Tampilkan postingan dengan label Tokoh sastrawan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tokoh sastrawan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 12 Juli 2019

Mengenal Naning Scheid


Naning Scheid atau Madame Gokil atau  Sri Nurnaningrum
Adalah Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris UPGRIS sebelum berpindah ke Belgia tahun 2006, Penulis di media dan portal online, Mama dari 3 bule jadi-jadian, Sukarelawan di beberapa Organisasi Sosial Kemanusiaan di Belgia, Pecinta Teater, Hobby Travelling, dan Bermimpi menjadi Novelist.
Berikut puisi-puisi penyair Naning Scheid :dalam  Puisi Satire :

Jangan Ada Angelina Diantara Kita
Suatu ketika siang romantis mempertemukan kita
Aku tersipu saat kerlingan matamu mengarah padaku
Oh suasana, berperan utama
Dekatnya hatiku hatimu
Terbaca isyarat seolah inilah kali pertama
Kau jatuh cinta penuh gelora
Ah setidaknya, penuh hikmat ku yakini itu
Aku, di mabuk cinta terbang ke langit ketujuh
Waktupun berlalu penuh asmara
Tak kusangka tak kuduga
Kau menyimpan Angelina
Bahkan janda-janda muda
Betapa koleksimu tak terhingga
Duh Kang Japritt…
Mengapa tak kau katakan sejujurnya, dari awal kasih kita ?
Kang, ….
Kutak butuh Lamborghini
Limousine pun Ferrari
Yang ku mau tak ada dusta diantara kita.
Naning Scheid
Semarang 20.7.18
MEONG MEONG SI KUCING GARONG
Meong, WA di buka
Kucing garong menyapa
Dengan imoji cinta
Meong, Inbox berbunyi
Kucing garong berpuisi
Merayu membuai hati
Di dinding publik bermartabat
Di ruang gelap, ber-patgulipat
Meong Si Kucing Garong
Meresahkan istri-istri serong
Membuai janda-janda kinclong
Memperdaya perawan tong-tong
Brussel, 2.2.19
Rayuan Playboy Kecamatan
Beribu pulau kan kulalui
Seribu lautan kan kuseberangi
Puncak gunung kan kudaki
Petir menggelegar kan ku sambar
Demi kamu dewi asmaraku….
Bohong !!!
Menuju kotaku, pengorbanan terbesarmu.
Matamu sendu kurindu
Bibirmu merekah mawar merah
Senyumu manis legit hangat
Tak bosan ku memandang
Selalu terbayang-bayang
Adinda paling tersayang….
Mbelll !!!
Berdua denganmu, situ WA melulu.
Duhai wanita istimewa…
Engkaulah satu-satunya
Tiada duanya di dunia
Semua perasaanku
Hatiku
Cintaku
Perhatianku hanya padamu…
Prettt !!!
Menyebut nama lengkap ku pun kau tak mampu.
Wahai Mas Playboy Kecamatan,
Rayuanmu pulau kelapa
Hanya lebay melambai lambai
Nyiur di pantai
Sudah ah, aku dengan Mafia Mercon saja.
Naning Scheid
Mojokerto 18.7.18
(Dipubklikasikan oleh : Rg Bagus Warsono 12-07-19 dari kliksolo.com)

Senin, 25 September 2017

Daftar Sastrawan Indonesia per 25 September 2017


Minggu, 18 September 2016

Tokoh-tokoh Lumbung Puisi Jilid IV

Tajuddiin Noorganie 




Hasan Bisri BFc


Rg Bagus Warsono

                                                                      Heru Mugiarso

Rabu, 27 Januari 2016

Iksaka Banu

Iksaka Banu lahir di Yogyakarta, 7 Oktober 1964. Menamatkan kuliah di Jurusan Desain Grafis, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung. Bekerja di bidang periklanan di Jakarta hingga tahun 2006, kemudian memutuskan
menjadi praktisi iklan yang bekerja lepas.
Semasa kanak-kanak (1974–1976), ia beberapa kali mengirim tulisan ke rubrik Anak Harian Angkatan Bersenjata. Karyanya pernah pula dimuat di rubrik Anak Kompas dan majalah Kawanku. Namun, kegiatan menulis terhenti karena tertarik untuk mencoba melukis komik. Lewat kegiatan melukis komik ini, ketika duduk di bangku sekolah menengah pertama, ia memperoleh kesempatan membuat cerita bergambar berjudul “Samba si Kelinci Perkasa” di majalah Ananda selama 1978.
Setelah dewasa, kesibukan sebagai seorang pengarah seni di beberapa biro iklan benar-benar membuatnya seolah lupa dunia tulis-menulis. Pada tahun 2000, dalam jeda cuti panjang, ia mencoba menulis cerita pendek dan ternyata dimuat di majalah Matra. Sejak itu ia kembali giat menulis. Sejumlah karyanya dimuat di majalah Femina, Horison, dan Koran Tempo. Dua buah cerpennya, “Mawar di Kanal Macan” dan “Semua untuk Hindia” berturut-turut terpilih menjadi salah satu dari 20
cerpen terbaik Indonesia versi Pena Kencana tahun 2008 dan 2009.

