Selasa, 25 Juni 2019

Puisi 25-32 Tadarus Ramadhan 1440 H Berbagi Kebahagiaan

25.
Yono DL

Kumanti Mimpi Pada Bayang-Mu

Masih lamakah musim kan tiba
tanyakau selalu pada setiap jengkal waktu
aku begitu bersemangat
menerjemahkan bayangMu
menulis dan menafsirkannya
pada jadwal mimpi

Kunantikan keajaiban itu
emua kusam bercampur pulas
siang yang kumalamkan
pekat yang kunikmatkan
membaur tercampak di dinding dinding
hati para pengharap

Oh, lama aku terlena
dalam  asyik nya bermain
saat burung layang-layang hinggap
di beranda kekar kudekap
alu menerbangkannya.
Tuhan,   aku lupa

Sanggar IMAJI
Bangko-Muara Bungo 1999-2019







Yono  DL

Di Kusam Sajadah

Di  kusam  sajadah
sungguh lekat, lengket berotasi
sepenuh malam tanpa pejam
terantuk menjelma  terang fajar

Sama kuserahkan rendah tiang
iman tunduk terduduk di kusam sajadah
terbentang semesta
tertumpah segala
muntah
membersihkan serpih-serpih debuku
untukMu
Sanggar IMAJI
Bangko-Muara Bungo 1999-2019















26.

Puisi Abay Viezcanzello

Aku dan Kau Adalah Keriangan

Tiada yang perlu kau kenal sebagai duka
Manakala dadamu sesak oleh luka.
Aku akan setia menyajikanmu teduh
Sampai kau mampu membunuh segala keluh.

Dan seterusnya, aku akan senantiasa riang
Menjelma wadah
Apabila airmatamu tumpah.
Sebab, aku  ias    adalah sepasang keriangan
Tempat terkubur segala yang bernama kesedihan.

Matanair Rubaru, 2019
















27.

M sapto Yuwono
Selepas Ramadhan
Getaran rasa satu
Mengukur ibadah
Selembut hati

Gerakan rasa satu
Mengakar jiwa taqwa
Insani nurani jiwa

Gambaran rasa satu
Mengikat pesona bathin
Nalar raga suci

Gesekan rasa Saturday
Menjiwai jiwa patuh
Pada ingatan tubuh yang tumbuh

Selepas Ramadhan
Ukur hati
Simak jiwa
Samar insan
Ibadah tak luluh
Taqwa tak luntur

 Muara Bungo, 4 Juni 2019






28. Syaiful B. Harun.

Kembali Dari Kembara

Pernah kita kembara bersama di sebuah dunia
Menapaki jalan berhutan tipis
Di balik kabut asap pagi yang telah lalu
: Ada yang terantuk di ujung gerimis
Jatuh di dahi tinggi lantas turun berurai air mata

Di mata itu kubaca tentang doa-doa
Tertera pada kitab-kitab tua
Terhenyak dalam genggaman di bibir mata

Sebagaimana mayapada :
Sebuah kisah mengukuhkan harap dan damba
Sempat kita titipkan di sebuah kereta senja
Sembari sesekali memandang ke luar kaca jendela
Melayangkan kenangan di masa  kanak-kanak
Memanjat pohon mangga tetangga
Atau berlarian di tepi kubangan
Mengejar kerumunan kerbau berlarian

Mengingatmu, kini!
Aku seperti memasuki sebuah dunia :
Dengan lamur kuserahkaan kegelisahanku kepadamu
Menuliskan cinta platonik
Pada dawai-dawai kecapi dan kendang
Kerapkali regang-meregang
Membawa jantung terpacu kencang
Dan, berada di balik kabut asap senja hari ini
Sebatang pohon salam nan rimbun telah meranggas
Sekalipun kini memasuki musim penghujan
Aku tercenung tetapi terlihat juga biji-biji merah itu
Menghitam di atas tanah membasah
Tiadalah sempat kupikir sesuatu
Terhadap biji yang siap tumbuh itu
Sebab melintas unggas kecil dengan tanduk di kepalanya
Melompat-lompat pendek dan sesekali mematuki tanah gembur
Mencari serangga kecil yang lepas dari iring-iringan
Telah mengalihkan perhatianku

Membacamu, kini!
Pikiranku berkelebatan
Sesekali kupandang engkau seperti batang salam yang rimbun
Terkadang engkau kulihat pula bagaikan
Semut yang lepas dari iring-iringan

Sementara aroma tanah basah di sini
Dirindu peri-peri dari puri-puri yang tersembunyi
Seperti memanggili ke dalam perigi
Tetapi gemanya akan kembali ke dalam diri

Agar kita kembali dari kembara
Kembali ke sebuah rumah milik kita
Tempat berbagi kebahagiaan bersama
Kembali ke pangkuan bunda

Palembang, 01/06/2019
Arie Png Adadua




29.

Lela Hayati
Itikaf Ramadhan

Karpet hijau menghampar
Dzikir-dzikir bertutur
Duduk sila arah kiblat
Sepanjang malam doa serta taubat

Teraweh
Tadarus
Kitab-kitab
Air mata dosa

Khusu menikmati
Mendekap pada karimNYA
Malam sunyi
Pasrah malam mengeja

Mukena lekat
Sujud dekat
Ramadan menggeliat
Syair debu tercatat

Cahaya nan bekah
Larut kian muhasabah
Kabut hingga berembun
Kening subuh, adzan mengalun

Bandung, 03 Juni 2019



30.

Muhammad Jayadi

Yang Kutangkap di Ramadhan Ini

Semilir  ias   keindahan
menghembuskan pengertian dalam dada
pada wajah bulan mulia ini
kutatap bening nilai kasih  ias   Tuhan
karena masih kudapatkan pertemuan dengannya
ramadhan dalam lingkaran rahmat-Nya

Lalu, detik yang berlalu
berjalan dengan mengikut helaan nafas
kiranya adalah bagian kita menerapkan nilai-nilai
menabur kasih  ias   di jalan perjuangan
merobohkan segala keegoan dalam diri
karena ia adalah musuh terbesar dalam hidup ini

Setidaknya, itulah yang terbesit dalam batinku
bahwa kita harus lebih menyelami relung fikir dan zikir 
menggandeng nilai-nilai dalam harmoni kehidupan
untuk menjadi lebih mengerti apa yang sebenarnya dikehendaki Tuhan pada diri kita
dalam kehidupan ini.

Halong-Kalsel, 2 Juni 2019





31.
Sukma Putra Permana

Doa Lebaran Dari Panti Asuhan

Terima kasih, Tuhan… Ramadhan tahun ini Kau beri kami kekuatan. Berpuasa penuh satu bulan. Tahan haus dan lapar dengan kesabaran.

Terima kasih, Tuhan… Idul Fitri kali ini Kau anugrahi kami kegembiraan. Hadiah sarung, celana, dan baju lebaran. Serta sepasang sepatu sandal idaman. Yang dikumpulkan dari tangan para dermawan.

Terima kasih, Tuhan… Kau karuniai kami kebahagiaan. Berhari raya berkumpul bersama. Walau Kakak, Abang, dan Adik-adik taka ada  pertalian darah. Tapi kami semua penuh rasa persaudaraan. Menikmati lezatnya ketupat opor, sayur, dan rendang. Sumbangan dari sebuah Restoran Padang.

Tapi… maafkan kami, Tuhan… Bolehkah kami punya satu lagi permohonan? Yaitu, mesra dan hangatnya pelukan. Dari Ayah-Ibu yang selalu kami dambakan. Namun bertahun-tahun tak pernah kami rasakan. Sejak hari pertama kami ditelantarkan…



Ramadhan 1440 / Juni 2019


Sukma Putra Permana

Kopiah Butut Mbah Dolah

Hampir sembilan tahun sudah. Kopiah butut menutup kepala mbah Dolah. Kini teronggok ia di sudut. Bersama tumpukan sampah. Perlahan terbakar api yang disulut. Taka da yang peduli pada jasanya. Menemani merawat musholla. Tak lupa lantunkan merdu ajakan sholat. Untuk  siapa saja yang tergerak hatinya.

