Selasa, 06 Agustus 2019

MUCHLIS DARMA PUTRA , MERDEKA ADALAH AKU

Satu persatu kita simak puisi-puisi Internasional , kali ini penyair muda yang me-Nasional asal Banyuwangi Muchlis Darma Putra bersyair tentang perjalanan merdeka. Berikut puisinya :

MUCHLIS DARMA PUTRA

MERDEKA ADALAH AKU

merdeka adalah aku

diantara sunyi yang bergelimang

angin yang tak bersiteru

menjamah bukit; masa lalu

merdeka adalah aku

diantara lenguh tongkang nelayan

merdu siul camar timbul tenggelam

doa ke doa terus dialirkan

merdeka adalah aku

mencangkul ladang dalam iman

di bawah terik matahari.

letup kapuk diberai angin;

singgah di rambutku diam-diam

merdeka adalah aku

duduk simpuh seluruh

bukit; laut dan ladang

satu nafas untuk Tuhan



Demikian pujangga bersyair, beda danau beda pula ikannya. Bagi Muchlis Darma Putra, merdeka adalah diri itu sendiri. Tergantung orang merasakannya. Ia sendiri berjiwa merdeka, sesuka hati melakoni hidupnya. Barisnya yang pendek membuat menjadi multi tafsir. Ia bicara kerinduan, kebebasan diantara khalayak, kebebasan aktifitas diri, dan kebebasan untuk menyembah Tuhannya.

Diksinya apik, namun mudah dilavalkan.

...//merdeka adalah aku

mencangkul ladang dalam iman

di bawah terik matahari.

letup kapuk diberai angin;

singgah di rambutku diam-diam//.....//

Sebetulnya kemerdekaan itu bagaimana ketenangan hidup, ketenangan untuk bersembah kepada Allah SWT. Dalam situasi apa saja.

Kemerdekaan adalah kenenangan , keamanan, keselaradan dan kerukunan dan kearifan yang lain. Ia menutup dengan apik sekan puisi rohani.

//...//merdeka adalah aku

duduk simpuh seluruh

bukit; laut dan ladang

satu nafas untuk Tuhan//

(Rg Bagus Warsono, kurator di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Gilang Teguh Pambudi DI BALIK MATA ANGIN HARIAN,

Berikutnya puisi Internasional dari penyair Gilang Teguh Pambudi berjudul Di Balik Mata Angin Harian. Penyair dan juga pengasuh sastra di sebuah stasiun radio di Jakarta ini semakin mengokohkan dirinya dalam deretan penyair-penyair nasional. Mari kita simak :

Gilang Teguh Pambudi

DI BALIK MATA ANGIN HARIAN,

pohon yang tumbuh di atas peraturan daerah

hidupnya seperti apa?

akar, daun, bahkan buahnya seperti apa?

sebab politik disebut-sebut

sering menjadi bencana

seperti saat hilang separuh paru-paru kota

karena peraturan dan politik membenarkannya

sementara semak dan kekumuhan

di atas tanah-tanah sengketa

di tujuh penjuru kota

bisa bertahun-tahun

menjadi hiasan memalukan memilukan

yang juga dibenarkan undang-undang

atau limbah-limbah beracun menguasai sungai

karena keadilan dan politik malu-malu

atau terpaksa mau menunggu waktu

dan kita memang hidup di dalam undang-undang

sambil terus mempertanyakan,

keadilannya punya siapa?

lalu kita berkaca pada undang-undang itu

dan politik kekuasaan yang terus mengikutinya,

seperti apakah wajah kita dalam cetakan?

seperti apa postur dan tinggi badan kita

cara jalan dan ketajaman mata batin kita

dalam haru-biru politik yang minta dimenangkan?

bahkan ibadah-ibadah kita

totalitas penyerahan diri kita

tafsir-tafsir lurus yang terbuka

bisa ditelikung, dianggap melanggar undang-undang

atau perlu dimusuhi lewat pintu-pintu politik

yang sembunyi di balik mata angin harian

agar kelapangan hidup tidak berpihak

Kemayoran, 31 07 2019




Apa yang diusung oleh Gilang Teguh Pambudi adalah perasan tanda tanya akan fenomena yang terjadi di Indonesia. Barisnya menyembunyikan fakta, namun juga gejala. Ia mengungkap bernagai ragam kejanggalan di alam merdeka ini.

Sperti hendak mengungkap sesuatu bahkan tentang lucunya kebijakan dan pemutar balikan hukum dan bahkan agama. Gilang Teguh Pambudi cukup matang mengingat ia terolong penyair berbasic pesantren.

Namun penyair tetap memiliki jiwa seni, ia bungkus semuanya dalam sebuah puisi tanpa menyinggung perasaan siapa pun. Gilang Teguh Pambudi berhasil dalam hal ini.

Berikut bait yang sangat manis : //../seperti apakah wajah kita dalam cetakan?/

seperti apa postur dan tinggi badan kita/...//

(Rg Bagus Warsono, kurator di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Sumrahadi ( Munadi Oke ) MERDEKA, MESKI DALAM KHAYAL

Kita simak lagi sebuah puisi Internasional karya Munadi Oke, penyair muda yang produktif akhir-akhir ini, lahir dan tingal di Jakarta. Berikut puisinyua :

Sumrahadi ( Munadi Oke )

MERDEKA, MESKI DALAM KHAYAL

Aku merdeka,

Di lingkaran Undang-undang pemenjara lidah

Berinspirasi di balik bayang jeruji

Berpuisi dengan samarnya warna tinta

Aku merdeka,

Meski harus menjadwalkan sakit

Sebab sehat begitu mahal

Dalam sebuah antrian panjang

Aku merdeka,

Meski dalam khayal

Sebab itulah merdeka

Katanya…..

“ SH” JAKARTA 01082019




Puisi pendek karya Munadi Oke, ini melihat merdeka dari sisi pengamatannya. Tampaknya merdeka dalam perjalannya beraneka rasa. Ia penyair yang memiliki rasa itu. Penyair dengan kepekaan rasa yang tinggi akan nampak dalam tulisannya. Puisi pendek ini sebetulmya luas untuk dimaknai. Barisnya berisi, dan sederhana, namun ia memilih dengan tepat. Bait-baitnya beraneka pesan tak runtut. Seperti bait terakhirnya itu ia memutuskan bahwa kemerdekaan itu semu. (Rg Bagus Warsono. kurator di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Asro al Murthawy MERDEKA MENJELMA HANTU

Berikut ini puisi Asro Al Murthawy Dkm, penyair produktif asal Merangin Jambi. Asro telah banyak menulis puisi dan dikenal sebagai penggerak sastra di Merangin Jambi.

befikut puisinya:

Asro al Murthawy

MERDEKA MENJELMA HANTU

mendadak aku njelma hantu:

bebas liar menjengkali jejarak bumi dan langit,

Kurapal lafaz paling purba

menumbuhkan sesayap di punggung menghambur

memburumu dengan kesumat berlebih

melangkah ke awan jantungmu

aku adalah anasir merdeka

yang datang dari dunia entah

berdifusi dengan malam memagut sunyi pohon-pohon

yang angkuh merimbun lubang dadamu

tetapi tetap saja melambai jiwa kembara ini

sekedar berkemah atau mungkin berdiam lama

mendekam di lelangit otakmu



Puisi pendek Asro Al Murthawy Dkm tampaknya sepintas begitu sulit dimengerti. Boleh jadi ia menceritakan dirinyasebagai sifat atau paham merdeka yang tak terlihat namun menghantui. Ia merasup jiwa-hjiwa kemerdekaan .

//.../yang angkuh merimbun lubang dadamu

tetapi tetap saja melambai jiwa kembara ini

sekedar berkemah atau mungkin berdiam lama

mendekam di lelangit otakmu/...// bahwa semua orang dihinggapi perasaan untuk merdeka. Asro Al Murthawy Dkm memiliki penilaian lain bahwa bukan itu saja yang diharap merdeka tetapi juga jiwa kemerdekaan ini.

Ia tak terlihat , tak bersuara, tak menjawab. Manusia adalah sama ditakdirkan untuk memiliki rasa. Bait selanjutnya perumpamaan itu justru memberi terang puis ini bahwa harapan itu melekat yang ni keinginan merubah nasib .

//...aku bebas merdeka

bisa saja aku menjadi malam

selimut bagi lelahmu menuju lupa

dan barangkali pagi akan merubah lembar nasib

tak sekedar keluh sembab yang panjang

Imaji 1440 H//

Sebuah penutup yang memiliki pesan bahwa kita semua memiliki keingunan untuk merubah keadaan,

Wanto Tirta dalam : CATATAN DARAH

Baiklah kita ulas kembali puis-puisi Internasional. Wanto Tirta tokoh penyair Ajibarang Bamyumas ini menampilkan Catatan Darah. Sebuah 'catatan puisi yang cukup menarik dan perlu dibaca oleh pecinta sastra Indonesia. Berikut karya Wanto Tirta dalam :

CATATAN DARAH

kubuka catatan dari lembarlembar

buku harian

dentuman bom

mengalir darah

di tanah darah

jiwa anakanak piatu

jandajanda papa

suamisuami pedang

bermandi darah

membangun jiwa baja

langit mesiu runtuh menutup masa

atap rumah awan

tangis dan desingan peluru

menyatu keseharian menyayat hati

doa bumi teraniaya

sampaikan ke tanganmu

maha pembebas tanah milik negeri

airmata darah leleh derita

tak lelah bersandar pada kemuliaan Tuhan

kesatuan asa dan tekad

membungkus cinta perjuangan menyatukan merah putih dalam genggam

masihkah garuda memeluk kasih

sembuhkan lukaluka menahun

oleh sayatan pisau keserakahan maupun nafsu angkara yang membabibuta merebut kebebasan peradaban anak bangsa

ada tangis angin dari nisan nenek moyang

yang rapuh tertutup rerumputan

terlupakan oleh sanak keturunannya

ada sebatang bambu runcing masih jelas terpampang bertulis darah

terpatri di pusara

seolah berkata

ini pusar bumi tempat paku cinta

menancap bebas dari belenggu ketidak adilan dan kesewenang-wenangan rezim kekuasaan

Simak bait terkhirnya

01082019




Simak bait terkhirnya

//...//ada tangis angin dari nisan nenek moyang

yang rapuh tertutup rerumputan

terlupakan oleh sanak keturunannya

ada sebatang bambu runcing masih jelas terpampang bertulis darah

terpatri di pusara

seolah berkata

ini pusar bumi tempat paku cinta

menancap bebas dari belenggu ketidak adilan dan kesewenang-wenangan rezim kekuasaan//....//.

