Rabu, 11 September 2019

Mengenal Puisi-puisi Internasional : Lianna Putri Sri Musniawati

27.

Lianna Putri Sri Musniawati,

Kebesaran yang Mengalahkan

Aku adalah anak takdir yang diberi kuasa menciptakan
diriku bersama lily-lily paling indah yang sedang bermekaran
di penjuru bumi
Aku adalah ketetapan yang mampu menggiring diriku
dari berahi domba-domba tersesat di sepanjang padang
Aku adalah keniscayaan yang mengatur segala aku
bersama mimpi-mimpi masa kecil yang menyala besar
seperti api neraka
Aku adalah kebesaran abadi yang surga
Aku adalah kebesaran paling besar yang
takkan terkalahkan oleh dogma kerdil setan-setan dunia
Aku adalah Tuhan yang menjelma jiwa
Semarang, 09 Juni 2019



Lianna Putri Sri Musniawati, lahir di Semarang, 12 November 1998. Penulis merupakan mantan siswi SMK Negeri 2 Semarang yang mengambil jurusan Administrasi Perkantoran. Selain menulis, ia juga gemar melukis. Karyanya tersiar di media massa seperti Satelit Post, Potret Aceh, Nusantara News, Kompasiana, Berita Baca, dll. Cerpen-cerpennya termaktub dalam berbagai antologi bersama, di antaranya: Jiwa yang Tak Tergantikan (2016), Penyejuk Hati (2016), Denting Sepi Sang Pengelana (Sabana Pustaka, 2017), dan Gajah Terbang Pembawa Kebaikan (Bakul Buku Indonesia, 2018). Kemudian beberapa puisinya yang masuk dalam antologi puisi yaitu Derap-Derap Kematian (Parade Puisi, 2017), Tempatku Berlabuh (Penerbit Lasaripi, 2017).

Gadis yang amat menyukai sawah dan hutan berpohon lebat ini aktif bergiat di Sekolah Kampoeng Menulis (SKM) Indonesia. Tiga kali sudah ia didaulat menjadi juri di lomba penulisan cerpen lokal maupun nasional, yaitu untuk Event Hunter Indonesia (periode Januari 2019), PT Kreasindo Digital Konten (periode Mei 2019), serta Kreatifitas Konten Indonesia (periode Juli 2019).


Mengenal Puisi-puisi Internasional : Nok Ir

49.

Nok  Ir

Merdeka Sejiwa Raya

Berseteru satu persatu
Di arena liar beraroma nanar
Arogansi ala rimba menjadi ukuran utama
Kekuatan meraja di atas segala
Kaum marginal sebagai barang kudapan
Luka lapar semakin melingkar-lingkar
Mustahil mudah terhapus hujan maaf

Kongsi-kongsi negeri membentuk konspirasi
Menebar jaring laba-laba mencipta dahaga penguasa
Koloni agung tuahkan hukum nan mengungkung
Mengunggah angkuh telagakan peluh keluh
Pilar-pilar idiologi kian hari kian tergerogoti
Jala angkara menjerat wajah-wajah sengsara
Lahirkan bayi masa nanti berkubang gambar jeri

Telah bebaskah raga
Merdekakah bunga-bunga asa
Jalan yang membentang tersumbat aral
Melintangi niat parah penuh serakah
Kerapuhan solidaritas semakin menyampah
Muara para penjajah semakin tergugah
Tirani abu kelabu kerap membelenggu

Kemerdekaan bukan sekedar orasi menegasi
Musti nyata terrefleksi bertubi-tubi
Pada giat geliat rakyat menoreh prestasi
Yang sekian waktu tergerus fatamorgana oligarki
Nusantara menengadah harap dikau pendekar sekilau gahar
Tangkis penjajah-penjajah anyar berkedok pahlawan
Gerus kemerdekaan dengan ilusi egoisi
Teguhi bentang kebebasan beragam lini
Jalan merdeka berkat kobarkan darah nyawa bersabung cucur airmata
Sumenep, 31 Juli 2019







Nok Ir,  adalah nama pena yang digunakan oleh Hj. Khoiroh, S. Pd. SD dalam karya-karyanya. Lahir di Demak, 28 Januari ini tinggal di Sumenep untuk mengabdi sebagai pendidik. Karyanya berupa cerpen dan puisi telah terhimpun dalam beragam Antologi bersama dengan teman- teman penulis dalam dan luar negeri. September 2018 kemarin, salah satu puisinya  yang berjudul " Kali Tuntang di Utaranya Kauman"termasuk dalam Nominasi Puisi Pilihan dalam event akbar 1000 Guru Menulis Puisi yang tercatat dalam Rekor MURI. Karyanya telah terhimpun di Antologi Bersama Puisi 2 September, Antologi Puisi Bersama Kita, Sajak Embara, Perempuan Laut,  Mata Cinta, Ayah Bangsa, Akar Dari Ibu, Antologi Cerpen Kultur, Tadarus Puisi,  Kitab Pentigraf 2 Iklan di Pintu Depan, Antologi Puisi Guru Tentang Sebuah Buku Dan Rahasia Ilmu,  Negeri di Atas Awan,  A Skyful of Rain-Banjarbaru's Rainy Day Literary Festival 2018, Antologi Kita Adalah Indonesia Zamrud Khatulistiwa ,  Antologi Puisi Sabda Alam, Kitab Pentigraf 3, Antologi 1000 Sisi Dini, Catatan Guru Penulis-guru Mulia Karena Karya, Antologi Ibu.

