PERTEMUAN MALAM TADI
dalam mimpiku malam lalu
kau yang kusayang
memeluk dan membelai-belai rambut ini
aku sedang lelah
termenung di pintu kaca
mari mendeskripsikan kita dan keadaan
teriakan yang terdengar sendu dan ikhlas di tiap-tiap kamar bersalin
generasi baru dan suci dilahirkan
bapak dan keberanian
jiwa-jiwa jujur dimatikan mendahului kuasa Tuhan
menanti, mendoakan, dan memandang lama-lama pigora foto keluarga
memejamkan mata, menyanyikan lagu perjuangan dengan khusyuk dan bersedih hatinya
Jumat dan Minggu manggut-manggut setuju untuk tidak mencuri, merampok, memfitnah, iri dengki, memerkosa, dan minum alkohol
menyebut nama Tuhan
dalam sunyi yang bergemuruh
dalam gemuruh yang kosong
berdiri menunggu di pinggir jalan bertahun lamanya
menuntut keadilan dan pengakuan negara atas kejahatan yang sempurna
induk kucing memperhatikan lama-lama anaknya yang dilindas mobil
roda-roda saling menyentak meminta jalan
knalpot meraung-raung sampai dini hari
tertawa-tawa menghina diri sendiri
tenggelam dalam maya, tidur kehabisan tenaga dalam nyata
menghafalkan buku sejarah, lagu cinta dan bangun kesiangan
mencari jati diri
genteng gerabah pontang-panting oleh puting beliung atau alat berat
oleh tanah longsor, banjir, atau sepatu lars
memekakkan telinga
bocah-bocah menangis takut
menyelamatkan karung beras dan kardus mi instan adalah kewajiban
membaca kitab, menambal atap yang bocor, menanak nasi, menidurkan bayi, lalu merencanakan bunuh diri
kerbau dan caping melenguh dan mengeluh
besok hijau padi digantikan abu-abu pagar
tiap batang rokok yang disulut adalah akhir kerja di bawah terik matahari
lampu karaoke, botol bir, dan keringat perempuan menderita menghiasi penat penghitungan angka-angka
putra-putrinya menginjak tanah negeri dan hormat pada bendera Merah Putih
Melantunkan Indonesia Raya di senin pagi
air mata adalah fitrah manusia
kita tidak pernah merencanakan tangisan
kapan kita terakhir kali
menangis duka untuk orang lain?
kau lontarkan senyum padaku malam tadi
mencita-citakan harapan
dan masa depan kemanusiaan
***
Marsetio Hariadi, Malam 26 April 2017
Untuk Adik-adikku Teater Rumpun Padi
kau yang kusayang
memeluk dan membelai-belai rambut ini
aku sedang lelah
termenung di pintu kaca
mari mendeskripsikan kita dan keadaan
teriakan yang terdengar sendu dan ikhlas di tiap-tiap kamar bersalin
generasi baru dan suci dilahirkan
bapak dan keberanian
jiwa-jiwa jujur dimatikan mendahului kuasa Tuhan
menanti, mendoakan, dan memandang lama-lama pigora foto keluarga
memejamkan mata, menyanyikan lagu perjuangan dengan khusyuk dan bersedih hatinya
Jumat dan Minggu manggut-manggut setuju untuk tidak mencuri, merampok, memfitnah, iri dengki, memerkosa, dan minum alkohol
menyebut nama Tuhan
dalam sunyi yang bergemuruh
dalam gemuruh yang kosong
berdiri menunggu di pinggir jalan bertahun lamanya
menuntut keadilan dan pengakuan negara atas kejahatan yang sempurna
induk kucing memperhatikan lama-lama anaknya yang dilindas mobil
roda-roda saling menyentak meminta jalan
knalpot meraung-raung sampai dini hari
tertawa-tawa menghina diri sendiri
tenggelam dalam maya, tidur kehabisan tenaga dalam nyata
menghafalkan buku sejarah, lagu cinta dan bangun kesiangan
mencari jati diri
genteng gerabah pontang-panting oleh puting beliung atau alat berat
oleh tanah longsor, banjir, atau sepatu lars
memekakkan telinga
bocah-bocah menangis takut
menyelamatkan karung beras dan kardus mi instan adalah kewajiban
membaca kitab, menambal atap yang bocor, menanak nasi, menidurkan bayi, lalu merencanakan bunuh diri
kerbau dan caping melenguh dan mengeluh
besok hijau padi digantikan abu-abu pagar
tiap batang rokok yang disulut adalah akhir kerja di bawah terik matahari
lampu karaoke, botol bir, dan keringat perempuan menderita menghiasi penat penghitungan angka-angka
putra-putrinya menginjak tanah negeri dan hormat pada bendera Merah Putih
Melantunkan Indonesia Raya di senin pagi
air mata adalah fitrah manusia
kita tidak pernah merencanakan tangisan
kapan kita terakhir kali
menangis duka untuk orang lain?
kau lontarkan senyum padaku malam tadi
mencita-citakan harapan
dan masa depan kemanusiaan
***
Marsetio Hariadi, Malam 26 April 2017
Untuk Adik-adikku Teater Rumpun Padi
Marsetio Hariadi, 23 tahun, berdomisili di Surabaya,
minat belajar menulis dan membacakan puisi sejak tahun 2015.
-Antologi Puisi Sakkarepmu: Penyair Mbeling Indonesia, 2015, Sibuku, Jogjakarta
-Juara III Penulisan Puisi kategori Umum, Festival Sastra UGM 2017
-Antologi Puisi Sakkarepmu: Penyair Mbeling Indonesia, 2015, Sibuku, Jogjakarta
-Juara III Penulisan Puisi kategori Umum, Festival Sastra UGM 2017