Rabu, 11 September 2019

Mengenal Puisi-puisi Internasional : Dwi Wahyu Candra Dewi

26.

Dwi Wahyu Candra Dewi

Harga Sebuah Perjuangan

Tak lagi ada keluh yang berpeluh
Tak lagi ada malam mencekam
Kala itu terik tak gentarkan tekad,
gelap pun seakan terang tuk gapai kemenangan.
Diujung tombak bambu runcing, terpatri semangat pembelaan harga diri
Luka menganga tak dirasa
Darah mengalir sudah biasa
Sepantasnyalah perjuangan mencapai merdeka.
Tak terhitung nyawa
Tak terkira duka
Mereka bisa merdeka.
Merdeka bukan pemberian
Pun bukan belas kasihan.
Jika kau masih menangis meminta kemerdekaan, kau tak lebih dari pengemis!
Jika kau congkak akan kemerdekaan, kau tak lebih dari perompak!
Tenaga, pikiran, jiwa dan raga dikerahkan tuk gapai kemerdekaan.
Niat baik tuk kebahagiaan anak cucu, diwujudkan.
Inilah harga sebuah perjuangan
Merdeka...merdeka...merdeka







Dwi Wahyu Candra Dewi, penulis asal Blora kelahiran 8 Mei 1983. Karya-karyanya lebih banyak berupa puisi yang terbit bersama karya teman-teman pensyair lainnya. Kegemaran menuangkan rasa dalam puisi menjadikannya ingin selalu menulis. Salah satunya puisi “Harga Sebuah Perjuangan” ini, penulis memiliki harapan besar tidak akan ada lagi  pertanyaan “benar kita sudah merdeka?”. Pertanyaan yang meragukan perjuangan para pahlawan sangatlah tidak mengetahui rasa berterima kasih. Pun demikian harusnya menjadikan pelajaran untuk tetap menjaga kemerdekaan yang sudah diraih.

Mengenal Puisi-puisi Internasional : Dede Rostiana

63.

Dede Rostiana

Itu Merdeka

Merdeka itu kebebasan untuk manusia
Berkeliaran lalu lalang
Menghirup udara segar dan hidup nyaman
Deretan sejarah kemerdekaan selalu terbayang
Jasa-jasa para pahlawan
Kalaulah mereka masih ada
Mungkin mereka lara dan bela sungkawa
Karena kemerdekaan yang mereka perjuangkan
Masih tak seberharga nyawa mereka

Wahai generasi muda
Seberapa tangguh kau berjuang
Melawan kemiskinan juga kedloliman
Mungkin mereka kan berkata demikian
Para pemuda saat sekarang, mungkinkah  bisa bertanggung-jawab
Pandaikah berburu debat lalu menuntut hak?
Berani menyerahkan jiwa dan raga?
Demi kemerdekaan bangsa dan negara
Walaupun moncong senjata di depan dada
Mereka sama sekali  tidak takut semua itu,                                                                                                     Justru mereka hanya  takut
Bisikan-bisikan : "Berjalanlah lurus Bung!"
Padahal tak dilihatnya belok
"Merdeka itu menuruti apa yang seharusnya dituruti lalu diam!”



Dede Rostiana, lahir di Tasikmalaya16 Pebruari 1972. Pendidikan terakhir S2 Administrasi Pendidikan, Universitas Galuh Ciamis. Seorang pengajar di SMP Pesantren Cintawana.  di Tasikmalaya.  Penulis aktif di beberapa komunitas menulis. Karya penulis berupa Puisi dan Artikel pernah dimuat di Koran Lokal, Tabloid Surya Rengganis, Majalah Mangle, Majalah Guneman, Kabar Priangan, Siap Belajar, Galamedia dan Pikiran Rakyat. Penulis bergabung dengan beberapa Antologi bersama baik Puisi, Cerpen, dan Cernak (wonderland creative) dan ( Raising Star). Penulis juga telah menerbitkan dua Antologi Puisi tunggal ; Merindu Bulan dan Sunrise di Matamu.

Mengenal Puisi-puisi Internasional : Redd Joan

8.

Red Joan (Dwi Retno Asih)

Merdeka Bukan Penjara

Merdeka itu sebutan kesempatan
Bagi orang-orang pencari pangkat
Laci meja dikunci lemari besi mulai diisi
Hitungan sempat tidak sempat harus tepat

Merdeka itu sebutan angan-angan
Tembus langit tembus bumi
Terbang sampai jatuh karena mimpi
Beradu dengan berlapis imajenasi

Tetapi merdeka juga sebutan nyawa
Bagi para pejuang yang dikubur dalam sejarah
Tanah dan air juga batu, kepulan asap ledakan mesiu
Kaki tangan beradu dalam belenggu

Tetapi merdeka bukan jadi penjara
Karena siang malam teriak merdeka
Di rumah
Di gedung-gedung aparat
Di tanah lapang
Di jalan raya
Di lampu merah
Di dalam pikiran yang dipenjara merdeka.







Nama saya Dwi Retno Asih, memilih nama pena Redd Joan. Biasa dipanggil RJ. Lahir 46 tahun lalu di Lampung. Sejak tahun 2004 mengadu nasib di Negara tetangga hinhga saat ini. Menjadi staff agensi penyalur tenaga kerja Kuala. Pernah mengikuti beberapa antologi bersama sahabat fb. Menulis adalah hoby dan menyukai dunia sastra sebagai ungkapan rasa cinta terhadap bahasa Indonesia.

