Heru Mugiarso
Fabel Anak
Ular dan Katak
“ Katakan
padaku, Kek tentang kaum intoleran negeri ini?”
Kakek Resi
itu sejenak terdiam
Dielus
surai jenggotnya yang memutih
Lalu
suaranya yang berat terdengar :
“ Pernahkah kamu mendengar fabel si anak ular
dan katak?”
“Belum Kek”
Syahdan, begitu Resi itu mulai berkisah
Dahulu anak
ular dan katak itu bersahabat. Sangat akrab
Suatu sore
seusai bermain keduanya pulang ke induknya masing-masing
Induk si
anak ular menegur : kenapa baru pulang?
Dengan
lugunya ia menjawab : aku baru saja selesai bermain dengan teman baruku yang
lucu
Jalannya
tak seperti kita. Dia berjalan dengan meloncat-loncat.
Si induk
marah mendengar penuturan anak katak
Katanya :
Bodoh kamu! Dia itu katak musuh dan
makanan lezat kita
Sebaliknya
pula, karena terlalu sore si anak katak pun dimarahi induknya
Dengan polos
dia berkilah: aku baru saja bermain dengan teman akrabku
Induk
katak bertanya : siapakah temanmu itu?
Dia bukan
bangsa kita, emak. Tubuhnya panjang kalau berjalan melata.
Mendengar
itu Induk katak marah besar :
“ Goblok kamu. Itu musuh bangsa kita. Salah-salah kamu dijadikan
makanannya.
Kakek resi
sejenak terdiam lalu bertanya:
“Kira-kira apa yang terjadi bila keesokan
harinya mereka berdua berjumpa?”
Tentu
mereka masing-masing akan pasang kuda-kuda
Dengan
sorot mata saling membenci
Lupa sama
sekali tentang persahabatan yang terjalin
Selama
ini.
Semarang, 2016
Heru
Mugiarso
Tetesan
Air Burung Colibri
: laskar
PMK
Pernahkah
engkau belajar dari hikayat burung colibri
Tubuhnya
mungil tak seperkasa gagak apalagi rajawali
Tetapi
ketulusannya melebihi kekuatan semua
penghuni rimba
Tak
terkecuali si Raja hutan yang perkasa ?
Alkisah ,
suatu hari hutan tempat tinggal mereka terbakar
Oleh
tangan para durjana yang serakah
Lidah api
panas membakar seakan menggapai langit
Menghanguskan
semua pohon dan belukar
Semua
penghuni rimba berlarian ketakutan
Gajah yang
biasanya gagah kini ciut nyalinya
Harimau
yang garang lari terbirit-birit
Mengambil langkah seribu menjauhi rimba
Hanya
seekor burung Colibri yang tertinggal
dengan
kepak sayapnya yang kecil kesana kemari
mencari mata air
Dipatuknya sumber air dan diteteskan butiran air tak
seberapa itu
Ke belukar
yang terbakar merah saga
Selalu
berulang-ulang hal itu dilakukannya
Membuat
Gajah terheran dan tak bisa menyimpan tanya
: “Wahai
Colibri, apa mungkin dengan caramu itu
Kebakaran
hutan ini bisa engkau padamkan ?”
Apa jawab
burung Colibri atas pertanyaan itu
Gajah pun
terhenyak dan tersindir dibuatnya
Dengan
tutur kata tenang namun sungguh bermakna
dalam
“ wahai sang Perkasa , tugas dan kewajibanku
sudah aku jalankan .”
Semarang, 2016
Jen Kelana
Kutitipkan
Asa Maleo
Rimba Celebes menyemai matayangan
ketapang juga tetumbuhan agathis
bersekutu bibir pantai menyisakan kering
kemudian menjadilah persinggahan
Demikianlah, Linaeus memarka binomial nomenclatur
pada tata nama macrocephalon maleo
menggariskan moyang kingdom animalia
lantas menancapkan jejak
seberang Wallacea dan Weber
Pada pasir yang menyelimuti pesisir pantai
sejoli sejalan itu menggali-gali istana marwah
bagi peletak penerus silsilah leluhurnya
seperti juga kita, yang ingin selalu setia
begitulah maleo menitipkan pesan
melepasliar langsam kerinduan
Kemudian kepak sayap-sayap melemah
tak ada lagi nyanyi di halaman rumah
padahal selalu kurindukan riang anak-anak kecil
bersama senandung dolanan bercengkerama
mungkinkah tersisa cerita untuk selanjutnya
tersebab maleo telah pula berkemas
meninggalkan selaksa kenang
Maka sudahi saja pesta
lantaran tarian-tarian kita menghapus
penanda-penanda maleo dari leluhurnya
dan perburuan itu juga menggaritkan luka
pada lembaran-lembaran cerita anak kita
lalu kutitipkan asa maleo atas bentang sayap-sayap lelah
sepanjang kesat masa tua menulisi
hingga kembali menjadi kisah yang sama
2016
Jen Kelana
Kuau Perenggan Tanah Peladang
Lama tak kulihat riang reranting
dan daun-daun luruh beraroma lembab
sebab dedahan tak lagi mampu mengundang kicaunya
menjadi sesinggahan meski sekejap
Dangau panggung beratap ilalang
hamparan padi gogo rancah musim penghujan
di titik pandang rimba menggeliat
memutar ulang kilasan ruang kekanak
entah pada pusaran ke berapa
Pada bibir-bibir hutan perenggan tanah peladang
sayap-sayap mengepak hinggap
lalu nyaring lengking mendera senja
kuau sendu mematah bulan madu
Masih adakah tempatmu di pertiwi ini?
Sementara hutan tak lagi nyaman
menjadi peraduan sepanjang mimpi
2016
Kurniawan Yunianto
Anak Cicak
makhluk
yang terlihat rapuh itu kembali
datang,
lalu memandangku sekian lama
sepasang
matanya yang kecil berbinar
aku ingin
kenyang semut, seperti kemarin
ayo
jatuhkan lagi remah roti itu di sini
setidaknya
begitulah aku menafsirkan
pandang
mata penuh harap dari sawiyah
seekor
makhluk mungil ruangan ini --
anak cicak
yang berani cari makan sendiri
"sebentar,
aku sedang menuliskannya"
kataku kepadanya,
tapi aku terburu-buru
dua kata
terakhir hurufnya jadi tak rapi
29.07.2014 - KY