Sabtu, 02 Januari 2016

Mengenal Aloysius Slamet Widodo, Penyair Angkatan 2000

Aloysius Slamet Widodo, lahir di Solo, 29 Februari 1952, Penyair ini dikenal karena puisi - puisi mbeling-nya yang membuat orang tertarik untuk membaca. Karya antara lain  Potret Wajah Kita (Jakarta, 2004),Bernapas Dalam Resesi (Jakarta, 2005),Kentut (Jakarta, 2006),Selingkuh (Precil Production, Jakarta, 2007), Namaku Indonesia (Pena Kencana, Jakarta 2012). Penyair ini tinggal di Jakarta












puisinya adalah :
Slamet Widodo :
Republik Dagelan
Tersebutlah di Republik Dagelan
Dewan Perwakilan Rakyatnya Dagelan
seorang dengan rekam jejak yang kelam
bisa saja diangkat jadi ketua Dewan
ya .....namanya juga Republik Dagelan !
Ketua Dewan boleh menjual diri
manfaatkan jabatan tuk kepentingan diri
pelaku kejahatan dilindungi
pelapor kejahatan dihakimi
dituntut pencemaran nama baik ....masuk bui
ya....namanya juga Republik Dagelan!
Mahkamah Kehormatan Dewan
menjadi Mahkamah Kehormatan Dagelan
badan yang tugasnya menjaga kehormatan
boleh kehilangan kehormatanya
bila ada yang menggangu kursi
urusan etika boleh dilanggar
selama membahayakan koalisi
MKD boleh kehilangan kehormatan
selama ada rente yang didapatkan
bahkan menjadi lontepun dihalalkan
ya ....namanya juga Republik Dagelan!
Yang Mulia ............
hamba saluut keberanian Paduka
melanggar etika dengan santun didepan mata
hamba saluud keberanian paduka
mempertontonkan opera sabun dengan telanjang
hamba saluud keberanian paduka
melecehkan rakyat dengan tegas lugas dan tega
Yang Mulia ........
hamba salud keberanian paduka
berani dimaki .... berani dikutuk
berani diludahi .... berani dibajing bajingkan
tak semua orang punya mental seperti paduka
bisa ceria menutup mata
bisa tenang menulikan telinga
bisa relax mengingkari hati nurani
bisa tertawa urat malunya putus
dan wajah paduka tidak berubah
kelihatan kalem dan biasa saja
Yang Mulia adalah makluk langka
seperti bukan manusia !
Jakarta,10 Desember 2015