Kopiah hitam lusuh. Habis terbakar menjadi bara kemudian musnah. Bersama barang-barang tua lainnya. Dan hanya tersisa ingatan serta doa. Untuk mbah Dolah merbot musholla. Yang tutup usia di bulan puasa. Pada hari keduapuluh tiga.

Selamat jalan, mbah Dolah. Semoga kau damai dan bahagia di alam baka…

Ramadhan 1440 / Juni 2019












Puisi karya 37-41 Tadarus Puisi 1440 H (2019) Berbagi Kebahagiaan

37.
Kaliktus Ure Maran
Kamu dan Bundaku

Aku menemukannya
Aku bangga pada-Mu Ibu
ketika kawanku
si dia berjilbab merah
seingatku lima menit yang lalu
mereka tak ragu
bersila dan mengabadikan, cantiknya
 sejenak ku tercengang, namun itu nyata adanya
“ohh.. mungkin?”
ku menyebutnya
“berbuka dipelukan Bundaku”

Tiba-tiba mereka diusik
oleh botol plastik milik Bapak
dia diusir
aku marah
namun, kupikir
jangan rumitkan pandanganmu
ku tepuk bahunya
“haii.. kawan”
jangan resah
mungkin dia sedang mabuk
ku tau senyum itu kembali
sambil ku buka pintu pagar
“silahkan..”
“masuklah dalam hati kita”
Ibuku menunggu sapamu kawan

Larantuka, 2019
Kaliktus Ure Maran

Enam jam dibawa lentera

Bagaimana ku menyatukan hati kita?
Aku takut kita saling cemburu selepas maghrib
padahal jari kita sama saat menunduk
memintah cinta di bawa lentera
yang terangnya seperti bulan
hingga terangnya pun aku tahu
engkau ada disisiku, sayang
kita saling menghitung
detak perut ketika lapar
dan harum menggoda warung depan jalan
jangan padamkan lentera
ketika sore belum tiba

Larantuka, 2019















38.

Sami’an Adib

Menyelami Rahasia Puasa
di antara fajar dan ambang maghrib
ada kejujuran yang tak pernah raib
setiap diri sabar memelihara diri
agar terhindar dari iri dan dengki
kelak berharap meraih kemenangan
menjadi satu dari sekian insan pilihan

di antara lapar dan dahaga
konon ada semerbak aroma  ias
setiap orang tiada henti mencari
gerangan di mana bidadari sembunyi
belum seorang pun yang menemukan
meski denyut kerinduan tak tertahankan

di antara letih dan tabah
konon ada sebongkah berkah
banyak orang yang masih tekun berburu
meski jalan yang ditempuh penuh liku
entah sesiapa berhasil merengkuhnya
hingga kini abadi sebagai rahasia

di antara bening embun dan hening
ada ketulusan dari jiwa-jiwa yang tenang
mereka tidak mengharap kenikmatan semata
juga tidak takut terperangkap dalam kubang derita
hanya ridho ilahi yang mereka dambakan
hiasan terindah saat menebar senyum kegembiraan
Jember, Juni 2019

Sami’an Adib

Kidung Kerinduan
: ayah

Telah kami tenun serat-serat kasih
menjadi helai-helai kerinduan, Ayah
ijinkan kami membawanya sebagai oleh-oleh
untuk kita gelar sebagai panggung melantunkan madah
:kidung kagum pada Sang Khaliq Yang Mahaindah

Ayah, jarak yang merentangkan dua Ramadhan
telah menorehkan rangkaian kronika keharuan dan keriangan
sesekali kukabarkan celoteh cucu-cucumu penuh keceriaan
meski kami sadar rindumu tak mungkin tertunaikan
tapi, setidaknya ungkapan kasih tetap terjalin

Ramadhan kali ini kami akan pulang, Ayah
biarkan kami (aku, menantumu, dan cucu-cucumu) bersimpuh
pada kedua kakimu yang kian hari kian merapuh
kami pendam cita agar seluruh ridhomu luruh
sebagai bekal terbaik untuk terus melangkah

Ayah, maafkan bila celoteh cucu-cucumu menimbulkan keriuhan
sejatinya mereka hanya menumpahkan segala keriangan
setelah menemukan suasana baru yang penuh keakraban
seakan terbebas dari jebakan mesin mainan
yang nyaris menjauhkan mereka dari jalan Tuhan

Bukan takjil kelapa muda yang kami rindukan, Ayah
tapi lembut belaian tanganmu yang penuh kasih
juga doa-doa tulus dalam setangkup tanganmu yang tengadah
demi hidup kami berlimpah berkah
terbebas dari jerat melankolia keluh kesah

Jember, Juni 2019
























39.
Arya Setra

Malam Penghujung Ramadhan

Gemuruh takbir dari tiap sudut
MengagungkanMU menyayat kalbu.
Gemeretak beduk bertalu membuat hati pilu,
Pilu karena rasa rindu akan diri MU setelah satu bulan berperang melawan nafsu..
Wahai kekasihku akankah aku meraih kemenangan
Atas RidhoMU..?
Akankah aku mendapat tempat bersama orang2 yg KAU rahmati dan KAU cintai ??
Aku hanya  ias sujud dan tunduk padaMU.
Aku tidak berani berharap akan SorgaMU
Dan aku tIdak akan pernah takut atas nerakaMU
Asal aku berada dalam Ridho dan Rahmat MU….
Ya Rabb ku maafkan atas ocehan sang pungguk yang sedang merindukan indahnya rembulan …

4 Juni 2019












40.

Mim A. Mursyid
Resonasi


Barangkali
Nikmat paling surga
Adalah menjadi
Delapan tangga nada;

Kubawa engkau
Ke puncak pejam paling tajam
Semesta bunyi gemuruh dalam ruh
Kita pun manunggal sebagai rindu.

Madura, 2019

















41.
Supianoor
Aku dan Sang Yatim Piatu

Hanya beberapa lembar rupiah lusuh
yang dapat kuulurkaan padamu sang yatim piatu
yang malang
Denan tangan gemetar dan mata berbibar
kau sambut dengan pandangan tajam raut genbira
kau raih tanganku
kau cium seperti kau sedaang berhalusinasi
itu adalah tangan orang tuamu
yang sudah puluhan tahun tak kau dapatkan
kau tersenyum dengan mata sendu tanpa irama
seperti senyum untuk orang tuamu
yang telah berlalu puluhan tahun yang lalu

Hanya usapan lembut di ubun-ubunmu
menyertai renyuhan hatiku untukmu
semoga ini dapat membangkitkan ingaatanmu
akaan usapaan orang tuamu sepuluh tahun yang lalu
semoga usapan lembut ini
mampu pula mengikis sedikit kesedihanmu
daalam menjalani kehidupanmu
untuk menyongsong masa depan yang lebih baik

Tanah bumbu 2019







Supianoor

Takbirmu di Hari Lebaran

Ketika lebaran tiba
Dengan penuh semangat
Kau berperanserta kumandangkan takbir dan tahmit
Dengan khusu dan kadang tersenyum semringah
Kau mampu melebur dan berbaur dalam alam gembira
Tak tampak kau memikul beban hidup
Walaupun hidup dalam naungan asrama yatim piatu
Makan bukan masakan ibumu
Minum bukan air rebusan orang tuamu
Namun senyum itu masih bisa kau lakukan
Di tengah-tengah rasa rindu akan kehangatan masa lalu
2019



