Berikut kita ulas kembali puisi-puisi internasional , kali ini kita simak puisi dari :
Wahyu Toveng
BERJARAK SEKIAN PARAGRAF
Lelahnya perjalanan ini. Berdebu dan penuh karat. Harapan tertinggal entah di kilometer keberapa.
Terkelupas paksa dari kulit ari.
Menjadi Bangkai sebelum sempurna kata merdeka.
Aku tak lagi mampu memekik, malah lumpuh tercekik. Mereka pun begitu.
Keringat di tubuh malah memadamkan sumbu.
Tak ada lagi ledakan.
Sejarah hanya berjarak sekian paragraf.
Namun tangan dan kakinya sudah berganti saham kepemilikan.
Wajahnya lunglai dihitamkan waktu.
Wajah Ibu bapaknya tersaput duka untuk mensiluetkan kota baru.
Kota yang kokoh menanamkan kata kehilangan di jalan beraspal.
Kata-kata itu menutupi gembur tanah yang dulu sekali memberi kehidupan untuk anak-anak kita.
Entah kemana pula mereka kini.
Lalu punggungmu melipat bayangan.
Jalan setapak menuju hutan telah menghilang.
Napas kian sesak sebagai mesin pabrik atau angka-angka di mesin ATM.
Waktu semakin raksasa untuk menjajah jiwa.
Perjalanan ini penuh pecahan kaca yang menghujam kata merdeka.
Entah slogan-slogan itu.
Entah pula tema-tema perayaan itu.
Gang Mawar 01 Agustus 2019
Wahyu Toveng penyair Jakarta yang namanya kian menanjak ini tak diragukan lagi dalam olah puisi. Dalam puisi Internasional ini ia berbicara dalam BERJARAK SEKIAN PARAGRAF sebuah puisi yang padat pesan tentang perjalanan merdeka.
Sebagaimana puisi telah terbiasa memberi kriti, Namun Wahyu Toveng menyembunyikan kritik itu dengan apiknya. Seakan sebuah catatan sejarah Tanah Air dalam puisi menurut hematnya sebagai penyair.
Bermula ia bicara tentang perjalanan negeri ini yang diibaratkan dengan sebuah perjalanan. Tentunya perjalanan ituntidaklah sempurna. Baik 'penumpangnya, kendaraannya maupun sarana jalannya. Ia mencatat penuh dalam rangkuman bait yang bernas:
//Lelahnya perjalanan ini. Berdebu dan penuh karat. Harapan tertinggal entah di kilometer keberapa.
Terkelupas paksa dari kulit ari.
Menjadi Bangkai sebelum sempurna kata merdeka.
Aku tak lagi mampu memekik, malah lumpuh tercekik./..//...// sebuah penggalan dengan diksi yang apik.
Sajiannya runtut dalam setiap baitnya hingga tampak pesan hingga ia menekan pada bait terakhirnya. Sebuah puisi9 yang kaya dan patut diacungi jempol . (Rg Bagus Warsono, kurator sastra di Himpunan Masyarakat Gemar membaca)
Wahyu Toveng
BERJARAK SEKIAN PARAGRAF
Lelahnya perjalanan ini. Berdebu dan penuh karat. Harapan tertinggal entah di kilometer keberapa.
Terkelupas paksa dari kulit ari.
Menjadi Bangkai sebelum sempurna kata merdeka.
Aku tak lagi mampu memekik, malah lumpuh tercekik. Mereka pun begitu.
Keringat di tubuh malah memadamkan sumbu.
Tak ada lagi ledakan.
Sejarah hanya berjarak sekian paragraf.
Namun tangan dan kakinya sudah berganti saham kepemilikan.
Wajahnya lunglai dihitamkan waktu.
Wajah Ibu bapaknya tersaput duka untuk mensiluetkan kota baru.
Kota yang kokoh menanamkan kata kehilangan di jalan beraspal.
Kata-kata itu menutupi gembur tanah yang dulu sekali memberi kehidupan untuk anak-anak kita.
Entah kemana pula mereka kini.
Lalu punggungmu melipat bayangan.
Jalan setapak menuju hutan telah menghilang.
Napas kian sesak sebagai mesin pabrik atau angka-angka di mesin ATM.
Waktu semakin raksasa untuk menjajah jiwa.
Perjalanan ini penuh pecahan kaca yang menghujam kata merdeka.
Entah slogan-slogan itu.
Entah pula tema-tema perayaan itu.
Gang Mawar 01 Agustus 2019
Wahyu Toveng penyair Jakarta yang namanya kian menanjak ini tak diragukan lagi dalam olah puisi. Dalam puisi Internasional ini ia berbicara dalam BERJARAK SEKIAN PARAGRAF sebuah puisi yang padat pesan tentang perjalanan merdeka.
Sebagaimana puisi telah terbiasa memberi kriti, Namun Wahyu Toveng menyembunyikan kritik itu dengan apiknya. Seakan sebuah catatan sejarah Tanah Air dalam puisi menurut hematnya sebagai penyair.
Bermula ia bicara tentang perjalanan negeri ini yang diibaratkan dengan sebuah perjalanan. Tentunya perjalanan ituntidaklah sempurna. Baik 'penumpangnya, kendaraannya maupun sarana jalannya. Ia mencatat penuh dalam rangkuman bait yang bernas:
//Lelahnya perjalanan ini. Berdebu dan penuh karat. Harapan tertinggal entah di kilometer keberapa.
Terkelupas paksa dari kulit ari.
Menjadi Bangkai sebelum sempurna kata merdeka.
Aku tak lagi mampu memekik, malah lumpuh tercekik./..//...// sebuah penggalan dengan diksi yang apik.
Sajiannya runtut dalam setiap baitnya hingga tampak pesan hingga ia menekan pada bait terakhirnya. Sebuah puisi9 yang kaya dan patut diacungi jempol . (Rg Bagus Warsono, kurator sastra di Himpunan Masyarakat Gemar membaca)