Hadi sastra / Washadi
MEMBACA BINATANG
: analogi realitas dan makna
Aku tak ingin menjadi macan jika jiwaku
gersang
tanpa rerimbun hutan yang mengayomi
tanpa kawanan binatang yang
mengelilingi
tanpa titah yang ditaati. Tak bernyawa
hanya auman kosong, cakaran kuku-kuku
cuma membekas
Sungguh tak ingin. Jika tahta menjadi
belenggu
mengekang kekuatan sahaja
Aku tak ingin menjadi gajah jika raga
yang diterka
dengan kekokohan otot belalai
sanggup mencabut pohon hingga ke ujung
akar
atau meratakan benteng beton
namun tunduk oleh angkusa dan serati
Sungguh tak ingin. Jika kebesaran tak
berharga
tanpa kedalaman ilmu dan logika
Aku tak ingin menjadi burung jika
terbangku kopong
tanpa keyakinan arah dan tujuan
tanpa ketangkasan melawan angin
sebentar di dahan, mengumbar siul dan
kicauan
lalu mengawang lagi. Lepas
Sungguh tak ingin. Jika kebebasan
menjadi petaka
menyekat ketajaman paradigma
Pun tak ingin menjadi semut, lebah,
kelelawar
dan binatang-binatang lain yang
berkelompok
jika hanya sebatas beramai-ramai
namun tak paham realitas dan makna
terbius oleh kuantitas. Tanpa kualitas
Sungguh tak ingin. Jika kebersamaan
menjadi hampa
mengaburkan kedahsyatan koloni
Tangsel,
Juni 2016