Navys Ahmad
Monolog Para Pembangun Rumah Tanah
saudara-saudara bangsa
manusia
berjuta tahun lalu kami
membangun rumah tanah
di alas warisan nenek moyang
ratu induk
rumah yang menumbuh dari
ludah-ludah
yang merekat kuat
bertingkat-tingkat
berkamar-kamar yang di
dalamnya
kami bertelur,
beranak-pinak
cucu-mencucu,
cicit-mencicit.
berjuta tahun lalu kami
bahu-membahu
kaki-mengkaki,
tangan-menangan
dalam racauan kemelut suara
alam
dalam tiupan hujan tarian
topan
rumah kami tak hancur
rumah kami hanya merapuh.
di alas ini kami taat
beribadah
melaksanakan perintah tuhan
menggigit, memotong,
menggotong
mengumpulkan remah-remah
pohon
tak ada yang menyembunyikan
tak ada yang mengambil hak
bersama
tak ada yang menyakiti
saudara.
saudara-saudara bangsa
manusia
kami yang bicara sekarang
adalah generasi cicit
jutaan tahun
dari cicit cicitnya cicit
moyang kami
para pembangun rumah tanah
di alas warisan moyang ratu
induk.
di alas baru ini kami tetap
taat beribadah
melaksanakan perintah tuhan
kami tetap bahu-membahu
menyatukan tangan dan kaki
kami yang kecil
di antara tarian sendok
semen
di antara deruan buldozer
di antara derap selinder.
kami sekarang membangun
rumah tanah
di atas lantai semen,
konblok, tembok
marmer, keramik, granit,
plastik
dan kami terus bekerja
menggigit, memotong,
menggotong
mengumpulkan remah-remah
semen.
kulit jari-jari tangan kami
melepuh
gigi-gigi kami gemetar
gemeretak
beberapa tanggal gusinya
berdarah.
saudara-saudara bangsa
manusia
kami para pembangun rumah
tanah
telah kehilangan tanah
tapi tak pernah kehilangan
nyala merah dalam darah.
Tangerang, 23-7-2016
Navys Ahmad
Salam dari
Kami
jika kau tebang ratusan rumah pohon kami
di manakah anak-cucu kami kelak berayun
berloncatan, bahkan terkadang terjatuh
mereka begitu polos tak pernah paham masa depan
tak ambil pusing masalah berat yang menimpa
yang mereka pikirkan adalah bermain dan makan
bermain di atas dedaun rimba raya dan menikmati
hidangan berkah alam raya di bawah kucuran hujan
mereka tidak seperti kami para orang tua yang meratap
meratap pada nasib meratap pada hukum alam keseimbangan
ya, kami telah banyak makan buah kesabaran atas tumbanganya
rumah-rumah harapan kami yang digergaji mesin, dibelah,
dihiris
lalu dibawa ke kota-kota peradaban yang melindunghangatkan
anak-anak para penghuninya begitu cinta dan mesra
sedangkan anak-anak cucu kami terpasung di batang hitam
tertusuk asap tebal, terkapar mengerang di hamparan arang.
Balada Jalak Bali
Ingin ku bertanya padamu
beberapa hal
tentang duka yang merambati
pagar matanya
tentang piala kecemasan
yang selalu bertamu di kedua sayap kecilnya
Warna biru yang melingkari
matanya
tlah menulis berlapislapis
larat sepucat lantunan obituari
Bilah-bilah kedamaian
beranjak,
kicauan buntung asa puntung
mati terkapar di tanah
merah serakah
serabut jantungmu
Seandainya kau paham
tentang getar cahaya di mata anakmu
kau kan paham juga denyar
puisi di hutan ini
yang telah mengaliskan
ingatan tentang alinea gairah pepohonan,
belukar dan kepak sayap
yang menjadi ibu bagimu
dan bagiku
Desing peluru tlah menghentikan
kepak sayap itu
ujung senapanmu menelisik
setiap sudut hutan
Stagnan. Retak
Belulang sepi menjulurkan
lidah kegelapan di sekujur tubuhnya
Tiada lagi sehimpun puisi
tentang derit pagi
atau tentang detak kehidupan
yang hidup
Hanya sunyi mengular di
belukar dingin
mengunyah angkara dan
serakah sekaligus
menjadi seseduh cuka
( Tegaljaya, Februari 2016)
Ni Made Rai Sri Artini
Sekawanan Luka
Bersarang
di Liang Matamu Beku
" Jika aku bisa
memilih, suatu saat aku ingin lahir menjadi manusia
bukan menjadi pengadilan
bagi hutan-hutan dan isinya namun mencangkokkan cinta di setiap dahan
pepohonan."