Mengenal Puisi-puisi Internasional : Brigita Neny Anggraeni

12.

Brigita Neny Anggraeni,

Kebebasan

bebas merdeka jiwaku
kunikmati kebebasanku
keinginanku hanya satu
agar terbebaskan juga jiwamu

aku tak akan membebanimu
dengan kesimpulan
aturan-aturan
tak juga pandangan

cukup sudah dirimu
otakmu, jiwamu
tak terbebani doktrin kaku
dogma yang tak lagi berlaku

aku tak membaca pikiran lain
hanya baca pikiran sendiri dalam batin
kebebasan
bebaskan dari segala beban

angan-angan
kekawatiran
ketakutan
oh, damainya jiwaku






Brigita Neny Anggraeni, atau biasa dipanggil akrab Neny, lahir di Semarang 02 Februari 1979. Pendidikan terakhir S1 dari Fakultas Kedokteran, jurusan Psikologi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Neny yang hobi melukis, photograpy, dan bercocok tanam ini, gemar menulis sejak usia sekolah dasar.
Diawali suka menulis ceritera anak-anak yang secara rutin dimuat di Harian Suara Merdeka Semarang. Sejak itu kesenangan menulis terus berkembang, dengan menulis artikel, tips-tips kesehatan, biografi tokoh-tokoh, dan ceritera silat bersambung yang dimuat di Tabloid Tren, dan Tabloid Obyektif.
Sempat terjun juga di dunia psikologi sebagai konsultan finger print. Kini, disela-sela kesibukannya sebagai seorang ibu dengan dua orang putri, setiap hari masih disempatkannya tetap menulis. Ikut menulis Puisi di Buku Puisi Menolak Korupsi (PMK) yang sudah diterbitkan dengan Penyair Nusantara yang lain. Kemudian buku-buku yang sudah diterbitkan oleh Elexmedia Koputindo (Gramedia Group), yaitu Buku Seri Transportasi: Seri Kereta Api, Seri Mobil, Seri Pesawat Terbang, dan Seri Kapal Laut. Menyusul kemudian masih dengan penerbit sama, Buku Belajar dari Induk Gajah, Seri Sang Penemu: Tomas Alva Edison, Faraday, dan lain-lain. Buku lainnya yang sukses diterbitkan adalah Buku Novel Sejarah, Saridin.

Mengenal Puisi-puisi Internasional : Dwi Wahyu Candra Dewi

26.

Dwi Wahyu Candra Dewi

Harga Sebuah Perjuangan

Tak lagi ada keluh yang berpeluh
Tak lagi ada malam mencekam
Kala itu terik tak gentarkan tekad,
gelap pun seakan terang tuk gapai kemenangan.
Diujung tombak bambu runcing, terpatri semangat pembelaan harga diri
Luka menganga tak dirasa
Darah mengalir sudah biasa
Sepantasnyalah perjuangan mencapai merdeka.
Tak terhitung nyawa
Tak terkira duka
Mereka bisa merdeka.
Merdeka bukan pemberian
Pun bukan belas kasihan.
Jika kau masih menangis meminta kemerdekaan, kau tak lebih dari pengemis!
Jika kau congkak akan kemerdekaan, kau tak lebih dari perompak!
Tenaga, pikiran, jiwa dan raga dikerahkan tuk gapai kemerdekaan.
Niat baik tuk kebahagiaan anak cucu, diwujudkan.
Inilah harga sebuah perjuangan
Merdeka...merdeka...merdeka







Dwi Wahyu Candra Dewi, penulis asal Blora kelahiran 8 Mei 1983. Karya-karyanya lebih banyak berupa puisi yang terbit bersama karya teman-teman pensyair lainnya. Kegemaran menuangkan rasa dalam puisi menjadikannya ingin selalu menulis. Salah satunya puisi “Harga Sebuah Perjuangan” ini, penulis memiliki harapan besar tidak akan ada lagi  pertanyaan “benar kita sudah merdeka?”. Pertanyaan yang meragukan perjuangan para pahlawan sangatlah tidak mengetahui rasa berterima kasih. Pun demikian harusnya menjadikan pelajaran untuk tetap menjaga kemerdekaan yang sudah diraih.

Mengenal Puisi-puisi Internasional : Dede Rostiana

63.

Dede Rostiana

Itu Merdeka

Merdeka itu kebebasan untuk manusia
Berkeliaran lalu lalang
Menghirup udara segar dan hidup nyaman
Deretan sejarah kemerdekaan selalu terbayang
Jasa-jasa para pahlawan
Kalaulah mereka masih ada
Mungkin mereka lara dan bela sungkawa
Karena kemerdekaan yang mereka perjuangkan
Masih tak seberharga nyawa mereka

Wahai generasi muda
Seberapa tangguh kau berjuang
Melawan kemiskinan juga kedloliman
Mungkin mereka kan berkata demikian
Para pemuda saat sekarang, mungkinkah  bisa bertanggung-jawab
Pandaikah berburu debat lalu menuntut hak?
Berani menyerahkan jiwa dan raga?
Demi kemerdekaan bangsa dan negara
Walaupun moncong senjata di depan dada
Mereka sama sekali  tidak takut semua itu,                                                                                                     Justru mereka hanya  takut
Bisikan-bisikan : "Berjalanlah lurus Bung!"
Padahal tak dilihatnya belok
"Merdeka itu menuruti apa yang seharusnya dituruti lalu diam!”



