Selasa, 13 Agustus 2019

Mim Aly Mursyid. HAL TUJUH BELAS AGUSTUS

Mim Aly Mursyid adalah penyair Sumenep , berikut Puisinya dalam antologi internasional :

Mim Aly Mursyid.

HAL TUJUH BELAS AGUSTUS

Tujuh belas Agustus nanti,

Bakal kembali kita mengusik diri sendiri dengan kenyataan pahit negeri ini.

Tuan pemimpin negara

Berdiri tegak di podium upacara lalu bercerita seperti tahun-tahun sebelumnya;

Dengan tersenyum Ia menyebut angka usia negara kita telah merdeka

Tetapi lupa menyebut berapa jumlah anak-anak tak sekolah di pelosok desa

Ia menunjuk gagah foto wajah para pejuang dan pahlawan

Tetapi tak pernah mau peduli pada wajah-wajah tak punya pekerjaan

Akan pula ia ingatkan kita bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai perjuangan pahlawannya

Tetapi ia lupa bahwa di banyak tempat bos-bos enggan menghargai kerja keras para buruh dengan upah yang utuh

Tujuh puluh empat tahun Indonesia telah merdeka

Angka yang belia bagi usia suatu bangsa

Tetapi amat lama sampai hari kita melihat dan mendapati kenyataannya

Tujuh belas Agustus,

Itulah suatu hari dimana kita semua tetiba jadi pelupa

Lupa bahwa ada beda makna buruh dan budak

Lupa kalau merdeka artinya kita tak saling memangsa

Lupa bahwa ini bangsa milik bersama bukan segolongan kaya saja

Tuan pemimpin negara itu,

Kalau nanti di pidatonya ia mengajakku mensyukuri kemerdekaan ini

Aku hanya akan bertanya sejauh mana ia telah mengusir Belanda yang bergumpal di alir darahnya

Madura, 2019



Puisi dapat dijadikan berbagai pesan termasuk nasehat. Pesan itu disampaikannya lewat puisi dengan bahasa puisi dan cara puisi menyampaikan pesan. Mim Aly Mursyid pandai merangkai kata hingga menjadi puisi pesan untuk mengingatkan bangsa ini akan jerih payah para pahlawan merebut kemerdekaan. Sedang 'mereka yang beruntung di masa ini tidak pernah tau bagaimana perjuangan itu. Mereka hanya menikmati hasil perjuangan itu, bahkan lupa pula pada sesama yang belum beruntung.

//..../ Tujuh belas Agustus,

Itulah suatu hari dimana kita semua tetiba jadi pelupa

Lupa bahwa ada beda makna buruh dan budak

Lupa kalau merdeka artinya kita tak saling memangsa

Lupa bahwa ini bangsa milik bersama bukan segolongan kaya saja/ ...//

Pesan yang tersurat menjadi tegur pengingat bahwa kemerdekaan ini bukan milik seseorang atau segolongan. Mim Aly Mursyid tampaknya berhasil dalam hal ini dan Selamat untukmu Mim Aly Mursyid.

Syahriannur Khaidir AGUSTUS DAN WANGI MERAH PUTIH.

Mari kita lihat puisi Syahriannur Khaidir dalam puisi-puisi internasional .

Berikut puisinya:

berjudul :

Syahriannur Khaidir

AGUSTUS DAN WANGI MERAH PUTIH.

Agustus dan wangi merah putih

Kau tersenyum sambil memegang dada

Entah luka

Entah duka

Entah desakan tanya

Merdekakah kemiskinan

Merdekakah kebodohan

Merdekakah

O pejuang

Tetaplah rapatkan barisan

Hingga merah

Hingga putih

Tak lagi tertatih menahan rintih

Sampang, Juli 2019



Puisi pendek Syahriannur Khaidir yang berjudul Agustus dan wangi Merah putih pantas sebagai puisi internasional. Gayanya cukup mengulas satu yaitu bendera Merah Putih. Di bendera merah putih ini tersimpan berbagai sejarah kesaksian dari sebuah bendera merah putih.

Ia merah putih, yang menyimpan kesaksian panjang sejarah negeri ini, berbagai peristiwa lara hingga perjalanan merdeka,

Pokoknya merah putih tetap berkibar di rumah si miskin dan di rumah si lapar. Di meja si bodoh dan di meja si pintar. Seakan merah putih tak membedakan siapa.

//.../Tetaplah rapatkan barisan

Hingga merah

Hingga putih

Tak lagi tertatih menahan rintih//. Demikian samian Syahriannur Khaidir piawai , hanya satu benda merah putih mampu membawa puisi ini syarat makna. Selamat untukmu Syahriannur Khaidir. (Rg Bagus Warsono, kurator di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Senin, 12 Agustus 2019

"Kubaca" karya Suyudi Akbar Sujudi Akbar P

Kembali kita simak puisi-puisi internasional, berikutnya "Kubaca" karya Suyudi Akbar Sujudi Akbar Pamungkas.

SUJUDI AKBAR PAMUNGKAS:

---------------------------------------------------

KUBACA

kubaca berkali indonesia

adalah negeri subur kayaraya

tapi berkali kurasa indonesia

tiada belaskasih kemiskinan ini

kian akut di perkampungan orang

kubaca berkali indonesia

adalah negeri besar merdeka

tapi berkali kurasa indonesia

tak juga memerdekakan nasib ini

dari belenggu penindasan sesama

berkali kubaca indonesia

adalah negeri adil sejahtera

tapi kurasa berkali indonesia

tiada pernah berlaku bijaksana

saat kekuatan merampas hak kita

berkali kubaca indonesia

adalah negeri anti rasuah

tapi kurasa berkali indonesia

tak sepenuh hati memberantas

penjarahan dan pungli kehidupan

indonesia, berkali kubaca

ternyata hanya serial elegi jelata

negeri dongeng abadi para pemimpi

di sini hanya kekuatan berkuasa

nasibku hidupmu apa mau dikata

(part, 010819)


Puisi yang manis dan tampak tegak dan sebait baris puisi yang kaya makna dan pesan. Suyudi Sujudi Akbar Pamungkas memang padai mengolah kata. Adalah seorang penyair, apa pun bisa dibuat puis dengan ketajaman naluri dan pengalaman serta kekayaan pilihan kata yang baik.

