29. Kotagu Hayatudin
Aku mencintaimu, ketika;
Lumbung-lumbung padi
dipenuhi bangkai tikus,
Ketika ladang dan pematang
gelanggang banting-tulang hilang,
menjadi sengketa dalih renovasi.
Ketika sekepal nasi kehilangan karbohidrat,
Bening mata air diselami potas.
Aku mencintaimu, ketika;
Ribuan Ibu rela ditinggal anak merantau jauh
ke jantung kota demi sekepal upah,
Ketika gelar dan ijazah menjadi
bungkus gorengan
jajanan tepi jalan,
Ketika tukang becak kehilangan sewa,
terungku dipenuhi para mangsa terka dan kira.
Aku mencintaimu, ketika;
Kopi, teh, dan arak setara dalam keramaian
Ketika berpeluk moksa di muka raya
tanpa peduli sekitar menjadi aib yang wajar
Ketika mengobrol dengan pelacur
dianggap lacur
Sedang kumpul kerbau telah masyhur
Aku mencintaimu, ketika;
Gugu dan tiru mulai jatuh
Ketika bocah Smp belajar meremas payudara
Ketika murid berani aniaya gurunya
Ketika sekolah menjadi gelanggang adu harta
adu rupa, dan adu kuasa.
Aku mencintaimu, ketika;
Berbicara tak lagi saling tatap muka
Ketika bayi-bayi kehilangan ASI
dari payudaya ibunya,
Ketika bayi-bayi menetek pada sapi
Ketika payudara ibu tak bisa dibagi-bagi
Ketika berak dan kencing
setara harga sarapan pagi.
Aku mencintaimu dengan tragedi;
Ketika ratusan bocah berkemah
hanyut di sungai
Ketika alat negara ditembak saat berwudhu
Ketika pelacur dijebak anggota DPR
"dipake dulu, baru dilaporkan".
Ketika ikan-ikan di Natuna
dalam kokangan senjata.
Aku mencintaimu, ketika;
Cermin belajar berbohong
Ketika metafora dijadikan kadar
sebuah hasta karya
Ketika pemabuk peri kencing di celana
Ketika paruh baya diarak, diseret, dimasukan truk-berdesakan, dibariskan di lapangan, dan dipaksa teriak, SATU ATAU DUA tanpa mengerti untuk apa.
Aku mencintaimu, ketika;
Embun jatuh bersama subuh,
Ketika takbir, ketika rukuk, ketika sujud,
Ketika Senin, Ketika Selasa, ketika Rabu,
ketika Kamis, ketika Jumat, di Selandia Baru puluhan mualim berkalang tanah
ditembaki saat beribadah
Ketika Sabtu, ketika Minggu,
ketika saling lempar batu.
Aku mencintaimu, ketika;
Mendung, ketika panas, ketika kemarau
Ketika hutan-hutan terbakar
puluhan ribu orang disekap asap
Ketika separuh Indonesia kehilangan embun
kehilangan oksigen, kehilangan pekerjaan.
Ketika rampang akan rancang undang-undang.
Aku mencintaimu, ketika;
Gerimis, ketika hujan
Ketika banjir hanyutkan ribuan puisi
ke balai kota
Ketika phiton tidur seranjang
dengan warga,
Ketika melati, ketika mawar, anggrek dan matamorry saling silang; hias Balai kota.
Aku mencintaimu hari ini;
Ketika Amerika, Cina, Iran, ketika Indonesia
Ketika 72 negara dijamu pandemi
Ketika dunia dihebohkan
dengan wabah Corona,
Ketika Cina diserang jutaan belalang,
Ketika makkah dan madinah sunyi atas ibadah
Ketika ibadah umroh ditahan sementara,
guna mencegah penularan.
"sekali dalam sejarah!"
Aku mencintaimu,
ketika salam dengan mencium tangan tidak dibolehkan, guna mencegah penularan.
Aku mencintaimu ketika;
Kawanan seumur jagung retakan rembulan,
patahkan gemintang, memarkan senja, bakar pagi demi kado kekasih hati.
Ketika tak sependapat dicap tiri
Ketika berani melawan takkan punya kawan.
Aku mencintaimu, malam ini
Ketika senang, ketika sedih, duka dan lara
Ketika waras, ketika sinting
Ketika gelas kaca, botol martel, ketika beling
ketika bibir, ketika gincu, ketika aku dibilang Tuan para ratu anarki, ketika segala hal rancu
antarkan menuju pelukmu.
Aku mencintaimu, ketika;
Perak tubuhmu dipenuhi rajah ragam metonimia
Ketika repetisi berulang riwayatkan rendahnya makrifat literasi
Ketika kau dijadikan dedahan guna sampai puncak keduniaan.
Ketika tanda tanya hanya retorika dalam penegasan, tanpa jawaban.
Ketika desakan bawah
hanya jadi pentas najis
dengan gong-gong
dari anjung seekor anjing.
Wahai, Puisi.
Aku mencintaimu, ketika aku tahu
cinta tak dimiliki tiap nadi lagi,
Ketika cinta tak singgah di tiap nyawa.
Aku mencintaimu, wahai, Puisi!.
