Minggu, 29 Oktober 2017

Marthen Luther Reasoa dalam Kita Dijajah Lagi

Dari Ambon, Penyair ternama Marthen Reasoa sahabat kita bersama menulis untuk Indonesia dalam Kita Dijajah Lagi.
Doa dan Ketukan Pintu
(Marthen Luther Reasoa)

Aku hidup di depan banyak pintu, dengan satu tangan untuk mengetuk

aku mengetuk dan mengetuk, namun pintu tetap tertutup
di dalamnya, ribuan pejabat pemerintahan terlalu sibuk mencatat dan lupa membuka pintu
hingga bau korupsi juga nepotisme menjalar di disepanjang dinding dan lantai mereka 
kantor ibarat rumah tangga, seperti keluarga cendana
bapak dan ibu tidur di satu kamar dengan nyenyak 
dan lupa pada anak-anak yang gelisah sepanjang malam, 
menanti kasih sayang itu terbuka dari pintu kamar

Pejabat-pejabat terlihat megah, jas dan dasi mengkilap hiasi tubuh mereka 

namun rakyat penuh derita
Rakyat itu berteriak di depan pintu, dengan air mata di mangkuk tanpa nasi
sedang bapak dan ibu negara hanya sibuk bercerita
di antara suara-suara kelaparan dan kesusahan yang merembes melalui dinding

Pada tembok-tembok kota, ibu kami terus mendoakan pemerintah

kepada Tuhan yang ada di balik pintu, doa terantuk pada gagang pintu
sedang pada jalan di pingir-pinggir kota, mulut-mulut asyik tertawa
mereka menganggap lucu suara ketukan di depan pintu 
seperti suara kucing kelaparan orang-orang saling merobek tulang 
sementara para pejabat melahap daging hingga keluar bau badan
meski disemprot deodorant, bau mereka tetap saja menyengat

Ibarat bau kambing yang menempel pada tubuh laki-laki pencuri

busuk dan menjalar ke mana-mana diterbangkan angin
hingga mengendap diselangkangan
menjadi daki
Kasihan kami yang tak punya kunci
tak punya apapun selain doa dan ketukan di depan pintu







Marthen Luther Reasoa, lahir  di Saparua, 31 Oktober 1988 memasuki Pendidikan  : S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Penyair ini tinggal di JalanDiponegoro RT 003 RW 004 Kecamatan Sirimau

Kota Ambon . Komunitas  : Bengkel Sastra Maluku


Roymon Lemosol dalam Kita Dijajah Lagi

Bintang Timur Roymon Lemosol tak ketinggalan menulis di Kita Dijajah Lagi . Sahabat itu ada dimana-mana


Roymon Lemosol

Menggugat Tuhan
 
mengapa redupkan pelita di tengah kegelapan
ketika setan-setan mulai kepayahan
menghadapi deras gelombang cahaya
 
sedang api yang menjarah hutan-hutan 
dan asap yang mengaburkan kekayaan
kau biarka merambah perkantoran
dan pusat-pusat  pemerintahan
juga gedung-gedung dewan  
melahap habis kejujuran, keadilan
dan keberihakan pada kaum jelata
 
maka kita tetap hidup dalam tirai kemiskinan
mengeram hutang di kepak sayap burung-burung kapitalis 
yang sok humanis 
 