Ada banyak pesan yang terkandung dalam puisi di atas, yakni Sukma memotret tetang rasa kecewanya terhadap negeri yang ia puja. Namun kekecewaan itu ternyata oleh ulah manusia-manusia Indonesia juga yang tengah berkuasa. Penyair hanyalah penyampai pesan , perubahan itu terletak bagaimana apresiasi itu diimplementasikan dengan perubahan yang baik. Akhirnya hanya penyair cuma menyampaikan dan bukan berarti pasrah tetapi berjuang lewat tulisan atau caranya tersendiri.

Tampaknya Suyudi Sujudi Akbar Pamungkas berhasil menjadikan puisi ini bersinar. (Rg Bagus Warsonio, kurator sastra di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Puisi Hasani Hamzah SEPASANG WARNA

Berikutnya kita simak kembali puisi-puisi internasional. Kali ini kita ulas puisi Karya Hazani Hasani Hamzah penyair asal Madura. Hasani Hamzah namanya kian dikenal dan termasuk yang aktif dan produktif di Madura menyusul penyair-penyair lainnya . Madura dikenal sebagai gudang penyair Jawa Timur yang kebanyakan dari kalangan pesantren di Madura.

Berikutnya kita simak kembali puisi-puisi internasional :

Puisi Hasani Hamzah

SEPASANG WARNA

Sepasang warna adalah bendera

Adalah juga usia

Yang berkibar dan melambai

Dalam sepi aku merindu kampung halaman

Tempatku dilahirkan

Dan menyusu cintamu

Ibu, lagu mu tetaplah merdu

Di musim yang retak

Bukan bintang-bintang atau bianglala

Yang kau pinta

Hanya sepasang warna sebagai bendera

Yang ingin terus kau tancapkan

Dihalaman pagi

Bagi anak-anak sejarah mu

Sapeken – Sumenep, 25 Juli 2019

Hasani Hamzah juga menjadikan objel Merah Putih, dwi warna bendera negara kita sebagai sorotan puisinya. Bendera Negara Indonesia yang secara singkat disebut bendera negara adalah Sang Merah Putih atau Sang Saka Merah Putih, atau Merah Putih, atau kadang disebut Sang Dwiwarna (dua warna) ini memiliki kesaktiannya tersendiri.

Hasani Hamzah merangkum tentang merah putih itu. diambil dari warna panji atau pataka Kerajaan Majapahit pada abad 13 itu adalah dualisme alam yang saling berpasangan. Sejarah menyebut menyebut penggunaan bendera merah putih dapat ditemukan dalam Pararaton; menurut sumber ini disebutkan balatentara Jayakatwang dari Gelang-gelang mengibarkan panji berwarna merah dan putih saat menyerang Singhasari. Hal ini berarti sebelum masa Majapahit pun warna merah dan putih telah digunakan sebagai panji kerajaan/negara.

Dari semuanya itu merah putih mendapatkan tempatnya tersendiri di hati rakyat Indonesia, sebagai bendera yang slalu melekat di hati anak negeri.

//.../Dalam sepi aku merindu kampung halaman

Tempatku dilahirkan

Dan menyusu cintamu

Ibu, lagu mu tetaplah merdu

Di musim yang retak/....//

Puisi pendek yang cukup manis dan syarat makna.

(Rg Bagus Warsono, kurator sastra di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Sami'an Adib Taman Makam Pahlawan

kali ini kita simak puisi Sami'an Adib , penyair muda asal Jember yang cukup produktif dan namanya mulai dikenal di jajaran penyair elit Jawa Timur . Berikut puisinya :

Sami'an Adib

Taman Makam Pahlawan

Sebelum koloni penjajah datang menjarah

bumi ini gemah ripah loh jinawih

buah meruah, rempah melimpah

tapi penjajah telah menoreh catatan kelam

di dinding dada ini dengan luka mendalam

jiwa terpasung dalambebayang laku kejam

setelah para penjarah asing terusir

negeri ini tak jera mengangkat pamor

tambang bertebaran, tanah lahan kian subur

tapi gemuruh gundah yang menyesaki dada ini tak jua reda

sebab pengorbanan para pejuang belum setara tanah merdeka

ketika rakyat masih terperangkap dalam kubang jerat derita:

sering kita dengar jerit petani di tumpukan hasil panennya

tertimbun sisa-sisa komoditi impor yang datang tiba-tiba

dengan dalih bahan kebutuhan masyarakat mulai langka

sementara di gedung parlemen tak mereka temukan sesiapa

mungkin masih sibuk bersafari mempersiapkan bilik niaga

untuk memajang kursi jabatan dengan segala rahasianya

kucoba menghimpun serpih juang di kelopak kamboja

taman kenangan makam pahlawan yang nyaris dilupa

untuk kutebar kembali di persemaian persada jiwa

seketika gairah hidup tenteram tercipta

api dendam pun padam tanpa bara

terlimbur rinai doa

:”Tuhan, mereka telah sampai di kampung merdeka

ijinkan aku esok lusa menemukan sejati maknanya

hidup terbebas dari belenggu prasangka dan curiga”

Jember, 2019



Sami'an Adib mencoba mengkritisi zaman perjalanan merdeka negeri ini. Bermula dari masa negeri ini dijajah bangsa asing, kemudia ia mulai mengisi puisinya dengan perjalanan merdeka. Apa yang ditulisnya adalah gambaran cacatan penyair dengan bidikannya tersendiri. Kaca mata penyair mungkin lebih teliti dan lebih terang. Berbagai fenomena kejanggalan negeri setelah merdeka. Sami'an Adib menyorotinya adar puisinya menjadi saksi kehidupan ini.

Sami'an Adib menggugah agar bangsa ini ingat akan perjuangan pahlawan hingga seperti masa ini, namun juga memberi catatan :

//.../kucoba menghimpun serpih juang di kelopak kamboja

taman kenangan makam pahlawan yang nyaris dilupa

untuk kutebar kembali di persemaian persada jiwa//...

//.../seketika gairah hidup tenteram tercipta

api dendam pun padam tanpa bara

terlimbur rinai doa/...//

manusia untuk ingat jasa orang lain yaitu pahlawan . Perumpamaannya agak terang . Akhirnya ia merenung dan menyadari makna hidup di bumi Indonesia ini.