Senin, 02 September 2019

Cerpen Rumahku di Tepi Rel Kereta Api karya Rg Bagus Warsono

Cerpen Rumahku Di Tepi Rel Kereta Api Karya Rg Bagus Warsono, adalah cerpen yang mengisahkan seorang anak yang berumah di rel kereta api. Sunarti demikian nama anak itu membayangkan akan keindahan rumah orang lain yang lebih baik yang tak bising dengan suara-suara laju kereta bahkan sering terdengar keras di malam hari. Pada suatu ketika Sunarti berkunjung ke pamannya di Kuningan, sebuah kota yang tak ada jalur rel kereta, justru ia tak kerasan tinggal di rumah itu, bahkan ia tak bisa tidur dan terjaga di malam hari. Akhirnya ia menyadari bahwa rumah sendiri lebih indah meski di tepi rel kereta.
Cerpen ini tlah dimuat di Mingguan pelajar dan sebelumnya cerpen inilah yang mebawanya sebahgai salah satu pemenang lomba menulis cerpen bagi guru pada tahun 1996 yang diselenggarakan oleh Depdikbud.
Pada tahubn 2007 Cerpen dibacakan oleh Nurochman Sudibyo di Pendopo Kabupaten Indramayu dalam acara Final Festval Lomba Seni Siswa Nasional tk Kabupaten dalam lomba baca puisi. Dan dalam temu kecil Sastrawan Nasional di acara Sastra untuk Literasi Sekolah 31 Agustus 2019 cerpen ini dibacakan kembali oleh Oka Tri Hadini.

Minggu, 01 September 2019

Temu Kecil Sastrawan dalam Literasi untuk Sekolah sebuah konsep kegiatan sastra saling menguntungkan dan hemat biaya.

Hasil Temu Kecil :

Temu Kecil Sastrawan Nasional, Literasi Sastra untuk Sekolah:
31 Agustus 2019

A. Konsep : 1. Sekolah hanya menyiapkan tempat sederhana, Pengapresiasi (penonton) dan Makan siang; 2. Sekolah tidak dibebani biaya besar, hanya sepanduk kegiatan, dan snak undangan bagi lingkuangan pendidikan sekolah itu; 3.Pengatur acara diserahkan panitia pihak sastrawan.
B. Manfaat :

1.Sastrawan /Penyair : Mengenalkan karya dan penulisnya di Lingkungan pendidikan.(publikasi)

2.Ajang silaturahmi sastrawan/penyair (mementum)

3. Silaturahmi sastrawan dan masyarakat (hubungan baik)

4. Unsur Penunjang mata pelajaran Bhs. Indonesia dan Pendidikan karakter
C. Pembelajar :

1.Sastrawan /Penyair sebagai narasumber pembelajar di sekolah

2.Guru dan Siswa adalah sasaran pembelajar

3.Sekolah sebagai pusat kebudayaan (Wiyata Manadala)

4.Literasi dengan pilihan sastra

5.Literasi dengan pola baca (contoh baca puisi)

Minggu, 25 Agustus 2019

SD 4 Bungbulang (BBL) Garut sebagai sekolah yg memperoleh juara literasi se Jawa Barat.

Dimana pun tempat, kami slalu menggalakan literasi. Seperti di SD 4 Bungbulang (BBL) Garut sebagai sekolah yg memperoleh juara literasi se Jawa Barat. Lumbung puisi memberikan beberapa buku saatra (antologi) pada sd tersebut yg diterima kepala sekolahnya Sutiawan,SPd.

Rabu, 21 Agustus 2019

Hasanuddin Kepala Sekolah yang Hafal Puisi-puisi Chairil Anwar

Di sebuah lembah pegunungan pantai selatan Garut di kecamatan Bumbulang (BBL) bertemu dengan seorang kepala sekolah dasar yang tinggal dua tahun lagi memasuki masa pensiun. Namanya Hasanuddin, kelahiran Makasar 1961. Ada sesuatu yang istimewa pada sosok kepala sekolah dasar Margalaksana 1 di Bumbulang ini, yaitu ketika aku menanyakan pada semua guru, yang kebanyakan muda-muda itu, di sekolah tersebut, di sela-sela obrolan . "Siapa yang hafal beberapa judul karya puisi dan buku sastra karangan pujangga baru pada saat masih sekolah?".
Semua guru terdianm dan mengingat-ingat ketika masih dibangku sekolah atau dibangku kuliah. Tak seorangpun yang menjawab.
Setelah ditunggu beberapa saat , aku menengok wajah kepala seklahnya. Kepala sekolah yang sudah tua itu tersenyum kemudian ia menyebut beberapa nama judul buku dan pengarangnya seperti Salah Asuhan, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, kemudian ia menyebut beberapa judul puisi karya Chairil Anwar. Segera aku berdiri menyalaminya memberikan selamat.
" Apa bapak masih hafal?", kataku singkat !
Orang tua itu tersenyum lalu memberesi safarinya, kemudia ia berdeklamasi ;

Aku ........Chairil Anwar !

Kalau sampai waktuku.
Ku mau tak seorang kan merayu…
Tidak juga kau…

Tak perlu sedu sedan itu…
Aku ini binatang jalang.
Dari kumpulannya terbuang…

Biar peluru menembus kulitku.
Aku tetap meradang menerjang…

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari…
Hingga hilang pedih peri,,,

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi…

Maret 1943

Demikian ternyata di tepi gunung terdapat sosok guru yang menyimpan ingatan kuat ketika tahun 70-an sekolah.