Salah satu bait Wanto Tirta dalam puisi itu dengan pilihan diksi yang cermat ia menulis tentang keadaan Indonesia. Bahwa pencarian itu ditemukan untuk diungkap yakni sebuah kecintaan terhadap Tanah Air itu sebuah cinta yang sudah tertanam sekan bambu yang menancap di puser bumi Indonesia.

Kemerdekaan tak berarti dari tangis dan penyesalan, tetapi karena kebijakan. Perumpamaannya dalam puisi itu ketara di tiap baitnya, memberi jelas tentang kemerdekaan sekarang ini.

Wanto Tirta menyadari sepenuhnya bahwa ada perintah atau mereka iba sendiri bila ketidak-nyamanan, apala bila ada kesewenang-wenangan dari pemerintahan sekaramg ini. Ia menyangka pemerintah atau juri sudi lebih banyak Memanusiakan ,manuisia. Beriku bari-baris terakhi puisinya. Simak bait terkhirnya:

ini pusar bumi tempat paku cinta

menancap bebas dari belenggu ketidak adilan dan kesewenang-wenangan rezim kekuasaan. (Rg Bagus warsono, kurator sastra di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca.

Anggoro Suprapto: JALAN MENUJU TUA

Mari kita ulas kembali puisi-puisi Internasional, berikut karya

Anggoro Suprapto:

JALAN MENUJU TUA

tengah malam aku suka bermeditasi

lalu kutanya pada waktu yang menyepi

aku sedang menuju jalan menjadi tua ya?

kutersenyum, saat kau mengangguk pasti

di langit muram bulan tertutup awan

malam semakin gelisah

dalam gigil yang resah

kau memang benar istriku

menuju tua tak begitu menakutkan

bagiku pun tetap menenteramkan

selama tua adalah gagah dan sehat

selama tua adalah cerdas dan awas

seperti bagawan manuyasa yang waskita

setiap hari berkidung membaca mantera

terus bersyukur tak henti-hentinya

maka tatkala

jalan menjadi tua tiba, kuputuskan

ingin tetap tinggal saja di rumahmu, istriku

setiap hari bisa memandang

beningnya netramu

teduhnya wajahmu

gelak tawa anak-anak menggelegak

senda gurau yang menyeruak

ah, sesungguhnyalah

menjadi tua adalah anugerah

dari sang maha pemurah

semarang, september 2018


Bila kita simak puisi karya Anggoro Suprapto , dalam antologi yang bertema Perjalanan Merdeka, sebuah antologi yang kelak menjadi antologi Internasional, seperti apa dalam puisi itu Anda akan heran. Anggoro Suprapto, adalah penyair semarang dengan kekhasan tersendiri, demikian penyair itu. Ia dalam puisi ini membuat perumpamaan dirinya yang semakin tua, seperti usia Indonesia yang semakin menua.

Alurnya adalah dialognya sendiri dengan keputusannya sendiri namun tatkala dibaca betapa ia menulis puisi ini untuk dibaca orang lain. Ada makna tersirat dari yang tersurat. Anggoro pun memberi gamblang puisinya agar enak dibaca:

//.......//kau memang benar istriku

menuju tua tak begitu menakutkan

bagiku pun tetap menenteramkan

selama tua adalah gagah dan sehat

selama tua adalah cerdas dan awas

seperti bagawan manuyasa yang waskita

setiap hari berkidung membaca mantera

terus bersyukur tak henti-hentinya//....//

Semua tergantung bagi orang yang merasakannya, bersyukur apa tidak memasuki masa ini. (Rg Bagus Warsono, kurator di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Mas Yono Buanergis Muryono : MERDEKA

Mari Kita simak kembali puisi karya Mas Yono Buanergis Muryono, yang berjudul Merdeka. Penyair dengan banyak talenta ini kini menetap di Bali. Penyair ini dikrenal juga sebagai pelukis dan akhli kebathinan. Berkut puisinya:

Mas Yono Buanergis Muryono

MERDEKA

Merdeka

Bebas

Freedom

Leluasa

Freeze

Kadang banyak istilah

Memerdekakan diri

Menapaki ranah bebas

Leluasa

Lapang.

Kususuri lapang jiwa

Tiada bertepi

Bersamamu yang tulus.

Melepas segala beban

atau memanggul tanggungan.

Sulit kita eja.

Tiap kata tiada mampu mewakilinya.

Kususuri relung spirit

Daya Hidup

Dalam dimensi rohani pelengkap tubuh

Utuh.

Ada cahaya dalam gelap

Terdapat titik hitam di terangnya cahaya.

Lalu ingin ragaku dihantar mau spirit

Rohaniku yang murni

Kita jadi baik

Benar

Bijaksana

Hingga tenteram

Nyaman

Damai

Sejahtera

Merdeka

Bebas

Leluasa

Seindah cakrawala

Tiap kejap berganti rupa

Begitulah kehidupan sebenarnya

Tiada terwakili kata-kata

Bahkan saat diam semua sempurna.


Ciri baris yang pendek-pendek adalah ciri Mas Yono Buanergis Muryono menulis puisi. Ini dikarenakan setiap kata yang ia ucapkan slalu mengandung makna dan di terjemahkan dihati dengan penuh rasa. demikian dalam pembukaan puisinya ia mengulang kata meresapi apa arti merdeka :

//Merdeka

Bebas

Freedom

Leluasa

Freeze/ ...//.... //

Seandainya keindahan itu terlaksana atau setidaknya mendekati mungkin bahasa akan lain , Mas Yono Buanergis Muryono memberi makna itu :

..../Rohaniku yang murni

Kita jadi baik

Benar

Bijaksana

Hingga tenteram

Nyaman

Damai

Sejahtera

Merdeka

Bebas

Leluasa

Seindah cakrawala

Tiap kejap berganti rupa

Begitulah kehidupan sebenarnya

Tiada terwakili kata-kata

Bahkan saat diam semua sempurna/...//

Puisi bagaimana mengapresiasi, Anda tentu dapat mengapresiasinya dengan makna lain. Demikian penyair kadang penuh tanya, misteri dan juga keanehan lain, termasik pada diri Mas Yono Buanergis Muryono (Rg Bagus Warsono, kurator di Himpunan Masyarakat Gemar Mmembaca)

Agus Mursalin : Pekik Merdeka Dalam Kamus

Berikutnya kita ulas puisi karya:

Agus Mursalin

Pekik Merdeka Dalam Kamus

Langkah awalku berniat baik

Pagi di timur sore di barat

Menyaksikan wajah aneka rupa

Memberi arti pembeda

Wajah beda suku beda bangsa beda negara beda

Satu kata yang bisa disepakati pada tangis tanda duka

Tawa tanda bahagia

Bergeleng tak mau mengangguk setuju

Tanpa kamus semua manusia paham

Lalu untuk apa

Mempelajari bahasa lain

Jika mengakibatkan perbedaan paham

Berujung perdebatan kelas tata krama atas nama kata?

Makna kata dari persepsi

Kapan bisa merdeka ?

Kebumen 1 Agustus 2019


Puisi pendek karya Agus Mursalin ini menyoroti kemerdekaan berbahasa. Menarik. Tetapi juga memungkinkan tafsir lain. Ia soroti kenyataan yang ada di masa Indonesia tlah dewasa ini. Mula ia bertanya dan kemudian barisnya mempertegas.

Sebetulnya di hati manusia Indonesia mungkin ada sepaham, tetapi juga banyak beda. Karena lain situasi keadaan, sehingga banyak perbedaan. Agus Mursalin penyair asal Kebumen ini mengajak agar perbedaan itu tak dipermasalahkan agar kita bisa merdeka dalam arti yang sebenarnya.

Berikut cuplikan diakhir puisinya:

//...../Tanpa kamus semua manusia paham

Lalu untuk apa

Mempelajari bahasa lain

Jika mengakibatkan perbedaan paham

Berujung perdebatan kelas tata krama atas nama kata?