/...//”Tuhan, mereka telah sampai di kampung merdeka

ijinkan aku esok lusa menemukan sejati maknanya

hidup terbebas dari belenggu prasangka dan curiga” //.

(Rg Bagus Warsono, kurator sastra di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Minggu, 11 Agustus 2019

Fahmi Wahid

PERJALANAN MERDEKA

Tanah ini adalah jalan peperangan

yang pernah dilalui oleh tapak pejuang kita

dengan berbekal sebilah bambu runcing

berkibar jubah semangat menyelimutinya

tak ada gentar dan getir di genderang dadanya

untuk berjuang dengan segala cara dan upaya

merebut pulau-pulau dan samudera dari jajahan

Semesta berkabut hitam di lembah api itu

sudah sangat hapal di pendengaran pejuang

bertaruh nyawa untuk generasi penerus

meski gugur di derasnya gerimis peluru

walau tulang bersanding di tanah sendiri

Di perjalanan merebut kemerdekaan

magis perjuangan yang tak terbayangkan

kurasakan dari nisan-nisan sunyi di kubur pejuang

selalu dikenang pada peringatan Hari Pahlawan

rangkaian seribu bunga tanda terima kasih

tetap tak terbayar oleh jasamu pada negeri

Kita harus tetap berkaca di perjalanan ini

bahwa belum apa-apa kerja kita untuk bangsa

dibandingkan para kesatria di medan laga berapi

seperti pejuang kita yang kini telah tenang abadi

Tapi sampai hari ini kubaca di raut wajah koran pagi

masih menayangkan kebencian antar sesama rakyat

memutus rantai persaudaraan dan memecah perbedaan

padahal ini bumi Nusantara: tanah hidup mati kita tercinta

kembalilah bersatu saling menggenggam erat bersama

pada gelombang merah putih di puncak kemerdekaan

di jejak pengabdian menjaga keutuhan Indonesia

Balangan-2019



Wajar jika Fahmi Wahid memulai puisinya dengan sejarah. Karena Fahmi berasal dari Balangan. Orang sana termasuk Fahmi Wahid masih terngiang pertemputran Perang Banjar dimana banyak orang Balangan ikut serta berjuang dalam Perang Banjar membela Tanah Air. Gambarn itu terlihat dalam bait nya yang meberi gambaran rakyat Indonesia melawan penjajahan.

//..../Semesta berkabut hitam di lembah api itu

sudah sangat hapal di pendengaran pejuang

bertaruh nyawa untuk generasi penerus

meski gugur di derasnya gerimis peluru

walau tulang bersanding di tanah sendiri/...//

buah bait yang berisi dengan pilihan diksi yang alik mampu menyentuh b hati pembaca. Bagaimana pembaca merasakan perjuangan yang banyak mengorbankan nyawa .

Fahmi Wahid mengajak membandingkan orang pada masa ini dengan irang perjuangan saat itu. Batapa para pejuang itu tak terbayarkan jasanya ketika berjuang dulu.

Akirnya Fahmi mengajak pembaca untuk menyadari pentingnya persaudaraan dan persatuan, Kita tibang menikmati kemerdekaan tampa harus bersusah payah berperang, Kita tinggal mempertahan kan dan mengisi Indonesia dengan pengabdian yang tulus.

Puisi Fahmi Wahid enak dibaca dan cepat dipahami, maksudnya tetapi tetap dalam kesatuan puisi yang bagus.

//.../ api sampai hari ini kubaca di raut wajah koran pagi

masih menayangkan kebencian antar sesama rakyat

memutus rantai persaudaraan dan memecah perbedaan/...//

(Rg Bagus Warsono, kurator di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Jumat, 09 Agustus 2019

Brigita Neny Anggraeni, KEBEBASAN


Brigita Neny Anggraeni adalah penyair asal semarang, berlatar belakang dokter psikolog namun rajin menulis puisi. Berikut puisi Brigita Neny Anggraeni :

KEBEBASAN

bebas merdeka jiwaku

kunikmati kebebasanku

keinginanku hanya satu

agar terbebaskan juga jiwamu

aku tak akan membebanimu

dengan kesimpulan

aturan-aturan

tak juga pandangan

cukup sudah dirimu

otakmu, jiwamu

tak terbebani doktrin kaku

dogma yang tak lagi berlaku

aku tak membaca pikiran lain

hanya baca pikiran sendiri dalam batin

kebebasan

bebaskan dari segala beban

angan-angan

kekawatiran

ketakutan

oh, damainya jiwaku





Puisi terkadang dipengaruhi latar belakang penulisnya meski tidak selalu disetiap saat memegang pena. Seperti halnya Brigita Neny Anggraeni penyair cantik yang rajin menulis puisi ini, bicara dalam puisi "Kebebasan" dengan perasaan jiwanya. Sudut pandang tentang kemerdekaan itu dilihat dari kebebasan jiwa seseorang. Bahwa kemerdekaan itu dimiliki oleh jiwa ini, jiwa yang tak terbebani dan bebas. Baginya kemerdekaan itu adalah kedamaian hati yang terlepas dari segala beban.

Brigita Neny Anggraeni bercerita dalam tiap baitnya pengertian-pengertian kemerdekaan itu dalam apa yang dialaminya secara psikologis. Namun juga kemerdekaan merupakan harapan bahkan angan-angan juga ketakutan hati.

//.../ukup sudah dirimu

otakmu, jiwamu

tak terbebani doktrin kaku

dogma yang tak lagi berlaku/..//

/aku tak membaca pikiran lain

hanya baca pikiran sendiri dalam batin

kebebasan

bebaskan dari segala beban/...//

Demikian puisi memang unik untuk dipelajari. Pedan puisi karya Brigita Neny Anggraeni ini tentu tentang kemerdekaan jiwa manusia. Ia hendak mengatakan bahwa kita hidup dalam aturan hukum namun tergantung jiwa seseorang menerima atau tidak , sebab angan-angan dan kekhawatiran itu menjadikan diri seseorang ketakutan sehingga tak merdeka jiwanya. Ia menginginkan kedamaian dalam merdeka. Seperti ia tegaskan dalam bait penutupnya :

//.../angan-angan

kekawatiran

ketakutan

oh, damainya jiwaku//.