dari Antologie Sakarepmu

Kamis, 19 November 2015

Mengenal Tokoh Penyair Sakarepmu


 Samsuni Sarman

Dewa Putu Sahadewa


 Agus Chaerudin

 Eddy Mns Soemanto

 Wardjito Soeharso
 Heru Mugiarso

 Sofyan Rh Zaid

 Budhi Setyawan

 Ardi Susanti
Salimi Ahmad

Rg Bagus Warsono

Selamat Jalan Korrie Layun Rampan , Sastrawan Indonesia Produktif


Korrie Layun Rampan dilahirkan di Samarinda, Kalimantan Timur, 17 Agustus 1953 – 19 Nofember 2015  Ayahnya bernama Paulus Rampan dan ibunya bernama Martha Renihay- Edau Rampan. Korrie telah menikah dengan Hernawati K.L. Rampan, S.Pd. Dari pernikahannya itu Korrie dikarunia enam orang anak.
Alamat : Karang Rejo, RT III Kampung Sendawar Kecamatan Barong Tongkok Kabupaten Kutai Barat Kalimantan Timur 75576 Kotak Pos 99 Barong Tongkok.
Telepon : 081520936757
Faksimile : (0545) 41278, 41501
Semasa muda, Korrie lama tinggal di Yogyakarta. Di kota itu pula ia berkuliah. Sambil kuliah, ia aktif dalam kegiatan sastra. Ia bergabung dengan Persada Studi Klub-- sebuah klub sastra-- yang diasuh penyair Umbu Landu Paranggi. Di dalam grup ini telah lahir sejumlah sastrawan ternama, seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi A.G., Achmad Munif, Arwan Tuti Artha, Suyono Achmad Suhadi, R.S. Rudhatan, Ragil Suwarna Pragolapati, Teguh Ranusastra Asmara, Iman Budhi Santosa, Suminto A. Sayuti, Naning Indratni, Sri Setya Rahayu Suhardi, Slamet Riyadi, Sutirman Eka Ardhana, B. Priyono Sudiono, Saiff Bakham, Agus Dermawan T., Slamet Kuntohaditomo, Yudhistira A.N.M. Massardi, Darwis Khudori, Jabrohim, Sujarwanto, Gunoto Saparie, dan Joko S, Passandaran.
Pengalaman bekerja Korrie dimulai ketika pada 1978 ia bekerja di Jakarta sebagai wartawan dan editor buku untuk sejumlah penerbit. Kemudian, ia menjadi penyiar di RRI dan TVRI Studio Pusat, Jakarta, mengajar, dan menjabat Direktur Keuangan merangkap Redaktur Pelaksana Majalah Sarinah, Jakarta. Sejak Maret 2001 menjadi Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Koran Sentawar Pos yang terbit di Barong Tongkok, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Di samping itu, ia juga mengajar di Universitas Sendawar, Melak, Kutai Barat, Kalimantan Timur.
Dalam Pemilu 2004 ia sempat duduk sebagai anggota Panwaslu Kabupaten Kutai Barat, tetapi kemudian mengundurkan diri karena mengikuti pencalegan. Oleh konstituen, ia dipercayakan mewakili rakyat di DPRD Kabupaten Kutai Barat periode 2004-2009. Di legeslatif itu Korrie menjabat sebagai Ketua Komisi I. Meskipun telah menjadi angota DPRD, Korrie tetap aktif menulis karena tugasnya sebagai jurnalis dan duta budaya. Pekerjaan itu pula yang menjadikan Korri kini bolak-balik Kutai Barat--Jakarta. Bahkan, ia sering berkeliling ke berbagai daerah di tanah air dan melawat ke berbagai negara di dunia.
Sebagai sastrawan, Korrie dikenal sebagai sastrawan yang kreatif. Berbagai karya telah ditulisnya, seperti novel, cerpen, puisi, cerita anak, dan esai. Ia juga menerjemahkan sekitar seratus judul buku cerita anak dan puluhan judul cerita pendek dari para cerpenis dunia, seperti Leo Tolstoy, Knut Hamsun, Anton Chekov, O'Henry, dan Luigi Pirandello.
Novelnya, antara lain, Upacara dan Api Awan Asap meraih hadiah Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta, 1976 dan 1998. Beberapa cerpen, esai, resensi buku, cerita film, dan karya jurnalistiknya mendapat hadiah dari berbagai sayembara. Beberapa cerita anak yang ditulisnya ada yang mendapat hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu Cuaca di Atas Gunung dan Lembah (1985) dan Manusia Langit (1997). Selain itu, sejumlah bukunya dijadikan bacaan utama dan referensi di tingkat SD, SLTP, SMU, dan perguruan tinggi.
KARYA:
a. Novel
1. Upacara, Pustaka Jaya, 1976
2. Api Awan Asap, Grasindo, 1999
3. Wanita di Jantung Jakarta, Grasindo, 2000
4. Perawan, Balai Pustaka, 2000
5. Bunga, Grasindo, 2002
6. Lingkaran Kabut, Grasindo, 2002
7. Sendawar, diterbitkan sebagai cerber di Tabloid Nova, 2003
b.Cerpen
1. Malam Putih, PD Mataram, 1978, Balai Pustaka, 1981
2. Kekasih, Nusa Indah, 1982
3. Perjalanan Guru Sejarah, Bahtera, 1983
4. Matahari Makin Memanjang, Bahtera, 1985
5. Perhiasan Bumi, Bahtera, 1985
6. Perhiasan Bulan, Nusa Indah, 1988
7. Ratapan, Balai Pustaka, 1989
8. Perhiasan Matahari, Balai Pustaka, 1991
9. Hitam, Balai Pustaka, 1993
10. Tak Alang Kepalang, Balai Pustaka, 1993
11. Rawa, Indonesia Tera, 2000
12. Tarian Gantar, Indonesia Tera, 2002
13. Tamiang Layang, Lagu dari Negeri Cahaya, Balai Pustaka, 2002
14. Acuh Tak Acuh, Jendela, 2003
15. Wahai, Gramedia, 2003
16. Riam, Gita Nagari, 2003
17. Perjalanan ke Negeri Damai, Grasindo, 2003
18. Teluk Wengkay, Kompas, 2003
19. Percintaan Angin, Gramedia, 2003
20. Melintasi Malam, Gramedia, 2003
21. Sayu, Grasindo, 2004
22. Wanita Konglomerat, Balai Pustaka, 2005
23. Nyanyian Lara, Balai Pustaka, 2005
24. Rindu, Mahatari, 2005
