Minggu, 27 Agustus 2017

Aldy Istanzia Widuna dalam Kita Dijajah Lagi : Daging Merah, Tulang Putih





Aldy Istanzia Wiguna

Daging Merah, Tulang Putih

Pada kibaran kain bendera. Kita pernah merapal makna. Mengeja tanda usia, lalu melarung alasan-alasan berkabut tentang negeri yang merdeka. Berjuang di tapal batas kemungkinan ketika usiran para penjajah berulang dalam satu langkah tak biasa. Menyeret banyak kaki dalam pusaran-pusaran tak menentu ketika daging-daging merah di negeri ini tetap diperebutkan mereka yang digoda syahwat kuasa. Lalu tulang belulang putih para pejuang hanya diingat ketika kibaran bendera di langit khatulistiwa menjadi semacam penjelas atas kabar kabur tentang tirani yang tak mau dikalahkan begitu saja. Tentang syahwat kuasa, kursi empuk hingga tumpukan harta yang tetap membuat banyak mulut bungkam meski para tiran itu mengubah tampilan tak lagi berdasi tapi bersongkok dan mulai menyipitkan mata.

Lalu, dalam diam kita pernah menunduk lebih dalam. Menyaksikan ribuan orang berduyun-duyun melangkahkan kaki ke pulau seberang. Berharap hidup layak sementara daging dan tulang yang menyusun hidup mereka hanya diperah lewat upah tak seberapa. Atau kita tetap ingin menenun lupa, membiarkan generasi babu menjadi satu dari sekian pertanda negeri ini semakin kalap dijajah mereka yang lagi-lagi menyamar menjadi orang baik tapi berwatak tuan. Ah, adakah kita sudah merdeka hari ini ? 
2017
 Aldy Istanzia Wiguna, lahir di Bandung 20 Maret 1991. Telah menyelesaikan pendidikan terakhirnya di jurusan Pendidikan Bahasa Sastra Idonesia dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Bale Bandung. Sehari-hari beraktivitas sebagai guru bahasa Indonesia di Pesantren Persis 20 Ciparay. Baru menulis sekitar 47 antologi bersama dan 15 buku solo. Terakhir, penulis baru saja menyelesaikan kumpulan sajaknya yang berjudul Suluk Daun.