Sabtu, 08 Juni 2019

NYANYIAN SEMESTARAYA Karya Bunergis Muryono

NYANYIAN SEMESTARAYA

Ketika semua sibuk berparadok
Aku bertahan dalam sahaja
agar legawaningtyas dadi ikhlas
Bersinar bagai Surya pada Teratai Tunjung kolamku
Aku berkisah tentang taburan bintang-bintang
Teman tiap malam selama Ramadhan
Juga di saat gelap tiba
Menyapa Bulan dari berbagai pandang.
Diam
Tanpa syair
Tidak berpuisi
Semestaraya telah mengidungkannya
Merdu
Di jiwaku
Dalam hidupku
Hingga kaca danau
Cermin laut
Percikan air menjadi biasan diri kecil ini.
Angin membelaiku
Seusap dua usap sebelum menghantar kabut jadi awan.
Burung-burung berkicau
Ayam jantan menyahut dari berbagai penjuru
Bunga-bunga bermekaran di lahan tandus
Menebar wangi dan harum dalam kemewahan busana aneka warna....
Bumi sesekali bergetar
adalah ibundaku menimang dengan kasih cinta.
"Nak...setinggi apa pun engkau berdiri...tetaplah ingat...engkau berpijak di perut ibumu. Bumi Pertiwi nan tulus hati
Harapku...tetaplah tulus bersyukur...jangan sedikit pun membuatmu angkuh.... Engkau anakku.... Anak lapang jiwa...."


 Mbahkung Buanergis Muryono Renungan Zaman 8 Juni 2019 09:35 at Titian Moksa Ashram Character Building Education Bungkulan Buleleng Bali

Senin, 27 Mei 2019

Retno Marsudi Mentri Luar Negeri Hebat dalam sejarah Indonesia

 Retno Lestari Priansari Marsudi (lahir di Semarang, Jawa Tengah, 27 November 1962; umur 56 tahun adalah Menteri Luar Negeri perempuan pertamaIndonesia yang menjabat dari 27 Oktober 2014 dalam Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo. Sebelumnya dia menjabat sebagai Duta besar Indonesia untuk Kerajaan Belanda di Den Haag.

Retno Marsudi yang lahir di Semarang, Jawa Tengah, pada 27 November 1962 itu menempuh pendidikan menengah atasnya di SMA Negeri 3 Semarang sebelum akhirnya memperoleh gelar S1nya di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada tahun 1985.Ia lalu memperoleh gelar S2 Hukum Uni Eropa di Haagse Hogeschool, Belanda.
Setelah lulus, ia bergabung dengan Kementerian Luar Negeri Indonesia. Dari tahun 1997 hingga 2001, Retno menjabat sebagai sekretaris satu bidang ekonomi di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag, Belanda.Pada tahun 2001, ia ditunjuk sebagai Direktur Eropa dan Amerika.Retno dipromosikan menjadi Direktur Eropa Barat pada tahun 2003.

Pada tahun 2005, ia diangkat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Norwegia dan Islandia. Selama masa tugasnya, ia memperoleh penghargaan Order of Merit dari Raja Norwegia pada Desember 2011, menjadikannya orang Indonesia pertama yang memperoleh penghargaan tersebut.Selain itu, ia juga sempat mendalami studi hak asasi manusia di Universitas Oslo. Sebelum masa baktinya selesai, Retno dikirim kembali ke Jakarta untuk menjadi Direktur Jenderal Eropa dan Amerika, yang bertanggung jawab mengawasi hubungan Indonesia dengan 82 negara di Eropa dan Amerika.

Retno kemudian dikirim sebagai Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Belanda pada tahun 2012. Ia juga pernah memimpin berbagai negosiasi multilateral dan konsultasi bilateral dengan Uni Eropa, ASEM (Asia-Europe Meeting) dan FEALAC (Forum for East Asia-Latin America Cooperation).

Pada 2017, Retno mendapatkan penghargaan sebagai agen perubahan di bidang Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan. Penghargaan tersebut diberikan oleh UN Women dan Partnership Global Forum (PGF). UN Women adalah lembaga PBB yang bertugas memajukan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Sementara PGF adalah lembaga non-profit yang bertujuan memajukan kemitraan inovatif bagi pembangunan. Penghargaan ini diserahkan oleh Asisten Sekretaris Jenderal PBB yang juga selaku Deputi Direktur Eksekutif UN Women Lakhsmi Puri pada acara jamuan makan siang di sela pelaksanaan Sidang Majelis Umum PBB ke-72 di Markas Besar PBB, New York.Retno menikah dengan Agus Marsudi, seorang arsitek, dan dikaruniai dua orang anak, yaitu Dyota Marsudi dan Bagas Marsudi.

Rabu, 08 Mei 2019

Puisi-puisi di Antologi Anak Cucu Pujangga (ACP)


Daftar Isi :

1.Raeditya Andung Susanto, Tidur dengan Celana Jokpin
2.Carmad, Merak di Ufuk Senja
3.Anisah, Sang Api Buat: Gus Warsono
4. Ure Maran, Kembang Sajak Bulan Desember;
    Ketika Semesta Dalam Kebingungan
5. Zaeni Boli, Rindu Baang
6. Sarwo Darmono,  Aku Cucu Pujangga
7.Gilang Teguh Pambudi, Aku Cerita Lewat Pertanyaan
8. Bd'oel Santri Bangor, Anak Pujangga
9. Mohd Zainal Bin Abdul Karim, Serpihan Cahaya Ane Matahari
10.Teguh Ari Prianto, Kurir Kata-kata Emha
11.Rg Bagus Warsono, Celana Pendek Leak
12. Pensil Kajoe, Semalam Kubertemu Rendra
13.Heru Mugiarso, Aku Ingin
14.Emby B. Metha, * Tuhan Ku Dimana
15.Sami’an Adib, Pewaris Celurit Emas
16. M. Sapto Yuwono, Kepada Zara Zetira ZR dan Putriku
17. Arie Png Adadua  (Syaiful B. Harun), Tapi Aku
18.Agus Mursalin, Omongan Tanpa Naskah (kau yang selalu bergejolak)
19. Sugeng Joko Utomo, Ode Buat Rendra
20.M Dhaun El Firdaus, Setelah Pertemuan Itu (Teruntuk Gus Candra Malik)
21.Karan Figo, Aku Pengagummu Ki Ronggo Warsito
22.Anom Triwiyanto, Rebel Anwar
23.Buanergis Muryono, Sulaiman As Salomo
24. Lela Hayati,Manteramu Candu Cintaku
25.Barokah Nawawi, Kepada Toto Sudarto Bachtiar
26.Sukma Putra Permana, Catatan untuk Chairil di Batu Kilometer
     Terakhir Antara Krawang –Bekasi
27. Fian N,Dalam Waktu: Kita Abadi
28.Wanto Tirta: Di Ruang Tamu





Puisi-puisi Raeditya Andung Susanto dalam ACP

1.Raeditya Andung Susanto

Tidur dengan Celana Jokpin

Semalam, saya tidur dengan Jokpin
Diajari olehnya bagaimana cara menenangkan malam
Menimang kata-kata
Kemudian latihan tidur berselimut puisi
Dia memberikan celananya yang tua dan kedodoran
saya kenakan, kemudian dibungkus sarung
Yang pernah berkibar gagah
Di pantai; bersama pacar senjanya
Bekasi, 2019


Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dan sebisanya
Supaya kelak tak menjadi duka yang abadi
Pada suatu hari nanti
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dan sebisanya
menjadi selembar daun yang terbang ke kotamu
Untuk melipat jarak dari waktu yang fana
Kemudian menyepi di pinggir telaga
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dan sebisanya
Lalu bercermin di matahari
Mencipta baying-bayang
Hingga angin meniup hujan bulan juni
Dan kasih kata-kata : abadi
Bekasi, 2019



Raeditya Andung Susanto, penulis muda kelahiran Bumiayu Brebes yang sedang menempuh pendidikan S1 di Bekasi.Anggota Komunitas Bumiayu Creative City Forum (BCCF). Karya-karyanya pernah dimuat dalam antologi Senyum Lembah Ijen, Indonesia Lucu Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia jilid VI, Menjemput Rindu di Taman Maluku, Abu-abu Merah Jambu, Mblekethek. Puisinya tayang di redaksi Tembi Rumah Budaya Jogja, Penulis RUAS Indonesia-Malaysia 2017, Di tahun 2019 ia sedang menyelesaikan buku pertamanya.