Makna kata dari persepsi

Kapan bisa merdeka ?//

(Rg Bagus Warsono, kurator di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Senin, 05 Agustus 2019

Wardjito Soeharso : Kebebasan

Yuk kita simak kembali puisi-puisi Internasional. Kali ini kita mengulas puisi karya Wardjito Soeharso, penyair senior nasional asal Semarang yang sangat produktif . Wardjito Soeharso dikenal juga sebagai penulis novel dan banyak artikel di masa mudanya ketika masih di Balai Diklat Jawa Tengah. Mari kita simak puisinya :

Wardjito Soeharso

Kebebasan

Angin berhembus di tengah padang

Sampaikan berita segera datangnya hujan

Pepohonan meliuk dengan rantingnya

Dedaunan pun indah bergoyang

Burung-burung berkicau riang menyapa pagi

Dalam konser siulan nuansa hijau

Sedang mentari senyum menyambut hari

Berbagi hangat bersama bumi

Pantulkan cahaya dari samudera

Kebebasan alam jadi kebebasan untuk semua

Alam kebebasan pastilah kebebasan dari manusia

Begitulah dasar pemikiran pengetahuan

Yang memaknai benar atau salah

Yang membangun nilai baik atau buruk

Kebebasan atas berpikir

Kebebasan untuk kemanusiaan




Puisi pendek karya Wardjito Soeharso ini memberi pesan tentang 'kebebasan , gambaran itu ia kemukakan dalam bait pertamanya. Bahwa kebasan adalah irama alam yang terlihat dan tumbuh. Alam baginya adalah perlambang tentang kebebasan itu , kebebasan yang diberikan di dunia ini. Harmoni kebebasan itu di bumi ini tentunya yang diberikan dari Maha Pencipta.

Potret kebabasan itu bagaimana manusia bumi menentukannya sebagai hubungan antar manusia.

Mereka menjalani kehidupan Penuh dengan tantangan dan penderitaan. Namun jika manusia memelihara keimanannya untuk tetap teguh berada di jalan Allah SWT. maka pada akhirnya, tantangan dan penderitaan itu akan berbuah manis. Para nabi sudah mengajarkan bagaimana umat manusia bisa menjalin hubungan baik dengan Allah (habluminallah) dan juga hubungan baik dengan manusia (habluminannas). Demikian di bait kedua Wardjito Soeharso menulis. (Rg Bagus Warsono, kurator di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Ziarah Waktu Kepada Mujahid Negeri ini , Heru Mugiarso

Mari kita ulas puisi-puisi Internasional. Berikut karya Heru Mugiarso, penyair nasional dikenal sebagai penyair dari kalangan akademika dan karyanya banyak dipelajari di fakultas-fakultas pendidikan di Indonesia. Berikut karyanya:

Ziarah Waktu

Kepada Mujahid Negeri ini

Ingin rasanya aku mengajakmu, anakku

Di sini sejenak menikmati ziarah waktu

Karena aku yakin bahwa segala sesuatu kini telah banyak berubah

Dan kita perlu membuka ulang catatan kaki pada halaman sejarah

Di depan makam ini aku tak berniat mengajarimu menjadikan berhala

Kepada mereka yang telah damai bersemayam di dalamnya

Tapi jika tulang belulang yang kini memutih itu mampu bercerita

Maka ia akan berkisah tentang cinta luar biasa kepada tanah airnya

Darah dan airmata mungkin telah bercampur rupa

Nyawa (barangkali) adalah barang tak lagi berharga

Ketika nyanyian tanah air yang sayup dan terluka

Memanggil putera puterinya untuk tulus berbakti kepadanya

Rentang perjalanan mereka, aku dan kamu terlalu jauh, anakku

Maka wajar jika engkau tak utuh dalam memahaminya

Sayangnya mereka bukan selebriti dan kerna itu tak sempat jadi tokoh

Yang membuatmu jatuh hati dan terpesona hingga melegenda

Tak sedikit dari mereka hanya orang-orang biasa

Dan terkadang tak tercatat namanya pada nisan

Tapi di hadapan Sang Khalik mereka adalah syuhada

Sedang di hati insan mulia mereka ialah pahlawan

Ingin sesekali aku mengajakmu sejenak tafakur di depan makam

Untuk setiapkali menolak lupa bahwa negeri ini nyaris tak pernah ada

Jika mereka dulu tak mengangkat senjata dan maju ke palagan

Dan di jiwa mereka hanya ada satu kata : kemerdekaan!

Semarang, 2019




Makna " Ziarah Waktu Kepada Mujahid Negeri Ini" mendalam bila hayati. Puisi dengan alur dapat dicerna dengan mudah oleh pembaca budiman. Heru Mugiarso mengajak untuk merenung tentang 'catatan kaki bangsa ini. Sebuah perjalanan merdeka republik ini dalam kaca mata penyair yang enak dinikmati. Hingga akhirnya usia pun semakin bertambah dan rekam jejak pun semakin tersamar dan bahkan ada diantaranya yang asing bagi generasi sekarang. Mereka yang tak tercatat dalam perjuangan merebut kemerdekaan negeri ini.

Heru Mugiarso memang pandai mengemas puisi hingga alurnya semakin jelas maksud. Sehingga bila membacanya dengan apresiasi baik akan tertangkap pesan yang mendalam, Bahasanya yang tenang, dengan pilihan diksi yang tepat menjadikan puisi ini pantas sebagai puisi bertaraf internasional. (Rg Bagus Warsono, kurator di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Arya Setra ARTI MERDEKA

Arya Setra

ARTI MERDEKA

Desing peluru tajam yang menghujam

Dentuman meriam memekakan telinga,

Berderap tegap meluluh lantakkan dada bumi pertiwi...

Teriak para pejuang menumbuhkan semangat kemerdekaan walau bersimbah darah, terkoyak, tercabik, teraniaya dan terjajah di negri sendiri.

Pengorbanan jutaan nyawa, jutaan harta dan benda demi satu kata " MERDEKA"

Merdeka atau Mati adalah semboyan para pejuang demi mempertahankan harga diri bangsa...

Itulah sepenggal cerita duka yang menghantarkan Aku, Kamu, dan juga mereka kepada sebuah era, dimana antara maya dan nyata berdampingan dalam satu masa.

Merdekaku...

Merdekamu..

dan Merdeka mereka tentu saja berbeda- beda.

Buat ku merdeka adalah merdeka ngopi, merdeka ngudud, dan merdeka berkarya...

kalau tidak...? aku bisa mati gaya....

Arya Setra

1 Agustus 2019




Arya Setra adalah penyair dan juga pelukis kenamaan Indonesia saat ini. Ia baru saja pulang dari Moskow, Rusia, untuk unjuk demonstrasi melukisnya.

Puisi "Arti Merdeka" karya Arya Setra ini sebuah gambaran betapa kemerdekaan itu diraih tidak sekedar membalikan tangan. Ia telah mengorbankan begitu banyak nyawa manusia. Puisinya seakan bertanya bahwa merdeka itu pada masing masing jiwa manusia.

..../ Itulah sepenggal cerita duka yang menghantarkan Aku, Kamu, dan juga mereka kepada sebuah era, dimana antara maya dan nyata berdampingan dalam satu masa.

Merdekaku...

Merdekamu..

dan Merdeka mereka tentu saja berbeda- beda./...

Diakhir puisinya ia memberi kejelasan versi merdeka ala seniman. .../Buat ku merdeka adalah merdeka ngopi, merdeka ngudud, dan merdeka berkarya...

kalau tidak...? aku bisa mati gaya//

Demikian puisi itu sebebas-bebasnya. Gaya seorang penyair satu dengan yang lainnya tentu berbeda dan Arya Setra memiliki gayanya tersendiri . (Rg Bagus Warsono, kurator di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Agustav Triono: Sudah Merdekakah Sebenar Merdeka?

Agustav Triono

Sudah Merdekakah Sebenar Merdeka?

Tanah tumpah darahku

Tanah tempat berkeluh

Tanah airku

Tanah tempat membasuh

Luka bangsaku

Jangan membasah menerus

Mengeringlah kembali mulus

Jangan menganga

Jangan memerih

Hapus duka pedih

Merdeka telah di genggaman

Ibu Pertiwi telah di pangkuan

Sejak Proklamasi

Daulatlah ini negeri

Namun kembali pada renungan

Sudah merdekakah ?

Sebenar merdeka ?

Ya, sudah !

Merdeka dari belenggu penjajah

Merdeka sebagai negara bebas

Tentukan arah tujuan bangsa

Menuju cita mulia

Mimpi dan asa tergenggam

Semoga

Namun sudah merdekakah?

Sebenar merdeka??

Merdeka dari kemiskinan

Merdeka dari korupsi merajalela

Merdeka dari ketidakadilan

Merdeka dari rusak lingkungan

Merdeka dari wabah narkoba

Masih terus berjuang

Bebaskan diri dari penjajah masa kini

Rusak sendi negeri

Yang tak tampak nyata

Namun menggerogoti

Sebarkan virus dipori-pori

Pelan dan pasti

Tubuh kita terjangkiti

Penyakit yang membinasa itu

Maka

Cabutlah akar-akar penyebabnya

Dengan tegas dan pasti

Agar penyakit-penyakit

Segera musnah

Agar merdeka

Sebenar merdeka !

01/08/2019




Sebetulnya Agustav Triono ingin mengungkap kemerdekaan hakiki setelah negeri kita merdeka. Ia mersakan betapa perjuangan untuk kemerdekaan yang hakiki belum tercapai.

Dalam bait baitnya diungkap bahwa ada penyakit penyebab terhalangnya kemerdenaan sebenar merdeka.

...//...Rusak sendi negeri

Yang tak tampak nyata

Namun menggerogoti

Sebarkan virus dipori-pori...// ....//

apa yang disebutkan dalam baris di bait itu ternyata ada sesuatu yang harus diperangi di masa ini, yakni yang merusak sendi negeri ini.

