" Jika aku bisa memilih, suatu saat
aku ingin lahir menjadi manusia
bukan menjadi pengadilan bagi hutan-hutan
dan isinya namun mencangkokkan cinta di setiap dahan pepohonan."
Rimbun airmata tambun di matamu beku
Hamburan sepi dan ngilu mengular di
pembuluh tangis
Mengurai tubuh hutan sawit menjelma asing
yang renik
berkas cahaya di belukar hatimu tak untuk
sesiapa
Tak jua untuk hidup yang tak pernah kau
tahu ujungnya
Kau merebah letih di permadani sawit
mendesing memburu mimpi-mimpi
yang kelam akan pentas darah
Kau tak mampu lagi menjerit atau
mendengar sesuara
hanya letupan peluru menulis garis
hidupmu
Kau rumahkan harapan pada angin bisu
mengangankan ketenangan laksana senyap
embun, kebebasan laksana udara
tak mampu lagi menghitung hari di tempat
rehabilitasi
tuk mengusir onggokan tekanan yang
melesak ke bilik ingatan
Rumpun puisi dadamu berhamburan lesat menemui langit
sesedih uap kopi tanpa kata
lesap ke baitbait angin
menjelma awan-awan pancaroba penuh kerak
kesumat
Sekawanan luka bersarang di liang matamu
beku
Di bilik
keramat, sunyi
Tak terjamah apa pun,
Meski hanya kucur kekata atau bahkan helaan nafas sekalipun
(
Tegaljaya, Februari 2016)