Dede Rostiana, lahir di Tasikmalaya16 Pebruari 1972. Pendidikan terakhir S2 Administrasi Pendidikan, Universitas Galuh Ciamis. Seorang pengajar di SMP Pesantren Cintawana.  di Tasikmalaya.  Penulis aktif di beberapa komunitas menulis. Karya penulis berupa Puisi dan Artikel pernah dimuat di Koran Lokal, Tabloid Surya Rengganis, Majalah Mangle, Majalah Guneman, Kabar Priangan, Siap Belajar, Galamedia dan Pikiran Rakyat. Penulis bergabung dengan beberapa Antologi bersama baik Puisi, Cerpen, dan Cernak (wonderland creative) dan ( Raising Star). Penulis juga telah menerbitkan dua Antologi Puisi tunggal ; Merindu Bulan dan Sunrise di Matamu.

Mengenal Puisi-puisi Internasional : Redd Joan

8.

Red Joan (Dwi Retno Asih)

Merdeka Bukan Penjara

Merdeka itu sebutan kesempatan
Bagi orang-orang pencari pangkat
Laci meja dikunci lemari besi mulai diisi
Hitungan sempat tidak sempat harus tepat

Merdeka itu sebutan angan-angan
Tembus langit tembus bumi
Terbang sampai jatuh karena mimpi
Beradu dengan berlapis imajenasi

Tetapi merdeka juga sebutan nyawa
Bagi para pejuang yang dikubur dalam sejarah
Tanah dan air juga batu, kepulan asap ledakan mesiu
Kaki tangan beradu dalam belenggu

Tetapi merdeka bukan jadi penjara
Karena siang malam teriak merdeka
Di rumah
Di gedung-gedung aparat
Di tanah lapang
Di jalan raya
Di lampu merah
Di dalam pikiran yang dipenjara merdeka.







Nama saya Dwi Retno Asih, memilih nama pena Redd Joan. Biasa dipanggil RJ. Lahir 46 tahun lalu di Lampung. Sejak tahun 2004 mengadu nasib di Negara tetangga hinhga saat ini. Menjadi staff agensi penyalur tenaga kerja Kuala. Pernah mengikuti beberapa antologi bersama sahabat fb. Menulis adalah hoby dan menyukai dunia sastra sebagai ungkapan rasa cinta terhadap bahasa Indonesia.

Senin, 02 September 2019

Cerpen Rumahku di Tepi Rel Kereta Api karya Rg Bagus Warsono

Cerpen Rumahku Di Tepi Rel Kereta Api Karya Rg Bagus Warsono, adalah cerpen yang mengisahkan seorang anak yang berumah di rel kereta api. Sunarti demikian nama anak itu membayangkan akan keindahan rumah orang lain yang lebih baik yang tak bising dengan suara-suara laju kereta bahkan sering terdengar keras di malam hari. Pada suatu ketika Sunarti berkunjung ke pamannya di Kuningan, sebuah kota yang tak ada jalur rel kereta, justru ia tak kerasan tinggal di rumah itu, bahkan ia tak bisa tidur dan terjaga di malam hari. Akhirnya ia menyadari bahwa rumah sendiri lebih indah meski di tepi rel kereta.
Cerpen ini tlah dimuat di Mingguan pelajar dan sebelumnya cerpen inilah yang mebawanya sebahgai salah satu pemenang lomba menulis cerpen bagi guru pada tahun 1996 yang diselenggarakan oleh Depdikbud.
Pada tahubn 2007 Cerpen dibacakan oleh Nurochman Sudibyo di Pendopo Kabupaten Indramayu dalam acara Final Festval Lomba Seni Siswa Nasional tk Kabupaten dalam lomba baca puisi. Dan dalam temu kecil Sastrawan Nasional di acara Sastra untuk Literasi Sekolah 31 Agustus 2019 cerpen ini dibacakan kembali oleh Oka Tri Hadini.

Minggu, 01 September 2019

Temu Kecil Sastrawan dalam Literasi untuk Sekolah sebuah konsep kegiatan sastra saling menguntungkan dan hemat biaya.

Hasil Temu Kecil :

Temu Kecil Sastrawan Nasional, Literasi Sastra untuk Sekolah:
31 Agustus 2019

A. Konsep : 1. Sekolah hanya menyiapkan tempat sederhana, Pengapresiasi (penonton) dan Makan siang; 2. Sekolah tidak dibebani biaya besar, hanya sepanduk kegiatan, dan snak undangan bagi lingkuangan pendidikan sekolah itu; 3.Pengatur acara diserahkan panitia pihak sastrawan.
B. Manfaat :

1.Sastrawan /Penyair : Mengenalkan karya dan penulisnya di Lingkungan pendidikan.(publikasi)

2.Ajang silaturahmi sastrawan/penyair (mementum)

3. Silaturahmi sastrawan dan masyarakat (hubungan baik)

4. Unsur Penunjang mata pelajaran Bhs. Indonesia dan Pendidikan karakter
C. Pembelajar :

1.Sastrawan /Penyair sebagai narasumber pembelajar di sekolah

2.Guru dan Siswa adalah sasaran pembelajar

3.Sekolah sebagai pusat kebudayaan (Wiyata Manadala)

4.Literasi dengan pilihan sastra

5.Literasi dengan pola baca (contoh baca puisi)

Minggu, 25 Agustus 2019

SD 4 Bungbulang (BBL) Garut sebagai sekolah yg memperoleh juara literasi se Jawa Barat.