Rimbun airmata tambun di
matamu beku
Hamburan sepi dan ngilu
mengular di pembuluh tangis
Mengurai tubuh hutan sawit
menjelma asing yang renik
berkas cahaya di belukar
hatimu tak untuk sesiapa
Tak jua untuk hidup yang
tak pernah kau tahu ujungnya
Kau merebah letih di
permadani sawit
mendesing memburu
mimpi-mimpi
yang kelam akan pentas
darah
Kau tak mampu lagi menjerit
atau mendengar sesuara
hanya letupan peluru
menulis garis hidupmu
Kau rumahkan harapan pada
angin bisu
mengangankan ketenangan
laksana senyap embun, kebebasan laksana udara
tak mampu lagi menghitung
hari di tempat rehabilitasi
tuk mengusir onggokan
tekanan yang melesak ke bilik ingatan
Rumpun puisi dadamu berhamburan lesat menemui langit
sesedih uap kopi tanpa kata
lesap ke baitbait angin
menjelma awan-awan
pancaroba penuh kerak kesumat
Sekawanan luka bersarang di
liang matamu beku
Di bilik keramat,
sunyi
Tak terjamah apa pun,
Meski hanya kucur kekata
atau bahkan helaan nafas sekalipun
( Tegaljaya, Februari 2016)
Novia Rika
Di Lengkung Garis Langit
Taiga
Di batas cakrawala terentang
Hutan salju remang
Di atas taiga berselimut lumut
Menerang lumut tua yang membusuk
Dimana lengkung krummholz terpahat
oleh angin putih
es
Menyebar tahun demi tahun
Matahari binasa
Di tengah angin malam
Mengekalkan lenggang angin
Dalam percakapan panjang dengan awan
menari bebas
menari lepas
Bulu-bulu keperakan bersinar
Di atas pecah matahari yang terbenam
Penyingkapan masa
Di antara batu-batu dimana
pepohonan yang terpencar, belur
Di rimba dataran tak berpohon
Jantung berdetak
Menyentak otot-otot kuat
Melayang di udara
Berlari liar di angin-angin
Di atas stepa tinggi
Melesat pemangsa bernafsu
Dekur lembut burung hantu
Di atas jemari konifer
Mengalun melintasi tanah permafrost
sebuah lullaby
merdu menawan
Kelinci liar menyelinap dalam gelap
Rusa liar merebahkan tanduk di semak dingin
Di atas cadas tepi bukit serigala kelabu berdiri terang
Di bawah rembulan
Melepas mata sengit
Terlampau dingin dari serpih salju
Penguasa tundra yang
jauh
Novia Rika P
Bumi Manusia dan Laga satwa
Permainan warna di punggung bukit
Melukis musim, kering, ranggas
Burung-burung lama t'lah lepas, ke langit
Bermigrasi ke tanah seberang samudera
Hening suara langit
Di pucuk musim, daun-daun gugur ke bumi
Angin kering membunuh semi
Di sudut langit warnanya pun runtuh
Terlecut terik yang menyurutkan mata air
Lebah t'lah gila menghisap bangkai bunga
Kupu-kupu menjilat kulit kayu yang bernanah getah
Kelinci terguling di liang-liang, menangkis mata pemburu
Tupai-tupai hilang di padang rumput gersang
Babi menerjang ladang-ladang
Sapi susut, kambing mengkerut
Rusa-rusa turun ke bumi
Dan harimau mencari mati di mata manusia,
ganas karena
takut,
takut
karena karma menjelma
di
bumi manusia dan laga satwa
berebut kehidupan
Akasia, 4 Agustus 2016