perasaan (cinta keindahan: tampan, cantik; jiwa sosial : kasihan ; dan kesaktian atau mutu seperti gelar, sakti, cerdas, kaya).
Namun ada yang berbeda pada personal kandidatnya. Dulu hal kalah menang diletakan pada hal nomor dua dari kepentingan utama yakni Negara, kini justru kepentingan negara diletakan pada nomor berapanya. Sehingga proses pemilihan merupakan hal yang diartikan kalah dan menang.
Oerip Sumoharjo tidak sama sekali merasa dicurangi dalam proses pemilihan itu, begitu juga Soedirman tidak memerasa sombong dan tinggi hati, bagi keduanya justru merupakan amanat yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Keduanya kelak dikemudian hari menjadi apa yang kita kenal Oerip kemudian berpangkat Letnan Jendral (satu-satunya letnan Jendral yang ada ditubuh TKR/TNI sebagai Kepala Staff TKR, dan Soedirman kemudian berpangkat Jenderal , satu-satunya jentra di  tubuh TKR/TNI kala itu, sebagai Panglima Besar di tubuh TKR/TNI. Keduanya saling menghormati, dan saling bekerja sama sehingga sejarawan menyebut Dwi Tunggal cikal bakal TNI.
(rg bagus warsono, 28-10-13)