Puisi Carmad dalam ACP

2.Carmad.

Merak di Ufuk Senja

Ku dengar sirine sunyi
Di antara berisik di sebalik tembok kaca
Di sana, burung merak merontokkan mahkota

Engkau, merak yang menerjang angin
Setelah kabut  menyapa pagimu
Dan mentari membakar dadamu

Aku tak faham tentang siangmu
Tentang dua ekor lain di belakangmu
Aku pun tak mengerti
Jalan cahaya yang terangi langkahmu

Aku hanya menjumpamu senja ini
Saat tabir malam jelas terpampang
Masih ku saksikan jua
Indah ukiran tanganmu,
Jejak-jejak wasiatmu

Apa yang harus ku suguhkan
Di antara nisan-nisanmu yang agung?

Ya, kelak aku akan membelai nisanmu saja
Engkau, Willi, sang burung merak
Hanya menyisa petuah indah
Jejak perjuangan, bayang-bayang siangmu

Tenanglah bersama malam
Izinkan anak-cucumu melantun kidung
Bersama syair barzanji
Bersama tengadah telapak tangan
Indramayu, 16 Maret 2019
(Mengenang peristiwa 6 Agustus 2009)

Carmad, lahir di Indramayu 21Agustus 1986. Menulis puisi untuk beberapa antologi bersama di Lumbung Puisi sastrawan Indonesia. Entahlah, apakah ada garis keturunan penyair atau tidak. Yang jelas, ibu-ayahku kuli tani. Lulus dari SMA N 1 Kandanghaur – Indramayu (2006), mencoba kuliah tiga tahun kemudian, namun gagal meraih strata 1 karena kekurangan dana. Sekarang lebih fokus menjadi manager, koki, marketing, juga bendahara di balik gerobak Mielor dan batagor.



Puisi Anisah dalam ACP

3.Anisah

Sang Api
Buat: Gus Warsono

Kau pengusung kata-kata bijak
Berbondong penyair dan tidak lupa calon penyair
Mendatangimu, mengomentarimu, menilaimu
Awal kubaca peraturan-peraturan
Tak juga kumengerti, terlalu jauh pengalaman
Sangat rumit kucari arti sebuah kesempatan
Hingga berhari-hari kutunggu julukan, jawaban, apresiasi
darimu Gus Warsono

Apa ya mungkin ada jawaban
Mengingat
Jauhnya
Pengetahuan
Pengalaman

Tetap kutunggu
Walau
Sampai di ujung waktu








Selasa, 07 Mei 2019

Puisi Ure Maran dalam ACP

4. Ure Maran

Kembang Sajak Bulan Desember

Mega membumbung bak tenda hitam
musim kuncup menyambut rintik
kembang sajak tersembul malu
berkiprah, ku petik syair
namun getir menyapa peluh
sejenak terdiam
"ragu"

Di cipta langit biru
dan lekuk awan menabarak gunung
ku bagai bianglala tanpa warna
sejenak terdiam
"lunglai"

diam-diam ia menjawabku
"tak ada mimipi, ini nyata"
kembang sajak bulan desember
putik-putik larik bergumam, gugup
aroma?..
lahak membekap
mencekik imaji, inspirasi hilang
"pergi"

lihat.. disana
berpinar menari gemulai
sang kirana memamerkan megahnya
hangatkan yang kedinginnan
mengusir embun keresahan

ahhkk..bising
mengobrak-abrik ketenangan
panorama mengerikan dunia pagi
"hilang.. hilang entah kemana"

kembang sajak bulan desember
ku tunggu kau di tepian
di lereng-lereng bukit
"cepat beranjak"
Lewolere, 01 Desember 2018






Ure Maran

Ketika Semesta Dalam Kebingungan

Ku ingin memeluk semesta
"apa bumi tak irikan itu?"
ku ingin memeluk semesta
"apa lautan hanya terdiam?"
ku ingin memeluk semesta
"apa aku hanya penyejukmu?", dengung sang sepoi
dan batuan menaruh dendam, senja kau sunyikan remang
di langit ku hanya menghayal

ketika semesta dalam kebingungan
jangan mencari cakrawala di pijak
di kebun kau petik
warna-warni pelangi adalah janji yang hilang di surat kabar

ketika semesta dalam kebingungan
kejauhan adalah mimpi
di belakang dapur umum dan sisa-sisa makan mewah

ketika semesta dalam kebingungan
" itu.. dia di depan matamu"
cukup kamu katakan yang sebenarnya terjadi..
"tolong aku!!"
katakan iya..

Lewolere, 10 desember 2018




Kaliktus Ure Maran, mahasiswa di Institut Keguruan dan Teknologi Larantuka (IKTL)


Puisi-puisi Zaeni Boli dalam ACP

5. Zaeni Boli

Rindu Baang

Guruku mengajarkan ku jalan kesetiaan 
Kan ku tempuh ia meski sunyi dan berbatu
2016


Banyak Cinta

Terlalu banyak cinta yang kau tebar 
Ia berbunga di mana mana
Menjadi ajakan 
Untuk memberi warna 
Pada dunia yang kasar dan kotor
Ia tumbuh menjadi nasehat dan ingatan
Cinta seorang ayah
Cinta abang pada adik adiknya yang nakal
Cinta pada orang orang terpinggir
Pada pedagang kaki lima
Pada para santri
Bahkan pada preman
Inilah kesenian
Yang di katakan Sutardji
Di atas panggung terapung pertama
Kesenian tak sebatas kulit
Bang Ane Matahari
2016



















Zaeni Boli

Jalan sunyi

ijinkan aku melebur dalam cinta yang sama 
jalan sunyi yang kau pilih 
seorang ibu menulis puisi sambil memasak 
ia yang memilih kata jatuh cinta pada kata 
kau yang ajarkan itu padaku 
sastra bukan dilangit 
bahkan pada wajah Pao kita temukan puisi bang
2016

Doa untukmu

seperti yang kau pinta 
akhirnya hujan turun jua 
gerimis turun seperti ingatanku pada mu 
kesetiaan itu mahal 
tapi kau ajarkan kami dengan jalan yang sederhana
silahturahmi batin guru 
terimalah doa kami
2016
Singgasana kecil
Jangan kau hidangkan untukku dunia
Aku rindu guruku
Disini manusia mencabik cabik daging saudara 
Sambil terus berdoa berharap Tuhan menonton televisi 
Boli jangan nyanyi fals 
Itu yang ku ingat tentang guru 
Tak ada lagi cita cita 
Hanya harapan ingin bertemu dia 
Guru jiwaku
Guru kehidupan 
Singgah sana kecil 
Saung Perpus pinggir kali
Taman Ane Matahari
Negeri tatih tayang 
Tempat bocah ,penyamun ,pemabuk tidur pulas di gigit nyamuk

