Aldy Istanzia Wiguna
Daging Merah, Tulang
Putih
Pada
kibaran kain bendera. Kita pernah merapal makna. Mengeja tanda usia, lalu
melarung alasan-alasan berkabut tentang negeri yang merdeka. Berjuang di tapal
batas kemungkinan ketika usiran para penjajah berulang dalam satu langkah tak
biasa. Menyeret banyak kaki dalam pusaran-pusaran tak menentu ketika
daging-daging merah di negeri ini tetap diperebutkan mereka yang digoda syahwat
kuasa. Lalu tulang belulang putih para pejuang hanya diingat ketika kibaran
bendera di langit khatulistiwa menjadi semacam penjelas atas kabar kabur
tentang tirani yang tak mau dikalahkan begitu saja. Tentang syahwat kuasa,
kursi empuk hingga tumpukan harta yang tetap membuat banyak mulut bungkam meski
para tiran itu mengubah tampilan tak lagi berdasi tapi bersongkok dan mulai
menyipitkan mata.
Lalu,
dalam diam kita pernah menunduk lebih dalam. Menyaksikan ribuan orang
berduyun-duyun melangkahkan kaki ke pulau seberang. Berharap hidup layak
sementara daging dan tulang yang menyusun hidup mereka hanya diperah lewat upah
tak seberapa. Atau kita tetap ingin menenun lupa, membiarkan generasi babu
menjadi satu dari sekian pertanda negeri ini semakin kalap dijajah mereka yang
lagi-lagi menyamar menjadi orang baik tapi berwatak tuan. Ah, adakah kita sudah
merdeka hari ini ?
2017
Aldy Istanzia Wiguna, lahir di Bandung 20 Maret 1991. Telah menyelesaikan
pendidikan terakhirnya di jurusan Pendidikan Bahasa Sastra Idonesia dan Daerah,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Bale Bandung. Sehari-hari
beraktivitas sebagai guru bahasa Indonesia di Pesantren Persis 20 Ciparay. Baru
menulis sekitar 47 antologi bersama dan 15 buku solo. Terakhir, penulis baru
saja menyelesaikan kumpulan sajaknya yang berjudul Suluk Daun.