(Rg Bagus Warsono, 21 Agustus 2019)

Suhendi RI, MATA PENA

Dari Bungbulang (Garut) pantai Selatan Jabar kita lihat puisi-puisi internasional Perjalanan Merdeka karya Suhendi RI penyair muda berbakat , kita simak puisinya :

Suhendi RI,

MATA PENA

Menatap hampa ke sudut ruang

Sebuah kitab tergeletak

Tak berdaya di atas meja

Sedang sang darwis lelap

Dipeluk sunyi

Tinta yang menoreh jejak sejarah

Menjadi ayat-ayat kekal

Biarpun musnah dibaca rayap-rayap zaman

Kisahnya terekam diingatan purba

Ketika fajar menyibak tirai pagi

Jiwa mengembara ke jiwa lain

Mencari alif lam mim

Pada mushaf fayakun

Sebelum mata pena disilaukan

Kilauan cahaya emas dan permata

Sadarkanlah dari kefanaan dunia

Bila tiba di halaman akhir

Pahami arti sebenarnya kata-kata

Kebon Jeruk, 19 Juli 2019

Suhendi memberikan puisinya dengan sesuatu yang berada dihadapannya , dihadapan kita, sebuah benda yang menyimpan rahasia alam ini, sebuah yang menjadi pegangan dan panutan hidup di dunia.

Pilihan diksi yang sangat apik dalam usia pengalamannya yang masih muda ini mampu menatanya dan memilih dengan pilihan yang membuat puisi ini menarik dan cukup membuat orang terkesima.

Suhendi membiarkan puisinya untuk ditafsir sesuka pembaca namun memudian pembaca menemukan apa yang diributkan dan di bicarakan itu akhirnya kembali ke Yang Maha Kuasa.

//..../Ketika fajar menyibak tirai pagi

Jiwa mengembara ke jiwa lain

Mencari alif lam mim

Pada mushaf fayakun/....//

Demikian siapa yang mampu menggali apa yang diberikan Yang Maha Kuasa (Al Kitab) sebetulnya terdapat keindahan tiada habis-habisnya. (bersambung. Rg Bagus Warsono , kurator di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Selasa, 13 Agustus 2019

Chayada Binsaven PERUBAHAN WAKTU

Chayada Binsaven Nickname Sunbeia, Bangkok , berikut puisinya :

Nama saya Chayada Binsaven

PERUBAHAN WAKTU

Hati orang berubah

Hal-hal yang tetap sama hanyalah kenangan.

Senyum setiap orang ada

dalam ingatan seseorang.

TAKDIR

Apakah Anda percaya pada takdir?

Takdir sering yang orang yakini

dan mengira itu bagian dari kehidupan.

Nasib seringkali datang secara kebetulan.

Terkadang kita bertemu seseorang

yang atau telah mengenal Seseorang,

yang tidak kita duga tahu.

Ini adalah pesona takdir.

Mungkin Anda berjalan

di sepanjang garis nasib.






Gadis cantik mengawali perdananya sebagai penyair dengan puisi pendek yang indah.

Satu berjudul Perubahan Waktu dan satunya lagi berjudul Takdir dua puisi yang dapat berhubungan ditilik dari isi pesannya.

Cayadha Binsaven goresannya indah , diksinya sederhana namun dalam rangkainya sasyat !

//Hati orang berubah

Hal-hal yang tetap sama hanyalah kenangan.

Senyum setiap orang ada

dalam ingatan seseorang.//

Puisi pendek yang menyentuh pembaca. Puis dengan magner baca tinggi. Hingga pengulas puisi ini terkagum kagum.

Begitu juga puisi kedua. Tentang takdir manusia. Ia menulis takdir itu dengan sangat dalam.

//.../Nasib seringkali datang secara kebetulan.

Terkadang kita bertemu seseorang

yang atau telah mengenal Seseorang,

yang tidak kita duga tahu./...//

baris yang menggigit pembaca, bahwa takdir bukan kitayang merencanakan.

(Rg Bagus Warsono, kurator di Himpunan Masyarakat Gembar Membaca)

Muhammad Lefand ORANG-ORANG TIMUR JEMBER

Berikut kita simak puisi karya Muhammad Lefand dalam puisi-puisi antologi internasional.

Muhammad Lefand

ORANG-ORANG TIMUR JEMBER

pagi:

Semua bangun setelah ayam berkokok

Membasuh muka dengan air

Menghadap Tuhan dan berdizikir

Yang punya sawah mengambil cangkulnya

Yang punya kebun mengambil aritnya

Yang tidak punya siap-siap bekerja

Ada yang mencari kayu hingga ke hutan

Ada yang mencari rumput hingga ke kebun

Dingin tak menghalangi gairah orang-orang

Tanah timur Jember begitu subur

Sawah-sawah luas membentang dari utara ke selatan

Kebun-kebun di bawah kaki gunung raung begitu rimbun

siang:

Setelah adzan dhuhur berkumandang dari masjid terdekat

Semua bersiap untuk kembali ke rumahnya

Membasuh badan dan keringat

Tidak lupa menunaikan shalat

Ada yang kembali ke sawah dan kebunnya

Ada yang istirahat di kamarnya

Anak-anak pulang dari sekolah mengucap salam

sore:

Ibu-ibu berkumpul

Bapak-bapak kembali ke aktifitas masing-masing

Anak-anak bermain layangan

malam:

Orang-orang sedang berdoa

setiap hari:

