Kamis, 21 Juli 2016

Memotret Peristiwa Sejarah (Kesaksian Puisi)




   Puisi ibarat rekaman masa lalu. Potret penyair akan peristiwa yang dilihatnya, dialaminya, dimata kepala sendiri. Tangan-tangan penyair mencatat semua itu dengan bahasanya yang penuh pesan. Peristiwa menjadi diingat karna puisi itu dan puisi menjadi prasasti sejarah dari kesaksian penyair.
Anak-anak tidak akan tahu mayat bergelimpangan di jalan antara Kerawang dan Bekasi demi kemerdekaan bangsa ini andai Chairil Anwar tak menulis puisi.

   Begitu juga peristiwa lainnya banyak dicatat penyair dalam puisi. Puisi sejarah ini terkadang menjadi terkenal dikarenakan peristiwa yang dilukiskan dalam puisi itu menggugah apresiasi pembaca. Karena itulah puisi menjadi bernilai sejarah.

   Mungkin saja berpendapat puisi diperuntukan untuk hadiah seseorang, bingkisan moment tertentu, atau mencatat peristiwa sejarah. Seperti puisi 'Kerawang Bekasi' karya Chairil Anwar itu boleh jadi puisi dengan kandungan nilai sejarah bangsa ini.

   Bahasa Chairil tentu beda dengan bahasa Zubidah Djohar, penyair ini juga mencatat sejarah lewat puisi.  Apa yang dilihat dan dicatat Chairil dialami oleh Zubaidah Djohar dalam waktu yang berbeda.  Ia menyaksikan tragedi dengan menulis puisi yang menjadi terkenal seperti halnya Chairil Anwar.  Berikut cuplikan puisinya:


CEROBONG YANG BERKABAR
Zubaidah Djohar*
Entah cerobong mana
Yang mengabarkan
Periukku mengenyangkan
Kaum pemberontak
Cawanku menghilangkan
Dahaga yang sesak.

Aku diambil paksa
Dibawa ke Meunasah
Dibawa ke Kompi.

Dua hari dua malam
Ragaku perih
Perih dalam lumpur luka
Yang bercuka

Tak puas dengan jawabku
Kodim pun menunggu nyata

Tiga belas hari lamanya, tubuhku
Lebur dalam sejarah
Hitam pekat!
 (2008)

*Zubaidah Djohar yang akrab disapa Penyair Zhu (lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat) adalah seorang aktivis kemanusiaan, peneliti dan penyair Indonesia dari Aceh. Ia banyak menyuarakan masalah kekerasan di Aceh dalam syair-syair puisinya, terutama keberpihakan terhadap kaum perempuan korban kekerasan