Tampilkan postingan dengan label Sastra : Biografi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sastra : Biografi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Mei 2019

Aloysius Slamet Widodo

Aloysius Slamet Widodo (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 29 Februari 1952; umur 67 tahun) adalah pengusaha yang juga sastrawan berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal di kancah kesusasteraan Indonesia melalui karya-karyanya berupa puisi mbeling yang dipublikan di sejumlah surat kabar Indonesia. Slamet Widodo merupakan salah satu penyair yang tergabung dalam Gerakan Puisi Menolak Korupsi. Etnomusikolog Rizaldi Siagian, pernah menyusun komposisi musik dari puisi-puisi bertema lingkungan karya Slamet Widodo. Kolaborasi mereka diwujudkan dalam bentuk visual grafis yang diberi tajuk Kehidupan: Dalam Ekspresi Teater Bunyi. Beberapa seniman yang terlibat dalam proyek tersebut antara lain Rahayu Supanggah, Peni Candrarini, Dharsono, Djenar Maesa Ayu, dan Masri Ama Piliang. Saat ini, Slamet Widodo aktif mengelola Komunitas Sastra Reboan yang diselenggarakan setiap bulan, di Warung Apresiasi, Bulungan, Jakarta Selatan. Karya Slamet Widodo seperti : Potret Wajah Kita (Jakarta, 2004), Bernapas Dalam Resesi (Jakarta, 2005),
Kentut (Jakarta, 2006), Selingkuh (Precil Production, Jakarta, 2007),
Simpenan (2010), Namaku Indonesia (Pena Kencana, Jakarta 2012),



Rg Bagus Warsono,

Rg Bagus Warsono, nama lainnya Agus Warsono lahir di Tegal 29 Agustus 1965. Ia dibesarkan dalam keluarga pendidik  yang  dekat dengan lingkungan buku dan membaca. Ayahnya bernama Rg Yoesoef Soegiono seorang guru di Tegal, Jawa Tengah. Rg Bagus Warsono menikah dengan Rofiah Ross pada bulan Desember 1993. Dari pernikahan itu ia dikaruniai 2 orang anak. Ia mulai sekolah dasarnya di SDN Sindang II  Indramayu dan tamat 1979, masuk SMP III Indramayu tamat tahun 1982,  melanjutkan di SPGN Indramayu dan tamat 1985. Lalu ia melanjutkan kuliah di D2 UT UPBBJJ Bandung dan tamat tahun 1998, Kemudian kuliah di STAI di Salahuddin Jakarta dan tamat 2004 , pada tahun 2011 tamat S2 di STIA Jakarta. Setelah tamat SPG, Rg Bagus Warsono menjadi guru sekolah dasar, kemudian pada tahun 2004 menjadi kepala sekolah dasar, dan kemudioan 2015 pengawas sekolah. Tahun 1992 menjadi koresponden di beberapa media pendidikan seperti Gentra Pramuka, Mingguan Pelajar dan rakyat Post. Pada 1999 mendirikan Himpunan Masyarakat Gemar Membaca di Indramayu. Menjadi anggota PWI Jawa Barat. Rg Bagus Warsomo juga menulis di berbagai surat kabar regional dan nasional seperti PR Edisi Cirebon, Pikiran rakyat, Suara karya dan berbagai majalah pendidikan regional maupun  nasional.
Karya : a. Puisi
1. Bunyikan Aksara Hatimu, Sibuku Media , Jogyakarta 2013
2. Jakarta Tak Mau Pindah, Idie Publising, Jakarta 2013
3. Jangan Jadi sastrawan, Indie Publising, Jakarta 2013

Chairil Anwar

Chairil Anwar (lahir di Medan, 26 Juli 1922 – meninggal di Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun), dijuluki sebagai "Si Binatang Jalang" (dari karyanya yang berjudul Aku), adalah penyair terkemuka Indonesia berdarah Minangkabau. Dia diperkirakan telah menulis 96 karya, termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, dia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45sekaligus puisi modern Indonesia.
Chairil lahir dan dibesarkan di Medan, sebelum pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dengan ibunya pada tahun 1940, di mana dia mulai menggeluti dunia sastra. Setelah mempublikasikan puisi pertamanya pada tahun 1942, Chairil terus menulis. Puisinya menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi.
Chairil Anwar dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada 26 Juli 1922. Dia merupakan anak satu-satunya dari pasangan Toeloes dan Saleha, keduanya berasal dari Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai bupati Indragiri, Riau. Dia masih memiliki pertalian keluarga dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Sebagai anak tunggal, orang tuanya selalu memanjakannya, namun Chairil cenderung bersikap keras kepala dan tidak ingin kehilangan apapun; sedikit cerminan dari kepribadian orang tuanya.
Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Saat usianya mencapai 18 tahun, dia tidak lagi bersekolah. Chairil mengatakan bahwa sejak usia 15 tahun, dia telah bertekad menjadi seorang seniman.
Pada usia 19 tahun, setelah perceraian orang tuanya, Chairil bersama ibunya pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) di mana dia berkenalan dengan dunia sastra; walau telah bercerai, ayahnya tetap menafkahinya dan ibunya. Meskipun tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai berbagai bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman. Ia juga mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron. Penulis-penulis tersebut sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung terhadap tatanan kesusasteraan Indonesia.
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan puisinya yang berjudul Nisan pada tahun 1942, saat itu ia baru berusia 20 tahun. Hampir semua puisi-puisi yang ia tulis merujuk pada kematian. Namun saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di majalah Pandji Pustaka untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis dan tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta, Chairil jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945.Kemudian ia memutuskan untuk menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946. Mereka dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa, namun bercerai pada akhir tahun 1948.


Makam Chairil di TPU Karet Bivak
Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya. Sebelum menginjak usia 27 tahun, sejumlah penyakit telah menimpanya. Chairil meninggal dalam usia muda di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo), Jakarta pada tanggal 28 April 1949. Penyebab kematiannya tidak diketahui pasti, menurut dugaan lebih karena penyakit TBC. Ia dimakamkan sehari kemudian di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Chairil dirawat di CBZ (RSCM) dari 22-28 April 1949. Menurut catatan rumah sakit, ia dirawat karena tifus. Meskipun demikian, ia sebenarnya sudah lama menderita penyakit paru-paru dan infeksi yang menyebabkan dirinya makin lemah, sehingga timbullah penyakit usus yang membawa kematian dirinya - yakni ususnya pecah. Tapi, menjelang akhir hayatnya ia menggigau karena tinggi panas badannya, dan di saat dia insaf akan dirinya dia mengucap, "Tuhanku, Tuhanku...". Dia meninggal pada pukul setengah tiga sore 28 April 1949, dan dikuburkan keesokan harinya, diangkut dari kamar mayat RSCM ke Karet oleh banyak pemuda dan orang-orang Republikan termuka. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari masa ke masa. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar. Kritikus sastra Indonesia asal Belanda, A. Teeuw menyebutkan bahwa "Chairil telah menyadari akan mati muda, seperti tema menyerah yang terdapat dalam puisi berjudul Jang Terampas Dan Jang Putus".

Selama hidupnya, Chairil telah menulis sekitar 94 karya, termasuk 70 puisi; kebanyakan tidak dipublikasikan hingga kematiannya. Puisi terakhir Chairil berjudul Cemara Menderai Sampai Jauh, ditulis pada tahun 1949,sedangkan karyanya yang paling terkenal berjudul Aku dan Krawang Bekasi. Semua tulisannya baik yang asli, modifikasi, atau yang diduga dijiplak, dikompilasi dalam tiga buku yang diterbitkan oleh Pustaka Rakyat. Kompilasi pertama berjudul Deru Campur Debu (1949), kemudian disusul oleh Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin). Karya tulis Chairil Anwar yang diterbitkan adalah Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)
Tiga Menguak Takdir (1950) (dengan Asrul Sani dan Rivai Apin)
"Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949", disunting oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986)
Derai-derai Cemara (1998). Chairil juga menerjemakan karya  seperti Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide dan Kena Gempur (1951), terjemahan karya John Steinbeck

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (lahir di Surakarta, 20 Maret 1940; umur 79 tahun) adalah seorang pujangga berkebangsaan Indonesia terkemuka. Ia kerap dipanggil dengan singkatan namanya, SDD. SDD dikenal melalui berbagai puisinya mengenai hal-hal sederhana namun penuh makna kehidupan, sehingga beberapa di antaranya sangat populer, baik di kalangan sastrawan maupun khalayak umum

Masa mudanya dihabiskan di Surakarta (lulus SMP Negeri 2 Surakarta tahun 1955 dan SMA Negeri 2 Surakarta tahun 1958). Pada masa ini, SDD sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Kesukaannya menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang Bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Tahun 1973, SDD pindah dari Semarang ke Jakarta untuk menjadi direktur pelaksana Yayasan Indonesia yang menerbitkan majalah sastra Horison. Sejak tahun 1974, ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, tetapi kini telah pensiun. SDD pernah menjabat sebagai dekan FIB UI periode 1995-1999 dan menjadi guru besar. Pada masa tersebut, SDD juga menjadi redaktur majalah Horison, Basis, Kalam, Pembinaan Bahasa Indonesia, Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, dan country editormajalah Tenggara di Kuala Lumpur. Saat ini SDD aktif mengajar di Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta sambil tetap menulis fiksi maupun nonfiksi.
Sapardi Djoko Damono banyak menerima penghargaan. Pada 1986, SDD mendapatkan anugerah SEA Write Award. Ia juga penerima Penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar. Ia menikah dengan Wardiningsih dan dikaruniai seorang putra dan seorang putri.

Sajak-sajak Sapardi telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa daerah. Ia tidak saja aktif menulis puisi, tetapi juga cerita pendek. Selain itu, ia juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, menulis esai, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola. Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti "Aku Ingin" (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), "Hujan Bulan Juni", "Pada Suatu Hari Nanti", "Akulah si Telaga", dan "Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari". Kepopuleran puisi-puisi ini sebagian disebabkan musikalisasi oleh mantan-mantan mahasiswanya di FIB UI, yaitu Ags Arya Dipayana, Umar Muslim, Tatyana Soebianto, Reda Gaudiamo, dan Ari Malibu. Dari musikalisasi puisi yang dilakukan mantan-mantan mahasiswa ini, salah satu album yang terkenal adalah oleh Reda dan Tatyana (tergabung dalam duet "Dua Ibu"). Selain mereka, Ananda Sukarlan pada tahun 2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya SDD.
Berikut ini adalah karya-karya SDD (berupa kumpulan puisi) serta beberapa esai.
Duka-Mu Abadi (1969)
Lelaki Tua dan Laut (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
Mata Pisau (1974)
Sepilihan Sajak George Seferis (1975; terjemahan karya George Seferis)
Puisi Klasik Cina (1976; terjemahan)
Lirik Klasik Parsi (1977; terjemahan)
Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak (1982, Pustaka Jaya)
Perahu Kertas (1983)
Sihir Hujan (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
Water Color Poems (1986; translated by J.H. McGlynn)
Suddenly The Night: The Poetry of Sapardi Djoko Damono (1988; translated by J.H. McGlynn)
Afrika yang Resah (1988; terjemahan)
Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks)
Hujan Bulan Juni (1994)
Black Magic Rain (translated by Harry G Aveling)
Arloji (1998)
Ayat-ayat Api (2000)
Pengarang Telah Mati (2001; kumpulan cerpen)
Mata Jendela (2002)
Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro? (2002)
Membunuh Orang Gila (2003; kumpulan cerpen)
Nona Koelit Koetjing: Antologi cerita pendek Indonesia Periode Awal (1870an - 1910an)" (2005; salah seorang penyusun)
Mantra Orang Jawa (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)
Before Dawn: The Poetry of Sapardi Djoko Damono (2005; translated by J.H. McGlynn)
Kolam (2009; kumpulan puisi)
Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita (2012; kumpulan puisi)
Namaku Sita (2012; kumpulan puisi)
The Birth of I La Galigo (2013; puitisasi epos "I La Galigo" terjemahan Muhammad Salim, kumpulan puisi dwibahasa bersama John McGlynn)
Hujan Bulan Juni: Sepilihan Sajak (edisi 1994 yang diperkaya dengan sajak-sajak sejak 1959, 2013; kumpulan puisi)
Trilogi Soekram (2015; novel)
Hujan Bulan Juni (2015; novel)
Melipat Jarak (2015, kumpulan puisi 1998-2015)
Suti (2015, novel)
Pingkan Melipat Jarak (2017;novel)
Selain menerjemahkan beberapa karya penyair luar seperti Kahlil Gibran, Jalaluddin Rumi, dan Mak Dizdar ke dalam bahasa Indonesia, Sapardi juga menulis ulang beberapa teks klasik, seperti Babad Tanah Jawi (2005) dan manuskrip I La Galigo.



Toto Sudarto Bachtiar

Toto Sudarto Bachtiar (lahir di Cirebon, Jawa Barat, 12 Oktober 1929 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 9 Oktober 2007 pada umur 77 tahun)[1] adalah penyair Indonesia yang seangkatan dengan W.S. Rendra. Penyair angkatan 1950-1960-an ini dikenal masyarakat luas dengan puisinya, antara lain Pahlawan Tak Dikenal, Gadis Peminta-minta, Ibukota Senja, Kemerdekaan, Ode I, Ode II, dan Tentang Kemerdekaan.
Suara: kumpulan sajak 1950-1955, 1956, memenangkan Hadiah Sastra BMKN
Etsa (kumpulan sajak, 1958)
Datang dari masa depan: 37 penyair Indonesia (2000)
Toto Sudarto Cachtiar  juga mengerkan terjemahan antara lain : Pelacur (1954), terjemahan karya Jean Paul Sartre
Sulaiman yang Agung (1958), terjemahan karya Harold Lamb
Bunglon (1965), terjemahan karya Anton Chekhov
Bayangan Memudar (1975), terjemahan karya Breton de Nijs, diterjemahkan bersama Sugiarta Sriwibawa
Pertempuran Penghabisan (1976), terjemahan karya Ernest Hemingway
Sanyasi (1979), terjemahan karya Rabindranath Tagore


Willibrordus Surendra Broto Rendra

W.S. Rendra yang memiliki nama asli Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir di Solo, Hindia Belanda, 7 November 1935 – meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun) adalah sastrawan berkebangsaan Indonesia. Sejak muda, dia menulis puisi, skenario drama, cerpen, dan esai sastra di berbagai media massa. Pernah mengenyam pendidikan di Universitas Gajah Mada, dan dari perguruan tinggi itu pulalah dia menerima gelar Doktor Honoris Causa. Penyair yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak", ini, tahun 1967 mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta. Melalui Bengkel Teater itu, Rendra melahirkan banyak seniman antara lain Sitok Srengenge, Radhar Panca Dahana, Adi Kurdi, dan lain-lain. Ketika kelompok teaternya kocar-kacir karena tekanan politik, ia memindahkan Bengkel Teater di Depok, Oktober 1985
Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru bahasa Indonesia dan bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di Keraton Surakarta Hadiningrat. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya.
TK Marsudirini, Yayasan Kanisius.
SD s.d. SMA Katolik, SMA Pangudi Luhur Santo Yosef, Solo (tamat pada tahun 1955).
Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
Mendapat beasiswa American Academy of Dramatical Art (1964 - 1967).

Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek, dan dramauntuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.
Ia pertama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun '60-an dan tahun '70-an.
Kaki Palsu adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan Orang-orang di Tikungan Jalan adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya, Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan '60-an, atau Angkatan '70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, dan India.
Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi(1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).

Pada tahun 1967, sepulang dari Amerika Serikat, ia mendirikan Bengkel Teater yang sangat terkenal di Indonesia dan memberi suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air. Namun sejak 1977 ia mendapat kesulitan untuk tampil di muka publik baik untuk mempertunjukkan karya dramanya maupun membacakan puisinya. Kelompok teaternya pun tak pelak sukar bertahan. Untuk menanggulangi ekonominya Rendra hijrah ke Jakarta, lalu pindah ke Depok. Pada 1985, Rendra mendirikan Bengkel Teater Rendra yang masih berdiri sampai sekarang dan menjadi basis bagi kegiatan keseniannya..Bengkel teater ini berdiri di atas lahan sekitar 3 hektar yang terdiri dari bangunan tempat tinggal Rendra dan keluarga, serta bangunan sanggar untuk latihan drama dan tari. Di lahan tersebut tumbuh berbagai jenis tanaman yang dirawat secara asri, sebagian besar berupa tanaman keras dan pohon buah yang sudah ada sejak lahan tersebut dibeli, juga ditanami baru oleh Rendra sendiri serta pemberian teman-temannya. Puluhan jenis pohon antara lain, jati, mahoni, eboni, bambu, turi, mangga, rambutan, jengkol, tanjung, singkong, dan lain-lain.
Karya-karya Rendra yang berupa drama sebagai berikut :
Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
Bib Bob Rambate Rate Rata (Teater Mini Kata) - 1967
SEKDA (1977)
Selamatan Anak Cucu Sulaiman (dimainkan 6 kali)
Mastodon dan Burung Kondor (1972)
Hamlet (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)- dimainkan dua kali
Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)
Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya Sophokles, aslinya berjudul "Oedipus Rex")
Lysistrata (terjemahan)
Odipus di Kolonus (Odipus Mangkat) (terjemahan dari karya Sophokles,
Antigone (terjemahan dari karya Sophokles,
Kasidah Barzanji (dimainkan 2 kali)
Lingkaran Kapur Putih
Panembahan Reso (1986)
Kisah Perjuangan Suku Naga (dimainkan 2 kali)
Shalawat Barzanji
Sobrat
Kumpulan Sajak/Puisi
Ballada Orang-orang Tercinta (Kumpulan sajak)
Blues untuk Bonnie
Empat Kumpulan Sajak
Sajak-sajak Sepatu Tua
Mencari Bapak
Perjalanan Bu Aminah
Nyanyian Orang Urakan
Pamphleten van een Dichter
Potret Pembangunan Dalam Puisi
Disebabkan Oleh Angin
Orang Orang Rangkasbitung
Rendra: Ballads and Blues Poem
State of Emergency
Do'a Untuk Anak-Cucu


Afrizal Malna

Afrizal Malna (lahir di Jakarta, 7 Juni 1957; umur 61 tahun) adalah sastrawan berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal secara luas melalui karya-karyanya berupa puisi, cerita pendek, novel, esai sastra yang dipublikasikan di berbagai media massa. Afrizal juga menulis teks pertunjukan teater yang dipentaskan di berbagai panggung pertunjukan di Indonesia dan mancanegara. Kekhasan karya Afrizal Malna adalah lebih mengangkat tema dunia modern dan kehidupan urban, serta objek material dari lingkungan tersebut. Korespondensi antarobjek itulah yang menciptakan gaya puitiknya.
Afrizal Malna menyelesaikan pendidikan SMA pada tahun 1976, namun baru pada 1981 ia melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, sebagai mahasiswa khusus, hingga pertengahan dikeluarkan pada tahun 1983. Selama kurang lebih sepuluh tahun ia bekerja di perusahaan kontraktor bangunan, ekspedisi muatan kapal laut, dan asuransi jiwa. Sekarang lebih banyak berkiprah di bidang seni sebagai penulis esai sastra, kurator seni rupa, dan penyair. Puisi, cerita pendek, dan esai sastranya dimuat di berbagai media massa antara lain Horison, Kompas, Berita Buana, Republika, Kedaulatan Rakyat, Tempo, Jawa Pos, Surabaya Post, Pikiran Rakyat, Ulumul Qur'an, dan lain-lain.] Tema puisi Afrizal Malna yang menonjol adalah pelukisan dunia modern dan kehidupan urban, serta objek material dari lingkungan tersebut. Korespondensi antarobjek itulah yang menciptakan nuansa dan gaya puitiknya. Imaji-imaji dalam kehidupan sehari-hari, secara berdampingan ditampilkan secara gaduh, hiruk-pikuk, hampir-hampir chaotic, kacau balau, semrawut, tercermin dalam judul-judul puisinya, seperti: Antropologi Kaleng-Kaleng Coca Cola, Fanta Merah untuk Dewa-Dewa, Migrasi di Kamar Mandi, Pelajaran Bahasa Inggris Tentang Berat Badan. Afrizal tertarik pada menemukan hubungan antarobjek dalam puisi-puisinya, mencari—dalam kata-katanya sendiri—suatu “visualisasi tata bahasa atas benda-benda”. Intimasi hubungan rahasia antarobjek tersebut memberikan banyak informasi tentang puitika Afrizal.
Pada tahun 1981, sebuah naskah dramanya mengantarkan Afrizal menerima penghargaan dalam sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldomreop. Karya dramanya berjudul Pertumbuhan di atas Meja Makan, terpilih dalam Antologi Drama Indonesia yang diterbitkan oleh Yayasan Lontardan diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul Things Growing on the Table. Naskah drama tersebut merupakan salah satu contoh representatif untuk karya yang muncul pada era postmodernism Indonesia. Karya ini menentang penggunaan narasi keseragaman yang dibentuk oleh Orde Baru. Dalam karya dramanya ini, Afrizal yang juga bertindak sebagai editor, membangun suatu "perpecahan" dengan memecah belah atau membuat potongan-potongan dialog dari berbagai sumber berlainan, misalnya potongan pidato presiden Soekarno dan wakilnya, Mohamad Hatta, digabungkan dengan dialog Caligula karya Albert Camus dan Sandyakala Ning Majapahit karya Sanusi Pane. Dengan demikian, ia menolak hubungan kausalitas dan struktur naratif, ketika tokoh Suami dan Istri dalam drama ini mengucapkan kutipan potongan-potongan kalimat yang tidak berhubungan tersebut, sekaligus memaksa audiens untuk membangun sebuah cerita bagi diri mereka sendiri.
Afrizal juga menulis esai pengantar untuk sejumlah buku karya para sastrawan Indonesia, antara lain Eko Tunas, Juniarso Ridwan, Soni Farid Maulana, Dorothea Rosa Herliany, Made Wianta, dan lain-lain. Esai sastra karyanya yang pernah diterbitkan pada antologi bersama antara lain: Perdebatan Sastra Kontekstual (Ariel Heryanto ed., 1986). Sesuatu Indonesia: Esei-Esei dari Pembaca Tak Bersih adalah salah satu buku kumpulan esainya, diterbitkan oleh Yayasan Bentang Budaya pada tahun 2000. Esainya dalam Senimania Republika, Harian Republika, 1994, memenangi Republika Award. Ia juga menjadi pemenang esai di Majalah Sastra Horison pada 1997. Sejak 1983 hingga 1993menulis teks pertunjukan Teater Sae. Afrizal pernah mengunjungi beberapa kota di luar negeri antara lain Swiss dan Hamburg, sebagai pembicara dalam diskusi teater dan sastra di beberapa universitas, dalam rangka pertunjukan Teater Sae (Mei-Juni 1993) yang mementaskan naskahnya.
Tahun 1995, bersama Beeri Berhrard Batschelet dan Joseph Praba, Afrizal mementaskan seni instalasi Hormat dan Sampah di Solo. Pada tahun 1996 berkolaborasi dengan berbagai seniman dari beragam disiplin mengadakan pertunjukan seni instalasi Kesibukan Mengamati Batu-Batu di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Sedangkan tahun 2003, mementaskan karyanya, Telur Matahari, berkolaborasi dengan Harries Pribadi Bah dan Jecko Kurniawan.
Buku
Abad Yang Berlari (1984)
Perdebatan Sastra kontekstual (1986)
Tonggak Puisi Indonesia Modern 4 (1987)
Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990)
Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (1991)
Dinamika Budaya dan Politik (1991)
Arsitektur Hujan (1995)
Biography of Reading (1995)
Pistol Perdamaian (1996)
Kalung Dari Teman (1998)
Sesuatu Indonesia, Esei-esei dari pembaca yang tak bersih (2000)
Seperti Sebuah Novel yang Malas Mengisahkan Manusia, kumpulan prosa (2003)
Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2003)
Novel Yang Malas Menceritakan Manusia (2004)
Lubang dari Separuh Langit (2005)
Teman-temanku dari Atap Bahasa (Lapadl Pustaka Yogyakarta, 2008)
Pada Bantal Berasap (Omah sore, Jakarta-Yogyakarta, 2009)
Ruang di Bawah Telinga, Biografi Visual Made Wianta (O House Gallery, 2009)
Perjalanan Teater Kedua, Antologi Tubuh dan Kata (iCan – Indonesia Conteporary Art Network – Yogyakarta; Dewan Kesenian Jakarta, Jakarta, 2010)
Second Hand Languager Store, Limited Edition (Rumah Hujan, Yogyakarta, 2012)
Jembatan Ilusi Antara Seni dan Kota (25 Tahun Gedung Kesenian Jakarta, 2012)
Terjemahan
Traum der Freiheit Indonesien 50 jahre nach der Unabhangigkeit (Hendra Pasuhuk & Edith Koesoemawiria, 1995)
Poets, Friends Around the World (Mitoh-Sha, Tokyo, 1997)
Menagerie 3 (John H. McGlynn, 1997)
Do Lado Dos Ollos Arredor da poesia, entrevistas con 79 Poetas do Mundo (Emiilio Arauxo, Edicions do cumio, 2001)
Frontiers of World Literature (Iwanami Shoten, Publishers, Tokyo, 1997)
Poets, Friends Around the World (MitohSha, Tokyo, 1997)
Do Lado Dos Ollos, Arredor de Poesia Entrevistas con 79 Poetas de Mundo (Emilio Arauxo, Edicions, Do Cunio, Travisia de Vigo, 2001)
Antologia de Poeticas (Maria Emilia Irmler & Danny Susanto, Gramedia, Jakarta, 2008)
Orientierugen, Zeitschrift Zur Kutur Asiens (Berthold Daumhouser & Wolfgan Kubin, Edition Global, Munchen, 2009)
Penghargaan
Republika Award untuk esei dalam Senimania Republika, harian Republika (1994),
Esei majalah Sastra Horison (1997)
Dewan Kesenian Jakarta (1984)
Radio Nedherland Wereldomroep untuk naskah drama Surat (1981)
Dewan Kesenian Jakarta untuk buku puisi Abad Yang Berlari (1987)
Republika Award dari harian Repulika untuk esei (1994)
Pusat Pembinaan dan Pengembahan Bahasa Departemen Pendidikan dan Budaya untuk buku puisi Arsitektur Hujan (1996)
Penghargaan Adibudaya dari Departemen Pendidikan untuk puisi (2006)
Man of The Year dari majalah Tempo untuk buku puisi Teman-temanku Dari Atap Bahasa (2008)
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan dan Budaya untuk buku puisi Teman-temanku Dari Atap Bahasa 2010
SEA Write Award dari Bangkok untuk buku puisi Teman-temanku Dari Atap Bahasa (2010)
Kusala Sastra Khatulistiwa kategori puisi melalu karyanya, Museum Penghancur Dokumen (2013)




Muhammad Ainun Nadjib

Muhammad Ainun Nadjib atau biasa dikenal Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun (lahir di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953; umur 65 tahun) adalah seorang tokoh intelektual berkebangsaan Indonesia yang mengusung napas Islami. Menjelang kejatuhan pemerintahan Soeharto, Cak Nun merupakan salah satu tokoh yang diundang ke Istana Merdeka untuk dimintakan nasihatnya yang kemudian kalimatnya diadopsi oleh Soeharto berbunyi "Ora dadi presiden ora patheken". Emha juga dikenal sebagai seniman, budayawan, penyair, dan pemikir yang menularkan gagasannya melalui buku-buku yang ditulisnya.
Emha merupakan anak keempat dari 15 bersaudara. Pendidikan formalnya hanya berakhir di semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelumnya dia pernah ‘diusir’ dari Pondok Modern Darussalam Gontor setelah melakukan ‘demo’ melawan pimpinan pondok karena sistem pondok yang kurang baik, pada pertengahan tahun ketiga studinya. Kemudian ia pindah ke Yogyakartadan tamat SMA Muhammadiyah I. Istrinya yang sekarang, Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi. Sabrang Mowo Damar Panuluh adalah salah satu putranya yang kini tergabung dalam grup band Letto.
Lima tahun ia hidup menggelandang di Malioboro, Yogyakarta antara 1970–1975, belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat memengaruhi perjalanan Emha. Masa-masa itu, proses kreatifnya dijalani juga bersama Ebiet G Ade (penyanyi), Eko Tunas (cerpenis/penyair), dan EH. Kartanegara (penulis).
Selain itu ia juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985). Emha juga pernah terlibat dalam produksi film Rayya, Cahaya di Atas Cahaya (2011), skenario film ditulis bersama Viva Westi.
Memacu kehidupan multi-kesenian Yogya bersama Halim HD, jaringan kesenian melalui Sanggar Bambu, aktif di Teater Dinasti dan menghasilkan repertoar serta pementasan drama. Beberapa karyanya:
Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan 'Raja' Soeharto),
Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan),
Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern),
Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).
Kemudian bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun),
Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar),
Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).
Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, serta Duta Dari Masa Depan.
Dan yang terbaru adalah pementasan teater Tikungan Iblis yang diadakan di Yogyakarta dan Jakarta bersama Teater Dinasti
Teater Nabi Darurat Rasul AdHoc bersama Teater Perdikan dan Letto yang menggambarkan betapa rusaknya manusia Indonesia sehingga hanya manusia sekelas Nabi yang bisa membenahinya (2012)
Puisi
“M” Frustasi (1976),
Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978),
Sajak-Sajak Cinta (1978),
Nyanyian Gelandangan (1982),
99 Untuk Tuhanku (1983),
Suluk Pesisiran (1989),
Lautan Jilbab (1989),
Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990),lalalaw
Cahaya Maha Cahaya (1991),
Sesobek Buku Harian Indonesia (1993),
Abacadabra (1994),
Syair-syair Asmaul Husna (1994)

Bulan Maret 2011, Emha memperoleh Penghargaan Satyalancana Kebudayaan 2010 dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, penghargaan diberikan berdasarkan pertimbangan bahwa si penerima memiliki jasa besar di bidang kebudayaan yang telah mampu melestarikan kebudayaan daerah atau nasional serta hasil karyanya berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara.





Kiai Haji Ahmad Mustofa Bisri

Kiai Haji Ahmad Mustofa Bisri atau lebih sering dipanggil dengan Gus Mus (lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944; umur 74 tahun) adalah pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang dan menjadi Rais Syuriah PBNU. Ia adalah salah seorang pendeklarasi Partai Kebangkitan Bangsa dan sekaligus perancang logo PKB yang digunakan hingga kini.
Ia juga seorang penyair dan penulis kolom yang sangat dikenal di kalangan sastrawan. Disamping budayawan, dia juga dikenal sebagai penyair. Karya-karya : 
Dasar-dasar Islam (terjemahan, Penerbit Abdillah Putra Kendal, 1401 H).
Ensklopedi Ijma' (terjemahan bersama KH. M.A. Sahal Mahfudh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987).
Nyamuk-Nyamuk Perkasa dan Awas, Manusia (gubahan cerita anak-anak, Gaya Favorit Press Jakarta, 1979).
Kimiya-us Sa'aadah (terjemahan bahasa Jawa, Assegaf Surabaya).
Syair Asmaul Husna (bahasa Jawa, Penerbit Al-Huda Temanggung).
Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991,1994).
Tadarus, Antalogi Puisi (Prima Pustaka Yogya, 1993).
Mutiara-mutiara Benjol (Lembaga Studi Filsafat Islam Yogya, 1994).
Rubaiyat Angin dan Rumput (Majalah Humor dan PT. Matra Media, Cetakan II, Jakarta, 1995).
Pahlawan dan Tikus (kumpulan pusisi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996).
Mahakiai Hasyim Asy'ari (terjemahan, Kurnia Kalam Semesta Yogya, 1996).
Metode Tasawuf Al-Ghazali (tejemahan dan komentar, Pelita Dunia Surabaya, 1996).
Saleh Ritual Saleh Sosial (Mizan, Bandung, Cetakan II, September 1995).
Pesan Islam Sehari-hari (Risalah Gusti, Surabaya, 1997).
Al-Muna (Syair Asmaul Husna, Bahasa Jawa, Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, 1997).
Fikih Keseharian (Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, bersama Penerbit Al-Miftah, Surabaya, Juli 1997).
Presiden Joko Widodo atas nama negara memberikan Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma kepada dedikasi Gus Mus. Acara penyematan berlangsung di Istana Negara. Jakarta, 13 Agustus 2015.



Widji Thukul

Widji Thukul, yang bernama asli Widji Widodo (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 Agustus 1963 – meninggal di tempat dan waktu yang tidak diketahui, hilang sejak diduga diculik, 27 Juli 1998 pada umur 34 tahun) adalah sastrawan dan aktivis hak asasi manusia berkebangsaan Indonesia. Tukul merupakan salah satu tokoh yang ikut melawan penindasan rezim Orde Baru. Sejak 1998 sampai sekarang dia tidak diketahui rimbanya, dinyatakan hilang dengan dugaan diculik oleh militer.
Thukul, begitu sapaan akrabnya adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Ia lahir dari keluarga Katolik dengan keadaan ekonomi sederhana. Ayahnya adalah seorang penarik becak, sementara ibunya terkadang menjual ayam bumbu untuk membantu perekonomian keluarga.
Thukul Mulai menulis puisi sejak SD, dan tertarik pada dunia teater ketika duduk di bangku SMP. Bersama kelompok Teater Jagat, ia pernah ngamen puisi keluar masuk kampung dan kota. Sempat pula menyambung hidupnya dengan berjualan koran, jadi calo karcis bioskop, dan menjadi tukang pelitur di sebuah perusahaan mebel. Pada Oktober 1989, Thukul menikah dengan istrinya Siti Dyah Sujirah alias Sipon yang saat itu berprofesi sebagai buruh.. Tak lama semenjak pernikahannya, Pasangan Thukul-Sipon dikaruniai anak pertama bernama Fitri Nganthi Wani, kemudian pada tanggal 22 Desember 1993 anak kedua mereka lahir yang diberi nama Fajar Merah.
Thukul pernah bersekolah di SMP Negeri 8 Solo dan melanjutkan pendidikannya hingga kelas dua di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia jurusan tari. Thukul memutuskan untuk berhenti sekolah karena kesulitan keuangan. 
Ada tiga sajak Thukul yang populer dan menjadi sajak wajib dalam aksi-aksi massa, yaitu Peringatan, Sajak Suara, dan Bunga dan Tembok (ketiganya ada dalam antologi "Mencari Tanah Lapang" yang diterbitkan oleh Manus Amici, Belanda, pada 1994. Tapi, sesungguhnya antologi tersebut diterbitkan oleh kerjasama KITLV dan penerbit Hasta Mitra, Jakarta. Nama penerbit fiktif Manus Amici digunakan untuk menghindar dari pelarangan pemerintah Orde Baru.
Dua kumpulan puisinya : Puisi Pelo dan Darman dan lain-lain
Puisi: Bunga dan Tembok
Puisi: Peringatan
Puisi: Kesaksian .
Kerusuhan pada Mei 1998 telah menyeret beberapa nama aktivis kedalam daftar pencarian aparat Kopassus Mawar]. Di antarapara aktivis itu adalah aktivis dari Partai Rakyat Demokratik, Partai Demokrasi Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan, JAKKER, pengusaha, mahasiswa, dan pelajar yang menghilang terhitung sejak bulan April hingga Mei 1998. . Semenjak bulan Juli 1996, Thukul sudah berpindah-pindah keluar masuk daerah dari kota satu ke kota yang lain untuk bersembunyi dari kejaran aparat..  Dalam pelariannya itu Thukul tetap menulis puisi-puisi pro-demokrasi yang salah satu di antaranya berjudul Para Jendral Marah-Marah.. Pada tahun 2000, Sipon melaporkan hilangnya Thukul pada KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), namun Thukul belum ditemukan hingga kini.
Korban penculikan
Setelah Peristiwa 27 Juli 1996 hingga 1998, sejumlah aktivis ditangkap, diculik dan hilang, termasuk Thukul. Sejumlah orang masih melihatnya di Jakarta pada April tahun 1998. Thukul masuk daftar orang hilang sejak tahun 2000.


Sosiawan Leak

Sosiawan Leak (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 23 September 1967; umur 51 tahun) yang punya nama asli Sosiawan Budi Sulistyoadalah seorang aktor, penyair, penulis, dan pembicara asal Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia. Menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret Solo tahun 1994. Selain sebagai salah satu tokoh dalam gerakan Revitalisasi sastra pedalaman, Sosiawan Leak, bersama Heru Mugiarso merupakan inisiator Gerakan Puisi Menolak Korupsi yang digagas pada tahun 2013. Melalui beberapa karyanya, Leak menerima sejumlah penghargaan antara lain dari Yayasan Hari Puisi Indonesia
Aktif berkesenian sejak 1987 dalam bidang teater dan sastra meski belakangan juga melakukan kerja kreatif di bidang musik dan kolaborasi antarcabang kesenian. Menulis puisi dan naskah drama sejak 1987. Puisinya dipublikasikan di berbagai media massa, di samping diterbitkan oleh berbagai forum dan festival sastra bersama penyair lain.
Dalam aktivitasnya di dunia teater, ia bertindak sebagai sutradara dan penulis skenario. Pernah menulis naskah dan menyutradarai Teater Peron UNS (1990-1997), Teater Thoekoel UNS (1991-1994), Teater Citra Mandiri (SMU 2 Solo, 1990-1993) dan menjadi sutradara tamu di Teater Puntung (Kudus, 1994). Selain itu, ia juga pernah bergabung di Teater Gidag Gidig Solo (1987-1993), Teater TERA Solo (1990-1993), serta Teater Keliling Jakarta (1990-1993).
Tahun 1998, Mendirikan Kelompok Tonil KLOSED (Kloearga Sedjahtra) Solo, sebuah kelompok teater yang mencoba mendekatkan kesenian kepada masyarakat, sekaligus mendorong munculnya kesadaran HAM dan demokratisasi lewat kesenian. Kelompok tersebut telah melakukan 72 pementasan dari 15 naskah lakon, baik di tempat-tempat umum, seperti terminal, stasiun, lembaga pemasyarakatan, panti asuhan, lapangan, kampung, sekolahan & kampus, maupun disejumlah pusat kesenian dan festival serta televisi (TVRIStasiun Semarang).
Menjadi juri di berbagai festival teater dan juga kerap memberikan workshop secara periodik. Juga dikenal aktif berkolaborasi dengan seniman lain dan turut membidani lahirnya pertunjukan teater wayang seperti; Wayang Nggremeng, Wayang Suket dan Wayang Kampung Sebelah. Di samping pernah aktif di Kelompok Musik Golden Water, ia juga menjadi vokalis di OPM (Orkes Plasu Minimal) dan Orkes Sehat (1999).
Skenario Drama yang pernah ia buat antara lain, ‘Restu’ (1990), ‘Tahta’ (1991), ‘Suara’ (1992), ‘Tanda’ (1993), ‘Umbu’ (1993), ‘Ode’ (1994), ‘Galib’ (1994), ‘BOM’ (diadaptasi dari ‘Perang’, karya Puntung Pudjadi, 2001), ‘LAS’ (2002), ‘Pisau’ (diadaptasi dari cerpen anak-anak ‘Mengasah Pisau’ karya Triyanto Triwikromo), ‘Asu Gedhe Menang Kerahe’ (2005), ‘Overdosis’ (2006) dan ‘Verboden’ (2007).
Di dunia pertelevisian namanya juga sudah tak asing lagi, tercatat ia pernah menjadi asisten sutradara sinetron ‘Komedi Putar’ Produksi TVRI Jakarta sebanyak 13 episode. Pernah diundang untuk menyutradarai 5 episode ‘Wayang Dongeng’ (Semarang) di StasiunPRO TV Semarang. Menjadi penulis skenario sekaligus co-director Program TV Pojok Kampung (‘Suka-Suka’ dan ‘Gus Mus Menjawab’) yang ditayangkan secara rutin di Stasiun PRO TV Semarang.
Selain aktif di teater dan televisi, ia juga aktif berkecimpung di bidang sastra. Ia menulis puisi sejak 1987 dan dipublikasikan di berbagai media massa. Lebih dari 50 antologi puisi yang diterbitkan berbagai forum dan festival sastra juga memuat puisinya bersama penyair lain. Tiga antologi puisinya terbit secara khusus (bersama Gojek JS dan KRT Sujonopuro) oleh Yayasan Satya Mitra Solo, yakni ‘Umpatan’ (1995), ‘Cermin Buram’ (1996), ‘Dunia Bogambola’ (bersama Thomas Budi Santosa) oleh Indonesiatera Magelang (2007).
Aktivitas sastranya yang lain yakni : Deklamasi Keliling di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Pulau Madura (1994), Deklamasi Keliling Sumatra (1995); Baca puisi keliling di sejumlah perguruan tinggi di Jawa Timur dan Madura bersama WS Rendra (alm) dan Brigitte Olenski (2002); Mementaskan Puisi-Musik ‘Orde Gemblung’ di Universitas Brawijaya Malang, TBS Solo, IKIP Semarang, Lembaga Indonesia-Prancis Yogyakarta, CCCL Surabaya, Gelanggang Remaja Bulungan dan Japan Foundation Jakarta (2002).
Kerap diundang dalam acara Festival Puisi Internasional Indonesia 2002 yang diselenggarakan di Makassar, Bandung dan Solo, dengan melibatkan penyair dari beberapa negara (April 2002), diundang pada Festival Puisi Internasional The Road di Bremen, Jerman, membaca puisi dan memberi workshop; Saat itu pula diundang membaca puisi dan menjadi narasumber di Universitas Hamburg dan Universitas Passau Jerman (Mei 2003). Baca Puisi dan Diskusi ‘Membaca Indonesia’ bersama Martin Janskowski (Berlin, Jerman), Dorothea Rosa Herliany (Magelang) di Madura, Surabaya, Solo, dan Kudus (Juli 2006). Mementaskan Puisi Perkusi Dunia Bogambola (bersama Temperente Percusion) di Festival Cak Durasim Surabaya, Universitas Negeri Surabaya, TBS Solo, Pendapa Kabupaten Demak, IKIP PGRI Semarang (Sejak Nopember 2007) dll. Diundang tampil membaca puisi dan menjadi narasumber di berbagai acara sastra seperti Konggres Sastra Indonesia di Kudus (2008), Temu Sastrawan Indonesia di Jambi (2008), Revitalisasi Budaya Melayu di Tanjung Pinang (2008), Festival Sastra Kepulauan di Makassar (2009], Aceh International Literary Festival (2009), Ubud Wiriters and Readers Festival di Ubud, Bali (2010), Kedutaan Besar Indonesia di Berlin, Universitas Hamburg (Departemen Austronesistik), Deutsch Indonesische Gesellschaft Hamburg.  Melalui bukunya, Wathathitha, Sosiawan Leak menerima penghargaan sebagai Buku Puisi Terbaik Pilihan Panitia pada perhelatan Hari Puisi Indonesia 2016 di Taman Ismail Marzuki. Puisinya, Negeri Sempurna menjadi Puisi Terbaik pilihan Tim Kurator Tifa Nusantara 3 tahun 2016 di Marabahan, Kalimantasn Selatan. Pada tahun 2016, Leak menerjemahkan dan menerbitkan antologi puisi Sundel Bolong dalam Senthong bersama Rini Tri Puspohardini di bawah Penerbit Forum Sastra Surakarta dan Wathathitha (Penerbit Azza Grafika Yogyakarta, 2016). Empat naskah lakonnya diterjemahkan oleh Rini Tri Puspohardini serta terbit dengan judul Geng Toilet (Penerbit Forum Sastra Surakarta, 2012). Bukunya yang lain, Kepemimpinan Akar Rumput diterbitkan oleh Yogja Bangkit Publisher tahun 2015, dan Anai-anai Digelap Badai; ODHA Terpencil Melawan Stigma (cetakan pertama) diterbitkan oleh Rumah Matahari Kudus bersama Yayasan Sheep Indonesia Yogjakarta tahun 2015. Karya Sosiawan Leak adalah Antologi puisi adalah : Umpatan, bersama KRT Sujonopuro (Yayasan Satya Mitra Solo, 1995) Cermin, bersama Gojek JS dan KRT Sujonopuro (Yayasan Satya Mitra Solo, 1996), Dunia Bogambola, bersama Thomas Budi Santosa (Indonesiatera Yogyakarta, 2007), Matajaman, bersama Budhi Setyawan dan Jumari HS (Duniatera Magelang, 2011), Kidung dari Bandungan, bersama Rini Tri Purspohardini (Almatera Yogyakarta, 2011)

Candra Malik

Candra Malik (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 25 Maret 1978; umur 41 tahun) adalah pengasuh Pondok Pesantren Asy-Syahadah di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Namanya juga dikenal sebagai tokoh sufi, sastrawan, wartawan, penyanyi lagu reliji, pemeran film, penulis sejumlah kolom di berbagai media massa, dan pencipta lagu reliji yang kemudian disebut sebagai kidung sufi. Sejumlah karya sastra Candra Malik pernah dipublikasikan di berbagai media massa antara lain Kompas, Majalah Sastra Horison, Koran Tempo Minggu, Suara Merdeka, Suara Karya, dan Majalah Femina. Lagunya, Syahadat Cinta menjadi original sound track (OST) Cinta Tapi Beda, film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo (2013). Sejak 2015, Candra Malik menjabat sebagai Wakil Ketua Pengurus Pusat Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (PP Lesbumi) PBNU untuk periode 2015-2020.
Sejak usia muda, Candra Malik sudah mengakrabi dunia spiritual utamanya ritual-ritual tasawuf. Dia belajar agama dari Abdullah Ali. Ia juga mengaji kepada Habib Ja'far bin Badar bin Thalib bin Umar bin Ja'far, guru dari kakeknya, di Surakarta, Jawa Tengah. Pada 1993, Candra lebih mendalami lagi ilmu tasawuf dengan belajar kepada Kiai Muhammad Muna'am Jember, Jawa Timur. Sambil bekerja sebagai wartawan di surat kabar Jawa Pos pada akhir 1999 di Yogyakarta, Candra menimba kearifan sufisme dengan belajar kepada Syekh Ahmad Sirullah Zainuddin, wakil talqin dari Tarekat Qadiriyyah Naqsabandiyah, sebelum akhirnya pada 2001 belajar langsung kepada mursyid tarekat tersebut, yaitu K.H. Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin, pengasuh Pondok Pesantren Suryalaya, di Jawa Barat.
Sejak berhenti dari Jawa Pos dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Liputan Indo Pos, Jawa Pos di Jakarta, Candra Malik bekerja sebagai kontributor di sejumlah media cetak antara lain, Tabloid Nyata, Majalah ART Indonesia, Majalah Travel Lounge, The Jakarta Globe, dan mengasuh sebuah kolom tentang sufisme di Solo Pos, sebuah koran lokal di Jawa Tengah, bertajuk Matahati, di rubric Khazanah. Sembari terus menulis, Candra malik juga mengasuh Pondok Pesantren Asy-Syahadah, di Desa Segoro Gunung, di lereng Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Kedekatannya dengan kalangan agamawan-budayawan memudahkan langkah Candra untuk melibatkan Wakil Rais Syuriah PBNU K.H. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) dan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam produksi album religi. Cak Nun menulis khusus sajak Mukaddimah Cinta untuk album Candra ini dan membacakannya dalam track pembuka, sedangkan Gus Mus membacakan sajak Pesona dalam track penutup. Dalam album ini, Candra juga memasukkan rekaman vokal K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam lagu Syahadat Cinta.
Dukungan lain datang dari Bondan Winarno, wartawan senior kini berkiprah dalam dunia kuliner. Berkat Bondan, Candra menembus sejumlah nama besar dalam belantika musikIndonesia, di antaranya, violist Idris Sardi dan composer Addie MS. Dalam album ini, Idris Sardi mengaransemen dan bermain biola dalam orkestrasi lagu Kidung Sufi, bersama Gus Mus. Addie mengaransemen lagu Shiratal Mustaqim dan memimpin Twilite Orchestra memainkan lagu tersebut, didukung oleh Tohpati. Nama-nama besar lainnya adalah Dewa Budjana yang mengaransemen dan bermain gitar dalam lagu Jiwa yang Tenang, Trie Utami ikut bernyanyi dalam dua lagu, Fatwa Rindu dan Fana Selamanya. Sedangkan Sujiwo Tejo berkolaborasi dengan rapper Marzuki Mohamad Kill The DJ (Jogjakarta Hip Hop Foundation) dan penyanyi reggae Heru
Karya antara lain : Shaggydog dalam lagu Samudera Debu.
Makrifat Cinta (Noura Books, Mizan, (2013)), Menyambut Kematian (Noura Books, Mizan, (2013)), Antologi FatwaRindu Cinta 1001 Rindu (Muara, Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), Komik Gus Sufi (Muara, Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), Ikhlaskanlah Allah (Muara, Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), Kolom Tetap (Koran Solopos dan Majalah Onlie MALE), Makrifat Cinta, Menyambut Kematian, Antologi FatwaRindu Cinta 1001 Rindu, Ikhlaskanlah Allah


Andrie Syahnila Putra Siregar

Andrie Syahnila Putra Siregar .lahir di Binjai , Sumatera Utara pada 4 Januari 1971 dan meninggal di Bekasi 31 Oktober 2016.Ia anak kedua dari enam bersaudara .Nama populer nya Ane Matahari dikenal sebagai seniman , tokoh musikalisasi puisi,guru,pembina anak jalanan aktivis sosial dan pendiri Sastra Kalimalang Bekasi . Bersama Sanggar Matahari ,ia giat mempopulerkan musikalisasi ke seantero negeri . julukan lain adalah sastrawan bergitar. (Zaeni Boli)





Rabu, 09 Januari 2019

Selamat Jalan Kupu-kupu Arwinto Syamsunu Aji

Selamat jalan Arwinto Syamsunu Aji , seorang sahabat lumbung puisi yang aktif berkarya. Berikut puisinya dalam Lumbung Puisi sastrawan Indonesia jilid IV Margasatwa yang ditulis 2015
289.Arwinto Syamsunu AjiePintu Kupu-kupuAku tak sedang mencintai hujandan seluruh kata-kata yang basahdan memalamLorong tak sedang mencintai bulanKabut dan endapan debu-debu jalantak sedang mencintai lampu dankepura-puraanTubuhku kelaras daun pisang---belum sepenuhnya lepas dari pelepahdan ikatan-ikatan. “Bungkuslahdingin dan inginmu denganyang kumiliki dan kutawarkanBahkan seandainya api kau nyalakancuma membuatku riang terbakarSebab aku lebih tak mencintai lapardan kemiskinan2015,
selengkapnya di

https://docplayer.info/71424500-Lumbung-puisi-jilid-iv.html

Arwinto Syamsunu Ajie,lahir di Kebumen, 3 Maret. Ia tergabung di DSJ (Dapur Sastra Jakarta). Menulis di beberapa antologi bersama Lumbung Puisi. Puisi-puisinya dipublikasikan di media massa dan antologi bersama. Buku puisi tunggalnya yang telah terbit berjudul Langit Bersorban Awan (Teras Budaya, 2015).

Jumat, 21 April 2017

Habis Gelap Terbitlah Terang





Habis Gelap Terbitlah Terang adalah buku kumpulan surat yang ditulis oleh Kartini. Kumpulan surat tersebut dibukukan oleh J.H. Abendanon dengan judul Door Duisternis Tot Licht . Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini. Kartini mendapatkan inspirasi dari kalimat Kitab Sucinya 'mina dulumati ila nuur'.[rujukan?]
Pada 1922, oleh Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka. Armijn Pane, salah seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru, tercatat sebagai salah seorang penerjemah surat-surat Kartini ke dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Ia pun juga disebut-sebut sebagai Empat Saudara.

Pada 1938, buku Habis Gelap Terbitlah Terang diterbitkan kembali dalam format yang berbeda dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht. Buku terjemahan Armijn Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Armijn Pane menyajikan surat-surat Kartini dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia membagi kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Pembagian tersebut ia lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan atau perubahan sikap dan pemikiran Kartini selama berkorespondensi. Pada buku versi baru tersebut, Armijn Pane juga menciutkan jumlah surat Kartini. Hanya terdapat 87 surat Kartini dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang". Penyebab tidak dimuatnya keseluruhan surat yang ada dalam buku acuan Door Duisternis Tot Licht, adalah terdapat kemiripan pada beberapa surat. Alasan lain adalah untuk menjaga jalan cerita agar menjadi seperti roman. Menurut Armijn Pane, surat-surat Kartini dapat dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini pula yang menjadi salah satu penjelasan mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke dalam lima bab pembahasan.

Jumat, 17 Januari 2014

Mengenal Budhi Setyawan, Tokoh Penyair Bekasi






Budhi Setyawan, lahir 9 Agustus 1969 di sebuah kota kecil Purworejo Jawa Tengah. Bapaknya bernama Soeprayitno (alm), seorang pegawai negeri guru/kepala sekolah SD, sedangkan ibunya Suyatmi seorang ibu rumah tangga. Ia adalah anak kedua dari tujuh bersaudara. Banyak orang mengatakan Purworejo sebagai sebuah kota pensiunan, karena kotanya sepi. Saat maghrib tiba, kebanyakan toko-toko sudah pada tutup. Kota Purworejo merupakan kota yang tenang, menawarkan kenyamanan untuk bersantai dan istirahat.
Pendidikannya adalah di SDN Mudalrejo 1, SMPN Bener (SLTPN 19 Purworejo), SMAN 1 Purworejo, FNE/D3 Ekonomi UGM dan S1 Ext.FE Jurusan Akuntansi Universitas Gadjahmada serta S2 MM Universitas Krisnadwipayana Jakarta.
Sejak kecil menyukai musik dan sastra. Ketika kuliah di Yogyakarta, ia merasa seperti lahir kedua kali di sana, memberikan ’kebebasan’ leluasa dalam aktivitas. Di Yogya ia berkelana ke tempat-tempat yang menawarkan suasana alam dan menawarkan kekaguman, seperti: Parangtritis, Imogiri, sawah-sawah di Bantul, Candi Sambisari, dll; bahkan juga mengamen dengan gitar akustik dari rumah ke rumah. Dalam suasana kagum, kosong, sepi, ia terdorong untuk menuliskan dari apa saja gambaran atau kata-kata yang terlintas di pikirannya saat itu. Dalam kondisi ekonomi seadanya, ternyata malah mendorongnya menjadi kreatif. Ia memberi istilah tersebut dengan “menahan nafas”.
Mengenai musik, ia menyukai musik terutama rock dan jazz. Koleksi kaset musik yang kebanyakan merupakan kaset lama (lawas) lebih dari 500 jumlahnya adalah hasil berburunya ke beberapa tempat atau lapak penjualan kaset bekas di Jakarta (Pasar Mester Jatinegara, Pasar Taman Puring, Jalan Surabaya, dan beberapa toko kaset kecil di Jalan Sabang, Bintaro, dll), Surabaya (sebelah gedung WTC dan Tunjungan Plaza), Bandung (Jalan Cihapit), Yogyakarta (Pasar Beringharjo), Semarang (Pasar Johar), Balikpapan, Palembang, Kudus, Malang, Magelang, dll. Dalam  perjalanan bermusik, ia pernah membuat sebuah grup band dan menjadi drummernya, yaitu sebuah band ketika bertugas di Balikpapan, Kalimantan Timur pada tahun 2004 – 2005 yang ia beri nama Douane Band. Sempat mengikuti beberapa festival dan parade band di wilayah lokal Balikpapan. Belum sempat membuat demo album, dan vakum karena para personil dimutasi/pindahtugaskan ke daerah lain.
Sekarang ia masih bekerja sebagai pegawai negeri di Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan di Jakarta, tergabung dalam Paguyuban Sastra Rabu Malam (Pasar Malam) dengan kegiatan Sastra Reboan di Bulungan, Jakarta Selatan, dan sebagai Ketua Forum Sastra Bekasi (FSB). FSB menerbitkan media seni sastra dan kebudayaan bernama Buletin JEJAK. Saat ini ia tinggal di Bekasi, Jawa Barat.
Beberapa tulisannya pernah dimuat media, antara lain di: Bali Post, Lampung Post, Indopos, Suara Merdeka, Republika, Jurnal Nasional, Lampung Post, Sinar Harapan, Seputar Indonesia (Koran SINDO), Waspada, Tribun Kaltim, Minggu Pagi, Mimbar Umum, Radar Bandung, Radar Banjarmasin, Radar Bekasi, Radar Tasikmalaya, Padang Ekspres, Haluan, Jambi Independent, Jurnal Bogor, Suara Karya, Jurnal Medan, Sumut Pos, Analisa, Koran Kampung, Media Kalimantan, Mata Banua, Media Patriot, Majalah Horison, GONG, STORY, KORT,  Ekspresi, Jurnal The Sandour, Buletin Jejak, Littera, Replika, Cangkir, Hysteria, Rumah Diksi, Jurnal Sastra Boemi Poetra, Jurnal Sarbi, Jurnal Puisi Amper, Jurnal Santarang, sastradigital.com, kompas.com, poetikaonline.com, horisononline.com, rumahdunia.com, penulismuda.com, perempuan.com, kabarbekasi.com, dll.
Puisi dalam bahasa jawa (geguritan) dimuat di majalah Damarjati, Panjebar Semangat,  Jayabaya.
Beberapa puisi termaktub dalam antologi bersama: Kemayaan dan Kenyataan (Fordisastra, 2007), Pedas Lada Pasir Kuarsa (TSI II Pangkalpinang, 2009), Inilah Saatnya: Purna Tugas Eko Budihardjo (Semarang, 2009), Kakilangit Kesumba (Purworejo, 2009), Antologi Penyair Nusantara: Musibah Gempa Padang (Kuala Lumpur, 2009), Antologi Puisi G30S: 30 September 2009 Gempa Padang (Jakarta, 2010), Resonansi (Purworejo, 2010), Mengalir di Oase (Tangerang Selatan, 2010), Pukau Kampung Semaka (2010), Berjalan ke Utara: Mengenang Moh. Wan Anwar (Bandung, 2010), Beranda Senja: Setengah Abad Dimas Arika Miharja (Jambi, 2010), Antologi Kemala Meditasi Dampak 70 (Kuala Lumpur, 2010), Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010 (Mojokerto, 2010), Munajat Sesayat Doa (FLP Riau, 2011), Give Spirit for Indonesia: Dalam Estuari Sastra (Tetes Demi Tetes Tinta untuk Indonesia) (2011), Kado Untuk Indonesia (2011), Antologi Puisi Penyair Indonesia 1: Angkatan Kosongkosong (2011), Negeri Cincin Api (2011), Akulah Musi (PPN V, 2011), Jejak #3 Sabtu Sastra (2011), Sekumpulan Sajak Matajaman (bersama Jumari Hs dan Sosiawan Leak, 2011), Antologi Puisi dan Cerpen Ibukota Keberaksaraan (Jilfest 2011), Beternak Penyair (2011), Karena Ia Tak Lahir Dari Batu (2011), Rumah Puisi Jilid 1 (2012), Antologi Puisi Sosial Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia (2012), Narasi Tembuni (2012), Sinar Shiddiq (2012), Kursi Tanpa Takhta (2012), Ayat-Ayat Ramadhan (2012), Meretas Karya Anak Bangsa (2012), Diversity – Antologi Puisi Dua Bahasa (2012), Antologi Puisi dan Prosa Liris Negeri Sembilan Matahari (2012), Antologi Puisi Satu Kata Istimewa (2012), Dari Sragen Memandang Indonesia (2012), Sauk Seloko (PPN VI Jambi, 2012), Indonesia dalam Titik 13 (2013), Sendaren Bagelen (2013), Puisi Menolak Korupsi (2013), Puisi Menolak Korupsi jilid 2a (2013), Puisi buat Gus Dur: Dari Dam Sengon ke Jembatan Panengel (2013), Antologi Apresiasi Sastra Indonesia Modern (penyusun: Korrie Layun Rampan, Penerbit NARASI, Yogyakarta, 2013), Tifa Nusantara (2013), Kepada Bekasi (2013). Salah satu puisinya masuk dalam 10 besar Lomba Cipta Puisi Nasional ‘Batu Bedil Award’ – Festival Teluk Semaka tahun 2010 yang diadakan oleh Pemerintah Kabupaten Tanggamus, Prov. Lampung. Kemudian meraih Juara Harapan 1 dalam Lomba Puisi yang diadakan Komunitas Rumah Sungai di Lombok, Nusa Tenggara Barat tahun 2012, meraih Juara 1 Lomba Menulis Puisi Kreasi Akbar FLP Bandung tahun 2012, dan meraih Juara 1 dalam lomba penulisan puisi Dewan Kesenian Balikpapan tahun 2013. Buku antologi puisi tunggal: Kepak Sayap Jiwa (2006), Penyadaran (2006), Sukma Silam (2007).
Beberapa kali diundang ke acara Temu Sastrawan Indonesia, Pertemuan Penyair Nusantara, Temu Karya Sastrawan Nusantara, dan lain-lain.
Jika ingin berkomunikasi silakan ke email: budhisetya69@yahoo.com, atau jejaring Facebook: Budhi Setyawan Penyair Purworejo. Jika sedang senggang, silakan menelusuri blog ini: www.budhisetyawan.wordpress.com.



Rabu, 09 Oktober 2013

Odi Shalahuddin

DSCN5657
Odi Shalahuddin lahir di Jakarta pada tanggal 23 September 1969. Ia anak pertama dari enam bersaudara. Pernah kuliah di Fakultas Sastra UGM, namun tidak selesai.Menikah dengan Sri Sulandari dan dikaruniai dua anak yaitu: Annisa Shavira Agusti Mardhika dan Tegar Bara Merdeka Machdami.
Senang menulis sejak SD, berupa puisi, cerita pendek, cerita bersambung, naskah drama dan peliputan. Hobi menulisnya dapat tersalurkan saat pada masa SMP dan SMA (1985-1989) bertanggung-jawab mengelola buletin “ASPIRE” (Aspirasi Remaja) yang diterbitkan oleh Yayasan Pengembangan Budaya (YPB) yang tersebar di berbagai kelompok teater desa di wilayah DIY dan Jateng. Ia menjadi anggota redaksi pada buletin “PETANI” yang juga diterbitkan oleh YPB. Pernah terlibat dan bertanggung jawab dalam divisi penerbitan Forum LSM DIY.  
Pada periode 1993-1995 sangat aktif menulis cerpen. Seratus lebih cerpen yang sudah dibuatnya, sayang sebagian besar dokumentasi telah hilang. Sebagian cerpennya pernah dimuat di berbagai media lokal dan nasional, seperti:Minggu Pagi, Bali Post, Mutiara, Suara Pembaruan, Jayakarta, Swadeshi, Simphoni, Pelita, Suara karya, Media Indonesia. Cerpen-cerpennya juga masuk dan terhimpun dalam buku kumpulan cerpen yang diterbitkan oleh Forum Pecinta Sastra Bulak Sumur: Maling (1994), Nyidam (1995), dan Tiada Pilihan Lain (2001). Kumpulan cerpen tunggalnya terhimpun dalam buku “Cinta di Halte” (2006) yang diterbitkan oleh Magma.
Tiga tahun terakhir aktif menulis di Kompasiana dan berbagai media online lainnya. Saat ini masih belum tergerak untuk mengirimkan karya-karyanya ke media cetak.
Kegiatan sehari-hari, ia aktif dalam Organisasi Non Pemerintah yang telah digeluti sejak tahun 1984. Pada saat ini bekerja untuk isu hak-hak anak, dan kerap menjadi narasumber, fasilitator ataupun konsultan dari berbagai organisasi. Sejak tahun 1994 ia aktif di Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN). Sebelumnya, pernah aktif di Yayasan Pengembangan Budaya (1984-1992), Lembaga Studi dan Tata Mandiri – LESTARI (1990 – 1994), anggota Dewan Pengurus Forum LSM DIY periode 1998 – 2000, Anggota Dewan Pengurus Sekretariat Bersama Perempuan Yogyakarta – SBPY -, Salah seorang pendiri dan Anggota Dewan Pengurus Yayasan Setara Semarang.