Sabtu, 03 September 2016

Lumbung Puisi IV



Supi El-Bala

Kepada Badak-badak Ibuku

 “Badak badak badak badak badak...”
 (Kata ibuku pada balita kasihnya disesanjung
Generasi dalam buaian...)
Aku pikir rapalan badak ibuku yang ditiru mantu
Adalah mantra balita, penawar tangis
Atau sedang mewaris nama hewan yang sedarsa kan langka
Atau menoreh garis corpus otak tentang binatang bercula satu
Sekaligus berharap, “semoga anak cucu masih ketemu...!”

 “Badak badak badak...”
Badak ibuku adalah bahasa kampungku yg punah
Bahasa yang jauh dari sign ke refren-nya
 “Berharap tangguh, tak bergeming, tetap panceug
Keyakinannya”

Tak sesentipun Ibuku berdoa untuk bermuka badak
apalagi berpanjang-panjang, menghimpunmu agar berkulit badak !



















Suyitno Ethex

Seekor Binatang

dalam belantara seekor binantang
menyibak belukar dedaunan
sedari pagi hingga petang
mempertahankan kehidupan
mempertahankan keberadaan

musuhnya tak hanya sesama binantang
tapi juga manusia yang lebih binantang
setiap seekor binantang yang ada
saling berebutan di dalam rimba raya

tak jarang ada manusia
masuk ke dalam rimba raya
membawa senjata berburu binantang
yang sifatnya lebih dari binantang

seekor binantang dalam rimba belantara
mempertahankan keberadaannya
mempertahankan kehidupannya
bukan hanya melawan sesama binantang
tapi juga melawan manusia
mojokerto, 9 agustus 2016

















Suyitno Ethex
Kabar dari Rimba

angin dari rimba
pohon-pohon tumbang
hewan-hewan tak tenang
adanya perambah hutan
yang liar lebih liar dari binantang

satwa yang seharusnya dijaga
dikejar ditangkap demi harta
begitu juga pohon-pohon yang ada
ditebangi tanpa sisa

kabar dari rimba
margasatwa dilanda resah
karena pohon-pohon tempat berteduh
dijarah tanpa patuh

segala satwa merana
tempatnya bercinta dilanda
para manusia yang murka
demi harta semata

kabar dari rimba
margasatwa tak tenang hidupnya
margasatwa tak tenang tidurnya
karena istananya dilanda
orang-orang yang lupa
menjaga margasatwa
mojokerto, 16 Agustus 2016



                         


Tajuddin Noor Ganie

Kisah Terhapusnya Jejak Kaki Burung

Sejak lama kicauan burung telah sirna
di belukar fana airmata ini
Jejak kakinya tak lagi nyata di mana-mana
Nyanyiannya tinggal fiksi sebatas legenda saja

Pabrik kayu lapis yang dulu
dibangun berlapis-lapis
Di tepi sungai itulah
yang mengikis habis
nafas–nafas emprit, pipit,
gelatik, bahkan elang raja
Mereka lunglai tak berdaya
di hadapan marabahaya

Dulu, pabrik kayu lapis yang berlapis-lapis itu
memompakan racun ke udara terbuka
setiap hari tanpa jeda
dalam waktu yang lama
melalui cerobong-cerobong asapnya
yang digjaya

Sungguh, lumbung-lumbung racun itu
Telah menuba angkasa dengan semena-mena
Hingga menjadi wilayah berbahaya

Sejak lama jejak kaki burung-burung itu terhapus. Tak lagi berbekas di dahan-dahan pepohonan yang juga merapuh
karena menghirup tuba yang sama

Banjarmasin, 20 Januari 2014





Tajuddin Noor Ganie

Mitos yang Lunglai Dihadapan Waktu

Sejak lama nafas-nafas ikan
Tak lagi berbekas di belukar sungai ini
Banjir yang datang silih berganti
Menderas ke hilir
Membawa tuba yang
Berbiak-biak di hulu-hulu

Hujan membuat tebing-tebing longsor
Tuba yang melekat di sana
terkelupas dan berubah jadi debu
yang begitu ringan mengapung ke hilir

Debu-debu tuba itulah yang
Mengikis nafas ikan
hingga semuanya sirna
Menjadi mitos yang lunglai
di hadapan waktu

Banjarmasin, 20 Januari 2014