25. Kayu Naga, Grasindo, 2005
26. Bentas Babay, Grasindo
27. Penari dari Rinding, Grasindo
28. Dongeng Angin Belalang, Grasindo
29. Kejam, Grasindo
30. Daun-Daun Bulan Mei, Kompas
31. Senyum yang Kekal, Kompas
c. Kumpulan Puisi
1. Matahari Pingsan di Ubun-Ubun, Walikota Samarinda, 1974
2. Putih! Putih! Putih! (bersama Gunoto Saparie) Yogyakarta, 1976
3. Sawan, Yayasan Indonesia, 1978
4. Suara Kesunyian, Budaya Jaya, 1981
5. Nyanyian Kekasih, Nur Cahaya, 1981
6. Nyanyian Ibadah, PD Lukman, 1985
7. Undangan Sahabat Rohani, Yogya, 1991
d. Esai dan Kritik Sastra
1. Puisi Indonesia Kini: Sebuah Perkenalan, Nur Cahaya, 1980
2. Cerita Pendek Indonesia Mutakhir: Sebuah Pembicaraan, Nur Cahaya, 1982
3. Perjalanan Sastra Indonesia, Gunung Jati, 1983
4. Suara Pancaran Sastra, Yayasan Arus, 1984
5. Kesusastraan Tanpa Kehadiran Sastra, Yayasan Arus, 1984
6. Puisi Indonesia Hari Ini: Sebuah Kritik, Yayasan Arus, 1984
7. Jejak Langkah Sastra Indonesia, Nusa Indah, 1986
8. Apresiasi Cerita Pendek 1, Cerpenis Wanita, Nusa Indah, 1991
9. Apresiasi Cerita Pendek 2, Cerpenis Pria, Nusa Indah, 1991
10. Wanita Penyair Indonesia, Balai Pustaka, 1997
11. Tokoh-Tokoh Cerita Pendek Dunia, Grasindo, 2005
e. Antologi yang memuat karya Korrie
1. Bulaksumur-Malioboro ( Halim HD, ed), Dema UGM, 1975
2. Laut Biru Langit Biru ( Ajip Rosidi, ed), Pustaka Jaya, 1977
3. Cerpen Indonesia Mutakhir ( Pamusuk Eneste, ed), Gramedia, 1983
4. Cerita Pendek Indonesia IV (Satyagraha Hoerip, ed), Gramedia, 1986
5. Tonggak 4 (Linus Suryadi A.G., ed), Gramedia, 1987
6. Cerpen-Cerpen Nusantara ( Suratman Markasan, ed) Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, 1992
7. Wanita Budaya Sastra (I.B. Putra Yadnya, ed), Udayana, 1992
8. Limau Walikota (M. Shoim Anwar, ed), Gaya Masa, 1993
9. Trisno Sumardjo Pejuang Kesenian Indonesia ( Korrie Layun Rampan,ed), Yayasan Arus, 1985
10. Iwan Simatupang Pembaharu Sastra Indonesia (Korrie Layun Rampan, ed), Yayasan Arus, 1985
11. Dari Negeri Poci 2 ( F. Rahardi), 1994
12. Trotoar (Wowok Hesti Prabowo, dkk., ed), KSI, 1996
13. Antologi Puisi Indonesia 1997(Slamet Sukirnanto, dkk., ed), Angkasa, 1997
14. Jakarta dalam Puisi Mutakhir (Korrie Layun Rampan, dkk., ed), Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, 2000
15. Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX ( E.Ulrich Kratz, ed), KPG, 2000
16. Nyanyian Integrasi Bangsa (Korrie Layun Rampan, ed), Balai Pustaka, 2000
17. Dari Fansuri ke Handayani (Taufiq Ismail, dkk., ed), Horison, 2001
18. Pembisik ( Ahmadun Yosi Herfanda, ed), Republika, 2002
19. Horison Sastra Indonesia 2 Kitab Cerita Pendek ( Taufiq Ismail, ed), Horison, 2002
20. Dua Kelamin bagi Midin ( Seno Gumira Ajidarma, ed), Kompas, 2003
21. Matahari Sabana ( Korrie Layun Rampan, ed), Nur Cahaya
22. Angkatan Sastra Sesudah Angkatan 66 (Angkatan 70 Atawa Angkatan 80) dalam Sastra Indonesia
f. Antologi Sastra (Nonkarya)
1. Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia, Grasindo, 2000
2. Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Buku II), Grasindo
3. Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Buku III), Grasindo
4. Kembang Mayang, Klub Cinta Baca Indonesia, 2000
5. Dunia Perempuan: Antologi Cerita Pendek Wanita Cerpenis Indonesia, Bentang, 2002
6. Ungu: Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia, Indonesia Tera
g. Buku Teks dan Kamus
1. Dasar-Dasar Penulisan Cerita Pendek, Nusa Indah, 1995
2. Aliran Jenis Cerita Pendek, Nusa Indah, 1995, Balai Pustaka, 1999
3. A.B.J. Tengker (biografi), Sinar Harapan, 1999
4. Leksikon Susastra Indonesia, Balai Pustaka, 2000
5. Sejarah Sentawar (studi sejarah lokal), Pemkab Kubar, 2002
6. Lamin Ditinjau dari Sudut Sosiologi dan Antropologi Budaya (kajian sosiologis dan antropologis), Pemkab Kubar, 2003
7. Sejarah Perjuangan Rakyat Kutai Barat, Pemkab Kubar
h. Cerita Anak (Prosa dan Puisi)
1. Pengembaraan Tonsa si Posa, Sinar Harapan, 1981
2. Nyanyian Tanah Air, Cypress, 1981
3. Nyanyian Nusantara, Bahtera Jaya,
4. Lagu Rumpun Bambu, Cypress, 1983
5. Sungai, Cypress, 1985
6. Pohon-Pohon Raksasa di Rimba Raya, Cypress, 1985
7. Cuaca di Atas Gunung dan Lembah, Cypress, 1985
8. Tokoh-Tokoh Terkemuka dari Kalimantan, 1994
9. Nyanyian Pohon Palma, 1994
10. Namaku Paku, 1994
11. Pohon-Pohon Raksasa di Rimba Nusantara, Balai Pustaka, 1995
12. Mulawarman dan 29 Tokoh Terkemuka Kalimantan, 1996
13. Aku untuk Hiasan, 1996
14. Keluarga Kura-Kura dan Penyu, 1996
15. Manusia Langit, Balai Pustaka, 1997
16. Namaku Kakatua, 1996
17. Namaku Ikan, 1996
18. Namaku Udang, 1996
19. Asal-Usul Api, Pusat Bahasa, 2002
20. Asal-Usul Pesut, Balai Pustaka, 2005
21. Kerapu dan 29 Jenis Ikan Laut Lainnya
22. Namaku Ular
23. Liur Emas
24. Lagu Semanis Madu
25. Namaku Rusa
26. Bertamasya ke Batavia
27. Namaku Burung
28. Namaku Ikan Hias
29. Namaku Durian
30. Durian Raja Segala Buah

