Jumat, 29 Juli 2016

Hadi sastra / Washadi MEMBACA BINATANG



Hadi sastra / Washadi
MEMBACA BINATANG
: analogi realitas dan makna

Aku tak ingin menjadi macan jika jiwaku gersang
tanpa rerimbun hutan yang mengayomi
tanpa kawanan binatang yang mengelilingi
tanpa titah yang ditaati. Tak bernyawa
hanya auman kosong, cakaran kuku-kuku cuma membekas
Sungguh tak ingin. Jika tahta menjadi belenggu
mengekang kekuatan sahaja 

Aku tak ingin menjadi gajah jika raga yang diterka
dengan kekokohan otot belalai
sanggup mencabut pohon hingga ke ujung akar
atau meratakan benteng beton
namun tunduk oleh angkusa dan serati
Sungguh tak ingin. Jika kebesaran tak berharga  
tanpa kedalaman ilmu dan logika 

Aku tak ingin menjadi burung jika terbangku kopong
tanpa keyakinan arah dan tujuan
tanpa ketangkasan melawan angin
sebentar di dahan, mengumbar siul dan kicauan 
lalu mengawang lagi. Lepas 
Sungguh tak ingin. Jika kebebasan menjadi petaka
menyekat ketajaman paradigma 

Pun tak ingin menjadi semut, lebah, kelelawar
dan binatang-binatang lain yang berkelompok
jika hanya sebatas beramai-ramai
namun tak paham realitas dan makna
terbius oleh kuantitas. Tanpa kualitas
Sungguh tak ingin. Jika kebersamaan menjadi hampa
mengaburkan kedahsyatan koloni
                                                            Tangsel, Juni 2016