Senin, 12 September 2016

Pengantar Buku, Pengantar Antologi dan Komentar Antologi Lumbung Puisi Jilid IV



Pengantar Antologi

   Banyak margasatwa kita yang punah. Ketika kapal kapal asing yang nyolong ikan ditembak ditenggelamkan, Anda tidak tahu berbagai jenis kera dari rumpun yang sama Sumatra/Kalimantan di colong juga. Apa yang ditembak apa yang ditenggelamkan. Sebab malingnya tidak kemana-mana masih berada di luar negeri. Orang kitalah yang memperkaya diri.

    Beberapa tahun lalu ada bangkai kawanan gajah, tetapi gadingnya sudah tak menempel di kepalanya.
Lalu burung-burung luar negeri yang mungkin bawa penyakit datang dari celah-celah pagar negeri , mengisi sangkar-sangkar hobies burung berkicau.
Dan sungguh luar biasa lagi, ada orang pekerjaannya melawan maut, memburu buaya ganas di sungai-sungai buas. Ternyata mereka mengambil kulit buaya itu.

   Sejak doeloe nama hewan menjadi nama kiasan untuk menamai manusia seperti contohnya 'lintah darat (rentenir), 'kuda hitam (sosok tak diduga), 'anjing menggonggong (mereka yang suka usil), 'macan tua ( tokoh tua) , macan ompong (tokoh yang sudah tak punya taring lagi) , 'kupu-kupu malam (lonte) , ular kepala dua (mata-mata) , kura-kura dalam perahu, katak dalam tempurung dan sebagainya. Ini artinya manusia menamai perilaku manusia lagi dengan perumpamaan hewan. Jadi bukan sekarang saja tetapi sejak dulu.
   Ternyata margasatwa (binatang) kita penuh filosofi, kelakuan binatang kadang cermin buat filosofi hidup. Bukan berarti lebih baik binatang dari manusia, tetapi manusialah yang mirip perilaku binatang. Atau bisa juga binatang lebih baik perilakunya ketimbang segelintir manusia yang kadang tak memiliki norma. Tetapi pernyataan ini jangan ditafsirkan demikian sebab puisi adalah gambaran , sebuah gambaran yang memiliki ragam apresiasi. Boleh jadi apresiasi itu berbeda dari sebuah puisi. Makna yang sama arti pun berbeda bila dipadukan dengan kata lain, bukan. Nah kalau begitu puisi adalah permainan kata-kata.

Jika puisi adalah permainan kata-kata maka tak perlu mempercayai puisi. Memang. Bukankah puisi itu seni? dan dinikmati? . Jangan salah juga bila apresiasi juga menimbulkan kepercayaan terhadap puisi. Buktinya banyak puisi yang memberikan kenyataan zaman. Sebab penyair menuangkan isi hati dari semua pancaindera yang dirasakan.Sebegitu dasyatnya puisi melahirkan berbagai tafsir dan perumpamaan. Tetapi sebagai manusia tetap puisi tak perlu didewakan atau dipuja. Puisi adalah puisi yang memiliki jiwa, seni, dan juga hidup.

Memang penyair itu pinter, tema margasatwa jadi tema 'marga satwa. Katanya kalau dipenggal menjadi dua kata ada marga dan satwa kalau dipisah menjadi marga satwa semakin bertambah luas tema ini, tapi tidak mengapa tambah seru. Itulah penyair kadang bilang ‘A sama-sama , bukan A besar dan a kecil tetapi katanya a bagiku berarti lain.  Bisa saja ‘a berarti satuan nominal eceran, ada juga ‘a berarti pertanyaan, ‘a berarti orang (si a) atau ‘a berarti keuntungan dsb.

Sebaliknya ada ungkapan hewan tetapi disukai masyarakat seperti 'Kecil-kecil kuda kuningan, 'Maung Bandung, "Ayam Kinantan, 'Banteng Ketaton, Cendrawasih dari Timur, dan lain-lain.

Dan dalam buku ini pembaca budiman diajak untuk ‘bercengkerama dengan puisi-puisi karya penyair Indonesia  dalam antologi khas bertema margasatwa ini yang merupakan Antologi Lumbung Puisi Jilid IV Sastrawan Indonesia.

Selamat mengapresiasi.

Penyelenggara.
Hmpunan Masyarakat Gemar membaca (HMGM)


 
Kata Pengantar Antologi Binatang
   Saya bayangkan beberapa penyair dari berbagai profesi dan menulis tentang seekor binatang, semut misalnya. Maka lahirlah puisi tentang semut  dalam perspektif sosiolog, politikus, psikolog, filosof, ekonom, anthropolog, polisi, guru, ulama, bahan ibu rumah tangga. Betapa amat luasnya kekayaan perpuisian kita tentang binatang sebagai cerminan perilaku umat manusia.
   Saya bayangkan beberapa penyair menulis puisi tentang binatang-binatang  ikonik yang ada di negeri ini dan negeri-negeri lain. Bisa  jadi  masih ada. Bisa pula sudah punah. Betapa berharganya puisi-puisi ini bagi pelajar dan generasi sesudah kita karena telah memberikan pemahaman anatomis, filosofis dan simbolis tentang sebuah kota, negara, atau benda.
   Saya bayangkan beberapa penyair  menulis puisi tentang binatang yang ada interrelasinya dengan binatang-binatang yang ada di luar negara kita. Betapa berharganya puisi-puisi itu karena telah memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang hubungan “bilateral” kebinatangan, yang bisa jadi menjadi contoh demokratis dan toleransi bagi umat manusia.
   Saya bayangkan beberapa penyair menulis puisi tentang binatang-binatang imajinatif ( misal Derabat, burung raksasa khayalan Budi Darma; juga Kappa, semacam Derabat yang telah menjadi mitos bertahun-tahun di Jepang; Yeti di Nepal ) yang dapat menggugah daya imajinasi pembacanya dan merangsang imajinasi lain untuk bidang-bidang lain.
Saya bayangkan RgBagus Warsono sedang membangun dan menghayalkan sebuah “Kebun Bintang” raksasa yang penghuninya binatang-binatang kata-kata Indah  dan senantiasa dikunjungi ribuan bahkan jutaan pemburu kata-kata Indah setiap harinya. Sebuah habitat baru yang akan dicatat dan dikembangkan  oleh sejarah perpuisian Indonesia, bahkan dunia.
   Selamat untuk gagasan, upaya dan kerja kerasnya untuk membangun “Ragunan Kata-kata”  bagi negeri para penyair.
Hasan Bisri BFC jazirahapi@gmail.com
Jakarta, 16 Agustus 2016


Pesan Sang Kera Anoman

     Ide kreatif dari antologi tentang margasatwa perlu diacungi jempol setinggi langit.Lantara langka dan tak biasa tapi dgn ketak biasa justru menjadi luar biasa.Didalam dunia pewayangan pun ada satwanya. Sang kera yg sakti mandraguna ANOMAN. Ada pesan yg menarik pada sang kera putih yang jelek itu. Mana lebih mulia..kera barhati manusia atau manusia berhati kera.

Thomas Haryanto Soekiran,
17 agustus 2016 purworejo