Minggu, 04 September 2016

Puisi Karya Amrin Moha , Anggoro Suprapto , Anjrah Lelono Broto di Lumbung Puisi Jilid IV



Amrin Moha

Menanyakan Hari Libur

Setiap bangun tidur. Setiap menuju perjalanan pulang. Aku tak hentinya-hentinya mentap wajah buram dari deretan wajah kota. Bunga-bunga layu dipinggiran jendela. Siulan tetangga yang burungnya meninggal. Haus dibiarkan mematung sendiri. Menunggu kerelaan hujan yang tak kunjung mengguyur majikan.

Setiap mentap jam didinding rumah. Penglihatan dan perasaan ku seperti dirayapi usia. Tanpa suara burung dan bunga-bunga. Bukan wangi-wangian para pengguna jalan. Justru olokkan anjing penjaga kantoran di pinggir kota.

Aku rindu tidur lebih lama dari kelelawar. Saat orang-orang kota pergi dengan kepala lama mereka. Aku menunggu dengan curhatan dibalik puggung yang jadi tempat semut-semut berdiskusi dengan kutu. Busuk dan penuh nama-nama yang dirahasiakan.

Andai saja, kau memiliki sikap yang lebih lembut dari bulu anak ayam, kau tak akan melewati jembatan sebagai batas penghubung. Karena setiap kali aku melihat wajah kota yang mengerikan itu. Penuh dengan tanda tanya. Keinganan dan kebebasan yang diharapkan, sebagai simbol ketidak warasan.

Cirebon, 03 Agustus 2016



Amrin Moha

Kodok Mati di Ladang Sendiri

Aku tidak terbiasa menulis sajak binatang yang menumpang hidup dibalik jasnya. Yang mejanya dipenuhi makanan dari hajatan warga. Yang minumanya bekas dari keringat ketiak pekerja lahan negara.

Di manapun, binatang yang mengangkang dibalik lahan negara, tidak hanya tikus dan kucing. Kodokpun hidup di dalamnya. Bahkan kodok bisa lebih cerdik dalam hal kabur dari kejaran pemangsanya. Lebih licin dari belut sawah yang dikejar orang-orangan sawah.

Kodok yang suka dikejar itu, sekarang sudah mulai menua dimakan usia. Sudah kelebihan makanan dari daratan dan lahan tempat mengumpatnya dibalik bilik perairan pesawahan.

Bahkan jaman sekarang kodok lebih sering ngoceh saat malam. Saat semua orang-orang sibuk manafkahi isterinya. Tidak banyak yang tahu apa kalimatnya. Yang jelas, kodok mulai gerah dengan lahan yang mulai menyempit. Kanan kiri dinding dendam. Dihimpit.

Kodok mulai ngoceh lagi. Sukar bernafas, katanya. Masih sadar. Kodok sudah mulai berwasiat. Sembunyi dibalik pemakaman yang digali sendiri. Kodok mati kekenyangan di ladang sendiri. Busuk dan dibiarkan mendengar namanya disebut-sebut.

Cirebon, 04 Agustus 2016



Anggoro Suprapto

Kawanan Burung di Atas Kabel

Hari baru berangkat pagi, ketika
Sekawanan burung bertengger
Di atas kabel listrik, berjajar
Memanjang seperti pasukan
Kota masih sunyi, udara tak berbunyi
Lengang menyibak kenangan
Tak ada detak nadi, waktu pun mati
Oi, geliat metropolitan sepi sekali
Bagai kawasan tak berpenghuni

Cakrawala masih sendiri
Ritual pagi kawanan burung dimulai
Di atas kabel bertengger memanjang
Saling berdesakan hangatkan badan
Meminum embun yang menetes diam

Seekor anak burung muda bertanya pada mama di sebelahnya. "Mama, kenapa kita bertengger di kabel listrik berbahaya? Kenapa tidak bertengger di rimbunnya pepohonan mangga?" Semua burung yang mendengar menghela nafas dalam. Alam berkelap-kelip kelam. Semua menunggu jawaban. Mama burung belum menjawab hanya memejam. Angin pagi mulai bertiup sejuk. Mengusap bulu-bulu burung yang merunduk.

Matahari pun mulai bersinar. Mengirimkan kehangatan alam yang berpendar. Saat itulah, Ketua kawanan burung menegakkan dada mengangkat kepala. "Wahai saudara-saudara burung semuanya saja," katanya. Mereka terdiam. Anak burung juga diam. Semua seksama mendengarkan. Ingin dengan jelas mendapatkan wejangan. Sadar, sekarang dalam pusaran alam kasunyatan. "Sebentar lagi siang, kita semua akan terbang ke jauh ke selatan. Mencari kota baru yang ramah lingkungan," kata Ketua pelan.

Maka berkisahlah Ketua Burung
Suaranya Parau mendengung
"Ketahuilah hai bangsa burung," tuturnya
Kota-kota besar sekarang pada mati
Tak ada tempat berpijak lagi
Pohon-pohon hijau digantikan

Jutaan kabel-kabel bertebaran
Hutan kota disulap jadi hutan beton
Menjulang tinggi tak ada tawon

Kita tak bisa minum air sungai
Penuh limbah pabrik, sampah, dan
Plastik yang tak bisa diurai
Kita tak bisa mematuk cacing tanah
Plesteran keras melapisi lemah

Udara menyesakkan nafas
Cerobong pabrik dan jutaan kenalpot
Dari kendaraan terus mengepot
Tak ada yang bisa diharapkan
Dari kota yang mati hati nurani
Kata Ketua mengakhiri

Ketika hari makin siang, kawanan burung berarak terbang, ke selatan. Mungkin perjalanan panjang nan jauh. Jauh sekali. Mencari kota impian, bukan kota mati. Kota yang penuh pepohonan, dekat sawah dan hutan. Kota ramah lingkungan.
Semarang, 16 Agustus 2016.


Anjrah Lelono Broto

Harimau yang Hilang Pandang Nyalang, Aum


telah hilang pandang nyalang itu. tak tahu
hilang di mana? dihilangkan siapa? lalu,
apa kita harus menangis menderu dalam debar deburan debu?
empu pandang nyalang itu pun juga kehilangan aum. tak tahu
hilang di mana? dihilangkan siapa? lalu,
apa kita harus menangis menderu dalam debar deburan debu?
jeruji-jeruji bisu itu yang tahu, hilang di mana, dihilangkan siapa
pandang nyalang dan aum itu. sayang, meski mereka
bukan batu namun mereka musykil mengeja aksara
tentang nestapa kepergian pandang nyalang dan aum yang di rimba
begitu perkasa. tak pernah ada yang menangis, tak pernah ada yang
membincang, hingga ajal datang pada empu pandang nyalang
dan aum itu karena kelaparan.
Yang bersinggasana di perutnya, bukan daging segar
kaya vitamin dan kaya mineral mineral,
justru daun-daun, kulit kacang, dan sampah bungkus nasi,
tersisa di perut yang kini membangkai
terlalu banyak kehilangan pada harimau itu, ahai
di kebun binatang

Mojokerto, 2016
Anjrah Lelono Broto:

Tikus-Tikus Candi Tikus
--- sebuah sajak pamflet


andaikata tiba-tiba terlukis wajah tikus di cermin kamarmu,
apakah kau malu? apakah kau malu? apakah kau malu?
andaikata tiba-tiba ternyata
tikus adalah moyang dalam silsilah keluargamu,
apakah kau mampu jujur mengaku? kau? kau?
jikalau lalu bertahtalah seorang guru di dalam kelas,
yang bagimu menjewer telinga anakmu tanpa belas,
apakah kau juga melapor ke kantor polisi lekas-lekas?
sementara, wajah di profil sosmed anakmu, bapak-ibu,
adalah wajah seekor tikus. 

tanpa kutanya pada rumput yang bergoyang
tentu kalian bantah dengan suara gundah
kalau tikuslah dirimu, tikuslah leluhurmu, tikuslah anak-cucumu
karena kita, manusia-manusia di dunia
hanyalah pemuja kautaman
namun bukan pelakon-pelakonnya di panggung kehidupan
kita pandai menuturkan tapi jauh api dari panggang
k’tika jejak kita buat di jejalanan kehidupan

tapi kamu bukan aku
kamu, kamu, kamu, kamu, kamu, kalian bukanlah aku
karena aku menancapkan pisau di dada kemunafikan
dengan jantan membuat proklamasi pengakuan
bahwa aku adalah binatang berotak-berpikiran
aku adalah tikus yang mengerat habis kambium-kambium bumi
aku adalah tikus yang menyetubuhi undang-undang demi kursi
aku adalah tikus yang mengangkat agama semata panji-panji

mengapa aku begini