Pengantar Antologi
Banyak margasatwa kita yang punah. Ketika
kapal kapal asing yang nyolong ikan ditembak ditenggelamkan, Anda tidak tahu
berbagai jenis kera dari rumpun yang sama Sumatra/Kalimantan di colong juga.
Apa yang ditembak apa yang ditenggelamkan. Sebab malingnya tidak kemana-mana
masih berada di luar negeri. Orang kitalah yang memperkaya diri.
Beberapa tahun lalu ada bangkai kawanan
gajah, tetapi gadingnya sudah tak menempel di kepalanya.
Lalu burung-burung luar
negeri yang mungkin bawa penyakit datang dari celah-celah pagar negeri ,
mengisi sangkar-sangkar hobies burung berkicau.
Dan sungguh luar biasa
lagi, ada orang pekerjaannya melawan maut, memburu buaya ganas di sungai-sungai
buas. Ternyata mereka mengambil kulit buaya itu.
Sejak doeloe nama hewan menjadi nama kiasan
untuk menamai manusia seperti contohnya 'lintah darat (rentenir), 'kuda hitam
(sosok tak diduga), 'anjing menggonggong (mereka yang suka usil), 'macan tua (
tokoh tua) , macan ompong (tokoh yang sudah tak punya taring lagi) , 'kupu-kupu
malam (lonte) , ular kepala dua (mata-mata) , kura-kura dalam perahu, katak
dalam tempurung dan sebagainya. Ini artinya manusia menamai perilaku manusia
lagi dengan perumpamaan hewan. Jadi bukan sekarang saja tetapi sejak dulu.
Ternyata margasatwa (binatang) kita penuh
filosofi, kelakuan binatang kadang cermin buat filosofi hidup. Bukan berarti
lebih baik binatang dari manusia, tetapi manusialah yang mirip perilaku
binatang. Atau bisa juga binatang lebih baik perilakunya ketimbang segelintir
manusia yang kadang tak memiliki norma. Tetapi pernyataan ini jangan
ditafsirkan demikian sebab puisi adalah gambaran , sebuah gambaran yang
memiliki ragam apresiasi. Boleh jadi apresiasi itu berbeda dari sebuah puisi.
Makna yang sama arti pun berbeda bila dipadukan dengan kata lain, bukan. Nah
kalau begitu puisi adalah permainan kata-kata.
Jika puisi adalah
permainan kata-kata maka tak perlu mempercayai puisi. Memang. Bukankah puisi
itu seni? dan dinikmati? . Jangan salah juga bila apresiasi juga menimbulkan
kepercayaan terhadap puisi. Buktinya banyak puisi yang memberikan kenyataan
zaman. Sebab penyair menuangkan isi hati dari semua pancaindera yang
dirasakan.Sebegitu dasyatnya puisi melahirkan berbagai tafsir dan perumpamaan.
Tetapi sebagai manusia tetap puisi tak perlu didewakan atau dipuja. Puisi
adalah puisi yang memiliki jiwa, seni, dan juga hidup.
Memang penyair itu
pinter, tema margasatwa jadi tema 'marga satwa. Katanya kalau dipenggal menjadi
dua kata ada marga dan satwa kalau dipisah menjadi marga satwa semakin
bertambah luas tema ini, tapi tidak mengapa tambah seru. Itulah penyair kadang
bilang ‘A sama-sama , bukan A besar dan a kecil tetapi katanya a bagiku berarti
lain. Bisa saja ‘a berarti satuan
nominal eceran, ada juga ‘a berarti pertanyaan, ‘a berarti orang (si a) atau ‘a
berarti keuntungan dsb.
Sebaliknya ada ungkapan
hewan tetapi disukai masyarakat seperti 'Kecil-kecil kuda kuningan, 'Maung
Bandung, "Ayam Kinantan, 'Banteng Ketaton, Cendrawasih dari Timur, dan
lain-lain.
Dan dalam buku ini
pembaca budiman diajak untuk ‘bercengkerama dengan puisi-puisi karya penyair
Indonesia dalam antologi khas bertema
margasatwa ini yang merupakan Antologi Lumbung Puisi Jilid IV Sastrawan
Indonesia.
Selamat mengapresiasi.
Penyelenggara.
Hmpunan
Masyarakat Gemar membaca (HMGM)
Kata Pengantar Antologi
Binatang
Saya bayangkan beberapa penyair dari
berbagai profesi dan menulis tentang seekor binatang, semut misalnya. Maka
lahirlah puisi tentang semut dalam
perspektif sosiolog, politikus, psikolog, filosof, ekonom, anthropolog, polisi,
guru, ulama, bahan ibu rumah tangga. Betapa amat luasnya kekayaan perpuisian
kita tentang binatang sebagai cerminan perilaku umat manusia.
Saya bayangkan beberapa penyair menulis
puisi tentang binatang-binatang ikonik
yang ada di negeri ini dan negeri-negeri lain. Bisa jadi
masih ada. Bisa pula sudah punah. Betapa berharganya puisi-puisi ini bagi
pelajar dan generasi sesudah kita karena telah memberikan pemahaman anatomis,
filosofis dan simbolis tentang sebuah kota, negara, atau benda.
Saya bayangkan beberapa penyair menulis puisi tentang binatang yang ada
interrelasinya dengan binatang-binatang yang ada di luar negara kita. Betapa
berharganya puisi-puisi itu karena telah memberikan pengetahuan dan pemahaman
tentang hubungan “bilateral” kebinatangan, yang bisa jadi menjadi contoh
demokratis dan toleransi bagi umat manusia.
Saya bayangkan beberapa penyair menulis
puisi tentang binatang-binatang imajinatif ( misal Derabat, burung raksasa
khayalan Budi Darma; juga Kappa, semacam Derabat yang telah menjadi mitos
bertahun-tahun di Jepang; Yeti di Nepal ) yang dapat menggugah daya imajinasi
pembacanya dan merangsang imajinasi lain untuk bidang-bidang lain.
Saya bayangkan RgBagus
Warsono sedang membangun dan menghayalkan sebuah “Kebun Bintang” raksasa yang
penghuninya binatang-binatang kata-kata Indah
dan senantiasa dikunjungi ribuan bahkan jutaan pemburu kata-kata Indah
setiap harinya. Sebuah habitat baru yang akan dicatat dan dikembangkan oleh sejarah perpuisian Indonesia, bahkan
dunia.
Selamat untuk gagasan, upaya dan kerja
kerasnya untuk membangun “Ragunan Kata-kata”
bagi negeri para penyair.
Hasan Bisri BFC
jazirahapi@gmail.com
Jakarta, 16 Agustus 2016
Pesan Sang Kera Anoman
Ide kreatif dari
antologi tentang margasatwa perlu diacungi jempol setinggi langit.Lantara
langka dan tak biasa tapi dgn ketak biasa justru menjadi luar biasa.Didalam
dunia pewayangan pun ada satwanya. Sang kera yg sakti mandraguna ANOMAN. Ada
pesan yg menarik pada sang kera putih yang jelek itu. Mana lebih mulia..kera
barhati manusia atau manusia berhati kera.
Thomas Haryanto
Soekiran,
17 agustus 2016
purworejo