Minggu, 04 September 2016

Puisi Karya Arif Khilwa , Ari Witanto di Lumbung Puisi Jilid IV



Arif Khilwa

Kicauan


Didalam sangkar emas
Ia terus berkicau
Menggema dimedia massa
Dan juga media social
Menggiring opini
Menebar kecemasan
Rencanakan anak SD dan SMP
Jadi Kelinci percobaan
Pati, 10 agustus 2016




























Arif Khilwa

Satwa Dalam Cerita

Dalam cerita fabel
Beragam nama hewan disebutkan
Sifat dan tingkah
Terekam jelas dalam ingatan
Bagai pengantar tidur
Si bocah nikmati mimpi dari sisa cerita

Waktu terus berjalan
Imajinasi tak kunjung nyata
Hanya temukan miniatur
Juga patung-patung  satwa

Suara-suara burung berkicau
Dari dalam sangkar
Tergantung di teras rumah sang tuan
Satwa –satwa langka terbantai dirimba
Tersisa di kebun binatang mancanegara

Si bocah tumbuh dewasa
Mengenal satwa
Hanya lewat cerita
Pati,  8 agustus 2016




















Ari Witanto

Mengingat Kampung Rindu
: kaligintung

Aku dengar kembali  merdu burung
Hantu memecah sunyi
Mungkin bertengger di nisan bukit Traunan tempat terakhir
Pangeran Kebo Kenanga beristirahat
Atau pohonan bukit Menoreh dimana lolong Anjing hutan serta
Bajang kerek si belalang yang suaranya rupa tangis bayi
Menyayat nyayat

Mengingat kampung rindu adalah wangi rumput berembun
Di kaki bukitan
Prenjak, perkutut, kutilang selalu menyambut matahari
Dari  dahan mahoni
Tepian sungai dan gareng pong memekak telinga
Menanda pagi segera usai

Sapi sapi terpelihara
Ayam ayam  berkeliaran mencari makan
Dan orang orang  sibuk mengurus sawah, rumput
Serta masa depan anak anak mereka

Jika orong orong berbunyi
Magrib segera tiba, ayam ayam kembali ke kandang
Muda mudi  mulai asik mengaji di masjid bawah bukit makam
Puro Paku alaman

Dan jika genap malam menjelang
Bajang kerek menangis mengiris, guwek
Menyenandung luka pada kesunyi yang remang mengabar
Duka mengabar duka
Esok atau lusa manusia akan berpulang,
Bekasi, 29 juli 2016


Ari Witanto
Cerita Tentang Topeng
ada negeri  dimana orang orang menutupi wajah  dengan rupa  aneh aneh
sebagai pelindung muka  menutup kebenaran untuk membenarkan

suatu ketika
pernah menjumpa rupa manusia dengan  perut buncit  wajah menciut seperti clurut
mengendap endap menuju lumbung berlari menggigit makanan lalu melesat
lari entah kearah mana dan
paginya tersiar kabar lumbung habis pasokan

pula wajah kucing  yang memelas dengan  mata menghiba
wajah kerbau  dungu seolah lugu
bersiasat akan merubah
topeng menjadi serigala paling kejam saat menemu waktu
saat menemu waktu dimana harga adalah: aku
adalah aku raja di antara ribuan topeng topeng yang juga menyerupa
berkeinginan sama

lalu apalagi yang terjadi kecuali pertarungan wajah wajah aneh yang kapan
saja bisa malih rupa
kucing tiba tiba menjadi singa, singa mengecil menjadi clurut lalu membesar lagi
menjadi badak, oh pertarungan

tentu tak Cuma itu, sebab topeng kupu kupu dan marmut begitu lucu
menjadi perbincangan dan bagian dari waktu
dan jika malam menjelang topeng topeng akan mereka lepas
di bekapnya dalam tidur dalam mimpi agar
tak hilang atau terlupa
esok pagi dipakainya kembali topeng itu
menjadi wajah apa saja  guna bersembunyi dari
wajahnya sendiri
bekasi, 15 agustus 2016
Arwinto Syamsunu Ajie

Pintu Kupu-kupu

                      Aku tak sedang mencintai hujan
                      dan seluruh kata-kata yang basah
                      dan memalam

                      Lorong tak sedang mencintai bulan
                      Kabut dan endapan debu-debu jalan
                      tak sedang mencintai lampu dan
                      kepura-puraan

                      Tubuhku kelaras daun pisang
                      --- belum sepenuhnya lepas dari pelepah
                      dan ikatan-ikatan. “Bungkuslah
                      dingin dan inginmu dengan
                      yang kumiliki dan kutawarkan

                       Bahkan seandainya api kau nyalakan
                       cuma membuatku riang terbakar
                       Sebab aku lebih tak mencintai lapar
                       dan kemiskinan
                        2015


















Arwinto Syamsuny Ajie

                        Belibis

                        Kota malam dan pelabuhan
                        seringkali sungai
                        yang menenggelamkan
                        Lihatlah batu-batu terlempar
                        ke dasar kealpaan



                        Sampah-sampah yang mengalir
                        tulisan buruk di atas air
                        o, lengkap juga akhirnya
                        sesuatu sia-sia
                        mengejar muaranya



                        Tapi belibis-belibis pengucapan
                        yang berenang tanpa keributan
                        menggugurkan apa yang kita sangka
                        fiksionalitas bela sungkawa
                        atau pun pengkerean pemaknaan
                        2015