Orang-orang timur Jember sangat merdeka

Jember, 2019




Muhammad Lefand, penulis yang lahir di Sumenep Madura dengan nama Muhammad,

sekarang tinggal di Ledokombo Jember. Adalah seorang perantauan yang senang menulis puisi

Muhammad Lefand mengetengahkan suasana merdeka di Jember Jawa Timur. Diantara orang-orang yang belum menemukan kemerdekaan menurut hatinya, Muhammad Lefand justru memotret masyarakat yang menikmati kemerdekaan itu. Orang-orang Timur Jember katanya menikmati merdeka, ia gambarkan diwaktu pagi, siang hingga malam sepanjang hari, kemerdekaan bagi masyarakat adalah ketenangan dan keamanan mencari nafkah. Tampaknya masyarakat yang dipotret Lefand tidak muluk-muluk , mereka menikmati kemerdekaan itu. Menikmati dengan tenangan hidup dalam keseharian nya di desa.

Benar, kemerdekaan adalah bagaimana seseorang mensyukuri hidup ini, namun tak berarti pasrah. Hati yang slalu bersyuku akan mendapat ketenangan dalam hidup. Contohnya masyarakat Timur Jember yang digambarkan Muhammad Lefand.

Puisi yang tersurat dengan runtut dan apik disusun ini memiliki kekuatan daya tarik baca tersendiri. Lefand telah berhasil 'bercerita dengah puisi. Demikian puisi ternyata dapat menyampaikan kabar. bahwa di suatu tempat ada masyarakat menikmati merdeka. Mengapa kita tidak?

(Rg Bagus Warsono, kurator di Himpunan Masyarakat gemar membaca)

Suyitno Ethex MENAWAR KEMERDEKAAN

Kita simak kembali puisi-puisi perjalanan merdeka dalam antologi internasional. Berikut karya Suyitno Ethex penyair Mojokerto yang namanya menasional ini :

Suyitno Ethex

MENAWAR KEMERDEKAAN

Menjelang kemerdekaan awal bulan agustus

di ruas setiap jalan tawarkan kemerdekaan

umbulbul penjor bendera dijajakan

Harga umbulumbul sekian

harga bendera sekian

begitu juga tiang bendera

Penjual pembeli berinteraksi

tawar menawar terjadi

serasa lupa bagaimana

para pejuang merebut kemerdekaan

Menawar kemerdekaan terjadi

peringatan hanya serimoni

terlalu sekali

mojokerto, 1.8.2019



Sebuah puisi pendek dengan baris pendek yang menarik perhatian. Penuh makna apresiasi, dan syarat pesan. Paduan bait dikayakan dengan alur yang bergelombang sehingga enak dibaca. Suyitno Ethex memang jempolan dalam menulis puisi.

//.../Harga umbulumbul sekian

harga bendera sekian

begitu juga tiang bendera/...//

alur demikian adalah jeda yang menarik utuk disampaikan agar mengigit.

Pandangannya dalam sorotan judul ini tentang perayaan kemerdekaan itu tak sebera arti bahkan hanya seremonial belaka.

//.../Menawar kemerdekaan terjadi

peringatan hanya serimoni

terlalu sekali//

Suyitno Ethex pancen piawai menulis puisi.

Mim Aly Mursyid. HAL TUJUH BELAS AGUSTUS

Mim Aly Mursyid adalah penyair Sumenep , berikut Puisinya dalam antologi internasional :

Mim Aly Mursyid.

HAL TUJUH BELAS AGUSTUS

Tujuh belas Agustus nanti,

Bakal kembali kita mengusik diri sendiri dengan kenyataan pahit negeri ini.

Tuan pemimpin negara

Berdiri tegak di podium upacara lalu bercerita seperti tahun-tahun sebelumnya;

Dengan tersenyum Ia menyebut angka usia negara kita telah merdeka

Tetapi lupa menyebut berapa jumlah anak-anak tak sekolah di pelosok desa

Ia menunjuk gagah foto wajah para pejuang dan pahlawan

Tetapi tak pernah mau peduli pada wajah-wajah tak punya pekerjaan

Akan pula ia ingatkan kita bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai perjuangan pahlawannya

Tetapi ia lupa bahwa di banyak tempat bos-bos enggan menghargai kerja keras para buruh dengan upah yang utuh

Tujuh puluh empat tahun Indonesia telah merdeka

Angka yang belia bagi usia suatu bangsa

Tetapi amat lama sampai hari kita melihat dan mendapati kenyataannya

Tujuh belas Agustus,

Itulah suatu hari dimana kita semua tetiba jadi pelupa

Lupa bahwa ada beda makna buruh dan budak

Lupa kalau merdeka artinya kita tak saling memangsa

Lupa bahwa ini bangsa milik bersama bukan segolongan kaya saja

Tuan pemimpin negara itu,

Kalau nanti di pidatonya ia mengajakku mensyukuri kemerdekaan ini

Aku hanya akan bertanya sejauh mana ia telah mengusir Belanda yang bergumpal di alir darahnya

Madura, 2019



Puisi dapat dijadikan berbagai pesan termasuk nasehat. Pesan itu disampaikannya lewat puisi dengan bahasa puisi dan cara puisi menyampaikan pesan. Mim Aly Mursyid pandai merangkai kata hingga menjadi puisi pesan untuk mengingatkan bangsa ini akan jerih payah para pahlawan merebut kemerdekaan. Sedang 'mereka yang beruntung di masa ini tidak pernah tau bagaimana perjuangan itu. Mereka hanya menikmati hasil perjuangan itu, bahkan lupa pula pada sesama yang belum beruntung.