Majalengka, Jawa Barat, 2020
Aku mencintaimu, ketika;
Lumbung-lumbung padi
dipenuhi bangkai tikus,
Ketika ladang dan pematang
gelanggang banting-tulang hilang,
menjadi sengketa dalih renovasi.
Ketika sekepal nasi kehilangan karbohidrat,
Bening mata air diselami potas.
Aku mencintaimu, ketika;
Ribuan Ibu rela ditinggal anak merantau jauh
ke jantung kota demi sekepal upah,
Ketika gelar dan ijazah menjadi
bungkus gorengan
jajanan tepi jalan,
Ketika tukang becak kehilangan sewa,
terungku dipenuhi para mangsa terka dan kira.
Aku mencintaimu, ketika;
Kopi, teh, dan arak setara dalam keramaian
Ketika berpeluk moksa di muka raya
tanpa peduli sekitar menjadi aib yang wajar
Ketika mengobrol dengan pelacur
dianggap lacur
Sedang kumpul kerbau telah masyhur
Aku mencintaimu, ketika;
Gugu dan tiru mulai jatuh
Ketika bocah Smp belajar meremas payudara
Ketika murid berani aniaya gurunya
Ketika sekolah menjadi gelanggang adu harta
adu rupa, dan adu kuasa.
Aku mencintaimu, ketika;
Berbicara tak lagi saling tatap muka
Ketika bayi-bayi kehilangan ASI
dari payudaya ibunya,
Ketika bayi-bayi menetek pada sapi
Ketika payudara ibu tak bisa dibagi-bagi
Ketika berak dan kencing
setara harga sarapan pagi.
Aku mencintaimu dengan tragedi;
Ketika ratusan bocah berkemah
hanyut di sungai
Ketika alat negara ditembak saat berwudhu
Ketika pelacur dijebak anggota DPR
"dipake dulu, baru dilaporkan".
Ketika ikan-ikan di Natuna
dalam kokangan senjata.
Aku mencintaimu, ketika;
Cermin belajar berbohong
Ketika metafora dijadikan kadar
sebuah hasta karya
Ketika pemabuk peri kencing di celana
Ketika paruh baya diarak, diseret, dimasukan truk-berdesakan, dibariskan di lapangan, dan dipaksa teriak, SATU ATAU DUA tanpa mengerti untuk apa.
Aku mencintaimu, ketika;
Embun jatuh bersama subuh,
Ketika takbir, ketika rukuk, ketika sujud,
Ketika Senin, Ketika Selasa, ketika Rabu,
ketika Kamis, ketika Jumat, di Selandia Baru puluhan mualim berkalang tanah
ditembaki saat beribadah
Ketika Sabtu, ketika Minggu,
ketika saling lempar batu.
Aku mencintaimu, ketika;
Mendung, ketika panas, ketika kemarau
Ketika hutan-hutan terbakar
puluhan ribu orang disekap asap
Ketika separuh Indonesia kehilangan embun
kehilangan oksigen, kehilangan pekerjaan.
Ketika rampang akan rancang undang-undang.
Aku mencintaimu, ketika;
Gerimis, ketika hujan
Ketika banjir hanyutkan ribuan puisi
ke balai kota
Ketika phiton tidur seranjang
dengan warga,
Ketika melati, ketika mawar, anggrek dan matamorry saling silang; hias Balai kota.
Aku mencintaimu hari ini;
Ketika Amerika, Cina, Iran, ketika Indonesia
Ketika 72 negara dijamu pandemi
Ketika dunia dihebohkan
dengan wabah Corona,
Ketika Cina diserang jutaan belalang,
Ketika makkah dan madinah sunyi atas ibadah
Ketika ibadah umroh ditahan sementara,
guna mencegah penularan.
"sekali dalam sejarah!"
Aku mencintaimu,
ketika salam dengan mencium tangan tidak dibolehkan, guna mencegah penularan.
Aku mencintaimu ketika;
Kawanan seumur jagung retakan rembulan,
patahkan gemintang, memarkan senja, bakar pagi demi kado kekasih hati.
Ketika tak sependapat dicap tiri
Ketika berani melawan takkan punya kawan.
Aku mencintaimu, malam ini
Ketika senang, ketika sedih, duka dan lara
Ketika waras, ketika sinting
Ketika gelas kaca, botol martel, ketika beling
ketika bibir, ketika gincu, ketika aku dibilang Tuan para ratu anarki, ketika segala hal rancu
antarkan menuju pelukmu.
Aku mencintaimu, ketika;
Perak tubuhmu dipenuhi rajah ragam metonimia
Ketika repetisi berulang riwayatkan rendahnya makrifat literasi
Ketika kau dijadikan dedahan guna sampai puncak keduniaan.
Ketika tanda tanya hanya retorika dalam penegasan, tanpa jawaban.
Ketika desakan bawah
hanya jadi pentas najis
dengan gong-gong
dari anjung seekor anjing.
Wahai, Puisi.
Aku mencintaimu, ketika aku tahu
cinta tak dimiliki tiap nadi lagi,
Ketika cinta tak singgah di tiap nyawa.
Aku mencintaimu, wahai, Puisi!.
Majalengka, Jawa Barat, 2020