2016








Zaeni Boli

Mencari kata

Bener bang susah sekali menemukan kata .
Pagi ini aku coba merenungkan kata kata
Puisi adalah sukma kata mutiara bahasa begitu katamu suatu kali.
Kau ajak semua orang menulis puisi itu bukan puisi
Paling tidak di dasar hati mereka akan memilih kata yang tepat atau mereka telah bersungguh sungguh menulis.
Kau suruh anak Cibarusah menuliskan apa saja tentang masjid yang baru kita rapihkan 
Kau minta anak anak jalanan menulis puisi
Puisi terbaik lahir dari sel tikus 
Ya kita selalu merasa pantas paling benar 
Tapi lalai memilih kata yang tepat untuk di sampaikan

Sastra Kalimalang 2016

Kehilangan

Berapa kali 
Nyala rokok padam
Nyala kembali
Akhirnya aku rasakan juga
Hati Rumi
Saat kehilangan Matahari
2016
Semua tulisan ini aku dedikasi untuk mengenang Guruku Alm Ane Matahari.
Ane Matahari Pendiri sekaligus ketua Sastra Kalimalang 2011-2016

Moh Zaini Ratuloli (Zaeni Boli), Tempat tgl lahir: Flores,29-08-1982
Belajar membaca puisi sejak 1989 ,belajar menulis puisi sejak 2002 biasa menulis dihalaman facebook ,tapi beberapa karyanya juga pernah ikut di Antologi Puisi menolak korupsi (Jilid 2b dan jilid 4),Memandang Bekasi 2015,Sakarepmu 2015,Capruk Soul jilid 2,Antologi Puisi Klukung 2016,Memo Anti  Kekerasan terhadap  anak,Lumbung Puisi jiid 5 “Rasa Sejati”(antologi) 2017 ,Negeri Bahari 2018 dan Koran maupun bulletin lokal di Bekasi .sejak 2013 –sekarang tergabung dalam komunitas Sastra Kalimalang(Bekasi) .Sempat tampil di ajang Internasional “Asean Literary Festival “ tahun 2015 membawakan puisi Widji Thukul  “Lawan” .
Juga aktif bergiat di literasi dan teater.Sekarang tinggal di Flores aktif di Nara Teater ,mendirikan TBM Lautan Ilmu dan mengajar di SMK SURA DEWA Flores Timur sekaligus mendirikan Bengkel Seni Milenial sebagai wadah eskul kesenian di sekolah tempat mengajar ,tergabung juga dalam Agupena Flotim .

Puisi Sarwo Darmono dalam ACP

6. Sarwo Darmono
                                                          Aku Cucu Pujangga
Embuh aku ora weruh
Apa aku anak putune Pujangga
Apa aku anak putune Pandito
Apa aku anak putune Raja
Ngunu kuwi mung tetenger
Tetenger kang ora tinulis
Tetenger hamung jruning Lisan
Tetenger kang sinebut jruning bebrayan
Aku iki hamung titah
Titah kang seneng nata Aksara
Sanajan aku ora pirsa
Sapa sing nyipta aksara
Aksara ditata kanthi prayoga
Nuwuhke rasa suka
Nuwuhke rasa Tresno
Nuwuhke rasa bagya mulya jruning Nala
Kanggo sing gelem maca lan Ngrasa
Embuh aku ora weruh
Apa aku anak putune Pujangga
Apa aku sing diarani Pujangga
Aku hamung titah
Kang lagi nglakoni jatah
Jatah gesang ing alam nyata
Gesang kanthi laku prayoga
Gesang tansah Syukuri parenge Gusti
Gesang kang tansah Pasrah lan Mbudi daya     
                                                 
Lumajang Rebo Pon 23 – 1 – 2019 Pangripto Sarwo Darmono


Sarwo Darmono, lahir , Magetan 27 Oktober 1963 Pekerjaan Penyiar Radio. Dikenal sebagai penyair yang menulis geguritan, Puisinya mengisi Lumbung Puisi Jilid VI, Penebar Pustaka 2018,Sedekah Puisi Tadarus Puisi 2, Penebar Pustaka

Puisi Gilang Teguh Pambudi dalam ACP

7.Gilang Teguh Pambudi

Aku Cerita Lewat Pertanyaan

apakah yang menari janger di Bali
adalah gubernur Bali?
Apakah yang azan tiap tiba waktu sholat
adalah pak RW setempat?
apakah presiden kita
suka menyanyi pake rok seksi?
apakah ustad pesantren
ada yang merasa MC dangdutan?
apakah yang mengasah keramik Plered
adalah bupati Purwakarta?
apakah ketika polisi terpaksa menembak penjahat,
Ibu Aisah boleh merasa sebagai sang penembak
sebagai musuh kejahatan?
siapakah yang menanam pohon
menyelamatkan tanah tandus?
siapa menari ularkan korupsi?
siapa pula yang menanam ganja
menyemai maksiat
lewat gambar pada topi dan ikat pinggang?
apakah Bung Karno adalah Chairil?
apakah Hamka juga mengajar
di suatu sekolah di Papua atau Madura?
lalu siapakah pelacur itu
kalau di suatu kota ada lokalisasi
dan lorong remang-remang?
maka bagaimana mestinya jadi pribadi,
jadi orang,
jadi pejabat publik
supaya tidak hina dan hianat?
kalau perbuatan pejuang yang humanis kau sebut Aku,
maka siapa kamu supaya dia juga menyebutmu Aku?
bagaimana kalau kita menemukan hikmah 
di dalam Al-Qur'an dan As-Sunah, bahwa Rosulullah
berkata, semua perbuatan mulia hamba Allah
adalah umur dan perbuatanku!
Kemayoran, 05 02 2019







Gilang Teguh Pambudi sesungguhnya memiliki nama KTP, Prihana Teguh Pambudi. Nama Gilang dipergunakan sejak memulai jadi Orang Radio Indonesia, dengan alasan nama radio dengan dua suku kata sangat mudah diucapkan dan diingat oleh para penggemar. Nama Gilang dipilih karena memiliki makna, pemersatu yang sukses. Penyair ini berdomisili di Kemayoran, DKI Jakarta. Putra dari alm. Soetoyo Madyo Saputro (Bogor-Kendal) dan Siti Djalaliyah (Jogja). Ayah dari Nurulita Canna Pambudi (Bandung) dan Findra Adirama Pambudi (Purwakarta), buah pernikahannya dengan Wihelmina Mangkang (Manado). Menulis sejak SMP dan mulai dimuat koran kelas 1 SMA/SPGN. Beberapa puisinya sudah dimuat dalam berbagai antologi puisi bersama dan antologi puisi pribadi. Antologi puisi pribadinya yang terbaru adalah, JALAK (Jakarta Dalam Karung).





Puisi Bd'oel Santri Bango dalam ACP

8. Bd'oel Santri Bangor

Anak Pujangga

Hanya Coretan Puisi Yang Menghiasi Benak Ini
Hanya Uraian Kata Yang Selalu Membayangi Benak Ini
Coretan Puisi Seorang Anak Penyair
Coretan Kata Yang Menjadikan Sebuah Karya

Aku Terlahir Dari Rahim Sebuah Kata
Aku Di Besarkan Dari Untaian Kalimat
Sebuah Kata Yang Menjadikan Ku Seorang Penyair
Sebuah Untaian Kalimat Yang Membesarkan Seorang Penyair

Alam Dan Isinya Yang Menjadi Jiwaku
Angin, Sinar Mentari Menjadi Nyawaku
Jiwa Seorang Penyair Berkawan Alam
Nyawa Seorang Penyair Bagaikan Angin












Puisi Mohd Zainal Bin Abdul Karim (Detektifsenja) dalam ACP

9. Mohd Zainal Bin Abdul Karim (Detektifsenja)

Serpihan Cahaya Ane Matahari

Dipenghujung masa
Serpihan logika harap ada canda tawa
Belum kita bercerita sudah ada anunggra menyapa
Cukup menyebut namamu terobati lapar dan dahaga

