Sajian nasional informasi ilmu pengetahuan dan teknologi ,informasi umum, informasi pendidikan dan budaya.
Laman
- REDAKSI
- Berita Hari Ini
- Daftar Propinsi di Indonesia
- Daftar Negara-negara di Dunia
- Sastrawan Indonesia
- Daftar Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia
- Kumpulan Syair Lagu Keroncong
- Perguruan Tinggi Islam Negeri di Indonesia
- Perguruan Tinggi Kedinasan di bawah Kementerian
- Daftar Penerima Nobel
- Daftar Gunung di Indonsia
- Daftar Juara All England
- Daftar Juara Thomas Cup
- Daftar Presiden Amerika Serikat
- Daftar Lagu Nasional
- Daftar Sastrawan
- Penyair Tadarus Puisi
Tampilkan postingan dengan label lumbung puisi IV. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label lumbung puisi IV. Tampilkan semua postingan
Senin, 03 Oktober 2016
Minggu, 04 September 2016
Puisi karya Abu Ma'mur MF dab Agustav Triono di Lumbung Puisi Jilid IV
Abu Ma’mur MF
Selepas Samadhi
jangankan mendekat apalagi mengelusmu
sedang menatapmu saja mereka jejap
ada sejuta runcing bisa pada tiap lembar bulu
di sekujur tubuhmu
sehelai saja mengena kulit manusia
adalah pertanda kelenjar petaka yang nyeri
:entah suatu kutukan atau justru kesaktian
tapi apalah arti kesaktian jika menghadirkan kesakitan
bagi liyan dan pada akhirnya merupa bencana?
perlahan kau mulai menapak jalan kesunyian
dengan selaksa bulumu kaurajut ruang kontemplasi
menekuri hari-hari, menafsirkan kasunyatan, memasuki
jagat suwung
anasir cahaya spiritual menyelusup dalam dirimu
menerobos kegelapan, menghangsukan kealpaan
segala ego dan kerakusan menyublim ke lelangit
kesadaran
usai dua purnama kau bermetamorfosa
ada gurat lukisan pencerahan di sepasang sayapmu
kelepak tarianmu tampak kirana di antara rerimbun
bunga-bunga
kau mengecup dan mencerup saripati cinta pada nektar mawar
manusia-manusia terpana menatap pesonamu,
“aku ingin jadi
kupu-kupu. aku ingin jadi
kupu-kupu”
Loteng Literasi, 2016
Abu Ma’mur MF
Fragmen
Enigmatis
Berkalikali seorang bocah berhati puisi ditikam sebilah
pertanyaan, “Apakah ayahku kini menjadi seorang penyihir?“
Semenjak ayahnya bekerja di gedung tua, gelap, dan banyak
sawang, sang ayah kerap manglirupa: anggora, tupai, keledai.
Kadang pula merupa celeng, curut, kera, harimau, serigala.
Betapa rakus ia memangsa apa saja.
Apa saja!
batu bata kayu semen aspal besi bangkai bahkan manusia
Tak kuasa bocah berhati puisi itu terus berlama-lama menahan
luka-luka yang mengental di dadanya, juga bau anyir di
rumahnya
Ada kobar denyar rasa sakit dalam bilik hatinya dalam ruang
pikirannya dalam ceruk
jiwanya
Bocah berhati puisi minggat, berhari-hari ia berlari. Sampai
suatu hari
ia tiba di kolong jembatan
Sebuah kota
tempat para jelata mengutuk nasib
Seekor serigala tengah mencabik sekujur tubuh
perempuan kumal
Si bocah nyaris pingsan saat serigala menoleh
ke arahnya lalu
mengonggong pelan, “Anakku!”
Ketanggungan-Brebes,
2015
Agustav Triono
Kambing
Hitam
Kambing hitam berkandang anyaman bambu bukan gedung mewah
apalagi istana
Kambing hitam tiap pagi
diajak tuannya ke padang rumput bermain riang gembira
Kambing hitam merawat cempe hitam anaknya dengan welas asih
tak berharap balas budi
Kambing hitam disenja hampir hitam digiring sang tuan ke
kandang sunyi
Kambing hitam dibisiki tuan tentang namanya yang disebut
manusiamanusia di berita televisi
Kambing hitam yang sebenar kambing itu dicomot namanya tak
permisi oleh manusiamanusia bingung kata nirjiwa
Kambing hitam mengembik tetap suka dikandang meski sedikit
rumput hijau
Kambing hitam kembali mendengar namanya disebut berulang oleh
tetangga kandang berbulu abuabu
Kambing hitam melongok ke tetangga yang kini juga acuh tak
mau berbagi rumput hijau
Kambing hitam geram, dari dalam rumah tuan televisi
bernyanyi menyebut nama diri
Kambing hitam merusak pintu kandang masuk ke rumah menanduk
televisi yang bernyanyi haha hihi
Kambing hitam menyepak kursi empuk tuan, sang tuan tertawa
bahagia kambingnya sehat kuat bugar bisa dijual mahal
Kambing hitam mengutuk manusiamanusia di berita televisi itu
lalu memanggilnya sebagai manusia
manusia bribil tai !