(Rg Baguss Warsono, kurator di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Moh Zaeni Boli Kota yang dingin

Berikut sebuah puisi Internasional karya Zaeni Boli penyair dan seniman kelahiran flores berbakat akting dan baca puisi. Penyair yang dibesarkan di Bekasi di bengkel sastra Kalimalang asuhan Ane Matahari ini semakin terkenal di Flores sebagai pegiat sastra. Berikut puisinya :

Moh Zaeni Boli

Kota yang dingin

Belum jam 6 pagi

Daun kering jatuh di jalan

Angin membawa bahasa tubuhnya sendiri

Bagi kota tua kematian adalah hal biasa

Nyala lilin di depan rumah

Adalah untuk memberi terang bagimu yang tiada

Kesakralan keimanan memilikmukah yang mencintai dunia

Siapa yang merobek hati leluhur demi rupiah

Kita sudah merdeka bahkan sebelum kau menjual tanahmu

Keinginan demi keinginan adalah penjara

Dan surga bukan sekedar airmata yang tumpah saat berdoa

Tapi bumi dengan segala isinya yang dicintai dan mencintai

Rawat dengan hati dan kerja keras

Demi batu dan batu yang keras dan bercahaya

Gaya menulis puisi adalah pencarian jati diri, Zaeni BoliBoli kali ini semakin mantap sebagai penyair . Barisnya sudah bernas dan tampak setiap kata memiliki beragam arti. Ia berputar namun menuju satu tema dalam antologio ini yakni perjalanan merdeka.

Zaeni Boli bermain perumpamaan yang manis untuk dibaca, tetapi ada memberi personafikasi sebagai majas yang apik memberi hidup dalam puisi ini.

//....

/Dan surga bukan sekedar airmata yang tumpah saat berdoa

Tapi bumi dengan segala isinya yang dicintai dan mencintai

Rawat dengan hati dan kerja keras

Demi batu dan batu yang keras dan bercahaya/...//



Zaeni Boli memang pandai menempatkan diksi menjadi baris apik, selamat untuku Zaeni Boli. (Rg Bagus Warsono, kurator sastra di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Sugeng Joko Utomo NEGERI IRONI

Berikut kita ulas puisi Sugeng Joko Utomo dalam Negeri Ironi. Sunggeng adalah penyair kelahiran Tasikmalaya seorang pendidik yang menggeluti sastra khusus puisi. Ia teleh menulis antologi tunggalnya " Lelaki dan Langgam" dan diterbitkan. Kali ini Sugeng menulis di antologi Internasional berikut puisinya :

Sugeng Joko Utomo

NEGERI IRONI

Zaman merdeka di negeri kita

Orang-orang saling berlomba

Untuk menjadi wakil rakyat

Atau juga pejabat

Berebut kursi singgasana

Adu strategi curang semena-mena

Menjegal teman sejawat

Bahkan menginjak lidah kerabat

Tak berhitung harkat martabat

Moral terlepas jauh dari hakikat

Yang terpilih menjadi wakil rakyat

Berlomba-lomba mengumbar syahwat

Perilaku menyimpang sesuka-suka

Anomali jiwa menjadi terbiasa

Haus akan kuasa

Lapar akan harta

Fenomena miskin dianggap basi

Atau tiada lagi ambil perduli

Malah terkadang menjadi obyek

Sarana pengeruk anggaran proyek

Nyata di pundi-pundi mereka

Menggunung kekayaan semata

Rakyat miskin selalu dipaksa

Untuk meneriakkan kata: merdeka

Sambil menahan lapar haus

Membentuk barisan parade kaum kurus

Sesekali mengusap dada

Walau telah kering air mata

Sementara oknum-oknum semakin kaya

Tanpa harus berteriak: merdeka

Cukup duduk di belakang meja

Amboi... tandatangannya tinggi harga

Tasikmalaya, 1 Agustus 2019




Sorotan Sugeng Joko Utomo tentang perkembangan perilaku manusia Indonesia dewasa ini dalam mengisi kemerdekaan sudah menyimpang dari rel cita-cita dan budi luhur bangsa. Banyak perilaku menyimpang itu selain yang disinggung Sugeng Joko Utomo, tetapi Sunggeng menyorotinya dengan s=puisi yang cukup mengesankan pembaca dan mudah ditarik pesan yang terkandung dalam puisi itu.

Sunggeng mula mengetengahkan tentang swakil rakyat, dan para pejabat yang berebut kursi jabatan. Segala upaya dilakukan untuk meraih jabatan itu. Sehinga mengabaikan norma-norma baik agama maupun adat istiadat bangsa ini.

Bagi meReka yang haus jabatan itu adalah segalanya sehingga mereka berlomba. Demikian di gambarkan dalam bait selanjutnya. Pilihan diksi yang sederhana membuat mudah dipahami tetapi Sunggeng menempatkan apik kemasannya sehingga tampak runtut.

Klimaknya tampak dalam bait berikut :

//.../ Rakyat miskin selalu dipaksa

Untuk meneriakkan kata: merdeka

Sambil menahan lapar haus

Membentuk barisan parade kaum kurus

Sesekali mengusap dada

Walau telah kering air mata / ...//

Demikian Sugeng Joko Utomo mengurai potret zaman ini, meski hanya sebuah fenomena namun cukup mewakili potret keadaan masa ini yang sering kita dengar. Puisi ini layak untuk diangkat dipermukaan dan pantas menjadi puisi Internasional . (Rg Bagus Warsono, kurator sastra di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca).

Rabu, 07 Agustus 2019

Wahyu Toveng BERJARAK SEKIAN PARAGRAF

Berikut kita ulas kembali puisi-puisi internasional , kali ini kita simak puisi dari :

Wahyu Toveng

BERJARAK SEKIAN PARAGRAF

Lelahnya perjalanan ini. Berdebu dan penuh karat. Harapan tertinggal entah di kilometer keberapa.

Terkelupas paksa dari kulit ari.

Menjadi Bangkai sebelum sempurna kata merdeka.

Aku tak lagi mampu memekik, malah lumpuh tercekik. Mereka pun begitu.

Keringat di tubuh malah memadamkan sumbu.

Tak ada lagi ledakan.

Sejarah hanya berjarak sekian paragraf.

Namun tangan dan kakinya sudah berganti saham kepemilikan.

Wajahnya lunglai dihitamkan waktu.

Wajah Ibu bapaknya tersaput duka untuk mensiluetkan kota baru.