Namamu merasuk, merangsang, mematangkan logika yang sempat tak ku percaya
Menebar cahaya tak pilih pilah selera
Tingkah mu sepadan namamu
Beri cahaya meski pada yang tak punya logika
Meski tanpa imbalan pendukung realita

Saat pertama bertatap mata, cahaya mu melekat di jiwa
Tak sempat bercanda tawa, hanya nikmati masa yang tersisah, untuk mengisi lubang yg tak berpelita dengan cahaya sang pujangga
Diluar duga ....
Pertemuan ini ternyata dipenghujung masanya didunia
Raga mu kini tinggal nama, namun tulusnya jiwa sisahkan berjuta cahaya

Dipenghujung masa...
Kau tak memberi tanda
Setelah semalaman kita bercerita tanpa suara, hanya terjaga
Dipagi buta, aku membuta sedikit lelah
Yang ternyata penghujung kisah
Serpihan cahaya mu mengisi jiwa ku yg penuh tanya
Meski sekedar serpihan, namun sudah cukup membuat aku dijuluki anak cucu pujangga

Baras 4, 11/01/19.




Mohd Zainal Bin Abdul Karim (Detektifsenja)

Sastra Genetika Dunia

Mari meluruskan cerita
Teori tentang genetika dan sastra
Meski tak merdu saat bersuara
Namun tak ada manusia tak bisa bermuka dua

Dari lembah ku merangka
Bermodal suara dan tingkah gila
Mengikuti angin apa adanya
Lewati dunia tak sengaja temukan petunjuk arah

2 manusia yang hanya menjalankan sumpah dan hobinya, 'tak sengaja'
Berikan ku arah, menjelaskan makna genetika yang sebenarnya
Kini ku tau benar adanya malaikat dalam dunia nyata
Kini ku tau makna biologis dan ideologis benar adanya

Dia NASIR menanam benih saat ku dibangku SMA
Dia ANE MATAHARI memupuk ku hingga benih berkelopak bunga
Kini aku tak lagi miris akan pepatah yang berbunyi garis lurus genetika dari "dari'sononya"
Kini aku juga bisa dijuluki "Anak Cucu Pujangga"

Baras, 06/01/19.




Puisi Teguh Ari Prianto dalam ACP

10. Teguh Ari Prianto

Ceruk Laku Chairil

Ketulusan doamu, Chairil
Mengantarku menuju pemeluk teguh
Kerdip lilin
Terangi lelaki malam

Kuasa meremuk redam
Adalah iba yang kemudian reda

Seteguk waktu yang kau miliki
Berjuta semangat yang menyala-nyala

Chairil, desing peluru di kepala
Pengiring jiwa meronta

Saat-saat masa juang
Jiwa itu bertenaga
Kegigihan tak pandang usia

Aku rindu gelora Chairil
Bersama iringan tanyamu yang sederhana
Bagaimana mungkin dunia tanpa cahya-Nya?

Kegelisahan itu menembus langit
Hingga tiba dunia merdeka

Kami iri kepada Chairil
Perjuangannya terus bersua
Luka di dada bukanlah neraka

Pikir mana terus dipijak
Penanda sakti mengiringi
Menembus senja beranjak kelam

Sesaat sunyi
Sesekali melirih

Chairil, engkau masih di sini!

 (Dedikasi untuk Chairil Anwar)
Bandung, 09-2-2019





Teguh Ari Prianto
Kurir Kata-kata Emha

Saat tak menulis puisi
Aku juga kurir kata-kata Emha

Bukan sekedar tunai predikat
Tapi menenun juluk

Bahwa aku penyair?

Semula kukira cukup
Selembar kertas dan pena ditangan

Sementara Emha
berjibaku dengan Buku bergunung-gunung

O, sejauh ini ternyata aku kurir kata-katanya
Sayangnya kau tak tahu
Hatimu luluh terbius usai menelan kata-kata yang kupinjam

Aku ternyata pengantar kata-kata
Yang seperti tanpa paham siapa pemiliknya

Mengapa pula kau terlena dan mencinta
Tanpa kritik, cukup merasa saja

Sayang, cintaku seperti palsu
Sejatinya ia adalah milik Emha
Kata-kata yang menelanjangi hati


(Dedikasi untuk Emha Ainun Najib)
Bandung, 7 Pebruari 2019




Teguh Ari Prianto. lahir di Cimahi, 20 Mei 1978. Menghabiskan sebagian besar masa kecilnya,  bersekolah, berkesenian serta aktivitas lain di Kota kelahirannya. Menulis sejak masa sekolah menengah atas, menekuni sastra dan teater lebih lanjut di Kelompok Drama Radio 1026 AM Radio Litasari, Teater Bandung Mooj, Studi Klub Teater Bandung (STB) melalui kursus singkatnya dan beberapa kelompok teater lainnya.
Menjadi penggiat pergerakan musik melalui penyelenggaraan event-event musik lokal yang rutin dilaksanakan bersama Insan Seni Satu Bumi sejak 1999.
Dunia jurnalis sempat dijalani hingga pertengahan 2007 dengan bergabung menjadi wartawan di media-media cetak local serta di Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional (PRSSNI) Cabang Bandung.
Selepas berhenti dari beberapa perusahaan media massa, lalu menghabiskan sebagian waktunya dalam kegiatan aktivis kampus dan kepemudaan mulai dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Daya Mahasiswa Sunda (Damas) dan Pengurus Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
Bersamaan dengan itu, menjalani pekerjaan mengajar di salah satu perguruan tinggi swasta dan mendirikan sekolah menengah kejuruan.
Dunia pendidikan lain yang ditekuni adalah bekerja bersama relawan di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) melalui gerakan Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Melalui TBM ini, pada tahun 2017 melaksanakan program Kampung Literasi bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Kota Bandung.
Hingga saat ini tetap menulis (penulis lepas) untuk media-media massa lokal dan nasional serta menerbitkan buku bersama TBM dan Majelis Adat Sunda (MAS) serta menjadi pelaksana  Program “Paseban” (Paguneman Pustaka Seni Budaya Bandung) yang diselenggarakan Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Dinas Perpustakaan dan Arsip (Dispusip) Kota Bandung 






Puisi Rg Bagus Warsono dalam ACP

11.Rg Bagus Warsono

Celana Pendek Leak

Celana pendek leak
memasuki gedung terhormat
lirik satpam guman tak sopan
dan wajah cewe cekikik-an
bukan karena kucir rambut kuda
itu celana pendek
memamerkan dengkul
dan sepatu kiker
agar bisa melompat cepat
berlari bebas
dari kejaran puisi-puisi penghujat
dari panggung-panggung pejabat
Celana pendek leak
tak pernah duduk
hanya dikursi kereta
Celana pendek leak
lama dikereta
Celana pendek leak
melekat berpuisi.
04-03-2019





Rg Bagus Warsono

Surat Buat Burung Merak

Burung merak
sudikah ajari aku berpuisi
kulihat kau semakin mengepak sayap
bukalah diklat aku akan duduk disana
mendengar celotehmu
dan tak sekadar kasak kusuk
menerima untuk mengeri tingkahmu
dengan omongan orang
kapan golonganku bersiul menikmati teriaknya
Indramayu, 17 Oktober 1990




Rg Bagus Warsono

Penyair Jenaka,
Buat : Aloysius Slamet Widodo,

Slamet memang penyair langka
Widodo namanya,
panjang usia gembira
lucu dan jenaka
ditulis
amalmu memberi senyum tawa,
tatkala puisi orang mengkritik
mengadukan kepedihan sengsara duka
sehingga malas dibaca
Slamet menulis lucu,
lalu Indonesia tertawa
monas tertawa
laut tertawa
tiang beton jembatan tertawa
gunung tertawa
mahasiswa tertawa
dokter tertawa
dan keluarga tertawa...
rg bagus warsono, 4 Maret 2019




