Dedy Tri Riyadi, Rusa
Balada Tukang Kuda
Dia hampiri
hamparan rerumput
dengan sejumput niat
-- meletakkan kiat
melekat erat
pada sebungkuk punggung.
Punggung yang lama
memanggungkan sejarah agung
laskar penyerbu bermata
lamur dari sebelah timur.
Punggung yang ketika
membungkuk,
sedepa demi sedepa
bangsa-bangsa bangkit dan takluk,
dan mengira kutukan
telah ditimpakan
sejak besi-besi itu
ditempa.
Meski besi berupa
sanggurdi dan ujung pelana,
dia juga pedang dan
cerana.
Pada sisinya, dia merasa
dunia jadi meja judi
dan sebuah kekalahan
pertama.
Tapi dia bukan seorang
dari Pandawa.
Dia hanya tukang kuda.
Pemelihara yang memicu
sebuah pacuan
dan penyedia pakan. Dan
pada hamparan rerumput itu,
dia berjalan.
Dia berjalan seperti
membawa susu
untuk bayi dalam
dirinya. Dunia, katanya,
tak lebih dari dengus
semata.
Selebihnya gema.
Karenanya dia berjalan,
bukan berlari.
Sebab dia membawa bayi
dalam diri.
Bayi yang belum bisa
mengerti
betapa bahaya ular yang
menanti
di dekat akar dan sumber
air.
Ular yang mengerti --
"O. Betapa sukar bisa memberi..."
Dia berjalan di
rerumputan
tidak seperti Gautama
pada kuntum padma.
Dia akan berjalan sampai
padam warna matahari.
Sampai semua kuda habis
dipacu,
di bawah basuhan biru
langit itu.
Langit yang terbuka serupa
matanya.
Serupa pandang yang tak
tamat ditumpahkan
pada sebuah padang, di
mana dia temukan
-- dirinya seperti deru
ladam
di dalam sebuah pacuan.
Dan dia dengar kembali
gemerincing itu.
2016