Kota yang kokoh menanamkan kata kehilangan di jalan beraspal.

Kata-kata itu menutupi gembur tanah yang dulu sekali memberi kehidupan untuk anak-anak kita.

Entah kemana pula mereka kini.

Lalu punggungmu melipat bayangan.

Jalan setapak menuju hutan telah menghilang.

Napas kian sesak sebagai mesin pabrik atau angka-angka di mesin ATM.

Waktu semakin raksasa untuk menjajah jiwa.

Perjalanan ini penuh pecahan kaca yang menghujam kata merdeka.

Entah slogan-slogan itu.

Entah pula tema-tema perayaan itu.

Gang Mawar 01 Agustus 2019




Wahyu Toveng penyair Jakarta yang namanya kian menanjak ini tak diragukan lagi dalam olah puisi. Dalam puisi Internasional ini ia berbicara dalam BERJARAK SEKIAN PARAGRAF sebuah puisi yang padat pesan tentang perjalanan merdeka.

Sebagaimana puisi telah terbiasa memberi kriti, Namun Wahyu Toveng menyembunyikan kritik itu dengan apiknya. Seakan sebuah catatan sejarah Tanah Air dalam puisi menurut hematnya sebagai penyair.

Bermula ia bicara tentang perjalanan negeri ini yang diibaratkan dengan sebuah perjalanan. Tentunya perjalanan ituntidaklah sempurna. Baik 'penumpangnya, kendaraannya maupun sarana jalannya. Ia mencatat penuh dalam rangkuman bait yang bernas:

//Lelahnya perjalanan ini. Berdebu dan penuh karat. Harapan tertinggal entah di kilometer keberapa.

Terkelupas paksa dari kulit ari.

Menjadi Bangkai sebelum sempurna kata merdeka.

Aku tak lagi mampu memekik, malah lumpuh tercekik./..//...// sebuah penggalan dengan diksi yang apik.

Sajiannya runtut dalam setiap baitnya hingga tampak pesan hingga ia menekan pada bait terakhirnya. Sebuah puisi9 yang kaya dan patut diacungi jempol . (Rg Bagus Warsono, kurator sastra di Himpunan Masyarakat Gemar membaca)

Pensil Kajoe Kajoe NYANYIAN BUMI MERDEKA

'Pertarungan puisi-puisi Internasional begitu dasyat oleh penyair-penyair nasional, tanda keseriusan penyair dalam mencipta. Kita simak kembali puisi dari penyair ganteng asal Banyumas yang cukup terkenal Pensil Kajoe, berikut puisinya:

Pensil Kajoe Kajoe

NYANYIAN BUMI MERDEKA

Gas habis

Minyak goreng habis

Air Pam mati

Rekening listrik membengkak

AC rusak

Cucian basah

Istri hamil tua

Hp butuh pulsa

Nomor togel tak tembus

Debt collector ngamuk

Lamaran kerja ditolak

Upacara bendera

Karnaval

Panjat pinang

Makan krupuk

Balap karung

Merdeka

Merdeka

Nyanyian negeri

Merdeka

Merdeka

E-KTP belum jadi

Merdeka

Merdeka

SIM STNk mati

Merdeka

Merdeka

kontrakan nunggak

Merdeka

Merdeka

Negeri merdeka

Pengantin baru

Bulan madu

Gagal ereksi

Merdeka

Merdeka

seekor nyamuk Demam berdarah

Menggigit

Demam

Merdeka

Merdeka

Negeri khatulistiwa

Merdeka

Merdeka

Nyanyian bocah-bocah

Merdeka

Merdeka

Indonésia

Merdeka

Merdeka

Merdeka

?

12082017



Puisi adalah kebebasan bagi penyairnya, ia semata bukan luapan hati yang dirangkai dengan huruf dan kata. Pensil Kajoe hendak membidik zaman , dengan kata yang berulang agar memberi ketegasan mendalam. Bait awalnya begitu menarik sedang bait selanjutnya memberi tekanan akan arti merdeka sesungguhnya. Perhatikan baris baris pendek pertamanya menarik untuk diapresiasi.

//Gas habis

Minyak goreng habis

Air Pam mati

Rekening listrik membengkak

AC rusak

Cucian basah

Istri hamil tua

Hp butuh pulsa

Nomor togel tak tembus

Debt collector ngamuk

Lamaran kerja ditolak

Upacara bendera

Karnaval

Panjat pinang

Makan krupuk

Balap karung/....//

(Rg Bagus Warsono, kurator sastra di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

HERISANTO BOAZ KIDUNG SAJAK MERDEKA

HERISANTO BOAZ

KIDUNG SAJAK MERDEKA

aku bersyukur dilahirkan sukma kata

dikandung perawan manis renungan

diterbangkan angin sejuk bertenaga

berlabuh di dermaga pesisir keturunan

tempat kutumbuh di karang kesatrian

aku berkidung dibesarkan keragaman

taman tropis berbianglala juta bunga

dalam personifikasi nyiur berdendang

tidur di ayunan sepoi metafora malam

ku berkembang dalam harmoni alam

aku menari diiringi tembang dan gamelan

teduh meresap gerak ke hati terdalam

dalam musim hiperbola, ku dansa riang

berselancar di antara turis dan impian

pada pendatang, kusenyum kebanggaan

aku deklamasi dalam doa berapi iman

seperti bundaku sujud di pondok pujian

ku berjaga sebagai mercusuar budaya

menyinari tanah air dalam terang-Nya

pada pewaris, kurasukan amanat Lima

Sanggar Holistik, Juli 2019




Herisanto Boaz sangat tempat memberi puisi ini dengan judul kata " Kidung" perhatikan baitnya yang rapih dalam lima baris . Pertanda Herisanto Boaz penyair disiplin dalam menulis. Kesabarannya dan ketelitiannya tampak dalam menyusun diksi yang tepat pada setiap bait.

Mula Herisanto Boaz dalam bait pertamanya membuka akan kedudukannya sebagai putra kemudian secara runtut berkidung negeri ini.

