Sapin
Ahmad
Sebutir Gula Untuk Tersenyum
Seorang
kakek separuh baya bekata
Masih
tercium Kesekian kalinya di malam ini
Tumbukan
harumnya biji kopi hitam
Menggoda
nafsu jiwa yang keji
Aromanya
yang hangat mengalir dalam jiwa merana.
Di malam
kami merindukan manisnya gula.
Kesekian
kalinya juga tujuh belas itu
Untuk
agustus lahir
Tujuh
puluh dua tahun negeri ini merdeka yang kami tahu
Namun,
kami masih menanti Sebutir gula
Untuk
menikmati senyum manisnya kopi.
Bukan
menanti janji yang terucap !
Bukan
menanti sumpah yang hanya jadi sampah !
Yang kami
minta.
Haruskah
kami rekam janji dan sumpah
Agar
kalian takut pada Tuhan.
Dan menikmati
puisi kami
menyeruput
kopi tanpa gula ?
Sugguh
kami hanya lelaki rentang yang tinggal dikenang
yang tak
lagi bermakna
Yang tak
lagi berjasa
Apalah
daya kami.
Aku hanya
bercerita tentang puisi
Yang
menanti sebutir gula untuk tersenyum.
(Majalengka,
310817)