Pesan dalam puisi ini mengangkat puisi Sudah Merdekakah Sebenar Merdeka layak sebagai puiai Internasional. (Rg Bagus Warsono, kurator di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Marlin Dinamikanto GAGAL PABRIK

Marlin Dinamikanto

GAGAL PABRIK

Setelah belut hanyut di lobang tikus

ular sawah menjadi asing bertatap

tembok pabrik yang mengangkang

hamparan kering coklat gersang

Entah berapa petani terkubur

derap batako yang terus memanjang

tak menyisa ketika ular sawah

hidup sebatang kara berteman tikus

di pemakaman belut

Ikan wader yang biasa mider-mider

mematuk plankton di kaki jerami

lama menghilang sebelum berpindah

ke buku gambar anak-anak sekolah

Sawah yang terkucil kian mengering

terhimpit batako - anak petani lebih suka

berharap kerja di pabrik. Tak ada padi

bisa dipanen empat bulan lagi

sedangkan gaji bisa dipanen

sebelum uritan pindah ke sawah

hamparan hijau yang kadang menguning

kini tersekat tembok-tembok pabrik

ular sawah yang hidup menyendiri

mati - bangkainya dimainkan anak kucing

di celah runtuhan tembok pabrik

gagal dibangun setelah ekonomi lesu

tak ada padi dipanen esok hari

tak pula gaji bulanan. Hanya terlihat

tikus berloncatan di celah batako rapuh

berserak di hamparan coklat gersang

Ngagel, 31 Juli 2019




Penyair Nasional Marlin Dinamikanto pancen jempolan dalam menulis puisi. Diksinya pilihan, untaian baitnya kaya makna . Pembaca akan mendapat aneka tafsir puisi di atas .

Telah menarik perhatian saya ketika puisinya ditemukan 5 tahun lalu yang berjudul "Pok Ame-ame." Kali ini ia tampil dalam "Gagal Pabrik" sebuah judul yang sangat kaya makna. Baitnya tampak tak beraturan runtut namun secara keseluruhan dapat ditangkap pesan oleh pembacanya bahwa ada perubahan di masa ini. Di alam yang semakin modern ini betapa ada penyebab dari apa yang diceritakan puisi di atas.

Bait yang kedua itu mulai memperjelas makna bahwa ternyata ada yang mengenaskan dimasa ini. Petani tanpa ladang! sedang bait yg lain :

....//hamparan hijau yang kadang menguning

kini tersekat tembok-tembok pabrik

ular sawah yang hidup menyendiri

mati - bangkainya dimainkan anak kucing

di celah runtuhan tembok pabrik

gagal dibangun setelah ekonomi lesu//...

menekan maksud. Marlin Dinamikanto memang megerigisi dalam membuat puisi. Selamat untukmu sang penyair . (Rg Bagus Warsono, kurator di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Gunawan : AYO SAUDARAKU

 Ivan Gunawan

AYO SAUDARAKU


Aku hidup di antara orang-orang beda bahasa

Aku hidup di antara orang-orang beda pandangan

Aku hidup di antara orang-orang beda budaya

Aku hidup di tengah-tengah metropolitan Gajah Putih

Di antara deretan gedung menjulang angkasa

Di antara kuil-kuil yang begitu megah

Di antara padatnya lalulalang kendaraan dan orang-orang

Sayup-sayup selalu terdengar adzan

yang begitu merdu nan khidmat

Allohu Akbar Allohu Akbar, La ilahailalloh

Luluh hati merasakannya

Rindu rasa mendengarnya

Menetes airmata dibuatnya

Negara yang mayoritas beragama Budha

Memberi ruang kepada setiap orang yang berbeda pandangan

Bebas hidup dan berbaur bersama

Itulah kemerdekaan yang sesungguhnya

Setiap orang bebas melakukan aktifitas

sesuai dengan keyakinan dirinya

setiap orang bebas bergerak

sesuai dengan nuraninya

selama ini kita sering dengar tentang toleransi

selama ini kita sering dengar tentang hak azasi

namun apa terjadi ?

kita semua dikebiri ilmu-ilmu yang tidak pasti

tanpa peduli dengan yang hakiki, ilahirobbi

Ayo saudaraku, mari berbagi

Ayu sahabatku mari bersatu

Bergandeng tangan bersama

Jaga kesatuan dan keutuhan bangsa

Menuju cita-cita sejahtera lahir bathin


Kacamata itu memperbesar atau mendekatkan, tergantung dari mana sudut pandangan. Jauh tidak selalu jauh dan dekat tak enak jika tak kerasan. Ivan Gunawan memberi puisi jelas tersurat, agar enak dibaca dan dicerna. Tentu ia bicara pada saat ia jauh dari kampung halaman. Ia memberi pesan dalam bait-bait puisi itu. Betapa di negeri orang lebih damai.

Namun semua itu gambaran ia berbagi salah satu yang dimaksud dalam puisi itu yakni keberagaman itu tak menjadi halang untuk persatuan.

Tampak jelas Ivan Gunawan menulis dalam bait penutupnya:

...//selama ini kita sering dengar tentang toleransi

selama ini kita sering dengar tentang hak azasi

namun apa terjadi ?

kita semua dikebiri ilmu-ilmu yang tidak pasti

tanpa peduli dengan yang hakiki, ilahirobbi//

//Ayo saudaraku, mari berbagi

Ayu sahabatku mari bersatu

Bergandeng tangan bersama

Jaga kesatuan dan keutuhan bangsa

Menuju cita-cita sejahtera lahir bathin//

puisi yang cukup manis penuh harap dan diamini pembaca di Tanah air. Sebuah pesan indah dari negeri sebrang. (Rg Bagus Warsono, Kurator di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Sabtu, 03 Agustus 2019

SESAAT, SEBELUM AKU PERGI : Naning Scheid

Mari kita ulas puisi-puisi Internasional berikut tika tampilkan :

SESAAT, SEBELUM AKU PERGI

: Naning Scheid

Senja ini, kusandar damai di bidang dadamu

Mencuri dengar denyut bersahut

di antara gundukan rindu

Tubuh cemas, damai dalam rengkuh

Nafas kita teratur, menanggal riuh

Lolong malam kian tegas

Degup jantung makin beringas

Menjelajah perjalanan merdeka

Menjulang hasrat serigala

Keringat menanda peluh

Cintaku padamu tetap teguh

Kasih, cinta ada di sepanjang musim

Risaukan jangan, hatiku telah kau gengam

Brussel, 2019.

Sepintas tampak sederhana Naning Scheid menulis, namun ia pandai memberi tekanan penekanan pada baris yang tampak sederhana itu. Seakan stakato pada lagu baca yang membuat puisi ini bermakna.

Pada baitnya kelihatan mengisi pesan, mula ia maknai sebuah perjalanan merdeka itu, agak runtut hingga bait selanjutnya agar sampai pada saat ini. Betapa sebagai pemilik nusantara ini menyimpan rasa. Cinta akan Tanah Airnya, seakan roh Indonesia itu menggegam hati pemiliknya.

Pilihan kata Naning Scheid sangat piawai. ..../Menjulang hasrat serigala// .... sebuah contoh baris puisi yang kaya makna betapa hasrat diumpamakan srigala yang lapar .

(Rg Bagus Warsono, kurator di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Dewa Putu Sahadewa, Perjalanan

Mari kita ulas puisi-puisi Internasional , berikut karya Dedari Rsia , seorang penyair Bali yang menetap di Kupang.

Dewa Putu Sahadewa

Perjalanan

Berkali-kali menggali

diri

kutemui sumber suara

di mana matahari menyembunyikan panasnya

dan hujan menemukan sarangnya.

“Di tengah ladang darah

Kau pancang bendera

Kau lagukan Indonesia.”

Semakin jauh aku berjalan

suara berubah ratapan

dan angin mengikis bukit-bukit

tempat anak-anak menarikan tarian merdeka.

“Di tengah ladang darah

Kau pancang bendera

Kau lagukan Indonesia”

Aku akan tetap berjalan

puluhan tahun lagi

namun suara itu

akan abadi.

Kupang, Agustus 2019

Puisi indah karya Dedari Rsia ini layak sebagai puisi Internasional . Judul yang sederhana dengan bait-bait sederhana mudah dibaca dari anak-anak hingga kakek nenek. Dedari sungguh melekat cinta Tanah Airnya. Nasionalis tampak dalam karya ini. Baitnya sedikit bercerita tentang masa merdeka yang diperjuangkan pendahulu kita. Ia menekan pada bait : ...// Ditengah ladang darah, Kau pancang bendera, Kaui lagukan Indonesia//....// sebuah bait tersirat bahwa kita apa susahnya hanya menaikan bendera dan menyanyikan lagu, Ia menikmati merdeka dan yakin akan tetap abadi. Salut untukmu Dedari Rsia (Rg Bagus Warsono, kurator sastra di Himpunan Masyarakat Gemar membaca)


Roymon Lemosol, Di Tanah Yang Sudah Merdeka

Mari kita ulas puisi-puisi Internasional berikut karya :

Roymon Lemosol,

Di Tanah Yang Sudah Merdeka

di tanah yang sudah berpuluh-puluh tahun merdeka

kulihat rakyatnya masih angkat senjata

mempertahankan hak-hak ulayat atas tanah-tanah adat

di tanah yang sudah berpuluh-puluh tahun merdeka

kudengar suara rakyatnya mengerang kesakitan

terbelit hutang

di tanah yang sudah berpuluh-puluh tahun merdeka

kusaksikan rakyatnya gigih berjuang

melawan kemiskinan

di tanah yang sudah berpuluh-puluh tahun merdeka

kubuntuti rakyatnya tertatih-tatih

menjacari keadilan

di tanah yang sudah berpuluh-puluh tahun merdeka

aku mengeja-eja ke-mer-de-ka-an

Ambon, 1 Agustus 2019

Agaknya penyair kita Reymon Roymon Lemosol ingin mempertegas puisi-puisinya, meski gamblang tersurat dari pada yang tersirat, namun ada nilai plus yang sangat bagus dan layak sebagai puisi Internasional.