//..../ Tujuh belas Agustus,

Itulah suatu hari dimana kita semua tetiba jadi pelupa

Lupa bahwa ada beda makna buruh dan budak

Lupa kalau merdeka artinya kita tak saling memangsa

Lupa bahwa ini bangsa milik bersama bukan segolongan kaya saja/ ...//

Pesan yang tersurat menjadi tegur pengingat bahwa kemerdekaan ini bukan milik seseorang atau segolongan. Mim Aly Mursyid tampaknya berhasil dalam hal ini dan Selamat untukmu Mim Aly Mursyid.

Syahriannur Khaidir AGUSTUS DAN WANGI MERAH PUTIH.

Mari kita lihat puisi Syahriannur Khaidir dalam puisi-puisi internasional .

Berikut puisinya:

berjudul :

Syahriannur Khaidir

AGUSTUS DAN WANGI MERAH PUTIH.

Agustus dan wangi merah putih

Kau tersenyum sambil memegang dada

Entah luka

Entah duka

Entah desakan tanya

Merdekakah kemiskinan

Merdekakah kebodohan

Merdekakah

O pejuang

Tetaplah rapatkan barisan

Hingga merah

Hingga putih

Tak lagi tertatih menahan rintih

Sampang, Juli 2019



Puisi pendek Syahriannur Khaidir yang berjudul Agustus dan wangi Merah putih pantas sebagai puisi internasional. Gayanya cukup mengulas satu yaitu bendera Merah Putih. Di bendera merah putih ini tersimpan berbagai sejarah kesaksian dari sebuah bendera merah putih.

Ia merah putih, yang menyimpan kesaksian panjang sejarah negeri ini, berbagai peristiwa lara hingga perjalanan merdeka,

Pokoknya merah putih tetap berkibar di rumah si miskin dan di rumah si lapar. Di meja si bodoh dan di meja si pintar. Seakan merah putih tak membedakan siapa.

//.../Tetaplah rapatkan barisan

Hingga merah

Hingga putih

Tak lagi tertatih menahan rintih//. Demikian samian Syahriannur Khaidir piawai , hanya satu benda merah putih mampu membawa puisi ini syarat makna. Selamat untukmu Syahriannur Khaidir. (Rg Bagus Warsono, kurator di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Senin, 12 Agustus 2019

"Kubaca" karya Suyudi Akbar Sujudi Akbar P

Kembali kita simak puisi-puisi internasional, berikutnya "Kubaca" karya Suyudi Akbar Sujudi Akbar Pamungkas.

SUJUDI AKBAR PAMUNGKAS:

---------------------------------------------------

KUBACA

kubaca berkali indonesia

adalah negeri subur kayaraya

tapi berkali kurasa indonesia

tiada belaskasih kemiskinan ini

kian akut di perkampungan orang

kubaca berkali indonesia

adalah negeri besar merdeka

tapi berkali kurasa indonesia

tak juga memerdekakan nasib ini

dari belenggu penindasan sesama

berkali kubaca indonesia

adalah negeri adil sejahtera

tapi kurasa berkali indonesia

tiada pernah berlaku bijaksana

saat kekuatan merampas hak kita

berkali kubaca indonesia

adalah negeri anti rasuah

tapi kurasa berkali indonesia

tak sepenuh hati memberantas

penjarahan dan pungli kehidupan

indonesia, berkali kubaca

ternyata hanya serial elegi jelata

negeri dongeng abadi para pemimpi

di sini hanya kekuatan berkuasa

nasibku hidupmu apa mau dikata

(part, 010819)


Puisi yang manis dan tampak tegak dan sebait baris puisi yang kaya makna dan pesan. Suyudi Sujudi Akbar Pamungkas memang padai mengolah kata. Adalah seorang penyair, apa pun bisa dibuat puis dengan ketajaman naluri dan pengalaman serta kekayaan pilihan kata yang baik.

Ada banyak pesan yang terkandung dalam puisi di atas, yakni Sukma memotret tetang rasa kecewanya terhadap negeri yang ia puja. Namun kekecewaan itu ternyata oleh ulah manusia-manusia Indonesia juga yang tengah berkuasa. Penyair hanyalah penyampai pesan , perubahan itu terletak bagaimana apresiasi itu diimplementasikan dengan perubahan yang baik. Akhirnya hanya penyair cuma menyampaikan dan bukan berarti pasrah tetapi berjuang lewat tulisan atau caranya tersendiri.

Tampaknya Suyudi Sujudi Akbar Pamungkas berhasil menjadikan puisi ini bersinar. (Rg Bagus Warsonio, kurator sastra di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Puisi Hasani Hamzah SEPASANG WARNA

Berikutnya kita simak kembali puisi-puisi internasional. Kali ini kita ulas puisi Karya Hazani Hasani Hamzah penyair asal Madura. Hasani Hamzah namanya kian dikenal dan termasuk yang aktif dan produktif di Madura menyusul penyair-penyair lainnya . Madura dikenal sebagai gudang penyair Jawa Timur yang kebanyakan dari kalangan pesantren di Madura.