2016
Agustav Triono
Ikan Kelana
Aku ikan kelana lahir dari rahim mata air
Asal lereng gunung penuh rimbun firman-Mu
Berenang menelisik setiap alur sungai kehidupan
Mencium bau pesawahan, ladang-ladang, dan kebun kebun tua
Yang menguarkan aroma dambaku
Berloncatan coba hindari batubatu kali kesumat
Yang halangi tujuku
Dengan insang iman aku nafasi arus air kautsar
Kadang berhenti lalu mengalir lagi
Aku ikan kelana terus berenang
Kini siripku terasa berat
Sampah kota selimuti sisikku
Lempung dosa bertahap mengental
(jangan aduk tanah
lempung agar bening airku)
Sungai belukar misteri dan aku adalah sang pencari
Pengelanaanku sampai di muara segala harap
Tatap nanarku memandang luas ke pantai
Ekorku mengibat cepat nuju laut asaku
(namun kadang karang
menghalang)
Kau laut aku ikan kelana
Biarkan aku mencebur pada samuderaMu
2005
Puisi Karya Amrin Moha , Anggoro Suprapto , Anjrah Lelono Broto di Lumbung Puisi Jilid IV
Amrin Moha
Menanyakan
Hari Libur
Setiap bangun tidur. Setiap menuju perjalanan pulang. Aku
tak hentinya-hentinya mentap wajah buram dari deretan wajah kota. Bunga-bunga
layu dipinggiran jendela. Siulan tetangga yang burungnya meninggal. Haus
dibiarkan mematung sendiri. Menunggu kerelaan hujan yang tak kunjung mengguyur
majikan.
Setiap mentap jam didinding rumah. Penglihatan dan perasaan
ku seperti dirayapi usia. Tanpa suara burung dan bunga-bunga. Bukan
wangi-wangian para pengguna jalan. Justru olokkan anjing penjaga kantoran di
pinggir kota.
Aku rindu tidur lebih lama dari kelelawar. Saat orang-orang
kota pergi dengan kepala lama mereka. Aku menunggu dengan curhatan dibalik
puggung yang jadi tempat semut-semut berdiskusi dengan kutu. Busuk dan penuh
nama-nama yang dirahasiakan.
Andai saja, kau memiliki sikap yang lebih lembut dari bulu
anak ayam, kau tak akan melewati jembatan sebagai batas penghubung. Karena
setiap kali aku melihat wajah kota yang mengerikan itu. Penuh dengan tanda
tanya. Keinganan dan kebebasan yang diharapkan, sebagai simbol ketidak warasan.
Cirebon, 03 Agustus 2016
Amrin Moha
Kodok Mati
di Ladang Sendiri
Aku tidak terbiasa menulis sajak binatang yang menumpang
hidup dibalik jasnya. Yang mejanya dipenuhi makanan dari hajatan warga. Yang
minumanya bekas dari keringat ketiak pekerja lahan negara.
Di manapun, binatang yang mengangkang dibalik lahan negara,
tidak hanya tikus dan kucing. Kodokpun hidup di dalamnya. Bahkan kodok bisa
lebih cerdik dalam hal kabur dari kejaran pemangsanya. Lebih licin dari belut
sawah yang dikejar orang-orangan sawah.
Kodok yang suka dikejar itu, sekarang sudah mulai menua
dimakan usia. Sudah kelebihan makanan dari daratan dan lahan tempat
mengumpatnya dibalik bilik perairan pesawahan.
Bahkan jaman sekarang kodok lebih sering ngoceh saat malam.
Saat semua orang-orang sibuk manafkahi isterinya. Tidak banyak yang tahu apa
kalimatnya. Yang jelas, kodok mulai gerah dengan lahan yang mulai menyempit.
Kanan kiri dinding dendam. Dihimpit.
Kodok mulai ngoceh lagi. Sukar bernafas, katanya. Masih
sadar. Kodok sudah mulai berwasiat. Sembunyi dibalik pemakaman yang digali
sendiri. Kodok mati kekenyangan di ladang sendiri. Busuk dan dibiarkan
mendengar namanya disebut-sebut.
Cirebon, 04 Agustus 2016
Anggoro Suprapto
Kawanan
Burung di Atas Kabel
Hari baru berangkat pagi, ketika
Sekawanan burung bertengger
Di atas kabel listrik, berjajar
Memanjang seperti pasukan
Kota masih sunyi, udara tak berbunyi
Lengang menyibak kenangan
Tak ada detak nadi, waktu pun mati
Oi, geliat metropolitan sepi sekali
Bagai kawasan tak berpenghuni
Cakrawala masih sendiri
Ritual pagi kawanan burung dimulai
Di atas kabel bertengger memanjang
Saling berdesakan hangatkan badan
Meminum embun yang menetes diam
Seekor anak burung muda bertanya pada mama di sebelahnya.