Puisi ini menangkap tegas akan perjalanan merdeka, sehingga mungkin ia hendak mengatakan: "Bukankah kemerdekaan yang diperjuangkan oleh pendahulu kita itu untuk memberikan kemerdekaan nyata seperti bumi yang mereka miliki sejak zaman nenek moyangnya. Namun betapa ternyata harapan para pejuang kemerdekaan itu tampak belum bukti banyak terhadap apa yang dirasakan anak-cucunya.

Bait penutupnya memberi keyakinan sebuah puisi yang bagus .....//di tanah yang sudah berpuluh-puluh tahun merdeka

aku mengeja-eja ke-mer-de-ka-an//. Ok selamat untukmu Roymon Lemosol (Rg Bagus Warsono, kurator di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Senin, 29 Juli 2019

Hadir di Tengah Pancaroba, Soeharto yang Dikenang karya Rg Bagus Warsono

Banyak kerinduan pengagum Soeharto di masa ini. Tatkala masyarakat tengah mencari dan mencari keindahan di Indonesia. Namun tak sedikit yg mencibir karena merasakan pahit getirnya hidup dimasa Soeharto.
Di buku ini adalah wawancaraku bersama Soeharto dalam imajener yang khusuk. Ternyata apa yang dipandang tak sesuai dengan padang ilalang, yang dilihat tak sesuai dengan tanah liat , yang di sawang ternyata bukan sawang laba-laba,
Mari menjadi demokratis, agar kita pandai memilah dan menghargai siapa pun dan apa pun karya orang lain. Termasuk apa yang diperbuat Bapak Pembangunan kita Soeharto.

Wawancara Imajener Soeharto
Tentang Gerilya

Rg Bagus Warsono

Soeharto dan Gerilya

Zaman berlalu
Hingga lupa gerilya
Menelusuri tanggul
Hulu sungai angker
Melintas lembah
Memanggul senjata
Di sana
Diantara Menoreh dan Merbabu
Mengintip negeri dari lubang senapan
Laras panjang
Zaman berlalu
Cerita gerilya
dengan bumbu pedas
dan sayur lompong ala desa
serta nasi padi tumbuk
dan senyum perawan desa
karena tak tahu
dimana gerilya.
Kini zaman keliru
Gerilyamu mengisi perutmu.

Jogyakarta,Maret 2018

Rabu, 24 Juli 2019

Menjumpai Bapak Agus Mulyana Tokoh Masyarakat Cigalontang.

Menjumpai Bapak Agus Mulyana Tokoh Masyarakat Cigalontang.

Jauh-jauh saya datang ke Cigalontang, sebuah kecamatan di Kabupaten Tasikmalaya, kabupaten yang menghasilkan putra daerah menjadi Wakil Guberbur Jawa Barat yaitu Uu Ruzhanul Ulum.
Di sebuah kecamatan ujung barat kabupaten Tasikmalaya ini khusus penulis menjumpai Bapak Agus Mulyana (Agus Satria Sunda), seorang Kepala Sekolah Dasar di Cigalontang. Dan ternyata Bapak Agus Mulyana ini adalah putra tokoh sesepuh pendidikan Tasikmalaya Bapak Suriat Permana.
Agus Mulyana yang merupakan putra Tasik kelahiran 14 Juli 1967 ini adalah tokoh masyarakat yang berpengaruh di kecamatan Cigalontang. Bukan berarti ini karena Agus Mulyana itu putra Bapak Suriat Permana tetapi karena peranan Agus Mulyana yang cukup besar di daerah.
Salah satu prestasi Agus Mulyana itu ditunjukan ketika dalam pelaksanaan Pilkada Jawa Baratn 2018 dan Pilpres 2019 lalu mengajak masyarakat untuk mensukseskan kegiatan hajat Daerah dan nasional itu dengan aman dan damai.

Ketokohan Agus Mulyana yang besar ini oleh masyarakat Cigalontang didorong untuk lebih maju lagi, tidak hanya sebagai kepala sekolah dasar tetapi diharapkan dapat meningkat agar lebih luas peranannya pada masyarakat khususnya di Cigalontang. (Rg Bagus Warsono)

Kamis, 18 Juli 2019

Suriat Permana (90 Th) Mengabdi Pendidikan sepanjang Hayat

Tokoh pendidikan Tasikmalaya Bapak Suriat Permana , (90 th) Mengabdi pendidikan sepanjang hayat.

Menjumpai sosok tokoh tua Tasikmalaya, Bapak Suriat Permana di rumahnya desa Kersamaju kecamatan Cigontang kabupaten Tasikmalaya  seorang pensiunan guru yang masih hidup dan menjadi saksi hidup perjalanan pendidikan di kabupaten tasikmalaya khususnya di Kecamatan Cigalontang.
Bapak guru yang memiliki 7 putra ini adalah sesepuh PGRI Tasikmalaya yang lahir tahun 1938. Pak Suriat  begitu panggilannya kondisi saat ini masih tetap sehat dan tegas. Bahkan dalam usia 90 th masih membatu sekolah senagai komite sekolah SDN Kersamaju kec. Cigalontang. Pak Surian ini selain dikenal senagai tokoh pendidikan juga sebagai tokoh masyarakat yang berpengaruh di Cigalontang.

Pesan beliau kepada generasi muda adalah : Guru jangan sampai menjadi buruh pendidikan. Tetap dalam jati diri gurju yang sebenarnya sesuai dengan ajaran Ki Hajar dewantara.
                                       Bapak Suriat Permana , Sesepuh Pendidikan di Tasikmalaya.
                                       (foto Rg Bagus warsono) 

Jumat, 12 Juli 2019

Mengenal Naning Scheid


Naning Scheid atau Madame Gokil atau  Sri Nurnaningrum
Adalah Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris UPGRIS sebelum berpindah ke Belgia tahun 2006, Penulis di media dan portal online, Mama dari 3 bule jadi-jadian, Sukarelawan di beberapa Organisasi Sosial Kemanusiaan di Belgia, Pecinta Teater, Hobby Travelling, dan Bermimpi menjadi Novelist.
Berikut puisi-puisi penyair Naning Scheid :dalam  Puisi Satire :

Jangan Ada Angelina Diantara Kita
Suatu ketika siang romantis mempertemukan kita
Aku tersipu saat kerlingan matamu mengarah padaku
Oh suasana, berperan utama
Dekatnya hatiku hatimu
Terbaca isyarat seolah inilah kali pertama
Kau jatuh cinta penuh gelora
Ah setidaknya, penuh hikmat ku yakini itu
Aku, di mabuk cinta terbang ke langit ketujuh
Waktupun berlalu penuh asmara
Tak kusangka tak kuduga
Kau menyimpan Angelina
Bahkan janda-janda muda
Betapa koleksimu tak terhingga
Duh Kang Japritt…
Mengapa tak kau katakan sejujurnya, dari awal kasih kita ?
Kang, ….
Kutak butuh Lamborghini
Limousine pun Ferrari
Yang ku mau tak ada dusta diantara kita.
Naning Scheid
Semarang 20.7.18
MEONG MEONG SI KUCING GARONG
Meong, WA di buka
Kucing garong menyapa
Dengan imoji cinta
Meong, Inbox berbunyi
Kucing garong berpuisi
Merayu membuai hati
Di dinding publik bermartabat
Di ruang gelap, ber-patgulipat
Meong Si Kucing Garong
Meresahkan istri-istri serong
Membuai janda-janda kinclong
Memperdaya perawan tong-tong
Brussel, 2.2.19
Rayuan Playboy Kecamatan
Beribu pulau kan kulalui
Seribu lautan kan kuseberangi
Puncak gunung kan kudaki
Petir menggelegar kan ku sambar
Demi kamu dewi asmaraku….
Bohong !!!
Menuju kotaku, pengorbanan terbesarmu.
Matamu sendu kurindu
Bibirmu merekah mawar merah
Senyumu manis legit hangat
Tak bosan ku memandang
Selalu terbayang-bayang
Adinda paling tersayang….
Mbelll !!!
Berdua denganmu, situ WA melulu.
Duhai wanita istimewa…
Engkaulah satu-satunya
Tiada duanya di dunia
Semua perasaanku
Hatiku
Cintaku
Perhatianku hanya padamu…
Prettt !!!
Menyebut nama lengkap ku pun kau tak mampu.
Wahai Mas Playboy Kecamatan,
Rayuanmu pulau kelapa
Hanya lebay melambai lambai
Nyiur di pantai
Sudah ah, aku dengan Mafia Mercon saja.
Naning Scheid
Mojokerto 18.7.18
(Dipubklikasikan oleh : Rg Bagus Warsono 12-07-19 dari kliksolo.com)

Sabtu, 29 Juni 2019

Akim Camara

Camara was born in Berlin to a Nigerian father and a German mother In May 2003, at two and a half years of age, Akim was given violin lessons by instructor Birgit Thiele at the Marzahn-Hellersdorf School of Music. Akim was at this point still in diapers and speaking gibberish, like any toddler but he could remember parts of music heard and the names of all orchestral instruments. Moved by his memory and natural "ear for music", Akim's teacher began instructing the toddler twice a week in 45 minute sessions.Akim participated enthusiastically and, due in part to his memory, the toddler was learning fast. After six months of this fairly light training regimen, Akim had his debut performance in December 2003 at the age of three in a Christmas concert "Schneeflöckchen, Weissröckchen" put on by the Marzahn-Hellersdorf School of Music.

Birgit Thiele and the music school principal, Gudrun Mueller, told André Rieu, through the celebrity Dutch violinist's website, about Akim's prodigious talent. Rieu responded swiftly. He sent a camera crew to Berlin to film Akim on the violin. What he saw astounded him. He hastily took action and invited the parents and grandmother of the boy to his studio in Kerkrade, Netherlands along with Akim. Three-year-old Akim's performance at the studio was apparently so impressive that it left all of the orchestra members in astonishment and disbelief.

Within two weeks, in July 2004, Akim was performing with Rieu in concert at Kerkrade's Parkstad Limburg Stadion filled to near max capacity with an audience of 18,000 people on a toddler-size violin and wearing a tiny custom-made concert tuxedo and dress shoes. After amusing the crowd with a "water trick" toddler Akim then performed Ferdinand Kuchler's violin concertino in G, opus 11 followed by a brief encore performance. Akim exited stage right after two massive standing ovations and roaring cheers.

Following the success of Akim's performance he had to be essentially hidden from the public eye as many German television stations began pursuing him for appearances. Rieu took Akim under his wing, paying for his musical lessons on both violin and piano and overseeing his instruction (both musical and otherwise) so that Akim will remain "a nice boy" and not become "an insufferable child prodigy" as Rieu fears would be a possibility without his influence.

With his ability to memorize a musical piece after hearing it, Akim's talent developed fast and his youthful enthusiasm and passion for the violin only grew. After an interview and appearance on a Danish TV show the young prodigy performed once again with André Rieu. This time Akim was performing more demanding pieces, Felix Mendelssohn's Dance of the Fairies and at New York City's Radio City Music Hall, and with an appropriately bigger violin. He also sang "Pie Jesu" with Carla Maffioletti.

Akim has since performed on television with the likes of Wolfgang Fischer and Richard Clayderman.

Now he is part of the orchestra „Deutsche Streicherphillharmonie“

André Rieu & 3 year old Akim Camara

Aku Anak Indonesia-"Anak Indonesia"

Kamis, 27 Juni 2019

BINTANG TERANG TAHUN 2019 INI : Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, SH M.Hum

Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, SH M.Hum atau yang lebih dikenal dengan nama Eddy Hiariej (lahir di Ambon, Maluku, 10 April 1973; umur 46 tahun) adalah seorang guru besar dalam ilmu Hukum Pidana di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Eddy meraih gelar tertinggi di bidang akademis tersebut dalam usia yang terbilang masih muda yaitu pada usia 37 tahun dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM)

Segera Hadir Bacaan Antologi Puisi Menandai Zaman : Endas Manyung karya Rg Bagus Warsono


Rg Bagus Warsono

Endas Manyung

Endas manyung wis pirang-pirang
Unggal pesisir
Pangananne wong sugih
Ngomong blenak tapi dipangan
Endas manyung
Genae belatung
Mambu bacin ora karuan
Sedalan-dalan
Tapi geger endas manyung
Endas manyung
endas dibuang dibomboni
Isyarat zaman diwolak walik
wong salah diambungi tangane
Karyawan tukang mbebodo di kembuli
Penjabat tukang nyolong disembah
Pimpinan korup dipuja-puja
Endas manyung
Ngaku suci kupluk ora kari-kari
Sebayang tapi nlakoni korupsi
Due kiyai nganggo nutupi
Supaya pernah Mondok santri
endase manyung
Maling ditiliki ning bui
Dudu sanak dudu sadulur
Supaya diaku endas manyung
Ning kana
Sedulur dewek lara ora ditiliki
Endas manyung nganggo panutan.



Rg Bagus Warsono

Taleni Sekarepe Sampean

Taleni prau sekarepe sampean
Karo tambang sing pepet sambungan
Jorna alam ngadili prau
Mesine mati kebek oli
Kudanan kanginan karatan
Kayu akeh tritipe drawesan tieng paku papan
Benderane wis pada sowek
Kanggo dilanan bocah-bocah pesisir
Mapag musim udan baratan.
Dermayu , 2004

Selasa, 25 Juni 2019

Dalam Tadarus Puisimu Kutemukan Hati


Dalam Tadarus Puisimu Kutemukan Hati

   Keindahan bulan Suci Ramadhan begitu memiliki perbedaan dengan hari-hari di bulan lain. Terutama di masyarakat Indonesia. Bukan karena alam pada bulan itu berubah, namun suasanalah yang membuat indahnya Ramadhan.
   Keindahan itu direkam oleh para penyair Indonesia demikian beraneka keindahan. Bahkan di satu tempat terdapat berbagai keindahan yang tiada ditemukan di bulan selain Ramadhan. Sebuah bukti nyata betapa Allah memberi kenikmatan di bulan ini.
   Keindahan semakin bertambah indah manakala hati tersentuh, ada bagian di sisi lain Ramadhan . Ketika ada saudara - saudara kita ikut menikmati keindahan itu dikala sakit, dikala ditimpa kemiskinan, kemalangan dan ditimpa kehilangan orang tua atau suami mereka. Sebuah bingkisan rekaman sahabat penyair dalam catatan berupa Tadarus Puisi Ramadan 1440 yang istimewa ini.
   Bingkisan itu tiada lain ungkapan-ungkapan  kegembiraan kemenangan keiklasan dan juga keindahan lainnya terutama dalam berbagi kebahagiaan kepada mereka yang membutuhkan. Meski gambaran itu lewat puisi, tetapi dalam potret itu gambaran nyata bahwa betapa Islam itu memiliki rasa saling berbagi terhadap sesamanya.
Tadarus puisi di bulan Ramadhan 1440 H ini memang mengesankan dimana penyair Indonesia turut memberi sumbangsihnya berupa puisi dalam buku ini. Selamat menikmati.
(Rg Bagus Warsono, sastrawan tinggal di Indramayu.)

Puisi 1-5 Tadarus Puisi Ramadhan

1.
Firman Wally

Bulan suci

lahir kembali ramadan
bulannya berbagi tawa dan takwa
doa doa suci dilantunkan
menyejukan gersang dalam jiwa

ramadan bulan yang mulia
bulan istimewa pembawa berkah
bulan pengampunan segala dosa
pintu neraka ditutup, pintu surga pun dibuka

ramadan bulan suci
bulan pembersihan noda dan dosa di hati
inilah bulannnya untuk menyucikan diri
sebelum kita tinggalkan bumi

Ambon, 15 Mei 2019






Firman Wally
Tadarus

syair-syair suci dilantuntan seusai tarawi
tuk menyirami setiap hati yang dilanda kekeringan iman

surat demi surat riuh di telinga
sejuk di hati para pemuja asma Allah
tadarus terus meramaikan ramadan yang penuh keistimewaan
disertai lampu-lampu takwa menerangi kegelapan di lorong-lorong hati
memberi cahaya pada jiwa yang percaya atas kebesaran Allah

ramadan tiba
tadarus tak lagi asing di telinga
Ambon, 16 Mei 2019














2.
Sugeng Joko Utomo

"Mak tunggu sebentar
Duduklah dengan sabar"

Lantas Ilham kecil menggendong adiknya
Melangkah pasti menuju mushola
Mencoba mencari takjil sekedarnya
Untuk nanti berbuka puasa

Emak sedikit jengah
Menunggu dengan gelisah
Terbatuk-batuk menahan resah
Menyimak nasib teramat gundah

Nampak tertatih perlahan
Kakak beradik membawa bungkusan
Tentu berisi makanan
Yang berhasil mereka dapatkan

Emak mengusap mata
Menyusut air menetes darinya
Dirundung duka menangis iba
Menampak ketegaran ananda

Larat akrab menyertai hidup
Menahan beban nyaris tak sanggup
Namun teringat ke dua buah hati
Pahit getir pun harus dijalani

Dalam usia belumlah renta
Namun rapuh robohkan raga
Digerogoti penyakit tak kunjung reda
Sementara suami hilang entah ke mana

Sesaat bunyi bedug bertalu
Penanda untuk membatalkan puasa
Diawali dengan do'a nan khusyu
Menyantap hidangan dalam sahaja

Tasikmalaya, 20 Mei 2019


























Sugeng Joko Utomo

Raport Merah Ibadah
Memasuki bulan ramadhan
Sepertinya tak jauh dari kebiasaan
Es buah dan kolak pisang
Pembuka puasa wajib terhidang
Magrib dinanti suara adzan
Bukan untuk berjama'ah sholat
Lebih mendahulukan bersantap makan
Menghabiskan hidangan yang telah siap
Menjelang waktu isya
Berduyun-duyun ke masjid dan mushola
Selayak tahun-tahun sebelumnya
Berulang kembali ritual yang sama
Dan ramadhan kali ini
Masih saja tak berganti
Lebih menonjolkan berbagai aksi
Mengumpulkan makanan untuk berbuka nanti
Sementara ibadah yang utama
Terabaikan begitu saja
Gunjing ghibah antar tetangga
Masih riuh di mulut kita
Berniat hawa nafsu dikunci
Membuang jauh tabiat dengki
Ternyata hanya haus lapar kita dapati
Karena kewajiban tak lurus dijalani
Masih saja seperti dahulu
Tak nampak perbaikan perilaku
Jangankan bertambah bersih
Nilai iman kian hilang tersisih
Tasikmalaya, 31 Mei 2019


Sugeng Joko Utomo
Kumandang Kidung Surga
Berita lebaran semakin menggema
Gaungnya memantul kemana-mana
Baju koko gamis sarung dan mukena
Setiap toko menawarkan diskonnya
Roti kering telah penuh di meja
Berjajar dalam toples mika
Nak, tak usah bersedih Cukuplah kita berpakaian bersih
Tidak harus berbaju baru
Simpan saja air matamu
Kumandangkan takbir penggetar sukma
Dendangkan indah nyanyian surga
Nak, lebaran itu merayakan kemenangan
Atas perjuanan berpuasa sebulan
Bersihkan hati memupuk iman
Tunaikan dengan ikhlas semua kewajiban
Meski hidup dalam kemiskinan
Bukan berarti kalah dalam pertempuran
Yang penting puasa kita
Utuh sebulan tanpa jeda Tadarus tiada dilupa
Berprasangka baik pada sesama
Tidak berkeluh kesah meminta
Allah lebih faham padda kebutuhan kita
Mari nak berangkat ke masjid
Untuk melaksanakan sholat Ied
Buang rasa sedih di dada
Songsong karunia dari-Nya
Yakinlah tanpa baju baru
Allah pun tetap sayang padamu
Tasik 1 Juni 2019

Sugeng Joko Utomo

Ngalap Berkah

Tumapake sasi puasa wis tekan likuran
Biasane mesjid mushola akeh jaburan
Tur wiwit rame swara jethoran
Mbrebegi kuping njalari ati trataban
Itungan likuran tiba ganjil
Wis mesthi ora mung takjil
Bocah-bocah padha antri ndlidir
Tampa sega selawuhe diwadhahi takir
Sing piyayi sepuh lenggah jenak
Sinambi ngedhapi dhaharan enak
Tumpeng ingkung sakomplite
Dirubung bebarengan rame-rame
Sepuluh dina sing pungkasan
Sengsaya khusyu' anggone ngibadah
Tumekane mengko pucuking wulan
Adoh saka grundel gresula pangresah
Tekan titimangsa lebaran
Diwiwiti kanthi sawengi takbiran
Esuk-esuk sholat Ied bebarengan
Banjur ngapura-ingapura sesalaman
Bocah-bocah katon sumringah
Klambi anyar ayu lan gagah
Mesam-mesem sugih polah
Rumangsa tampa sagunung barokah
Tasikmalaya, 29 Mei 2019 #ramadhan





Sugeng Joko Utomo
Lebaran Sebatas Khayalan
Lebaran segera tiba
Saat untuk bergembira
Bebas makan apa saja
Berhura-hura suka-suka
Kekang ramadhan dilepas segera
Kembali mengumbar riang ria

Tapi lihatlah ke sana kawan
Di kolong-kolong kotor jembatan
Di lantai dingin emper pertokoan
Di trafic light perempatan jalan
Atau di sudut kumuh pasar-pasar
Atau di sela gemuruh hingar bingar
Atau di bangku-bangku terminal
Puasa masih tetap saja menjagal

Sungguh bukan karena taqwa
Bukan pula taat beragama
Barangkali Tuhan pun telah dilupa
Tenggelam di lumpur kubangan sengsara

Kenyang perut jarang didapat
Tidur nyenyak tiada sempat
Mengais nasib dalam melarat
Menoreh hidup nyaris sekarat

Tak tahu lagi sampai kapan
Getir hari akan ditinggalkan
Ingin larut dalam riuh lebaran
Teramat bosan puasa berkepanjangan
Tasikmalaya, 3 Juni 2019

3.

Zaeni Boli
Lailatul Qadar

Malam yang lebih bintang
Malam yang lebih mulia

Diturunkannya engkau
Wahai petunjuk kehidupan
Jika aku tersesat
Ijinkan aku memelukmu kembali

Bunga-bunga yang mewangi
Hasrat manusia
Yang bertobat
Rinduku
Berjumpa
Oh cahaya langit dan bumi
2019














Zaeni Boli

Berbuka dengan yang manis

Seperti senyummu
Buah keikhlasanmu
Cintaku
Ramadhan yang manis
Ada bersamamu
Istriku
2019








Puisi 6-9 Tadarus Puisi Ramadha 1440 h (2019)

6.
Muhammad Lefand.

Selamat Datang Bulan Ramadhan

Rajab mengabarkanmu
Sebelum sya'ban merindu
Kedatanganmu kutunggu

Marhaban ya ramadhan
Semesta raya merayakan
Kedatanganmu telah dinantikan

Seluruh badan berdoa
Berdzikir dengan cinta
Di bulanmu yang penuh cahaya

Seperti pagi dan daun
Hari-hari penuh embun
Senyum-senyum kembali rimbun

Jember, 6 Mei 2019 1 Ramadhan 1440












7.
Pensil Kajoe

Waktu  Ramadhan

Waktu Ramadhan tigapuluh hari
Seolah lama padahal begitu cepat
Diri sendiri, masih terlalu asik dengan lupa
Meski sedang puasa, tapi nafsu jalan terus

Waktu Ramadhan segera berakhir
Di pengujung baru terasa
Bulan ini benar-benar nikmat
Untuk munajat padaNya

Waktu Ramadhan bukan sekadar puasa
Menahan lapar dan dahaga itu tak aneh
Ada yang lebih lapar dan tak pernah tahu nikmatnya buka
Tajil hanya berupa mimpi

Waktu Ramadhan di mana kita
Asik terus dengan gejolak dosa
Manusia-manusia, jangan jadikan lupa
Sebagai alasan pembenaran ulahmu

Waktu Ramadhan segera berakhir
Ah menyesal kemudian tiada guna
Padahal mungkin ini waktu Ramadhan terakhir.

Tumiyang, 26052019



Pensil Kajoe

Bedug yang Ditunggu

seperti menunggu kekasih datang
berkali-kali melongok detak jam
detiknya terasa berjalan lambat
tak sabar ingin segera bertemu

segala macam makanan terhidang
tertata rapi di meja
sebagai jamuan kekasih yang akan datang
begitukah
begitukah yang kau pahami
suara bedug  begitu merdu
seperti suara kekasih, berbisik
terdengar di telinga
rindumu tertumpah
terlampiaskan.

Tumiyang, 26052019













8

Gilang Teguh Pambudi

Yang Ditunggu Waktu

siapa yang akan kau datangi
saat rindu memuncaki hati
kecuali yang tercinta saja
yang alamatnya paling surga
kepada siapa kau akan kembali
saat rindu mengenang perjalanan diri
tentu tak perlu membelah hampa dunia
mencari siapa paling rakus kuasa
hidup cuma mendermakan diri
kalau berarti kita bisa mengerti
begitulah guna pertemuan-pertemuan
menyemai keselamatan kesejahteraan
kalau kesetiaan tak ada yang menemui
tenang damailah, sampai ada yang kembali
kita teruskan saja memintal cahaya
menghangati malam
karena setiap jiwa-jiwa terkasih
seluruhnya sudah terpilih
bahkan waktu pun setia menunggu
sampai api asmara berpadu sumbu
tumpah-ruah rasa saudara
harubiru mensyukuri rindu
seluruh hati kasih berkasih
tak ada nyawa yang sia-sia
malaikat-malaikat meminang siang
meminang malam
bulan, bintang, dan matahari disulam
pada luasnya semesta sajadah
Kemayoran, 26 05 2019 Ramadan 1440-H



Catatan: malam hari puisi ini saya tulis. Pagi harinya, di kantor ada yang ngirim puluhan sajadah, spontan saya bersyukur, itu untuk sedekah Ramadan. Subhanallah. Bebinar hati menjadi saksi.


























Gilang Teguh Pambudi

Cuma Menderma
anak-anak pada jantung waktu itu
kelak juga mengerti
mengapa hidup mendetak pada takdirnya
mengapa manusia menghiba cinta?
sebab sudah putus kalimatnya
di atas perbukitan
saat Allah kasih sejuk udara
dan kita terang melihat jalan ke utara
cinta saja yang menumbuhkan
akal sehat dan daging perjalanan
rasa tanah dan kepekaan sosial
sampai ke terminal kota dan pasar
ketika keagungan Allah
menjadi syair atau lagu
yang menemani penjual sayur dan ikan
lalu di balik tembok-tembok rumah malam
seorang muda di atas sajadah
selalu menjanjikan keselamatan tetangganya
sampai hidup cuma menderma
dengan menempatkan diri
yang tidak melukai apalagi membunuh
dan dengan segala ada, segala bisa  segala doa
Kemayoran, 27 05 2019 Ramadan, 1440-H

Catatan: puisi ini saya tuntaskan siang hari di bula Ramadan. Semalam ada yang menelpon, "Kiriman sudah sampai ke runah saya, terimakasih banyak". Saya malah jadi merenung, "Ingin rasanya membagi lebaran ribuan jutaan potong, tapi orang lemah mana bisa? Semoga mereka yang kuat dan hebat bisa"

9.
Anisah

Rutinitas di Bulan Suci


Gelisahku pada pukul 1 dinihari
Kuterbangun lalu ke belakang
Itu sudah pasti
Lalu tidur lagi sambil memikirkan
Apa yang akan dihidangkan untuk makan sahur
Sesuai rencana di siang hari
Tak perlu tambahan
Biar tidak gelisah lagi
Ayo bangun suamiku
Ayo sahur anak-anakku
Semua terhidang di meja
Sayur oseng menjadi rutinitas
Bacem tahu menjadi hobi
Telur goreng itu yang murah meriah
Teh manis dan panas
itu menjadi penutup sahur kami
Hidup sederhana
Itu yang utama
Biar
Dunia tidak terbalik
            Borobudur, Mei 2019







10.

Dyah Setyawati
Mukena Ibu

lirik mataku terpaku pada jemuran baju tetangga
mukena baru sambut Ramadhan
penuh renda sana-sini
embun mata netes
melihat robek mukena ibu
penuh tambalsulam jahitan tangan
ibu yang sahaja
bening airwudhu
menajam tawadhu
ramadhan ya ramadhan
semoga sampai ke gerbang kemenangan
ibu langitkan doa sembari natap wajah buah tubuhnya
aku cuma bisa menguntit angan
kapan mukena baru bisa terbeli
ibu seribu maafku
lantaran baru bisa menuang ingin
anganku
yang berkelebat
semoga celengan recehku cepat penuh
untuk mengganti mukenamu
bidadari lah kau dimataku ibu
Asahmanah 27/05/2019.



Puisi 11-15 Tadarus Puisi Ramadhan 1440 H /2019

10.

Dyah Setyawati
Mukena Ibu

lirik mataku terpaku pada jemuran baju tetangga
mukena baru sambut Ramadhan
penuh renda sana-sini
embun mata netes
melihat robek mukena ibu
penuh tambalsulam jahitan tangan
ibu yang sahaja
bening airwudhu
menajam tawadhu
ramadhan ya ramadhan
semoga sampai ke gerbang kemenangan
ibu langitkan doa sembari natap wajah buah tubuhnya
aku cuma bisa menguntit angan
kapan mukena baru bisa terbeli
ibu seribu maafku
lantaran baru bisa menuang ingin
anganku
yang berkelebat
semoga celengan recehku cepat penuh
untuk mengganti mukenamu
bidadari lah kau dimataku ibu
Asahmanah 27/05/2019.






11.

Winar Ramelan

Gema Bulan Suci

Mendaras, menderas bagai hujan
Beningnya menembus arasy
Doa yang dilangitkan pada bulan suci
Sederas hujan yang tiba musimnya
Munajad ini ditujukan pada Engkau wahai yang dimuliakan
Sang maha pemilik kehidupan
Pemilik terang dan gelap
Yang tak henti mengulurkan tangan-tangan lembutnya
Pada bulan yang suci
Yang menghamparkan waktu
Untuk merenung dalam relung
Agar keinsyafan menaungi
Dari alpa dan goda













12.

Bayu Aji Anwari

Hamparan Syiri di Siang Ramadhan

Suara-suara dari dalam kegelapan
berdesak menuntut pemenuhan
atas apa yang ada di batok kepala
dari ujung ke ujung
diantara ubun-ubun dan kemaluan
Dia terus memaksa
terus dengan keinginan yang sama
Fikir ini muak, menatap dalil dan serapah
demikian pun bhatin,
ia marah hingga memerah darah
Tak terima menyaksikannya
bukan sepaket pasrah
seperti mereka yang berhati hamba
Engkau tertolak, kata nurani lembut
dari balik pintu yang hampir tertutup
Tunggulah hingga petang menyambut
dan menerimamu dengan senyuman
Jangan pernah lagi memaksa
sebab itu perbuatan sia-sia
dan engkau akan terus tertolak
Sadarilah,
agar waktu tak pergi menjauh
untuk membiarkanmu dalam kesendirian
Sebab ini bulan pensuciaan,
bulan dimana para hamba bermohon
mendapati fitrah dan keselamatan
Bulan percepatan dari semua urusan
serta waktu penentuan siapa sesungguhnya
pemilik taat dibenarkan
Bulan yang di sana hanya ada hamba dan Robbnya
Semarang, 29 Mei 2019































Bayu Aji Anwari

KUTEMUIMU WAHAI RAMADHAN

Dari hitungan kesembilan bulanmu
engkau hadir membawa kisah
tentang bukti hamba
hanya kepada Robb-nya semata
Begitulah ramadhan menyapa
mengabarkan tentang arti taqwa
dan ribuan keutamaan
hingga berkah yang berlimpah
Engkaulah bulan pemilik lailatul qadar
malam yang lebih utama
dari seribu bulan
: meski tak mudah untuk menemuinya
Sebab ramadhan bukan bulan biasa
ia bulan terpilih olehNYA
tempat ayatNYA pertama kali di turunkan
dalam sunyi yang tenang
dalam kebahagiaan yang membentang
dalam cahaya yang menjelang
Engkaulah wahai ramadhan
tempat hamba menggapai arsy
melesat cepat menemui sang Rahman
menyematkan taqwa
sebagai kesempurnaan kami
adalah hamba
Semarang, 27 Mei 2019





Bayu Aji Anwari

AKU KEHILANGANMU YA RAMADHAN

Sekarang ada titik bening
di sudut terluar mata
pandang hamba berkabut, meraba
waktu kian susut
Menjauh dari pandangku

Ia sang waktu menjelma bayang
melingkari ingatan indah diri hamba
tunduk pada rahman dan rakhiemNYA
dan ingatan itu pun,
penuh kudhu tadharuk menyebut asmaNYA

Selamat berpisah ramadhan,
engkau pergi menghadapNYA
dengan menggenggam rindu kami

Engkau datangi tempat
di mana kami akan kembali

Sampaikan doa dan harapan kami
: ya ramadhan

Sungguh kami ingin kembali
pada diri yang fitri
lepas segala fana
menuju keabadianMU

Semarang, 5 Juni 2019


13.

Wanto Tirta

Belajar Lapar

betapa mahalnya lapar
harus ditebus sehari penuh
mulai terbit fajar sampai adzam maghrib tiba
bagaimana tahu indahnya lapar
sehingga perlu satu bulan untuk belajar
lapar dan haus menjadi pelajaran perjalanan menuju manusia pilihan dari jutaan manusia yang ada
dalam lapar dan haus
mengalir nikmat empati dan iman yang kuat
untuk semakin cinta kepadaNya


















Wanto Tirta

Bulan

ingin menulisi bulan yang malam ini bundar
adakah cara agar terbaca
juga tersimpan
betapa ingin melakukannya
kurasa malam tak diam
apalagi angin
terus saja bergerak
mengisi ruang-ruang kehidupan
bulan
kutatap kau dengan nyala api pengharapan
dengan cahayamu
makin meneguhkan hati
untuk tetap sabar menanti
pada titian illahi
31052019















Wanto Tirta

Catatan Sore

Sore ini di wajahmu terlihat mendung
Bergayut dari bibir yang ranum
Akankah hujan mengusap rinduku
Angin lewat
Menggugah diam
Sapa kata pada puasa
Di jelang senja
Mendung masih tertahan
Semoga lapar dahaga masih sempat menanti magrib
Saat buka puasa tiba
31052019



















Wanto Tirta

Bismillahirrahmanirrahim
Ngaturaken Sugeng Riyadi

Sedaya lepat kula nyuwun pangapura,...
Iwak teri pepete sing dawa
Iwak cucut iwak segara
Idul Fitri dina istimewa
Ana luput jaluk ngapura
Tuku lenga goreng sega
Sega sepiring lambang beras
Inyong donga kanggo Rika
Lebaran siki sehat waras
Gorengi pang-pang gurih lan enak
Enak renyah dedole murah
Rejeki gampang urip kepenak
Akeh berkah lebaran bungah
Semangat Idul Fitri
_Taqabbalallahu minna wa minkum ja'alana minal aidin wal fa’izin_
Kami sekeluarga mohon maaf lahir batin












14.

Sarwo Darmono

Tengah Wengi Ing Wulan Suci

Sumiliring bayu ing tengah wengi . Rasaning anyes adem jroning ati . Tengah wengi kang sepi . Sepi sepen sepining sepi . Para titah wis mapan ing Jagating ngimpi .
Kang ana hamung suaraning kidung kalam Ilahi . Kalam Ilahi winaca ing tengah wengi . Wancine wulan suci . Wulan kang kebak berkah Ilahi . Berkah kang para titah upadhi . Kanggo sangune bali . Bali nang alam abadi .
Tengah wengi tansah Hamemuji . Tengah wengi tansah nyawiji mring Gusti . Kanthi rasa jruning ati . Kanthi nggraita jatidiri . Kanthi Pasrah diripribadi .
Duh.. gusti Allah kang maha Suci . Nyata nyata kawula tanpa dhaya . Tanpa bisa apa apa . Kebak salah lali lan dosa . Sareng rawuhe sasi pasa . Sasi kebak Pangapura .
Kawula pasrah jiwa raga .
Nyuwun pangapura . Wonten ngarsa padhuka .

Lumajang Jumat Kliwon 10 Mei 2019 .








Sarwo Darmono

Apa Bisa Bali nang Asale

Campuhe rah bangtih . Nuwuhke rasa sejati . Nuwuhke wiji dadi . Wiji dadi kang den anti anti . Wiji dadi mijil kodrating Gusti . Wiji dadi mijil wujud jalma . Jalma kang suci . Tan ana reget jiwa raga .

Jalma suci gesang ing jagad rina wengi . Katut ombyaking kahanan . Dina dina den tapak i . Sasi sasi den lakoni . Mangsa ganti mangsa tansah mbudidaya . Mbudidhaya ngupaya boga . Mrih lestarining raga . Raga mapaning sukma .
Kagawa kahanan kang ana . J alma kang aran suci . Ilang sucine Luntur lebur . kena ombyaking rina wengi . Jalma kang asal suci . Titiwanci bakal bali . Bali marang Ilahi . Apa iya,bali kanthi suci . Apa bisa mbalik asal suci . Kabeh durung mesti . Gumantung lakuning diri pribadi .
Ing jagat rina wengi .
Lumajang Kemis pon 18 April 2019 .












15.

Heru Mugiarso

Malam Lailatul Qodar

Malam lailatul qadar diamdiam belusukan
Menyambangi gubukgubuk karton
Di bawah jembatan layang
Dilihatnya seorang duafa dengan perut lapar
Namun tetap ikhlas menadahkan tangan berdoa
Tentu Tuhan sangat mendengar doadoanya
Walau tidak langsung menjatuhkan amplop THR di hadapannya
Karena keberkahan, kita tahu, tak diukur oleh lembarlembar kertas bergambar pahlawan Indonesia

2019