Berikutnya kita simak kembali puisi-puisi internasional :

Puisi Hasani Hamzah

SEPASANG WARNA

Sepasang warna adalah bendera

Adalah juga usia

Yang berkibar dan melambai

Dalam sepi aku merindu kampung halaman

Tempatku dilahirkan

Dan menyusu cintamu

Ibu, lagu mu tetaplah merdu

Di musim yang retak

Bukan bintang-bintang atau bianglala

Yang kau pinta

Hanya sepasang warna sebagai bendera

Yang ingin terus kau tancapkan

Dihalaman pagi

Bagi anak-anak sejarah mu

Sapeken – Sumenep, 25 Juli 2019

Hasani Hamzah juga menjadikan objel Merah Putih, dwi warna bendera negara kita sebagai sorotan puisinya. Bendera Negara Indonesia yang secara singkat disebut bendera negara adalah Sang Merah Putih atau Sang Saka Merah Putih, atau Merah Putih, atau kadang disebut Sang Dwiwarna (dua warna) ini memiliki kesaktiannya tersendiri.

Hasani Hamzah merangkum tentang merah putih itu. diambil dari warna panji atau pataka Kerajaan Majapahit pada abad 13 itu adalah dualisme alam yang saling berpasangan. Sejarah menyebut menyebut penggunaan bendera merah putih dapat ditemukan dalam Pararaton; menurut sumber ini disebutkan balatentara Jayakatwang dari Gelang-gelang mengibarkan panji berwarna merah dan putih saat menyerang Singhasari. Hal ini berarti sebelum masa Majapahit pun warna merah dan putih telah digunakan sebagai panji kerajaan/negara.

Dari semuanya itu merah putih mendapatkan tempatnya tersendiri di hati rakyat Indonesia, sebagai bendera yang slalu melekat di hati anak negeri.

//.../Dalam sepi aku merindu kampung halaman

Tempatku dilahirkan

Dan menyusu cintamu

Ibu, lagu mu tetaplah merdu

Di musim yang retak/....//

Puisi pendek yang cukup manis dan syarat makna.

(Rg Bagus Warsono, kurator sastra di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Sami'an Adib Taman Makam Pahlawan

kali ini kita simak puisi Sami'an Adib , penyair muda asal Jember yang cukup produktif dan namanya mulai dikenal di jajaran penyair elit Jawa Timur . Berikut puisinya :

Sami'an Adib

Taman Makam Pahlawan

Sebelum koloni penjajah datang menjarah

bumi ini gemah ripah loh jinawih

buah meruah, rempah melimpah

tapi penjajah telah menoreh catatan kelam

di dinding dada ini dengan luka mendalam

jiwa terpasung dalambebayang laku kejam

setelah para penjarah asing terusir

negeri ini tak jera mengangkat pamor

tambang bertebaran, tanah lahan kian subur

tapi gemuruh gundah yang menyesaki dada ini tak jua reda

sebab pengorbanan para pejuang belum setara tanah merdeka

ketika rakyat masih terperangkap dalam kubang jerat derita:

sering kita dengar jerit petani di tumpukan hasil panennya

tertimbun sisa-sisa komoditi impor yang datang tiba-tiba

dengan dalih bahan kebutuhan masyarakat mulai langka

sementara di gedung parlemen tak mereka temukan sesiapa

mungkin masih sibuk bersafari mempersiapkan bilik niaga

untuk memajang kursi jabatan dengan segala rahasianya

kucoba menghimpun serpih juang di kelopak kamboja

taman kenangan makam pahlawan yang nyaris dilupa

untuk kutebar kembali di persemaian persada jiwa

seketika gairah hidup tenteram tercipta

api dendam pun padam tanpa bara

terlimbur rinai doa

:”Tuhan, mereka telah sampai di kampung merdeka

ijinkan aku esok lusa menemukan sejati maknanya

hidup terbebas dari belenggu prasangka dan curiga”

Jember, 2019



Sami'an Adib mencoba mengkritisi zaman perjalanan merdeka negeri ini. Bermula dari masa negeri ini dijajah bangsa asing, kemudia ia mulai mengisi puisinya dengan perjalanan merdeka. Apa yang ditulisnya adalah gambaran cacatan penyair dengan bidikannya tersendiri. Kaca mata penyair mungkin lebih teliti dan lebih terang. Berbagai fenomena kejanggalan negeri setelah merdeka. Sami'an Adib menyorotinya adar puisinya menjadi saksi kehidupan ini.

Sami'an Adib menggugah agar bangsa ini ingat akan perjuangan pahlawan hingga seperti masa ini, namun juga memberi catatan :

//.../kucoba menghimpun serpih juang di kelopak kamboja

taman kenangan makam pahlawan yang nyaris dilupa

untuk kutebar kembali di persemaian persada jiwa//...

//.../seketika gairah hidup tenteram tercipta

api dendam pun padam tanpa bara

terlimbur rinai doa/...//

manusia untuk ingat jasa orang lain yaitu pahlawan . Perumpamaannya agak terang . Akhirnya ia merenung dan menyadari makna hidup di bumi Indonesia ini.

/...//”Tuhan, mereka telah sampai di kampung merdeka

ijinkan aku esok lusa menemukan sejati maknanya

hidup terbebas dari belenggu prasangka dan curiga” //.