//.../ku berkidung dibesarkan keragaman

taman tropis berbianglala juta bunga

dalam personifikasi nyiur berdendang

tidur di ayunan sepoi metafora malam

ku berkembang dalam harmoni alam/...//

Keindahan baginya adalah estetika nilai-nilai sensoris tentang negeri ini, meskipun bukanlah merupakan esensi yang ada di negeri ini. Ia menaruh kebanggaan sebagai putra dan mensukuri hidup di negeri ini. Pendek kata Herisanto Boaz menata puisinya dengan apik dan dangat indah . (Rg Bagus Warsono, kurator sastra di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Rut Retno Astuti STETOSKOP KEBEBASAN

Puisi itu obat, dari bakteri yang dianggap istimewa untuk melawan bakteri pembunuh. Sejauh ampuh obat itu bekerja sejauh orang mengapresiasi puisi.

Ternyata Rut Retno Astuti pandai membuat obat itu. Kita simak puisinya :

Rut Retno Astuti

STETOSKOP KEBEBASAN

Dalam perjalanan pantai biru

Kuinginkan tiap detik hadirmu

Berdetak seperti jantung hidup

Berdenyut pasti tak pernah redup

Kuingin kau menjelma lima warna

Melingkup seperti pelangi nuansa

Seindah senja di pesisir Nusantara

Kuhasratkan hangat apimu selalu

Mendekapku di tepi lautan menderu

Di mana lenguh angin bersahutan

Merdu dalam harmoni riak ketukan

Kumaui hati kita bagai air dan lautan

Terdeteksi stetoskop dalam kesatuan

Kata, nada dan irama di lautan cinta

Sumedang, Juli 2019



Rut Retno Astuti tergolong penyair berpengalaman, dan memiliki talenta tersendiri dalam merangkai kata. Diksinya pilihan tanda kesabaran yang ada pada penyairnya. Bait-baitnya indah bernas. Ia mencintai Tanah Air ini.

Bait-bait dan bafrisnya menyatu kedalam kesatuan. Ia mengajak pembaca untuk menghayati arti kecintaan pada Tanah Air ini.

Pokoknya semua dilematika bahkan pancaroba adalah kesatuan irama , demikian menurut Rut Retno Astuti.

//.../Kumaui hati kita bagai air dan lautan

Terdeteksi stetoskop dalam kesatuan

Kata, nada dan irama di lautan cinta//

bait 3 barit penutup yang sangat menawan. (Rg Bagus Warsono, kurator di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Indri Yuswandari KEMANA ANGIN

Melihat karya-karya puisi penyair masa kini ternyata tak kalah dengan kehebatan puisi tempo doeloe. Keunggulan puisi masa kini adalah keunggulan ide pesan. Pesan yang diangkat memberi ruang baru pembaca sehingga memperkaya apresiasi. Dalam tatarannya banyak dijumpai keunggulan itu, bahkan berhasil menyentuh namun tak terasa, betapa puisi sangat luas untuk diapresiasi.

Kali ini kita simak kembali, puisi-puisi Internasional untuk memberi apresiasi bahwa diantara semak belukar terdapat tanaman buah yang manis, itulah hutan penyair.

Berikut puisi:

Indri Yuswandari

KEMANA ANGIN

Pada tanah merah dan airmata yang tumpah

kita bertatap memantulkan wajah

seperti bintang dan merjan bertebaran

seperti ayunan pendulum bingkai waktu masa lalu

Entah di hulu sebelah mana kita berada

aroma air laut sangat kental membius ribuan kunang kunang kehilangan cahaya

angin mengendus helaian anak anak rambut berkilau

Entah kemana angin menemu bayangmu

sore kemarau yang membawaku ke pantaimu

kadang nakal memainkan ujung gaun menampakkan noktah kaki perjalanan antar pulau

Kebesaranmu luput dari nama jalan

Kejayaanmu tak tercatat lembar daun lontar

Langit menyaksikan nyala dupa pada doa

Bumi menyimpan persembahan cinta pada mega

Kendal, 01.08.2019




Indri Yuswandari penyair cantik asal Semarang ini memberi untaian puisi cukup manis dengan pembukaan tiga bait yang hampir memiliki pesan sama , tetapi dengan pilihan diksi yang bagus ia tata dengan apiknya.

Sebetulnya Indri Yuswandari hendak memberi puja, sanjung akan Tanah Air ini. Bahasa puisi kembali berbicara dengan ragam keunikannya. Ia tidak serta merta memberi sanjung, tetapi ia bawa pembaca untuk membayangkan terlebih dahulu pada bait-bait sebelumnya.

//.../Langit menyaksikan nyala dupa pada doa

Bumi menyimpan persembahan cinta pada mega//.Penutup yang indah dan merupakan kesimpulan pesan dalam puisi ini patut diacungi jempol. Indri Yuswandari memang penyair cantik yang di segani dikalangan perempuan penyair seusianya.

Dwi Wahyu Candra Dewi HARGA SEBUAH PERJUANGAN

Mari kita simak puisi penyair cantik Dwi Wahyu Candra Dewi, dalam puisi Internasional ini.

Dwi Wahyu Candra Dewi

HARGA SEBUAH PERJUANGAN

Tak lagi ada keluh yang berpeluh

Tak lagi ada malam mencekam

Kala itu terik tak gentarkan tekad,

gelap pun seakan terang tuk gapai kemenangan.

Diujung tombak bambu runcing, terpatri semangat pembelaan harga diri

Luka menganga tak dirasa

Darah mengalir sudah biasa

Sepantasnyalah perjuangan mencapai merdeka.

Tak terhitung nyawa

Tak terkira duka

Mereka bisa merdeka.

Merdeka bukan pemberian

Pun bukan belas kasihan.

Jika kau masih menangis meminta kemerdekaan, kau tak lebih dari pengemis!

Jika kau congkak akan kemerdekaan, kau tak lebih dari perompak!

Tenaga, pikiran, jiwa dan raga dikerahkan tuk gapai kemerdekaan.

Niat baik tuk kebahagiaan anak cucu, diwujudkan.

Inilah harga sebuah perjuangan

Merdeka...merdeka...merdeka




Dwi Wahyu Candra Dewi bermaksud tidak kontradiksi tentang kemerdekaan, Ia meyakinkan bahwa tak usah orang berkeluh kesah tentang merdeka yang sebenarnya sudah merdeka. Sebetulnya penderitaan di masa ini tak seberapa dibanding bagaimana para pejuang merebut kemerdekaan.