Rg Bagus Warsono, nama lainnya Agus Warsono lahir di Tegal 29 Agustus 1965. Ia dibesarkan dalam keluarga pendidik yang dekat dengan lingkungan buku dan membaca. Ayahnya bernama Rg Yoesoef Soegiono seorang guru di Tegal, Jawa Tengah. Rg Bagus warsono menikah dengan Rofiah Ross pada bulan Desember 1993. Dari pernikahan itu ia dikaruniai 2 orang anak. Ia mulai sekolah dasarnya di SDN Sindang II Indramayu dan tamat 1979, masuk SMP III Indramayu tamat tahun 1982, melanjutkan di SPGN Indramayu dan tamat 1985. Lalu ia melanjutkan kuliah di D2 UT UPBBJJ Bandung dan tamat tahun 1998, Kemudian kuliah di STAI di Salahuddin Jakarta dan tamat 2014 , pada tahun 2011 tamat S2 di STIA Jakarta. Setelah tamat SPG, Rg Bagus Warsono menjadi guru sekolah dasar, kemudian pada tahun 2004 menjadi kepala sekolah dasar, dan kemudian 2015 pengawas sekolah. Tahun 1992 menjadi koresponden di beberapa media pendidikan seperti Gentra Pramuka, Mingguan Pelajar dan rakyat Post. Pada 1999 mendirikan Himpunan Masyarakat Gemar Membaca di Indramayu. Menjadi anggota PWI Jawa Barat. Rg Bagus Warsomo juga menulis di berbagai surat kabar regional dan nasional seperti PR Edisi Cirebon, Pikiran rakyat, Suara karya dan berbagai majalah pendidikan regional maupun nasional,




Puisi Pensil Kajoe dalam ACP

12. Pensil Kajoe
Semalam Kubertemu Rendra

Si Burung Merak menyibakkan rambutnya
suaranya berat ketika menyapaku
laki - laki itu mengingatkan pada rindu
yang dulu pernah disandingkan dengan dua gelas kopi
hujan temaram saputkan bulan sabit
di celah daun kelapa dia mengintip
asik mendengarkan cerita kami berdua
laki-laki itu bernama Rendra
dia bercerita banyak tentang orang-orang yang ditemuinya
Anita, si Koyan, Atmo Karpo, Sumijah
orang-orang yang pernah menjadi puisinya
bahkan menyampaikan pesan dari ayahku
"Tetaplah menjadi dirimu, jika ingin dikenang ketika ketiadaanmu tiba."
laki-laki Burung Merak meraih tanganku
dan menyalaminya seraya berbisik
"Tulislah nama-nama dengan tanganmu, tanpa harus menjadi seperti mereka, termasuk namaku,"
kemudian dia mengepakkan ke dua sayapnya
dan menghilang di balik pintu cafe.
04032819


Senin, 06 Mei 2019

Puisi-puisi Heru Mugiarso dalam ACP

13.Heru Mugiarso
Arsitektur Hujan Bulan Juni

Percakapan dengan Afrizal Malna
 mempertemukan kami dengan hujan bulan Juni
Kami membangun banyak Sapardi dalam diksidiksi puisi
Lalu dengan tabah disimpannya rintik itu agar tidak ada jendela
Bagi tubuhtubuh kami yang terbuka

Sapardi dengan topi petnya terus membangun  dukaMu abadi
Sambil sesekali  bertanya : Tuan, Tuhan bukan?
Sebelum Afrizal keburu akhirnya membangunkan aku dari mimpi
Tentang para perempuan yang berpantalon dan berdasi
Sementara aku terpaksa menikahkan Sarwono dan Pingkan
Dalam arsitektur perkawinan yang dibangun dari katakata yang tak pernah

Diucapkan api kepada kayu yang menjadikannya abu.
2019

 Heru Mugiarso

Aku Ingin

Aku ingin
         Menjadi  seperti Amir Hamzah
         Bernyanyi dalam sunyi  lariklarik puisi
         Dan di ujung kehidupannya
         Berkubang darah  korban revolusi
Aku ingin
         Menjadi seperti Chairil Anwar
         Mau hidup seribu tahun lagi
         Pacaran dengan banyak perempuan
         Namun pada akhir hidupnya
         Terkena tifus dan penyakit kelamin
Aku ingin
        Menjadi seperti  WS Rendra
         Berwajah ganteng  jadi  pujaan  banyak wanita
         Yang mengagumi sajaksajaknya
         Dan diakhir hidupnya
         Tetap istiqomah berkarya
Aku ingin menjadi seperti Hartoyo Andangjaya
        Lugu dan bersahaja
        Sangat mencintai dan dihormati murid-muridnya
           Menutup usianya
           Dalam  kehidupan sederhana
Aku ingin menjadi seperti Soebagio Sastrowardojo
           Penyair filsuf  dan pemikir keren
           Dan diujung tarikan nafasnya
           Mewariskan  Dian Sastro cucunya yang begitu jelita
            Dan selalu mempertanyakan Ada apa dengan Cinta?
Aku ingin menjadi anak cucu pujangga
            Walau tak bertalian darah  dengan mereka
                      Setidaknya dari mereka aku bisa mencontek
                              Kesetiaan berpuisi
            Walaupum pada kenyataannya
Di akhir hidup tidak selalu sukses

Karena bukankah Noorca Marendra  Massardi pernah bilang:
“Banyak orang sukses setelah jadi penyair
Tapi sedikit penyair sukses setelah jadi orang”.
2019



Heru Mugiarso, lahir di Purwodadi Grobogan, 2 Juni 1961. Menulis puisi sejak masih duduk di bangku SMP.  Karya-karya berupa puisi, esai dan cerpen serta artikel di muat di berbagai media lokal dan nasional. Sekitar hampir tujuh puluhan  judul buku  memuat karya-karyanya.Penghargaan yang diperoleh adalah Komunitas Sastra Indonesia Award 2003 sebagai penyair terbaik tahun 2003 Namanya tercantum dalam buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia (2017.) Pegiat gerakan sekaligus inisiator Puisi  Menolak Korupsi ( 2013 - ). Membacakan karyanya di berbagai kota seperti : Tanjung Pinang, Jakarta, Bandung, Jogyakarta, ,Malang, Tegal, Banyuwangi, Kupang. Aktif sebagai nara sumber acara sastra pada program Bianglala sastra Semarang TV. Juga, Pembina Komunitas Lentera Sastra mahasiswa jurusan Bimbingan Konseling Unnes.


Puisi Emby B. Metha dalam ACP

14.Emby B. Metha

                                 * Tuhan Ku Dimana

Aku tengah melihat
Langit membentang
Juga sedang menatap
Bumi terbentang
Ku hayati segenap kekuasaan

Gunung-gunung
Lautan
Bulan
Bintang
Dan matahari

Siapa cipta mereka  ?
Bukan aku
Bukan  jua kau
Lalu siapa

Tentu,
Mereka punya pencipta
Mereka milik sang kuasa
Seperti kita
Serupa manusia
Adalah tuhan

Namun,
Tuhan ku dimana  ?
Di rimba aku berkelana
Di samudera aku menjajah
Tapi tidak ku temui jejak tuhan

Oh Tuhan ku dimana  ?
Di pagi aku mencari
Di malam aku menanti
Namun tidak ku dapati rupa tuhan

Tuhan ku dimana

Jejak-jejak puisi
Jakarta, 2014


Emby B. Metha, lahir : Lamahala Flores Timur,  29 Oktober 1995.