(Rg Bagus Warsono, kurator sastra di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Minggu, 11 Agustus 2019

Fahmi Wahid

PERJALANAN MERDEKA

Tanah ini adalah jalan peperangan

yang pernah dilalui oleh tapak pejuang kita

dengan berbekal sebilah bambu runcing

berkibar jubah semangat menyelimutinya

tak ada gentar dan getir di genderang dadanya

untuk berjuang dengan segala cara dan upaya

merebut pulau-pulau dan samudera dari jajahan

Semesta berkabut hitam di lembah api itu

sudah sangat hapal di pendengaran pejuang

bertaruh nyawa untuk generasi penerus

meski gugur di derasnya gerimis peluru

walau tulang bersanding di tanah sendiri

Di perjalanan merebut kemerdekaan

magis perjuangan yang tak terbayangkan

kurasakan dari nisan-nisan sunyi di kubur pejuang

selalu dikenang pada peringatan Hari Pahlawan

rangkaian seribu bunga tanda terima kasih

tetap tak terbayar oleh jasamu pada negeri

Kita harus tetap berkaca di perjalanan ini

bahwa belum apa-apa kerja kita untuk bangsa

dibandingkan para kesatria di medan laga berapi

seperti pejuang kita yang kini telah tenang abadi

Tapi sampai hari ini kubaca di raut wajah koran pagi

masih menayangkan kebencian antar sesama rakyat

memutus rantai persaudaraan dan memecah perbedaan

padahal ini bumi Nusantara: tanah hidup mati kita tercinta

kembalilah bersatu saling menggenggam erat bersama

pada gelombang merah putih di puncak kemerdekaan

di jejak pengabdian menjaga keutuhan Indonesia

Balangan-2019



Wajar jika Fahmi Wahid memulai puisinya dengan sejarah. Karena Fahmi berasal dari Balangan. Orang sana termasuk Fahmi Wahid masih terngiang pertemputran Perang Banjar dimana banyak orang Balangan ikut serta berjuang dalam Perang Banjar membela Tanah Air. Gambarn itu terlihat dalam bait nya yang meberi gambaran rakyat Indonesia melawan penjajahan.

//..../Semesta berkabut hitam di lembah api itu

sudah sangat hapal di pendengaran pejuang

bertaruh nyawa untuk generasi penerus

meski gugur di derasnya gerimis peluru

walau tulang bersanding di tanah sendiri/...//

buah bait yang berisi dengan pilihan diksi yang alik mampu menyentuh b hati pembaca. Bagaimana pembaca merasakan perjuangan yang banyak mengorbankan nyawa .

Fahmi Wahid mengajak membandingkan orang pada masa ini dengan irang perjuangan saat itu. Batapa para pejuang itu tak terbayarkan jasanya ketika berjuang dulu.

Akirnya Fahmi mengajak pembaca untuk menyadari pentingnya persaudaraan dan persatuan, Kita tibang menikmati kemerdekaan tampa harus bersusah payah berperang, Kita tinggal mempertahan kan dan mengisi Indonesia dengan pengabdian yang tulus.

Puisi Fahmi Wahid enak dibaca dan cepat dipahami, maksudnya tetapi tetap dalam kesatuan puisi yang bagus.

//.../ api sampai hari ini kubaca di raut wajah koran pagi

masih menayangkan kebencian antar sesama rakyat

memutus rantai persaudaraan dan memecah perbedaan/...//

(Rg Bagus Warsono, kurator di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Jumat, 09 Agustus 2019

Brigita Neny Anggraeni, KEBEBASAN


Brigita Neny Anggraeni adalah penyair asal semarang, berlatar belakang dokter psikolog namun rajin menulis puisi. Berikut puisi Brigita Neny Anggraeni :

KEBEBASAN

bebas merdeka jiwaku

kunikmati kebebasanku

keinginanku hanya satu

agar terbebaskan juga jiwamu

aku tak akan membebanimu

dengan kesimpulan

aturan-aturan

tak juga pandangan

cukup sudah dirimu

otakmu, jiwamu

tak terbebani doktrin kaku

dogma yang tak lagi berlaku

aku tak membaca pikiran lain

hanya baca pikiran sendiri dalam batin

kebebasan

bebaskan dari segala beban

angan-angan

kekawatiran

ketakutan

oh, damainya jiwaku





Puisi terkadang dipengaruhi latar belakang penulisnya meski tidak selalu disetiap saat memegang pena. Seperti halnya Brigita Neny Anggraeni penyair cantik yang rajin menulis puisi ini, bicara dalam puisi "Kebebasan" dengan perasaan jiwanya. Sudut pandang tentang kemerdekaan itu dilihat dari kebebasan jiwa seseorang. Bahwa kemerdekaan itu dimiliki oleh jiwa ini, jiwa yang tak terbebani dan bebas. Baginya kemerdekaan itu adalah kedamaian hati yang terlepas dari segala beban.

Brigita Neny Anggraeni bercerita dalam tiap baitnya pengertian-pengertian kemerdekaan itu dalam apa yang dialaminya secara psikologis. Namun juga kemerdekaan merupakan harapan bahkan angan-angan juga ketakutan hati.

//.../ukup sudah dirimu

otakmu, jiwamu

tak terbebani doktrin kaku

dogma yang tak lagi berlaku/..//

/aku tak membaca pikiran lain

hanya baca pikiran sendiri dalam batin

kebebasan

bebaskan dari segala beban/...//

Demikian puisi memang unik untuk dipelajari. Pedan puisi karya Brigita Neny Anggraeni ini tentu tentang kemerdekaan jiwa manusia. Ia hendak mengatakan bahwa kita hidup dalam aturan hukum namun tergantung jiwa seseorang menerima atau tidak , sebab angan-angan dan kekhawatiran itu menjadikan diri seseorang ketakutan sehingga tak merdeka jiwanya. Ia menginginkan kedamaian dalam merdeka. Seperti ia tegaskan dalam bait penutupnya :

//.../angan-angan

kekawatiran

ketakutan

oh, damainya jiwaku//.