Selasa, 03 November 2015

Ahmad Syubbanuddin Alwy Cirebon, Jawa Barat, 26 Agustus 1962-2 Nofember 2015.

Selamat jalan penyair dan Budayawan Cirebon (Raja Penyair Indonesia)
Ahmad Syubbanuddin Alwy

Setelah 19 tahun Raja peyair itu merindukan “pertemuan, akhirya 2 Nofember 2015 peyair besar itu memenuhi undangan-nya. Ahmad Syubbanuddin Alwy Cirebon, Jawa Barat, 26 Agustus 1962-2 Nofember 2015. Semoga Allah menempatkan budayawan muslim ini disisi-Mu , di surgamu-Mu , ya Allah. Amien.  (Rg Bagus Warsono)

Berikut sajak ‘kerinduan dari penyair Ahmad Syubbanuddin Alwy :

Air Mata Kepedihan

-kisah senja
Medekati malam yang asing terasa perih
Seperti sepeggal kisah kehidupan, robek-robek dan gelisah
Dikejauhan gerimis rintik-rintik basah
Angin rucig berjutaian juga  lebab gerah
Inikah penyebrangan dalam lautan luas?
Bagaimanapun labirin kehidupan ada ujungnya
Tapi aneh Van Ggh terdampar dan Bethoven diliputi kesedihan
Semua seperti sandiwara , megisyaratkan getar bathin yang menderita
Langit bongkah,  sunyi dan berterbangan
Adakah harapan datang menyulam kembali serpihan hati?
Dari jabag bayi jalan-jalan memajang mecari-Mu hampa
Mugkin sudah saatnya aku meghadapmu dengan bertapa!
Cirebon 1996

Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh pengarangnya sendiri dari Bayu Mata Perih 2

Ahmad Syubbanuddin Alwy lahir di Cirebon 26 Agustus 1962. Penyair yang pernah menjadi dosen Komunikasi Agama di STIKOM Bandung ini sempat tercatat sebagai wartawan Pikiran Rakyat edisi Cirebon. Ia juga dikenal sebagai penggerak pemuda Nahdhlatul Ulama dan koordinator Koalisi Sastrawan Pesantren.

Sabtu, 10 Oktober 2015

Puisi-puisi Chairil Anwar


AKU
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
 Tak perlu sedu sedan itu
 Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
 Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943



 PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO
Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
 Aku sekarang api aku sekarang laut Bung Karno !
Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal¬kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal¬kapal kita bertolak & berlabuh

(1948) Liberty, Jilid 7, No 297, 1954


56

 KRAWANG ¬BEKASI
Kami yang kini terbaring antara
Krawang¬Bekasi tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami, terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda.
Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
 Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4¬5 ribu nyawa
Kami cuma tulang¬tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang¬tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa¬apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno menjaga Bung Hatta menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami yang tinggal tulang¬tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang¬Bekasi

 (1948) Brawidjaja, Jilid 7, No 16, 1957



DIPONEGORO
Di masa pembangunan ini tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti Tak gentar.
Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU Ini barisan tak bergenderang¬berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti Sudah itu mati.
MAJU Bagimu Negeri Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai Jika hidup harus merasai
Maju Serbu Serang Terjang

(Februari 1943) Budaya,Th III, No. 8 Agustus 1954

PRAJURIT JAGA MALAM
Waktu jalan.
Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda¬pemuda yang lincah yang tua¬tua keras, bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang¬bintangnya kepastian ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu...... Waktu jalan.
Aku tidak tahu apa nasib waktu !

(1948) Siasat, Th III, No. 96 1949


MALAM

Mulai kelam belum buntu malam
kami masih berjaga ¬¬Thermopylae?¬ ¬
jagal tidak dikenal ? ¬
 tapi nanti sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang

Zaman Baru, No. 11¬12 20¬30 Agustus 1957


DOA

kepada pemeluk teguh
Tuhanku Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh mengingat
Kau penuh seluruh cayaMu panas suci tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku aku hilang bentuk remuk
Tuhanku aku mengembara di negeri asing
Tuhanku di pintuMu aku mengetuk aku tidak bisa berpaling

 13 November 1943



PENERIMAAN

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi Jangan tunduk!
Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

Maret 1943

HAMPA
kepada sri Sepi di luar.
Sepi menekan mendesak.
kaku pohonan.
Tak bergerak Sampai ke puncak.
Sepi memagut, Tak satu kuasa melepas¬renggut
Segala menanti.
Menanti.
Menanti.
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat¬mencekung punda
Sampai binasa segala.
Belum apa¬apa
Udara bertuba.
Setan bertempik Ini sepi terus ada.
Dan menanti.

SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
 Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita
Mati datang tidak membelah...



SENJA DI PELABUHAN KECIL
buat: Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam.
Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan.
Tidak bergerak dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
 Tiada lagi.
 Aku sendiri.
 Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap harap sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
1946



CINTAKU JAUH DI PULAU
Cintaku jauh di pulau, gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
 di leher kukalungkan ole¬ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa aku tidak 'kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu, di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
 "Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"
Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau, kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.
 1946




MALAM DI PEGUNUNGAN
 Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
 Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
1947

YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS
kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
 malam tambah merasuk,
 rimba jadi semati tugu di Karet,
 di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin aku berbenah dalam kamar,
 dalam diriku jika kau datang dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang tubuhku diam dan sendiri,
cerita dan peristiwa berlalu beku
 1949

DERAI DERAI CEMARA
cemara menderai sampai jauh terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh dipukul angin
yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
 sudah berapa waktu
bukan kanak lagi
 tapi dulu memang ada suatu bahan yang bukan dasar perhitungan
kini hidup hanya menunda kekalahan
 tambah terasing dari cinta sekolah rendah dan tahu,
ada yang tetap tidak terucapkan sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949