Dimana pun tempat, kami slalu menggalakan literasi. Seperti di SD 4 Bungbulang (BBL) Garut sebagai sekolah yg memperoleh juara literasi se Jawa Barat. Lumbung puisi memberikan beberapa buku saatra (antologi) pada sd tersebut yg diterima kepala sekolahnya Sutiawan,SPd.

Rabu, 21 Agustus 2019

Hasanuddin Kepala Sekolah yang Hafal Puisi-puisi Chairil Anwar

Di sebuah lembah pegunungan pantai selatan Garut di kecamatan Bumbulang (BBL) bertemu dengan seorang kepala sekolah dasar yang tinggal dua tahun lagi memasuki masa pensiun. Namanya Hasanuddin, kelahiran Makasar 1961. Ada sesuatu yang istimewa pada sosok kepala sekolah dasar Margalaksana 1 di Bumbulang ini, yaitu ketika aku menanyakan pada semua guru, yang kebanyakan muda-muda itu, di sekolah tersebut, di sela-sela obrolan . "Siapa yang hafal beberapa judul karya puisi dan buku sastra karangan pujangga baru pada saat masih sekolah?".
Semua guru terdianm dan mengingat-ingat ketika masih dibangku sekolah atau dibangku kuliah. Tak seorangpun yang menjawab.
Setelah ditunggu beberapa saat , aku menengok wajah kepala seklahnya. Kepala sekolah yang sudah tua itu tersenyum kemudian ia menyebut beberapa nama judul buku dan pengarangnya seperti Salah Asuhan, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, kemudian ia menyebut beberapa judul puisi karya Chairil Anwar. Segera aku berdiri menyalaminya memberikan selamat.
" Apa bapak masih hafal?", kataku singkat !
Orang tua itu tersenyum lalu memberesi safarinya, kemudia ia berdeklamasi ;

Aku ........Chairil Anwar !

Kalau sampai waktuku.
Ku mau tak seorang kan merayu…
Tidak juga kau…

Tak perlu sedu sedan itu…
Aku ini binatang jalang.
Dari kumpulannya terbuang…

Biar peluru menembus kulitku.
Aku tetap meradang menerjang…

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari…
Hingga hilang pedih peri,,,

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi…

Maret 1943

Demikian ternyata di tepi gunung terdapat sosok guru yang menyimpan ingatan kuat ketika tahun 70-an sekolah.

(Rg Bagus Warsono, 21 Agustus 2019)

Suhendi RI, MATA PENA

Dari Bungbulang (Garut) pantai Selatan Jabar kita lihat puisi-puisi internasional Perjalanan Merdeka karya Suhendi RI penyair muda berbakat , kita simak puisinya :

Suhendi RI,

MATA PENA

Menatap hampa ke sudut ruang

Sebuah kitab tergeletak

Tak berdaya di atas meja

Sedang sang darwis lelap

Dipeluk sunyi

Tinta yang menoreh jejak sejarah

Menjadi ayat-ayat kekal

Biarpun musnah dibaca rayap-rayap zaman

Kisahnya terekam diingatan purba

Ketika fajar menyibak tirai pagi

Jiwa mengembara ke jiwa lain

Mencari alif lam mim

Pada mushaf fayakun

Sebelum mata pena disilaukan

Kilauan cahaya emas dan permata

Sadarkanlah dari kefanaan dunia

Bila tiba di halaman akhir

Pahami arti sebenarnya kata-kata

Kebon Jeruk, 19 Juli 2019

Suhendi memberikan puisinya dengan sesuatu yang berada dihadapannya , dihadapan kita, sebuah benda yang menyimpan rahasia alam ini, sebuah yang menjadi pegangan dan panutan hidup di dunia.

Pilihan diksi yang sangat apik dalam usia pengalamannya yang masih muda ini mampu menatanya dan memilih dengan pilihan yang membuat puisi ini menarik dan cukup membuat orang terkesima.

Suhendi membiarkan puisinya untuk ditafsir sesuka pembaca namun memudian pembaca menemukan apa yang diributkan dan di bicarakan itu akhirnya kembali ke Yang Maha Kuasa.

//..../Ketika fajar menyibak tirai pagi

Jiwa mengembara ke jiwa lain

Mencari alif lam mim

Pada mushaf fayakun/....//

Demikian siapa yang mampu menggali apa yang diberikan Yang Maha Kuasa (Al Kitab) sebetulnya terdapat keindahan tiada habis-habisnya. (bersambung. Rg Bagus Warsono , kurator di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Selasa, 13 Agustus 2019

Chayada Binsaven PERUBAHAN WAKTU

Chayada Binsaven Nickname Sunbeia, Bangkok , berikut puisinya :

Nama saya Chayada Binsaven

PERUBAHAN WAKTU

Hati orang berubah

Hal-hal yang tetap sama hanyalah kenangan.

Senyum setiap orang ada

dalam ingatan seseorang.

TAKDIR

Apakah Anda percaya pada takdir?

Takdir sering yang orang yakini

dan mengira itu bagian dari kehidupan.

Nasib seringkali datang secara kebetulan.

Terkadang kita bertemu seseorang

yang atau telah mengenal Seseorang,

yang tidak kita duga tahu.

Ini adalah pesona takdir.

Mungkin Anda berjalan

di sepanjang garis nasib.






Gadis cantik mengawali perdananya sebagai penyair dengan puisi pendek yang indah.