Baris puisi Dwi Wahyu Candra Dewi semakin jelas tersurat dan gamblang, mungkin untuk memberi tekanan pesan. Ada yang istimewa dibaris awalnya:

//Tak lagi ada keluh yang berpeluh

Tak lagi ada malam mencekam

Kala itu terik tak gentarkan tekad,/...//

pembukaan yang menarik pembaca.

Sebagaimana puisi-puisi modern saat ini, kebebasan bentuk sangat wajar. Terbuka dan mudah cepat dapat diapresiasi. Pesannya jelas mengena pembaca.

Pandangan dalam kodratnya menandakan ia sangat halus, perempuan yang menyukai seni.

(Rg Bagus Warsono, kurator sastra di Himpunan Masyarakat Gemar mMembaca.

Selasa, 06 Agustus 2019

MUCHLIS DARMA PUTRA , MERDEKA ADALAH AKU

Satu persatu kita simak puisi-puisi Internasional , kali ini penyair muda yang me-Nasional asal Banyuwangi Muchlis Darma Putra bersyair tentang perjalanan merdeka. Berikut puisinya :

MUCHLIS DARMA PUTRA

MERDEKA ADALAH AKU

merdeka adalah aku

diantara sunyi yang bergelimang

angin yang tak bersiteru

menjamah bukit; masa lalu

merdeka adalah aku

diantara lenguh tongkang nelayan

merdu siul camar timbul tenggelam

doa ke doa terus dialirkan

merdeka adalah aku

mencangkul ladang dalam iman

di bawah terik matahari.

letup kapuk diberai angin;

singgah di rambutku diam-diam

merdeka adalah aku

duduk simpuh seluruh

bukit; laut dan ladang

satu nafas untuk Tuhan



Demikian pujangga bersyair, beda danau beda pula ikannya. Bagi Muchlis Darma Putra, merdeka adalah diri itu sendiri. Tergantung orang merasakannya. Ia sendiri berjiwa merdeka, sesuka hati melakoni hidupnya. Barisnya yang pendek membuat menjadi multi tafsir. Ia bicara kerinduan, kebebasan diantara khalayak, kebebasan aktifitas diri, dan kebebasan untuk menyembah Tuhannya.

Diksinya apik, namun mudah dilavalkan.

...//merdeka adalah aku

mencangkul ladang dalam iman

di bawah terik matahari.

letup kapuk diberai angin;

singgah di rambutku diam-diam//.....//

Sebetulnya kemerdekaan itu bagaimana ketenangan hidup, ketenangan untuk bersembah kepada Allah SWT. Dalam situasi apa saja.

Kemerdekaan adalah kenenangan , keamanan, keselaradan dan kerukunan dan kearifan yang lain. Ia menutup dengan apik sekan puisi rohani.

//...//merdeka adalah aku

duduk simpuh seluruh

bukit; laut dan ladang

satu nafas untuk Tuhan//

(Rg Bagus Warsono, kurator di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Gilang Teguh Pambudi DI BALIK MATA ANGIN HARIAN,

Berikutnya puisi Internasional dari penyair Gilang Teguh Pambudi berjudul Di Balik Mata Angin Harian. Penyair dan juga pengasuh sastra di sebuah stasiun radio di Jakarta ini semakin mengokohkan dirinya dalam deretan penyair-penyair nasional. Mari kita simak :

Gilang Teguh Pambudi

DI BALIK MATA ANGIN HARIAN,

pohon yang tumbuh di atas peraturan daerah

hidupnya seperti apa?

akar, daun, bahkan buahnya seperti apa?

sebab politik disebut-sebut

sering menjadi bencana

seperti saat hilang separuh paru-paru kota

karena peraturan dan politik membenarkannya

sementara semak dan kekumuhan

di atas tanah-tanah sengketa

di tujuh penjuru kota

bisa bertahun-tahun

menjadi hiasan memalukan memilukan

yang juga dibenarkan undang-undang

atau limbah-limbah beracun menguasai sungai

karena keadilan dan politik malu-malu

atau terpaksa mau menunggu waktu

dan kita memang hidup di dalam undang-undang

sambil terus mempertanyakan,

keadilannya punya siapa?

lalu kita berkaca pada undang-undang itu

dan politik kekuasaan yang terus mengikutinya,

seperti apakah wajah kita dalam cetakan?

seperti apa postur dan tinggi badan kita

cara jalan dan ketajaman mata batin kita

dalam haru-biru politik yang minta dimenangkan?

bahkan ibadah-ibadah kita

totalitas penyerahan diri kita

tafsir-tafsir lurus yang terbuka

bisa ditelikung, dianggap melanggar undang-undang

atau perlu dimusuhi lewat pintu-pintu politik

yang sembunyi di balik mata angin harian

agar kelapangan hidup tidak berpihak

Kemayoran, 31 07 2019




Apa yang diusung oleh Gilang Teguh Pambudi adalah perasan tanda tanya akan fenomena yang terjadi di Indonesia. Barisnya menyembunyikan fakta, namun juga gejala. Ia mengungkap bernagai ragam kejanggalan di alam merdeka ini.

Sperti hendak mengungkap sesuatu bahkan tentang lucunya kebijakan dan pemutar balikan hukum dan bahkan agama. Gilang Teguh Pambudi cukup matang mengingat ia terolong penyair berbasic pesantren.

Namun penyair tetap memiliki jiwa seni, ia bungkus semuanya dalam sebuah puisi tanpa menyinggung perasaan siapa pun. Gilang Teguh Pambudi berhasil dalam hal ini.

Berikut bait yang sangat manis : //../seperti apakah wajah kita dalam cetakan?/

seperti apa postur dan tinggi badan kita/...//

(Rg Bagus Warsono, kurator di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Sumrahadi ( Munadi Oke ) MERDEKA, MESKI DALAM KHAYAL

Kita simak lagi sebuah puisi Internasional karya Munadi Oke, penyair muda yang produktif akhir-akhir ini, lahir dan tingal di Jakarta. Berikut puisinyua :

Sumrahadi ( Munadi Oke )

MERDEKA, MESKI DALAM KHAYAL

Aku merdeka,

Di lingkaran Undang-undang pemenjara lidah

Berinspirasi di balik bayang jeruji

Berpuisi dengan samarnya warna tinta

Aku merdeka,

Meski harus menjadwalkan sakit

Sebab sehat begitu mahal

Dalam sebuah antrian panjang

Aku merdeka,

Meski dalam khayal

Sebab itulah merdeka

Katanya…..

“ SH” JAKARTA 01082019




Puisi pendek karya Munadi Oke, ini melihat merdeka dari sisi pengamatannya. Tampaknya merdeka dalam perjalannya beraneka rasa. Ia penyair yang memiliki rasa itu. Penyair dengan kepekaan rasa yang tinggi akan nampak dalam tulisannya. Puisi pendek ini sebetulmya luas untuk dimaknai. Barisnya berisi, dan sederhana, namun ia memilih dengan tepat. Bait-baitnya beraneka pesan tak runtut. Seperti bait terakhirnya itu ia memutuskan bahwa kemerdekaan itu semu. (Rg Bagus Warsono. kurator di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Asro al Murthawy MERDEKA MENJELMA HANTU

Berikut ini puisi Asro Al Murthawy Dkm, penyair produktif asal Merangin Jambi. Asro telah banyak menulis puisi dan dikenal sebagai penggerak sastra di Merangin Jambi.

befikut puisinya:

Asro al Murthawy

MERDEKA MENJELMA HANTU

mendadak aku njelma hantu:

bebas liar menjengkali jejarak bumi dan langit,

Kurapal lafaz paling purba

menumbuhkan sesayap di punggung menghambur

memburumu dengan kesumat berlebih

melangkah ke awan jantungmu

aku adalah anasir merdeka

yang datang dari dunia entah

berdifusi dengan malam memagut sunyi pohon-pohon

yang angkuh merimbun lubang dadamu

tetapi tetap saja melambai jiwa kembara ini

sekedar berkemah atau mungkin berdiam lama

mendekam di lelangit otakmu



Puisi pendek Asro Al Murthawy Dkm tampaknya sepintas begitu sulit dimengerti. Boleh jadi ia menceritakan dirinyasebagai sifat atau paham merdeka yang tak terlihat namun menghantui. Ia merasup jiwa-hjiwa kemerdekaan .

//.../yang angkuh merimbun lubang dadamu

tetapi tetap saja melambai jiwa kembara ini

sekedar berkemah atau mungkin berdiam lama

mendekam di lelangit otakmu/...// bahwa semua orang dihinggapi perasaan untuk merdeka. Asro Al Murthawy Dkm memiliki penilaian lain bahwa bukan itu saja yang diharap merdeka tetapi juga jiwa kemerdekaan ini.

Ia tak terlihat , tak bersuara, tak menjawab. Manusia adalah sama ditakdirkan untuk memiliki rasa. Bait selanjutnya perumpamaan itu justru memberi terang puis ini bahwa harapan itu melekat yang ni keinginan merubah nasib .

//...aku bebas merdeka

bisa saja aku menjadi malam

selimut bagi lelahmu menuju lupa

dan barangkali pagi akan merubah lembar nasib

tak sekedar keluh sembab yang panjang

Imaji 1440 H//

Sebuah penutup yang memiliki pesan bahwa kita semua memiliki keingunan untuk merubah keadaan,

Wanto Tirta dalam : CATATAN DARAH

Baiklah kita ulas kembali puis-puisi Internasional. Wanto Tirta tokoh penyair Ajibarang Bamyumas ini menampilkan Catatan Darah. Sebuah 'catatan puisi yang cukup menarik dan perlu dibaca oleh pecinta sastra Indonesia. Berikut karya Wanto Tirta dalam :

CATATAN DARAH

kubuka catatan dari lembarlembar

buku harian

dentuman bom

mengalir darah

di tanah darah

jiwa anakanak piatu

jandajanda papa

suamisuami pedang

bermandi darah

membangun jiwa baja

langit mesiu runtuh menutup masa

atap rumah awan

tangis dan desingan peluru

menyatu keseharian menyayat hati

doa bumi teraniaya

sampaikan ke tanganmu

maha pembebas tanah milik negeri

airmata darah leleh derita

tak lelah bersandar pada kemuliaan Tuhan

kesatuan asa dan tekad

membungkus cinta perjuangan menyatukan merah putih dalam genggam

masihkah garuda memeluk kasih

sembuhkan lukaluka menahun

oleh sayatan pisau keserakahan maupun nafsu angkara yang membabibuta merebut kebebasan peradaban anak bangsa

ada tangis angin dari nisan nenek moyang

yang rapuh tertutup rerumputan

terlupakan oleh sanak keturunannya

ada sebatang bambu runcing masih jelas terpampang bertulis darah

terpatri di pusara

seolah berkata

ini pusar bumi tempat paku cinta

menancap bebas dari belenggu ketidak adilan dan kesewenang-wenangan rezim kekuasaan

Simak bait terkhirnya

01082019




Simak bait terkhirnya

//...//ada tangis angin dari nisan nenek moyang

yang rapuh tertutup rerumputan

terlupakan oleh sanak keturunannya

ada sebatang bambu runcing masih jelas terpampang bertulis darah

terpatri di pusara

seolah berkata

ini pusar bumi tempat paku cinta

menancap bebas dari belenggu ketidak adilan dan kesewenang-wenangan rezim kekuasaan//....//.

Salah satu bait Wanto Tirta dalam puisi itu dengan pilihan diksi yang cermat ia menulis tentang keadaan Indonesia. Bahwa pencarian itu ditemukan untuk diungkap yakni sebuah kecintaan terhadap Tanah Air itu sebuah cinta yang sudah tertanam sekan bambu yang menancap di puser bumi Indonesia.

Kemerdekaan tak berarti dari tangis dan penyesalan, tetapi karena kebijakan. Perumpamaannya dalam puisi itu ketara di tiap baitnya, memberi jelas tentang kemerdekaan sekarang ini.

Wanto Tirta menyadari sepenuhnya bahwa ada perintah atau mereka iba sendiri bila ketidak-nyamanan, apala bila ada kesewenang-wenangan dari pemerintahan sekaramg ini. Ia menyangka pemerintah atau juri sudi lebih banyak Memanusiakan ,manuisia. Beriku bari-baris terakhi puisinya. Simak bait terkhirnya:

ini pusar bumi tempat paku cinta

menancap bebas dari belenggu ketidak adilan dan kesewenang-wenangan rezim kekuasaan. (Rg Bagus warsono, kurator sastra di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca.