Muhammad Daffa
INDONESIA YANG LUCU
Satu-satunya keinginanku yang paling mendesak adalah memproklamirkan kata-kata
Di haribaan negara yang sekarat dan nyaris mati. Aku tidak bermaksud untuk mengguling titah presiden dalam megah istananya, atau menggali-gali luka silam yang sudah terhapus dari ingatan anak bangsa.
Sungguh, aku hanya ingin memproklamirkan puisi
Di haribaan negara yang sekarat dan nyaris mati.
Tapi kudengar nubuat setangkai daun yang jatuh
Pada sabtu pagi, sesudah seremoni hujan.
"Umat-umat-KU yang patuh tak pernah berdendam kepada yang lebih tinggi dari sekadar kekuasaan presiden!"
Apakah kami masih berhak bermimpi
Mengajukan pertanyaan dan debar-debar
Yang tak tenteram setelah negara ini merdeka
Tapi masih juga penuh lebam, terluka fatal?
Mimpi-mimpi kami hanya ingin berpuisi di hadapan bapak menteri
Memproklamirkan barisan kata yang tangguh dan tak akan pernah terlukai
Di halaman gedung-gedung pencakar langit
Masing-masing ranting, juga dedaunan yang mulai menguning serempak menggugat
"kembalikan Indonesia yang lucu!"
Surabaya, Februari 2018
Muhammad Daffa, lahir di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 25 Februari 1999. Puisi-puisinya dipublikasikan pada Radar Banjarmasin, Banjarmasin Post, Media Kalimantan, Koran Banjar, Tribun Bali, Sumatra Ekspress, Palembang Ekspress, Majalah Santarang, Majalah Simalaba, dan sejumlah antologi bersama: IJE JELA( Tifa Nusantara 3), Hikayat Secangkir Robusta ( Antologi Puisi Krakatau Award 2017), 1550 MDPL(Kopi Penyair Dunia), Menemukan Kekanak Di Tubuh Petuah (Stepa Pustaka, 2016, terpilih sebagai kontributor terbaik), Dari Negeri Poci: Negeri Bahari, Maumang Makna di Huma Aksara (Kalumpu Puisi Penyair Kalimantan Selatan, Aruh Sastra 2017), dan Rampai: Banjarbaru Lewat Sajak (Antologi Puisi Penyair Kota Banjarbaru). Buku kumpulan puisi tunggalnya Talkin ( 2017). Mahasiswa di prodi Sastra Indonesia Universitas Airlangga, Surabaya.
INDONESIA YANG LUCU
Satu-satunya keinginanku yang paling mendesak adalah memproklamirkan kata-kata
Di haribaan negara yang sekarat dan nyaris mati. Aku tidak bermaksud untuk mengguling titah presiden dalam megah istananya, atau menggali-gali luka silam yang sudah terhapus dari ingatan anak bangsa.
Sungguh, aku hanya ingin memproklamirkan puisi
Di haribaan negara yang sekarat dan nyaris mati.
Tapi kudengar nubuat setangkai daun yang jatuh
Pada sabtu pagi, sesudah seremoni hujan.
"Umat-umat-KU yang patuh tak pernah berdendam kepada yang lebih tinggi dari sekadar kekuasaan presiden!"
Apakah kami masih berhak bermimpi
Mengajukan pertanyaan dan debar-debar
Yang tak tenteram setelah negara ini merdeka
Tapi masih juga penuh lebam, terluka fatal?
Mimpi-mimpi kami hanya ingin berpuisi di hadapan bapak menteri
Memproklamirkan barisan kata yang tangguh dan tak akan pernah terlukai
Di halaman gedung-gedung pencakar langit
Masing-masing ranting, juga dedaunan yang mulai menguning serempak menggugat
"kembalikan Indonesia yang lucu!"
Surabaya, Februari 2018
Muhammad Daffa, lahir di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 25 Februari 1999. Puisi-puisinya dipublikasikan pada Radar Banjarmasin, Banjarmasin Post, Media Kalimantan, Koran Banjar, Tribun Bali, Sumatra Ekspress, Palembang Ekspress, Majalah Santarang, Majalah Simalaba, dan sejumlah antologi bersama: IJE JELA( Tifa Nusantara 3), Hikayat Secangkir Robusta ( Antologi Puisi Krakatau Award 2017), 1550 MDPL(Kopi Penyair Dunia), Menemukan Kekanak Di Tubuh Petuah (Stepa Pustaka, 2016, terpilih sebagai kontributor terbaik), Dari Negeri Poci: Negeri Bahari, Maumang Makna di Huma Aksara (Kalumpu Puisi Penyair Kalimantan Selatan, Aruh Sastra 2017), dan Rampai: Banjarbaru Lewat Sajak (Antologi Puisi Penyair Kota Banjarbaru). Buku kumpulan puisi tunggalnya Talkin ( 2017). Mahasiswa di prodi Sastra Indonesia Universitas Airlangga, Surabaya.