jadilah kita segolongan angsa 
kehausan di tengah telaga
 
Ambon, 31 Agustus 2017





Roymon Lemosol, dilahirkan di Lumoli Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku pada tanggal 24 Agustus 1971. Sejak kecil sudah menyukai puisi. Karya-karyanya pernah menghiasi halaman sejumlah media lokal dan nasional, antara lain, majalah Fuly, Assau, Lombok Post, Suara NTB, Koran Seputar Indonesia, Harian Umum Media Indonesia dan lain-lain. Sebagian lagi termaktub dalam beberapa buku antologi bersama, antara lain : Biarkan Katong Bakalae (Kantor Bahasa Maluku 2013), Puisi Menolak Korupsi Jilid 4 (Forum Sastra Surakarta 2015), Memo Untuk Wakil Rakyat (Forum Sastra Surakarta 2015). Memo Anti Terorisme  (Forum Sastra Surakarta 2016), Ije Jela (Pustaka Senja 2016), Memo Anti Kekerasan Terhadap Anak (Forum Sastra Surakarta, 2016), Nyanyian Puisi Untuk Ane Matahari (Imaji Indonesia 2017). Bunga Rampai PMK Bergerak Dengan Nurani (Forum Sastra Surakarta  2017), Akar Cinta Tanah Air (Penerbit D3M Kail Tangerang, 2017), Dari Loksado Untuk Indonesia (Loksado Writers, 2017), Puisi Menolak Korupsi 6 (Forum Sastra Surakarta, 2017).  Masih Ada Bulan Yang Akan Bersinar (D3M Kail Tangerang, 2017), dan Mazhab Rindu (Harazi, 2017). Bersama penyair lainnya, Roymon berperan aktif menggerakkan gairah sastra di Maluku. Saat ini ia bekerja sebagai guru di SMA Negeri 4 Ambon.

Eko Saputra Poceratu dalam Kita Dijajah Lagi

Satu Lagi penyair Ganteng dan cerdas dari Ambon tak ketinggalan menulis untuk Indonesia dalam Kita Dijajah Lagi, sapa lagi kalu bukan Ecko Saputra Poceratu
Eko Saputra Poceratu

Ketika Orang Buta untuk Membaca
Keadilan

Aku duduk di kursi sekolah dan menatap ke
 depan dengan sungguh-sungguh
Untuk  mengerti mengapa kita mesti belajar
Bahwa mengapa kita memikirkan masa
 depan
Sementara negeri kita belum merdeka

Dengan menulis pun belum tentu aku
 mengerti
Dengan membaca belum tentu aku
 memahami
Maka biarlah kami cukup mencari ikan
 untuk dimakan
Dan menanam ubi untuk dijual
Demi membeli seragam
Lalu kembali ke sekolah
Duduk dengan tegang
Menerima ilmu yang kelak dipakai entah
 untuk menjajah siapa
Sedang buku dan pena aku tak punya
Sementara di kota-kota besar orang
 menukar janji dengan tulisan di atas kertas
 putih
Tanah dicuri di atas kertas putih
Sementara politisi menebar dusta untuk
 merebut posisi

Orang belajar membaca huruf dan pandai
namun pada akhirnya tak bisa membaca
 ketidakadilan
guru meniduri murid
dosen meniduri mahasiswa
pejabat meniduri pegawai negeri sipil
dan mereka tak bisa membaca diri sendiri

maka lebih baik aku menjadi anak pantai
yang mampu membelah samudera dengan
 cinta
atau anak gunung yang setia mencintai alam
dengan senyuman serta nyanyian-nyanyian
 sumbang di desa
supaya aku tidak perlu belajar menipu
 dengan kata atau dengan angka
seperti mereka yang duduk di belakang meja
berdiskusi dan merapatkan kening untuk
 seterusnya membalik meja itu juga

ubi jalar lebih bisa mengerti arah
 perjalanannya sendiri
maka lebih baik aku hidup dengan hati yang
 besar
demi mengalahkan nafsu yang sarat
nafsu yang dipakai pembesar untuk
 menikam jantung kami
lalu darahnya dipakai untuk menulis di
 papan sejarah

Awunawai, 30 Agustus 2017


Eko Saputra Poceratu, lahir di Tihulale 2 Mei 1992. Tinggal di Ambon dan melakukan kegiatan sastra di sana dengan beberapa komunitas seni dan para penyair lokal.

Rabu, 18 Oktober 2017

Mo Amrin penyair Kita Dijajah Lagi



Seakan berulang seakan sejarah kembali berulang, Masihkan harus memerdekakan negeri yang sudah merdeka.
Gila!
Keparat!
Jahanam!
Kau masih saja membelenggu!
Tidak!
Tidak!
Seperi Mo Amrin bicara dalam Kita Dijajah Lagi.
Foto RgBagus Warsono.

Marsetio Hariadi penyair Kita Dijajah Lagi

Negeri 'kebangeten , bobrok, meh meh ancur!
Budak liberalis !
terlena !
tergadai !
tertindas tapi tak terasa
Seperti puisimu Marsetio Hariadi dalam Kita Dijajah Lagi


Dhea Lingkar di Kita Dijajah lagi

Mereka bicara tentang negeri, tentang Tanah Air, tentang rakyat, tentang kampung halaman, tentang Indonesia:
Menangis,
Sedih,
Marah.
Tanda tanya,
Kenapa?
Kapan?
Seperti kita dijajah lagi
seperti puisi Dhea Lingkar di Kita Dijajah Lagi


Zaeni Boli dalam Kita Dijajah Lagi

 Kapan aku merasakan nikmatnya kemerdekaan?
Kapan aku bisa melihat kau bahagia?
Kapan aku terbebas dari belenggu kesendirian?
Kapan aku merasakan
Sebagaimana cintaku pada Indonesia.....
Baca puisi Zaeni Boli dalam Kita Dijajah Lagi


Najibul Mahbub dalam Kita Dijajah Lagi baca puisinya dengan memiliki antologi Kita Dijajah lagi


 Oh tidak !
Tidak!
Apakah sudah terlanjur?
lalu kau biarkan Indonesiaku begini?
Kita sekarang melihat ganti pelaku penjajah !
Jangan .....
Atau kita mau hancur berkeping-keping?!
Najibul Mahbub pun menoreh puisinya, baca di Kita Dijajah Lagi.

Seperti Iwan Bonick dari Bekasi dalam Kita Dijajah Lagi





Satu lagi seniman dan penyair ganteng asal Bekasi Iwan Bonick Bonick yang ngaku pedagang gerobak dorong tak membiarkan Indonesia bangga dengan anak-anak kost buruh pabrik di Bekasi.
"Kau pemilik negeri ini
kau hanya budak asing!
kau hidup terlilit setoran minguan, bulanan
cicilan motor yang tiap bulan berganti nama
cicilan mobil plastik yang setahun ancur
oleh kapitalis
merebut kemerdekaanmu!

M Sapto Yowono bicara dalam Kita Dijajah Lagi



Kita bukan bicara keprihatinan
Bukan kritik
Bukan surat meminta belas kasihan
Ini kronis !
ya sudah skak mat !
Oh Indonesiaku Tumpahdarahku Disini aku berdiri
bukan pandu tetapi rakyat Indonesia yang turut memikirkanmu
Dan aku M Sapto Yuwono dalam kita dijajah lagi
Baca Bukunya !

Asro Al Murthawy Pamenang bicara di Kita Dijajah Lagi



Penyair Ganteng Asro Al Murthawy Pamenang turut bicara tentang Indonesia mulai renta dan pikun:
Dan kau gadaikan gunung, laut sampai asap pabrik
Dan kau peras keringat melebihi Rodi dan Romusha
Dan kau cabik-cabik budaya luhur bansa
Dan kau biarkan pemuda tergeletak dengan ijazah sarjana mencari kerja !

Senin, 16 Oktober 2017

Hadir Ditengah Blantika Sastra Indonesia , Kita Dijajah Lagi



Sebuah Antologi universal yang hangat sepanjang waktu.
Hari ini, besok atau kapan seakan Kita Dijajah Lagi
Ditulis oleh penyair-penyair nasional
persembahan untuk Indonesia
yang tak henti bersusah hati
Ibu Pertiwi yang terus menangis
Linangan air mata penyair
akan kecintaan Indonesia
kemuliaan kemerdekaan

Sabtu, 14 Oktober 2017

Kepada Kau Penyair karya Rg Bagus Warsono

Kepada Mas Yono Buanergis Muryono, Aloysius Slamet Widodo dan Handrawan Nadesul

                                                               Kepada Kau Penyair

Dalam bayanganku di pundaknya
telah ada ciri-cri penyair besar pada dirimu
Pancaran sinar candra mawa
yang melindungimu dari mara bayahaya mengikuti kemana pergi
Kekuatan bathin yang melekat dalam jiwa kepenyairan
terpancar lewat raut pesona
Goresan penanya adalah aliran listrik otak
dan hati yang ditoreh jari tanganmu bersih
Mereka bicara dalam sabda aksara hati,
petuah manfaat alam
Kekuatan imajener penyair merangkum khayal
memutuskan mufakat
Buah karya ikhlas memberi

(rg bagus warsono 14-10-17)

Kamis, 05 Oktober 2017

Tentang pembaca dan penonton Pembacaan Cerpen oleh Rg Bagus Warsono

Tingkat kualitas penonton dalam mengapresiasi pembaca cerpen masih jauh dari harapan. Banyak sekali penampilan baca puisi terkadang hanya mendapat tepuk tangan sekadar penghargaan pada penampilannya bukan pada kualitas membaca cerpen. Bahkan banyak juga yang 'dicuekin seperti angin lalu. Dan sampai-sampai penonton lalu lalu lalang berjalan dihadapannya bahkan anehnya lagi (bila ini lomba baca cerpen, um[amanya) , jurinya malah ngobrol tapa memperhatikan si pembaca cerpen.

 Agaknya betul seperti dikatakan Heru Mugiarso, dari Universitas Negeri Semarang (UNES) yang juga seorang sastrawan, bahwa bangsa Indonesia belum pada tataran sebagai bangsa pendengar/ perenung dalam apresiasi penampilan baca cerpen. Tataran sebagai pendengar dan perenung ini memang pantas ditujukan pada bangsa ini sebab dalam berbagai hal lain, kitya slalu ketinggalan informasi dan teknologi, sebab perenungan dan mendengarkan juga merupakan daya serap iptek yang harus dimiliki bangsa ini.

 Seperti membaca puisi membaca cerpen juga memiliki nilai seni. Pembaca hendaknya berkarakter tidak hanya pada isi tetapi juga tokoh-tokoh pelaku dalam cerita pendek itu.
Sering kali kita menyaksikan beberapa pembaca cerpen terkenal melupakan karakter tokoh dalam cerpen itu. Sehingga dialognya kelihatan datar tanpa ada beda sedikitpun antara tokoh-tokoh dalam cerpen itu, apabila dalam cerpen itu terdapat beberapa tokoh utama misalnya

 Ibarat seorang 'dalang wayang, pembaca cerpen yang diharapkan harus memiliki kepiawaian seperti dialong oleh dalang wayang yang membedakan suara antara pelaku (tokoh) dalam cerita pendek itu.
Untuk membedakan itu pembaca cerpen mengenali isi cerpen dengan baik, mengenali tokoh-tokoh dalam cerpen itu. Sebab bahasa Indonesia itu sama tetapi logat kedaerahan, misalnya, membedakan seseorang dari mana berasal. Belum lagi karakter pada tokoh-tokoh dalam cerpen itu yang juga beralur pada cerita pendek yang disampaikan dalam membaca cerpen.

Bedanya dengan pendongeng, pembaca cerpen harus sesuai naskah, sedang pendongeng bebas mengutarakan dalam kata, kalimat dan bahasa apa pun tetapi tetap pada alur cerita dongeng.
Oleh karena baca cerpen harus sesuai naskah berkenaan dengan hak cipta seseorang cerpenis, maka tanda baca cerpen memiliki nilai arti tidak nya koma (,) tetapi tanda baca lain yang merupakan kandungan arti seperi petik (') , seru (!) atau atau tanda tanya (?) dan tanda baca lainnya.

Entah kapan membaca cerpen ini menjadi suguhan intertaiment masyarakat. Sementara masih berkutat pada monoton baca dan aksi diluar yang dikehendaki naskah. Akhirnya penampilan pembacaan cerpen 'hanyalah pingisi waktu atau 'jeda acara.