(Rg Baguss Warsono, kurator di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Moh Zaeni Boli Kota yang dingin

Berikut sebuah puisi Internasional karya Zaeni Boli penyair dan seniman kelahiran flores berbakat akting dan baca puisi. Penyair yang dibesarkan di Bekasi di bengkel sastra Kalimalang asuhan Ane Matahari ini semakin terkenal di Flores sebagai pegiat sastra. Berikut puisinya :

Moh Zaeni Boli

Kota yang dingin

Belum jam 6 pagi

Daun kering jatuh di jalan

Angin membawa bahasa tubuhnya sendiri

Bagi kota tua kematian adalah hal biasa

Nyala lilin di depan rumah

Adalah untuk memberi terang bagimu yang tiada

Kesakralan keimanan memilikmukah yang mencintai dunia

Siapa yang merobek hati leluhur demi rupiah

Kita sudah merdeka bahkan sebelum kau menjual tanahmu

Keinginan demi keinginan adalah penjara

Dan surga bukan sekedar airmata yang tumpah saat berdoa

Tapi bumi dengan segala isinya yang dicintai dan mencintai

Rawat dengan hati dan kerja keras

Demi batu dan batu yang keras dan bercahaya

Gaya menulis puisi adalah pencarian jati diri, Zaeni BoliBoli kali ini semakin mantap sebagai penyair . Barisnya sudah bernas dan tampak setiap kata memiliki beragam arti. Ia berputar namun menuju satu tema dalam antologio ini yakni perjalanan merdeka.

Zaeni Boli bermain perumpamaan yang manis untuk dibaca, tetapi ada memberi personafikasi sebagai majas yang apik memberi hidup dalam puisi ini.

//....

/Dan surga bukan sekedar airmata yang tumpah saat berdoa

Tapi bumi dengan segala isinya yang dicintai dan mencintai

Rawat dengan hati dan kerja keras

Demi batu dan batu yang keras dan bercahaya/...//



Zaeni Boli memang pandai menempatkan diksi menjadi baris apik, selamat untuku Zaeni Boli. (Rg Bagus Warsono, kurator sastra di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Sugeng Joko Utomo NEGERI IRONI

Berikut kita ulas puisi Sugeng Joko Utomo dalam Negeri Ironi. Sunggeng adalah penyair kelahiran Tasikmalaya seorang pendidik yang menggeluti sastra khusus puisi. Ia teleh menulis antologi tunggalnya " Lelaki dan Langgam" dan diterbitkan. Kali ini Sugeng menulis di antologi Internasional berikut puisinya :

Sugeng Joko Utomo

NEGERI IRONI

Zaman merdeka di negeri kita

Orang-orang saling berlomba

Untuk menjadi wakil rakyat

Atau juga pejabat

Berebut kursi singgasana

Adu strategi curang semena-mena

Menjegal teman sejawat

Bahkan menginjak lidah kerabat

Tak berhitung harkat martabat

Moral terlepas jauh dari hakikat

Yang terpilih menjadi wakil rakyat

Berlomba-lomba mengumbar syahwat

Perilaku menyimpang sesuka-suka

Anomali jiwa menjadi terbiasa

Haus akan kuasa

Lapar akan harta

Fenomena miskin dianggap basi

Atau tiada lagi ambil perduli

Malah terkadang menjadi obyek

Sarana pengeruk anggaran proyek

Nyata di pundi-pundi mereka

Menggunung kekayaan semata

Rakyat miskin selalu dipaksa

Untuk meneriakkan kata: merdeka

Sambil menahan lapar haus

Membentuk barisan parade kaum kurus

Sesekali mengusap dada

Walau telah kering air mata

Sementara oknum-oknum semakin kaya

Tanpa harus berteriak: merdeka

Cukup duduk di belakang meja

Amboi... tandatangannya tinggi harga

Tasikmalaya, 1 Agustus 2019




Sorotan Sugeng Joko Utomo tentang perkembangan perilaku manusia Indonesia dewasa ini dalam mengisi kemerdekaan sudah menyimpang dari rel cita-cita dan budi luhur bangsa. Banyak perilaku menyimpang itu selain yang disinggung Sugeng Joko Utomo, tetapi Sunggeng menyorotinya dengan s=puisi yang cukup mengesankan pembaca dan mudah ditarik pesan yang terkandung dalam puisi itu.

Sunggeng mula mengetengahkan tentang swakil rakyat, dan para pejabat yang berebut kursi jabatan. Segala upaya dilakukan untuk meraih jabatan itu. Sehinga mengabaikan norma-norma baik agama maupun adat istiadat bangsa ini.

Bagi meReka yang haus jabatan itu adalah segalanya sehingga mereka berlomba. Demikian di gambarkan dalam bait selanjutnya. Pilihan diksi yang sederhana membuat mudah dipahami tetapi Sunggeng menempatkan apik kemasannya sehingga tampak runtut.

Klimaknya tampak dalam bait berikut :

//.../ Rakyat miskin selalu dipaksa

Untuk meneriakkan kata: merdeka

Sambil menahan lapar haus

Membentuk barisan parade kaum kurus

Sesekali mengusap dada

Walau telah kering air mata / ...//

Demikian Sugeng Joko Utomo mengurai potret zaman ini, meski hanya sebuah fenomena namun cukup mewakili potret keadaan masa ini yang sering kita dengar. Puisi ini layak untuk diangkat dipermukaan dan pantas menjadi puisi Internasional . (Rg Bagus Warsono, kurator sastra di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca).