Puisi
ibarat rekaman masa lalu. Potret penyair akan peristiwa yang dilihatnya,
dialaminya, dimata kepala sendiri. Tangan-tangan penyair mencatat semua itu
dengan bahasanya yang penuh pesan. Peristiwa menjadi diingat karna puisi itu
dan puisi menjadi prasasti sejarah dari kesaksian penyair.
Anak-anak tidak akan tahu mayat bergelimpangan
di jalan antara Kerawang dan Bekasi demi kemerdekaan bangsa ini andai Chairil
Anwar tak menulis puisi.
Begitu
juga peristiwa lainnya banyak dicatat penyair dalam puisi. Puisi sejarah ini
terkadang menjadi terkenal dikarenakan peristiwa yang dilukiskan dalam puisi
itu menggugah apresiasi pembaca. Karena itulah puisi menjadi bernilai sejarah.
Mungkin
saja berpendapat puisi diperuntukan untuk hadiah seseorang, bingkisan moment
tertentu, atau mencatat peristiwa sejarah. Seperti puisi 'Kerawang Bekasi'
karya Chairil Anwar itu boleh jadi puisi dengan kandungan nilai sejarah bangsa
ini.
Bahasa
Chairil tentu beda dengan bahasa Zubidah Djohar, penyair ini juga mencatat
sejarah lewat puisi. Apa yang dilihat
dan dicatat Chairil dialami oleh Zubaidah Djohar dalam waktu yang berbeda. Ia menyaksikan tragedi dengan menulis puisi
yang menjadi terkenal seperti halnya Chairil Anwar. Berikut cuplikan puisinya:
CEROBONG YANG BERKABAR
Zubaidah Djohar*
Entah
cerobong mana
Yang
mengabarkan
Periukku
mengenyangkan
Kaum
pemberontak
Cawanku
menghilangkan
Dahaga
yang sesak.
Aku
diambil paksa
Dibawa ke
Meunasah
Dibawa ke
Kompi.
Dua hari
dua malam
Ragaku
perih
Perih
dalam lumpur luka
Yang
bercuka
Tak puas
dengan jawabku
Kodim pun
menunggu nyata
Tiga belas
hari lamanya, tubuhku
Lebur
dalam sejarah
Hitam
pekat!
(2008)
*Zubaidah
Djohar yang akrab disapa Penyair Zhu (lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat)
adalah seorang aktivis kemanusiaan, peneliti dan penyair Indonesia dari Aceh.
Ia banyak menyuarakan masalah kekerasan di Aceh dalam syair-syair puisinya,
terutama keberpihakan terhadap kaum perempuan korban kekerasan