Ahmadun Yosi Herfanda

 Ahmadun Yosi Herfanda Lahir di Kaliwungu, Kendal, 17 Januari 1958 Pendidikan: Alumnus FPBS IKIP Yogyakarta menyelesaikan S2 di jurusan Magister Teknologi Informasi pada Univ. Paramadina Mulia, Jakarta, 2005. Ia pernah menjadi Ketua III Himpunan Sarjana Kesastraan Indonesia ( 1993¬1995) dan Ketua Presidium Komunitas Sastra Indonesia (1999¬2002), Tahun 2003, bersama cerpenis Hudan Hidayat dan Maman S. Mahayana menerbitkan Creative Writing Institute. Ahmadun Pernah menjadi Anggota Dewan Penasihat Majelis penulis Forum Lingkar Pena.

Dewi Lestari ( Dewi Dee )

Dewi Lestari ( Dewi Dee ) Lahir di Bandung, 20 januari 1976 Ayah Ibu: Yohan Simanungsong-Turlan Siagian Pendidikan: Univ. Parahyangan dengan gelar sarjana politik. Ketiga novelnya yaitu Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh, Akar, dan Petir mendapat nominasi Khatulistiwa Literary Award tahun 2002 dan 2003.

Seno Gumira Ajidarma Ayahnya

Seno Gumira Ajidarma Ayahnya Prof. Dr. M.S.A. Sastroamidjojo Pendidikan: IKJ Jurusan Sinematografi Mengikuti teater alam pimpinan Azwar A. N. Beberapa puisinya pernah dimuat di Horizon. Kemudian ia menulis cerpen antara lain: “Manusia Kamar” (1988), “Penembak Misterius” (1993), “Saksi Mata” (1994), “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” (1995). Novelnya Matinya Seorang Penari Telanjang (2000). Pada tahun 1987 ia mendapat Sea Write Award. Berkat cerpennya “Saksi Mata” ia mendapat Dinny O’Hearn Prize for Literary (1997). 
Nenden Lilis Lahir di Garut, 26 September 1971 Kumpulan puisi tunggalnya Negeri Sihir (1999), kumpulan cerpen Dua Tengkorak Kepala (2000). Pernah membaca puisi di Poetry Festival Belanda (1999) 

Sony Farid Maulana

Sony Farid Maulana Lahir di Tasikmalaya, 19 Februari 1962 39 Pendidikan: Jurusan Teater Akademi Seni Tari Indonesia (1986). Semasa kuliah sudah menulis puisi yang bertemakan sosial, politik, agama, kesunyian, dan kesepian. Sekarang menulis puisi, prosa, esai, dan laporan jurnalistik di HU Pikiran Rakyat Bandung. Puisi¬puisinya dibukukan dalam Variasi Parijs Van Java (2004), Tepi Waktu Tepi Salju (2004), Selepas Kata (2004), Secangkir Teh (2005), Sehampar Kabut (2006), Angsana (2007). Buku Sehampar Kabut masuk dalam lima besar Khatulistiwa Literary Award 2005¬2006. Contoh puisinya yang dimuat dalam HU Pikiran Rakyat, Sabtu 28 Juli 2007 (mewakili sastra koran): SOP BUNTUT “Tuan, di buncit perutmu apa ada padang rumput?” sepasang sapi jantan dan betina bertanya demikian kepadaku. Hujan kembali membaca akar tumbuhan yang kering digarang kemarau. Kota disergap demam ribuan buruh pabrik gulung tikar. Sepasang sapi jantan dan betina membayang di kuah sop buntut di restoran hotel bintang lima yang sering dipajak para pecundang. Dan aku terkejut. Mana mungkin di perutku yang buncit ada padang rumput selain hijau padang golf? Begitulah. Maut mengirim isyarat. Dunia menggeliat dalam kobaran api hutan bakar kepala si mislkin dipenggal begal digelap malam raungnya lenyap ditelan lembut alun musik jazz di restoran hotel bintang lima. “Tuan apa ada menu terakhir yang ingin anda santap?” 2006 

Afrizal Malna Lahir

 Afrizal Malna Lahir
di Jakarta, 7 Juni 1957 Pernah mengikuti Poetry International Rotterdam (1996) Kumpulan puisinya: Abad yang Berlari (1984), Yang Terdiam dalam Microfon (1990), Kalung dari Teman (1999), Anjing Menyerbu Kuburan (1996). 

Dorotea Rosa Herliany

Dorotea Rosa Herliany Lahir di Magelang, 20 Oktober 1963 Pendidikan: FPBS IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta, Jurusan Sastra Indonesia (1987). Ia mendirikan Forum Situs Kata dan menerbitkan berkala budaya Kolong Budaya. Kini ia mengelola penerbit Tera di Magelang, juga ia mendirikan Indonesia Tera, sebuah kelompok belajar kebudayaan dan masyarakat, lembaga swadaya non¬profit yang bekerja dalam lapangan penelitan, penerbitan, dan pengembangan jaringan informasi untuk pendidikan dan kebudayaan masyarakat. Ia menulis sajak dan cerpen.
Kumpulan sajaknya: Nyanyian Gaduh (1987), Matahari yang Mengalir (1990), Kepompong Sunyi (1993), Nikah Ilalang (1995), Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999), Kill the Radio (2001). Kumpulan cerpennya: Blencong (1995), Karikatur dan Sepotong Cinta (1996).