Satu berjudul Perubahan Waktu dan satunya lagi berjudul Takdir dua puisi yang dapat berhubungan ditilik dari isi pesannya.

Cayadha Binsaven goresannya indah , diksinya sederhana namun dalam rangkainya sasyat !

//Hati orang berubah

Hal-hal yang tetap sama hanyalah kenangan.

Senyum setiap orang ada

dalam ingatan seseorang.//

Puisi pendek yang menyentuh pembaca. Puis dengan magner baca tinggi. Hingga pengulas puisi ini terkagum kagum.

Begitu juga puisi kedua. Tentang takdir manusia. Ia menulis takdir itu dengan sangat dalam.

//.../Nasib seringkali datang secara kebetulan.

Terkadang kita bertemu seseorang

yang atau telah mengenal Seseorang,

yang tidak kita duga tahu./...//

baris yang menggigit pembaca, bahwa takdir bukan kitayang merencanakan.

(Rg Bagus Warsono, kurator di Himpunan Masyarakat Gembar Membaca)

Muhammad Lefand ORANG-ORANG TIMUR JEMBER

Berikut kita simak puisi karya Muhammad Lefand dalam puisi-puisi antologi internasional.

Muhammad Lefand

ORANG-ORANG TIMUR JEMBER

pagi:

Semua bangun setelah ayam berkokok

Membasuh muka dengan air

Menghadap Tuhan dan berdizikir

Yang punya sawah mengambil cangkulnya

Yang punya kebun mengambil aritnya

Yang tidak punya siap-siap bekerja

Ada yang mencari kayu hingga ke hutan

Ada yang mencari rumput hingga ke kebun

Dingin tak menghalangi gairah orang-orang

Tanah timur Jember begitu subur

Sawah-sawah luas membentang dari utara ke selatan

Kebun-kebun di bawah kaki gunung raung begitu rimbun

siang:

Setelah adzan dhuhur berkumandang dari masjid terdekat

Semua bersiap untuk kembali ke rumahnya

Membasuh badan dan keringat

Tidak lupa menunaikan shalat

Ada yang kembali ke sawah dan kebunnya

Ada yang istirahat di kamarnya

Anak-anak pulang dari sekolah mengucap salam

sore:

Ibu-ibu berkumpul

Bapak-bapak kembali ke aktifitas masing-masing

Anak-anak bermain layangan

malam:

Orang-orang sedang berdoa

setiap hari:

Orang-orang timur Jember sangat merdeka

Jember, 2019




Muhammad Lefand, penulis yang lahir di Sumenep Madura dengan nama Muhammad,

sekarang tinggal di Ledokombo Jember. Adalah seorang perantauan yang senang menulis puisi

Muhammad Lefand mengetengahkan suasana merdeka di Jember Jawa Timur. Diantara orang-orang yang belum menemukan kemerdekaan menurut hatinya, Muhammad Lefand justru memotret masyarakat yang menikmati kemerdekaan itu. Orang-orang Timur Jember katanya menikmati merdeka, ia gambarkan diwaktu pagi, siang hingga malam sepanjang hari, kemerdekaan bagi masyarakat adalah ketenangan dan keamanan mencari nafkah. Tampaknya masyarakat yang dipotret Lefand tidak muluk-muluk , mereka menikmati kemerdekaan itu. Menikmati dengan tenangan hidup dalam keseharian nya di desa.

Benar, kemerdekaan adalah bagaimana seseorang mensyukuri hidup ini, namun tak berarti pasrah. Hati yang slalu bersyuku akan mendapat ketenangan dalam hidup. Contohnya masyarakat Timur Jember yang digambarkan Muhammad Lefand.

Puisi yang tersurat dengan runtut dan apik disusun ini memiliki kekuatan daya tarik baca tersendiri. Lefand telah berhasil 'bercerita dengah puisi. Demikian puisi ternyata dapat menyampaikan kabar. bahwa di suatu tempat ada masyarakat menikmati merdeka. Mengapa kita tidak?

(Rg Bagus Warsono, kurator di Himpunan Masyarakat gemar membaca)

Suyitno Ethex MENAWAR KEMERDEKAAN

Kita simak kembali puisi-puisi perjalanan merdeka dalam antologi internasional. Berikut karya Suyitno Ethex penyair Mojokerto yang namanya menasional ini :

Suyitno Ethex

MENAWAR KEMERDEKAAN

Menjelang kemerdekaan awal bulan agustus

di ruas setiap jalan tawarkan kemerdekaan

umbulbul penjor bendera dijajakan

Harga umbulumbul sekian

harga bendera sekian

begitu juga tiang bendera

Penjual pembeli berinteraksi

tawar menawar terjadi

serasa lupa bagaimana

para pejuang merebut kemerdekaan

Menawar kemerdekaan terjadi

peringatan hanya serimoni

terlalu sekali

mojokerto, 1.8.2019



Sebuah puisi pendek dengan baris pendek yang menarik perhatian. Penuh makna apresiasi, dan syarat pesan. Paduan bait dikayakan dengan alur yang bergelombang sehingga enak dibaca. Suyitno Ethex memang jempolan dalam menulis puisi.

//.../Harga umbulumbul sekian

harga bendera sekian

begitu juga tiang bendera/...//

alur demikian adalah jeda yang menarik utuk disampaikan agar mengigit.

Pandangannya dalam sorotan judul ini tentang perayaan kemerdekaan itu tak sebera arti bahkan hanya seremonial belaka.

//.../Menawar kemerdekaan terjadi

peringatan hanya serimoni

terlalu sekali//

Suyitno Ethex pancen piawai menulis puisi.

Mim Aly Mursyid. HAL TUJUH BELAS AGUSTUS

Mim Aly Mursyid adalah penyair Sumenep , berikut Puisinya dalam antologi internasional :

Mim Aly Mursyid.

HAL TUJUH BELAS AGUSTUS

Tujuh belas Agustus nanti,

Bakal kembali kita mengusik diri sendiri dengan kenyataan pahit negeri ini.

Tuan pemimpin negara

Berdiri tegak di podium upacara lalu bercerita seperti tahun-tahun sebelumnya;

Dengan tersenyum Ia menyebut angka usia negara kita telah merdeka

Tetapi lupa menyebut berapa jumlah anak-anak tak sekolah di pelosok desa

Ia menunjuk gagah foto wajah para pejuang dan pahlawan

Tetapi tak pernah mau peduli pada wajah-wajah tak punya pekerjaan

Akan pula ia ingatkan kita bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai perjuangan pahlawannya

Tetapi ia lupa bahwa di banyak tempat bos-bos enggan menghargai kerja keras para buruh dengan upah yang utuh

Tujuh puluh empat tahun Indonesia telah merdeka

Angka yang belia bagi usia suatu bangsa

Tetapi amat lama sampai hari kita melihat dan mendapati kenyataannya

Tujuh belas Agustus,

Itulah suatu hari dimana kita semua tetiba jadi pelupa

Lupa bahwa ada beda makna buruh dan budak

Lupa kalau merdeka artinya kita tak saling memangsa

Lupa bahwa ini bangsa milik bersama bukan segolongan kaya saja

Tuan pemimpin negara itu,

Kalau nanti di pidatonya ia mengajakku mensyukuri kemerdekaan ini

Aku hanya akan bertanya sejauh mana ia telah mengusir Belanda yang bergumpal di alir darahnya

Madura, 2019



Puisi dapat dijadikan berbagai pesan termasuk nasehat. Pesan itu disampaikannya lewat puisi dengan bahasa puisi dan cara puisi menyampaikan pesan. Mim Aly Mursyid pandai merangkai kata hingga menjadi puisi pesan untuk mengingatkan bangsa ini akan jerih payah para pahlawan merebut kemerdekaan. Sedang 'mereka yang beruntung di masa ini tidak pernah tau bagaimana perjuangan itu. Mereka hanya menikmati hasil perjuangan itu, bahkan lupa pula pada sesama yang belum beruntung.

//..../ Tujuh belas Agustus,

Itulah suatu hari dimana kita semua tetiba jadi pelupa

Lupa bahwa ada beda makna buruh dan budak

Lupa kalau merdeka artinya kita tak saling memangsa

Lupa bahwa ini bangsa milik bersama bukan segolongan kaya saja/ ...//

Pesan yang tersurat menjadi tegur pengingat bahwa kemerdekaan ini bukan milik seseorang atau segolongan. Mim Aly Mursyid tampaknya berhasil dalam hal ini dan Selamat untukmu Mim Aly Mursyid.

Syahriannur Khaidir AGUSTUS DAN WANGI MERAH PUTIH.

Mari kita lihat puisi Syahriannur Khaidir dalam puisi-puisi internasional .

Berikut puisinya:

berjudul :

Syahriannur Khaidir

AGUSTUS DAN WANGI MERAH PUTIH.

Agustus dan wangi merah putih

Kau tersenyum sambil memegang dada

Entah luka

Entah duka

Entah desakan tanya

Merdekakah kemiskinan

Merdekakah kebodohan

Merdekakah

O pejuang

Tetaplah rapatkan barisan

Hingga merah

Hingga putih

Tak lagi tertatih menahan rintih

Sampang, Juli 2019



Puisi pendek Syahriannur Khaidir yang berjudul Agustus dan wangi Merah putih pantas sebagai puisi internasional. Gayanya cukup mengulas satu yaitu bendera Merah Putih. Di bendera merah putih ini tersimpan berbagai sejarah kesaksian dari sebuah bendera merah putih.

Ia merah putih, yang menyimpan kesaksian panjang sejarah negeri ini, berbagai peristiwa lara hingga perjalanan merdeka,

Pokoknya merah putih tetap berkibar di rumah si miskin dan di rumah si lapar. Di meja si bodoh dan di meja si pintar. Seakan merah putih tak membedakan siapa.

//.../Tetaplah rapatkan barisan

Hingga merah

Hingga putih

Tak lagi tertatih menahan rintih//. Demikian samian Syahriannur Khaidir piawai , hanya satu benda merah putih mampu membawa puisi ini syarat makna. Selamat untukmu Syahriannur Khaidir. (Rg Bagus Warsono, kurator di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Senin, 12 Agustus 2019

"Kubaca" karya Suyudi Akbar Sujudi Akbar P

Kembali kita simak puisi-puisi internasional, berikutnya "Kubaca" karya Suyudi Akbar Sujudi Akbar Pamungkas.

SUJUDI AKBAR PAMUNGKAS:

---------------------------------------------------

KUBACA

kubaca berkali indonesia

adalah negeri subur kayaraya

tapi berkali kurasa indonesia

tiada belaskasih kemiskinan ini

kian akut di perkampungan orang

kubaca berkali indonesia

adalah negeri besar merdeka

tapi berkali kurasa indonesia

tak juga memerdekakan nasib ini

dari belenggu penindasan sesama

berkali kubaca indonesia

adalah negeri adil sejahtera

tapi kurasa berkali indonesia

tiada pernah berlaku bijaksana

saat kekuatan merampas hak kita

berkali kubaca indonesia

adalah negeri anti rasuah

tapi kurasa berkali indonesia

tak sepenuh hati memberantas

penjarahan dan pungli kehidupan

indonesia, berkali kubaca

ternyata hanya serial elegi jelata

negeri dongeng abadi para pemimpi

di sini hanya kekuatan berkuasa

nasibku hidupmu apa mau dikata

(part, 010819)


Puisi yang manis dan tampak tegak dan sebait baris puisi yang kaya makna dan pesan. Suyudi Sujudi Akbar Pamungkas memang padai mengolah kata. Adalah seorang penyair, apa pun bisa dibuat puis dengan ketajaman naluri dan pengalaman serta kekayaan pilihan kata yang baik.

Ada banyak pesan yang terkandung dalam puisi di atas, yakni Sukma memotret tetang rasa kecewanya terhadap negeri yang ia puja. Namun kekecewaan itu ternyata oleh ulah manusia-manusia Indonesia juga yang tengah berkuasa. Penyair hanyalah penyampai pesan , perubahan itu terletak bagaimana apresiasi itu diimplementasikan dengan perubahan yang baik. Akhirnya hanya penyair cuma menyampaikan dan bukan berarti pasrah tetapi berjuang lewat tulisan atau caranya tersendiri.

Tampaknya Suyudi Sujudi Akbar Pamungkas berhasil menjadikan puisi ini bersinar. (Rg Bagus Warsonio, kurator sastra di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Puisi Hasani Hamzah SEPASANG WARNA

Berikutnya kita simak kembali puisi-puisi internasional. Kali ini kita ulas puisi Karya Hazani Hasani Hamzah penyair asal Madura. Hasani Hamzah namanya kian dikenal dan termasuk yang aktif dan produktif di Madura menyusul penyair-penyair lainnya . Madura dikenal sebagai gudang penyair Jawa Timur yang kebanyakan dari kalangan pesantren di Madura.

Berikutnya kita simak kembali puisi-puisi internasional :

Puisi Hasani Hamzah

SEPASANG WARNA

Sepasang warna adalah bendera

Adalah juga usia

Yang berkibar dan melambai

Dalam sepi aku merindu kampung halaman

Tempatku dilahirkan

Dan menyusu cintamu

Ibu, lagu mu tetaplah merdu

Di musim yang retak

Bukan bintang-bintang atau bianglala

Yang kau pinta

Hanya sepasang warna sebagai bendera

Yang ingin terus kau tancapkan

Dihalaman pagi

Bagi anak-anak sejarah mu

Sapeken – Sumenep, 25 Juli 2019

Hasani Hamzah juga menjadikan objel Merah Putih, dwi warna bendera negara kita sebagai sorotan puisinya. Bendera Negara Indonesia yang secara singkat disebut bendera negara adalah Sang Merah Putih atau Sang Saka Merah Putih, atau Merah Putih, atau kadang disebut Sang Dwiwarna (dua warna) ini memiliki kesaktiannya tersendiri.

Hasani Hamzah merangkum tentang merah putih itu. diambil dari warna panji atau pataka Kerajaan Majapahit pada abad 13 itu adalah dualisme alam yang saling berpasangan. Sejarah menyebut menyebut penggunaan bendera merah putih dapat ditemukan dalam Pararaton; menurut sumber ini disebutkan balatentara Jayakatwang dari Gelang-gelang mengibarkan panji berwarna merah dan putih saat menyerang Singhasari. Hal ini berarti sebelum masa Majapahit pun warna merah dan putih telah digunakan sebagai panji kerajaan/negara.

Dari semuanya itu merah putih mendapatkan tempatnya tersendiri di hati rakyat Indonesia, sebagai bendera yang slalu melekat di hati anak negeri.

//.../Dalam sepi aku merindu kampung halaman

Tempatku dilahirkan

Dan menyusu cintamu

Ibu, lagu mu tetaplah merdu

Di musim yang retak/....//

Puisi pendek yang cukup manis dan syarat makna.

(Rg Bagus Warsono, kurator sastra di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Sami'an Adib Taman Makam Pahlawan

kali ini kita simak puisi Sami'an Adib , penyair muda asal Jember yang cukup produktif dan namanya mulai dikenal di jajaran penyair elit Jawa Timur . Berikut puisinya :

Sami'an Adib

Taman Makam Pahlawan

Sebelum koloni penjajah datang menjarah

bumi ini gemah ripah loh jinawih

buah meruah, rempah melimpah

tapi penjajah telah menoreh catatan kelam

di dinding dada ini dengan luka mendalam

jiwa terpasung dalambebayang laku kejam

setelah para penjarah asing terusir

negeri ini tak jera mengangkat pamor

tambang bertebaran, tanah lahan kian subur

tapi gemuruh gundah yang menyesaki dada ini tak jua reda

sebab pengorbanan para pejuang belum setara tanah merdeka

ketika rakyat masih terperangkap dalam kubang jerat derita:

sering kita dengar jerit petani di tumpukan hasil panennya

tertimbun sisa-sisa komoditi impor yang datang tiba-tiba

dengan dalih bahan kebutuhan masyarakat mulai langka

sementara di gedung parlemen tak mereka temukan sesiapa

mungkin masih sibuk bersafari mempersiapkan bilik niaga

untuk memajang kursi jabatan dengan segala rahasianya

kucoba menghimpun serpih juang di kelopak kamboja

taman kenangan makam pahlawan yang nyaris dilupa

untuk kutebar kembali di persemaian persada jiwa

seketika gairah hidup tenteram tercipta

api dendam pun padam tanpa bara

terlimbur rinai doa

:”Tuhan, mereka telah sampai di kampung merdeka

ijinkan aku esok lusa menemukan sejati maknanya

hidup terbebas dari belenggu prasangka dan curiga”

Jember, 2019



Sami'an Adib mencoba mengkritisi zaman perjalanan merdeka negeri ini. Bermula dari masa negeri ini dijajah bangsa asing, kemudia ia mulai mengisi puisinya dengan perjalanan merdeka. Apa yang ditulisnya adalah gambaran cacatan penyair dengan bidikannya tersendiri. Kaca mata penyair mungkin lebih teliti dan lebih terang. Berbagai fenomena kejanggalan negeri setelah merdeka. Sami'an Adib menyorotinya adar puisinya menjadi saksi kehidupan ini.

Sami'an Adib menggugah agar bangsa ini ingat akan perjuangan pahlawan hingga seperti masa ini, namun juga memberi catatan :

//.../kucoba menghimpun serpih juang di kelopak kamboja

taman kenangan makam pahlawan yang nyaris dilupa

untuk kutebar kembali di persemaian persada jiwa//...

//.../seketika gairah hidup tenteram tercipta

api dendam pun padam tanpa bara

terlimbur rinai doa/...//

manusia untuk ingat jasa orang lain yaitu pahlawan . Perumpamaannya agak terang . Akhirnya ia merenung dan menyadari makna hidup di bumi Indonesia ini.

/...//”Tuhan, mereka telah sampai di kampung merdeka

ijinkan aku esok lusa menemukan sejati maknanya

hidup terbebas dari belenggu prasangka dan curiga” //.

(Rg Bagus Warsono, kurator sastra di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)

Minggu, 11 Agustus 2019

Fahmi Wahid

PERJALANAN MERDEKA

Tanah ini adalah jalan peperangan

yang pernah dilalui oleh tapak pejuang kita

dengan berbekal sebilah bambu runcing

berkibar jubah semangat menyelimutinya

tak ada gentar dan getir di genderang dadanya

untuk berjuang dengan segala cara dan upaya

merebut pulau-pulau dan samudera dari jajahan

Semesta berkabut hitam di lembah api itu

sudah sangat hapal di pendengaran pejuang

bertaruh nyawa untuk generasi penerus

meski gugur di derasnya gerimis peluru

walau tulang bersanding di tanah sendiri

Di perjalanan merebut kemerdekaan

magis perjuangan yang tak terbayangkan

kurasakan dari nisan-nisan sunyi di kubur pejuang

selalu dikenang pada peringatan Hari Pahlawan

rangkaian seribu bunga tanda terima kasih

tetap tak terbayar oleh jasamu pada negeri

Kita harus tetap berkaca di perjalanan ini

bahwa belum apa-apa kerja kita untuk bangsa

dibandingkan para kesatria di medan laga berapi

seperti pejuang kita yang kini telah tenang abadi

Tapi sampai hari ini kubaca di raut wajah koran pagi

masih menayangkan kebencian antar sesama rakyat

memutus rantai persaudaraan dan memecah perbedaan

padahal ini bumi Nusantara: tanah hidup mati kita tercinta

kembalilah bersatu saling menggenggam erat bersama

pada gelombang merah putih di puncak kemerdekaan

di jejak pengabdian menjaga keutuhan Indonesia

Balangan-2019



Wajar jika Fahmi Wahid memulai puisinya dengan sejarah. Karena Fahmi berasal dari Balangan. Orang sana termasuk Fahmi Wahid masih terngiang pertemputran Perang Banjar dimana banyak orang Balangan ikut serta berjuang dalam Perang Banjar membela Tanah Air. Gambarn itu terlihat dalam bait nya yang meberi gambaran rakyat Indonesia melawan penjajahan.

//..../Semesta berkabut hitam di lembah api itu

sudah sangat hapal di pendengaran pejuang

bertaruh nyawa untuk generasi penerus

meski gugur di derasnya gerimis peluru

walau tulang bersanding di tanah sendiri/...//

buah bait yang berisi dengan pilihan diksi yang alik mampu menyentuh b hati pembaca. Bagaimana pembaca merasakan perjuangan yang banyak mengorbankan nyawa .

Fahmi Wahid mengajak membandingkan orang pada masa ini dengan irang perjuangan saat itu. Batapa para pejuang itu tak terbayarkan jasanya ketika berjuang dulu.

Akirnya Fahmi mengajak pembaca untuk menyadari pentingnya persaudaraan dan persatuan, Kita tibang menikmati kemerdekaan tampa harus bersusah payah berperang, Kita tinggal mempertahan kan dan mengisi Indonesia dengan pengabdian yang tulus.

Puisi Fahmi Wahid enak dibaca dan cepat dipahami, maksudnya tetapi tetap dalam kesatuan puisi yang bagus.

//.../ api sampai hari ini kubaca di raut wajah koran pagi

masih menayangkan kebencian antar sesama rakyat

memutus rantai persaudaraan dan memecah perbedaan/...//

(Rg Bagus Warsono, kurator di Himpunan Masyarakat Gemar Membaca)