"Mama, kenapa kita bertengger di kabel listrik berbahaya? Kenapa tidak
bertengger di rimbunnya pepohonan mangga?" Semua burung yang mendengar
menghela nafas dalam. Alam berkelap-kelip kelam. Semua menunggu jawaban. Mama
burung belum menjawab hanya memejam. Angin pagi mulai bertiup sejuk. Mengusap
bulu-bulu burung yang merunduk.
Matahari pun mulai bersinar. Mengirimkan kehangatan alam
yang berpendar. Saat itulah, Ketua kawanan burung menegakkan dada mengangkat
kepala. "Wahai saudara-saudara burung semuanya saja," katanya. Mereka
terdiam. Anak burung juga diam. Semua seksama mendengarkan. Ingin dengan jelas
mendapatkan wejangan. Sadar, sekarang dalam pusaran alam kasunyatan.
"Sebentar lagi siang, kita semua akan terbang ke jauh ke selatan. Mencari
kota baru yang ramah lingkungan," kata Ketua pelan.
Maka berkisahlah Ketua Burung
Suaranya Parau mendengung
"Ketahuilah hai bangsa burung," tuturnya
Kota-kota besar sekarang pada mati
Tak ada tempat berpijak lagi
Pohon-pohon hijau digantikan
Jutaan kabel-kabel bertebaran
Hutan kota disulap jadi hutan beton
Menjulang tinggi tak ada tawon
Kita tak bisa minum air sungai
Penuh limbah pabrik, sampah, dan
Plastik yang tak bisa diurai
Kita tak bisa mematuk cacing tanah
Plesteran keras melapisi lemah
Udara menyesakkan nafas
Cerobong pabrik dan jutaan kenalpot
Dari kendaraan terus mengepot
Tak ada yang bisa diharapkan
Dari kota yang mati hati nurani
Kata Ketua mengakhiri
Ketika hari makin siang, kawanan burung berarak terbang, ke
selatan. Mungkin perjalanan panjang nan jauh. Jauh sekali. Mencari kota impian,
bukan kota mati. Kota yang penuh pepohonan, dekat sawah dan hutan. Kota ramah
lingkungan.
Semarang, 16 Agustus
2016.
Anjrah Lelono Broto
Harimau
yang Hilang Pandang Nyalang, Aum
telah
hilang pandang nyalang itu. tak tahu
hilang di
mana? dihilangkan siapa? lalu,
apa kita
harus menangis menderu dalam debar deburan debu?
empu
pandang nyalang itu pun juga kehilangan aum. tak tahu
hilang di
mana? dihilangkan siapa? lalu,
apa kita
harus menangis menderu dalam debar deburan debu?
jeruji-jeruji
bisu itu yang tahu, hilang di mana, dihilangkan siapa
pandang
nyalang dan aum itu. sayang, meski mereka
bukan batu
namun mereka musykil mengeja aksara
tentang
nestapa kepergian pandang nyalang dan aum yang di rimba
begitu
perkasa. tak pernah ada yang menangis, tak pernah ada yang
membincang,
hingga ajal datang pada empu pandang nyalang
dan aum
itu karena kelaparan.
Yang
bersinggasana di perutnya, bukan daging segar
kaya
vitamin dan kaya mineral mineral,
justru
daun-daun, kulit kacang, dan sampah bungkus nasi,
tersisa di
perut yang kini membangkai
terlalu
banyak kehilangan pada harimau itu, ahai
di kebun
binatang
Mojokerto, 2016
Anjrah Lelono Broto:
Tikus-Tikus
Candi Tikus
--- sebuah sajak pamflet
andaikata
tiba-tiba terlukis wajah tikus di cermin kamarmu,
apakah kau
malu? apakah kau malu? apakah kau malu?
andaikata
tiba-tiba ternyata
tikus
adalah moyang dalam silsilah keluargamu,
apakah kau
mampu jujur mengaku? kau? kau?
jikalau
lalu bertahtalah seorang guru di dalam kelas,
yang
bagimu menjewer telinga anakmu tanpa belas,
apakah kau
juga melapor ke kantor polisi lekas-lekas?
sementara,
wajah di profil sosmed anakmu, bapak-ibu,
adalah
wajah seekor tikus.
tanpa
kutanya pada rumput yang bergoyang
tentu
kalian bantah dengan suara gundah
kalau
tikuslah dirimu, tikuslah leluhurmu, tikuslah anak-cucumu
karena
kita, manusia-manusia di dunia
hanyalah
pemuja kautaman
namun
bukan pelakon-pelakonnya di panggung kehidupan
kita
pandai menuturkan tapi jauh api dari panggang
k’tika
jejak kita buat di jejalanan kehidupan
tapi kamu
bukan aku
kamu,
kamu, kamu, kamu, kamu, kalian bukanlah aku
karena aku
menancapkan pisau di dada kemunafikan
dengan
jantan membuat proklamasi pengakuan
bahwa aku
adalah binatang berotak-berpikiran
aku adalah
tikus yang mengerat habis kambium-kambium bumi
aku adalah
tikus yang menyetubuhi undang-undang demi kursi
aku adalah
tikus yang mengangkat agama semata panji-panji
mengapa
aku begini
Langganan:
Postingan (Atom)