Sabtu, 29 Agustus 2015

Mengenal Salimi Ahmad Penyair dan Pelukis Indonesia

Penyair dan pelukis Salimi Ahmad saat menghadiri Temu Sastrawan Indonesia, Samping kanan berpeci bersama penyair Wowok Hesti Prabowo. 
(Fotho Rg Bagus Warsono)



Salimi Ahmad, lahir di jakarta, 22 mei 1956, adalah seorang penyair yang namanya tak asing lagi di dunia seni lukis Indonesia . Pelukis ini adalah juga seorang penyair yang diperhitungkan secara nasional. Baginya menulis puisi adalah keseimbangan profesinya, namun ia dapat memetik sekaligus predikat pelukis dan penyair yang berhasil. Menurutnya ia  tak pernah benar-benar bisa melepaskan diri dari menulis puisi, sebab karena menurutnya dengan menulis puisi ia dapat menyeimbangkan rasa gelisah dalam hati dan pikirannya. Demikian ketika berbincang dengan ayokesekolah.com di acara Tifa Nusantara 27-29 Agustus 2015 di Cikupa Tangerang.

Salimi Ahmad meniti pendidikan mulai  SD dan SMP diselesaikan di Jakarta. Dia pernah masuk sekolah seni rupa indonesia (SSRI) di Yogya pada tahun 1973. hanya kurang dari 1 tahun dia pindah kejakarta lagi untuk melanjutkan pendidikannya. ia menyelesaikan SMA pada tahun 1976.

Latar sebagai pelukis dan sekaligus penyair didapat dari ketika tinggal di  Yogyakarta, Bergabung di persada studi klub (PSK) dibawah asuhan Umbu Landu Paranggi, teater asuhan Niki Kosasih. Kemudian di  Jakarta, ia mendirikan Bengkel Sastra Ibukota.  Bersama  Mas Sulebar Sukarman, ia kerap mengikuti berbagai kegiatan pameran lukisan bersama.


Sabtu, 20 Juni 2015

Muhammad Ainun Nadjib

Muhammad Ainun Nadjib atau biasa dikenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun (lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei1953; umur 62 tahun) adalah seorang tokoh intelektual berkebangsaan Indonesia yang mengusung napas Islami. Menjelang kejatuhan pemerintahan Soeharto, Cak Nun merupakan salah satu tokoh yang diundang ke Istana Merdeka untuk dimintakan nasihatnya yang kemudian kalimatnya diadopsi oleh Soeharto berbunyi "Ora dadi presiden ora patheken". Emha juga dikenal sebagai seniman, budayawan, penyair, dan pemikir yang menularkan gagasannya melalui buku-buku yang ditulisnya.
Emha merupakan anak keempat dari 15 bersaudara. Pendidikan formalnya hanya berakhir di semester 1 Fakultas EkonomiUniversitas Gadjah Mada (UGM). Sebelumnya dia pernah ‘diusir’ dari Pondok Modern Darussalam Gontor setelah melakukan ‘demo’ melawan pimpinan pondok karena sistem pondok yang kurang baik, pada pertengahan tahun ketiga studinya. Kemudian ia pindah ke Yogyakarta dan tamat SMA Muhammadiyah I. Istrinya yang sekarang, Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi. Sabrang Mowo Damar Panuluh adalah salah satu putranya yang kini tergabung dalam grup band Letto.
Lima tahun ia hidup menggelandang di Malioboro, Yogyakarta antara 1970-1975, belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat memengaruhi perjalanan Emha. Masa-masa itu, proses kreatifnya dijalani juga bersama Ebiet G Ade (penyanyi), Eko Tunas (cerpenis/penyair), dan EH. Kartanegara (penulis).
Selain itu ia juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Emha juga pernah terlibat dalam produksi film RAYYA, Cahaya di Atas Cahaya (2011), skenario film ditulis bersama Viva Westi.
Dalam kesehariannya, Emha terjun langsung di masyarakat dan melakukan aktivitas-aktivitas yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikanpolitik, sinergi ekonomi guna menumbuhkan potensi rakyat. Di samping aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padhang Bulan, ia juga berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, rata-rata 10 sampai15 kali per bulan bersama Gamelan Kiai Kanjeng, dan rata-rata 40 sampai 50 acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Kajian-kajian islami yang diselenggarakan oleh Cak Nun antara lain:
Jamaah Maiyah Kenduri Cinta sejak tahun 1990-an yang dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki. Kenduri Cinta adalah salah satu forum silaturahmi budaya dan kemanusiaan yang dikemas sangat terbuka, nonpartisan, ringan dan dibalut dalam gelar kesenian lintas gender, yang diadakan di Jakarta setiap satu bulan sekali.
Mocopat Syafaat Yogyakarta
Padhangmbulan Jombang
Gambang Syafaat Semarang
Bangbang Wetan Surabaya
Paparandang Ate Mandar
Maiyah Baradah Sidoarjo
Obro Ilahi Malang, Hongkong dan Bali.
Dalam pertemuan-pertemuan sosial itu ia melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.
Memacu kehidupan multi-kesenian Yogya bersama Halim HD, jaringan kesenian melalui Sanggar Bambu, aktif di Teater Dinasti dan menghasilkan repertoar serta pementasan drama. Beberapa karyanya:
Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan 'Raja' Soeharto),
Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan),
Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern),
Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).
Kemudian bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun),
Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar),
Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).
Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, serta Duta Dari Masa Depan.
Dan yang terbaru adalah pementasan teater Tikungan Iblis yang diadakan di Yogyakarta dan Jakarta bersama Teater Dinasti
Teater Nabi Darurat Rasul AdHoc bersama Teater Perdikan dan Letto yang menggambarkan betapa rusaknya manusia Indonesia sehingga hanya manusia sekelas Nabi yang bisa membenahinya (2012)
Karya Antologi
“M” Frustasi (1976),
Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978),
Sajak-Sajak Cinta (1978),
Nyanyian Gelandangan (1982),
102 Untuk Tuhanku (1983),
Suluk Pesisiran (1989),
Lautan Jilbab (1989),
Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990),lalalaw
Cahaya Maha Cahaya (1991),
Sesobek Buku Harian Indonesia (1993),
Abacadabra (1994),
Syair-syair Asmaul Husna (1994)

Esai dan Buku
Dari Pojok Sejarah (1985),
Sastra yang Membebaskan (1985)
Secangkir Kopi Jon Pakir (1990),
Markesot Bertutur (1993),
Markesot Bertutur Lagi (1994),
Opini Plesetan (1996),
Gerakan Punakawan (1994),
Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996),
Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994),
Slilit Sang Kiai (1991),
Sudrun Gugat (1994),
Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995),
Bola- Bola Kultural (1996),
Budaya Tanding (1995),
Titik Nadir Demokrasi (1995),
Tuhanpun Berpuasa (1996),
Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997),
Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997),
Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997),
2,5 Jam Bersama Soeharto (1998),
Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998),
Kiai Kocar Kacir (1998),
Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (Penerbit Zaituna, 1998),
Keranjang Sampah (1998) Ikrar Husnul Khatimah (1999),
Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000),
Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000),
Menelusuri Titik Keimanan (2001),
Hikmah Puasa 1 & 2 (2001),
Segitiga Cinta (2001),
Kitab Ketentraman (2001),
Trilogi Kumpulan Puisi (2001),
Tahajjud Cinta (2003),
Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun (2003),
Folklore Madura (Agustus 2005, Yogyakarta: Penerbit Progress),
Puasa Itu Puasa (Agustus 2005, Yogyakarta: Penerbit Progress),
Syair-Syair Asmaul Husna (Agustus 2005, Yogyakarta; Penerbit Progress)
Kafir Liberal (Cet. II, April 2006, Yogyakarta: Penerbit Progress),
Kerajaan Indonesia (Agustus 2006, Yogyakarta; Penerbit Progress),
Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006; Penerbit Kompas),
Istriku Seribu (Desember 2006, Yogyakarta; Penerbit Progress),
Orang Maiyah (Januari 2007, Yogyakarta; Penerbit Progress,),
Tidak. Jibril Tidak Pensiun (Juli 2007, Yogyakarta: Penerbit Progress),
Kagum Pada Orang Indonesia (Januari 2008, Yogyakarta; Penerbit Progress),
Dari Pojok Sejarah; Renungan Perjalanan Emha Ainun Nadjib (Mei 2008, Yogyakarta: Penerbit Progress)
DEMOKRASI La Raiba Fih(cet ketiga, Mei 2010, Jakarta: Kompas)

Penghargaan :
Bulan Maret 2011, Emha memperoleh Penghargaan Satyalancana Kebudayaan 2010 dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.[1] Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, penghargaan diberikan berdasarkan pertimbangan bahwa si penerima memiliki jasa besar di bidang kebudayaan yang telah mampu melestarikan kebudayaan daerah atau nasional serta hasil karyanya berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara.

Rabu, 10 September 2014

Mengenal Sastrawan Indonesia : Ali Arsy

Ali Syamsudin Arsi 
lahir di Barabai, Kab. Hulu Sungai Tengah, Prov. Kalimantan Selatan. Kini tinggal di kota Banjarbaru, Prov. Kalsel. Pendiri dan Ketua Forum Taman Hati, diskusi sastra dan lingkungan, bersama M. Rifani Djamhari. Pendiri dan Pembina Sanggar Sastra Satu Satu Banjarbaru. 
Karya –aryanya antara lain :1. Negeri Benang Pada Sekeping Papan (Tahura Media, Banjarmasin, Januari 2009).  2. Tubuh di Hutan Hutan (Tahura Media, Banjarmasin, Desember 2009). 3. Istana Daun Retak (Framepublishing, Yogyakarta, April 2010). 4. Bungkam Mata Gergaji (Framepublishing, Yogyakarta, Februari 2011).
Tahun 1999 menerima hadiah sastra dari Bupati Kabupaten Kotabaru.  Tahun 2005 menerima hadiah seni bidang sastra dari Gubernur Kalimantan Selatan. Tahun 2007 menerima hadiah sastra bidang puisi dari Kepala Balai Bahasa Banjarmasin. Tahun 2012 menerima penghargaan pada acara Tadarus Puisi & Silaturrahmi Sastra, Pemerintah Kota Banjarbaru melalui Dinas Pariwisata, Budaya dan Olah Raga. Pada malam Tadarus Puisi dan Silaturrahmi Sastra tahun 2014 kembali mendapat penghargaan sastra oleh Pembko Banjarbaru melalui Dewan Kesenian Kota Banjarbaru, penilaian berdasarkan standar kekaryaan dan aktifitas bersastra. Penyair ini tinggal di Banjarbaru.