Puisi-puisi Sami’an Adib dalam ACP

15.Sami’an Adib

Pewaris Celurit Emas

akhirnya kutemukan juga
setelah ribuan era ditempa
dalam sumber api utama
matahari semesta jiwa

berbekal setangkup doa
kupungut sepenuh cinta
celurit emas bersepuh purnama
mahadaya pengawal kelana

akan kusimpan di kedalaman palung paling rahasia
agar terhindar dari jamahan tangan penebar malapetaka
yang kerap menyalahgunakan pusaka demi kuasa semata

akhirnya kumiliki juga
celurit emas pusaka madura
tatahan empu yang bijaksana
:Zawawi Imron sang pujangga

dengan mahar sekuntum cinta
kupasrahkan segenap jiwa
demi menjaga warisan budaya
kearifan lokal yang kian langka

Jember, 2019



Sami’an Adib

Bermain Tebak-tebakan :gus mus
di halaman panjang
lebih tepatnya tanah lapang
kami duduk bertukar pandang
beradu kelakar dan tawa riang

entah dari mana engkau datang tiba-tiba
serupa bayangan menggalang sejumlah tanya
tentang hal yang tak terjabarkan oleh aplikasi apa pun
tentang mereka yang tak terdeteksi oleh intelijen mana pun
tentang peristiwa yang tak terungkap lewat rekayasa apa pun

Jangan tanya apa
Jangan tanya siapa
Jangan tanya mengapa
Tebak saja
demikian parau suaramu bergema

tapi bagaimana aku bisa menebak dengan jitu
ketika setiap hari silih berganti ragam isu
ujaran kebencian masuk tanpa ketuk pintu
menggiring keteguhan hati ke tubir ragu

bila kutebak tanpa olah penalaran
nanti dikira aku pemuda serampangan
yang tidak punya visi dan mimpi masa depan

baiklah, Gus! Kutebak saja
di balik fakta disharmoni bangsa
ada ribuan dusta di antara kita:
anak bangsa yang terpapar virus adu domba
dan menularkan delik pelik prahara

maaf, Gus! Aku hanya menerka
di antara sekian reka perkara
ada rentetan fiksi sepernovela
meja peradilan menjadi panggung pementasan drama
tragikomedi yang membuat penonton terkesima
larut dalam pusaran tangis dan tawa
umpatan dan pujian tertuju pada sang sutradara
yang ternyata iblis berwujud malaikat penjaga syurga
Gila!
Jember, 2019




Sami’an Adib, lahir di Bangkalan tanggal 15 Agustus 1971. Lulus Strata I pada jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Negeri Jember (Unej).  Prestasi kepenulisan antara lain: pernah memenangkan Juara III lomba mengarang cerpen yang diadakan BEM Fakultas Sastra Unej, Juara I Lomba Cipta puisi Gus Dur yang diselenggarakan Pelataran Sastra Kaliwungu (2016), Puisi Pilihihan II Poetry Prairie Literature Journal#5 (2017). Puisi-puisinya terpublikasikan di beberapa media cetak dan on line. Antologi puisi bersama antara lain: Requiem Tiada Henti (Dema IAIN Purwokerto, 2017),  Negeri Awan (DNP 7, 2017),  Lumbung Puisi V: Rasa Sejati (2017), PMK 6 (2017), Lebih Baik Putih Tulang daripada Putih Mata (2017), Baju Baru untuk Puisi dan Hal-hal yang Belum Kita Mengerti (Bebuku Pubisher, 2017),  Menderas Sampai Siak (2017), Timur Jawa: Balada Tanah Takat (2017), Hikayat Secangkir Robusta (Krakatau Awards 2017), Perjalanan Sunyi (Jurnal Poetry Prairie 2017), Sedekah Puisi (Penebar Media Pustaka, 2018),  Negeri Bahari (DNP 8, 2018), Menjemput Rindu di Taman Maluku (Bengkel Sastra, 2018), Lumbung Puisi VI: Indonesia Lucu (Penebar Media Pustaka, 2018), Kepada Toean Dekker (Dikbud Lebak, 2018), Satrio Piningit (Penebar Media Pustaka, 2018), Sepanjang Siring Laut (Dikbud dan Pariwisata Kotabaru, 2018), Bulan-bulan dalam Sajak(Temalitera, 2019), Mbelekethek (Penebar Media Pustaka, 2019), Gus Punk (Pelataran Sastra Kaliwungu, 2019), Seribu Sisi Dini (Bengkel Sastra, 2019), Risalah Api (Ziarah Kesenian, 2019), dan lain-lain. Aktivitas sekarang sebagai tenaga pendidik di sebuah Madrasah di Jember.




Puisi M. Sapto Yuwono dalam ACP

16. M. Sapto Yuwono

Kepada Zara Zetira ZR dan Putriku


Pada kedatangan seuntai cinta
Menyejuk
Merapal doa
Kini dan esok
Dambaan putih dan gambaran asa
Putriku merasuk pada harap


Pada padanan kenyataan
Terurai kesanggupan
Inspirasimu mengalir
Menuang kental nyata
Putriku
Dan empat belas tahun lalu
Bahkan sebelumnya
Kini
Kutuangkan pada goresan
Nyata dan hakiki

Kini
Putriku bernama Zella Midzi  Zeta
Adalah seuntai cintaku pada goresan namanu
Ada rasa banggaku padamu
Semoga ada dan bisa

Muara Bungo, 21 April 2019



M. Sapto Yuwono, lahir.  49 tahun yang lalu, tinggal.di Muara Bungo.Jambi.



Puisi Arie Png Adadua (Syaiful B. Harun.) dalam ACP

17. Arie Png Adadua  (Syaiful B. Harun.)

Tapi Aku
aku ingin menjadikan diriku
sebagai kayu yang dijadikan abu oleh api
untuk cintanya yang sederhana

aku ingin menjadikan diriku
sebagai awan yang dijadikan tiada oleh hujan
untuk cintanya yang sederhana

tapi aku seperti berbaris puisi yang dihapus pada selembar kertas
yang tiada pernah dapat dibaca dalam sebait puisi
tapi aku seperti titik embun yang lebur dalam gerimis malam
yang hadirku kemarin dilupakan oleh bunga perdu
Palembang, 21/04/2019
*) terinspirasi puisi “Aku Ingin” (Sapardi Djoko Damono)



Arie Png Adadua adalah nama pena dari Syaiful B. Harun. Lahir di Palembang,16-06-1967 yang kini berdomisili di Palembang. Berprofesi sebagai salah seorang guru di Ma’had Al Islamiy Aqulu-el Muqoffa. Semasa kuliah telah tertarik pada puisi, terlebih sejak menjuarai “Lomba Cipta Puisi Provinsi Bengkulu”, dalam rangka memperingati Penyair Chairil Anwar pada tahun 1996. Buku yang pernah diterbitkan berupa kumpulan puisi tunggal Nyanyian Cerita Fajar (Palembang, 2004) dan buku teks Apresiasi dan Menulis Puisi (Palembang, 2018), serta beberapa buku antologi puisi, yaitu “Gerhana” Memperingati Peristiwa Gerhana Matahari Total di Sebagian Wilayah Indonesia - Rabu, 9 Maret 2016 (Jakarta, 2016), Celoteh di Bawah Bendera (2018), Nyanyian Sang Bayu (2018), Segenggam Kenangan Masa Lalu (2018), Marhaban ya Ramadhan (2018), Lumbung Puisi VI, Indonesia Lucu (2018), Antologi Puisi Perempuan “Rembulan Bermata Intan” (2018), Musafir Ilmu (2018), Kata Mutiara Pendidikan (2018), Sedekah Puisi (2018), Antologi Puisi Tulisan Tangan – Satria Piningit (2018), Puisi Mblekethek (2018), dan Antologi 6 Penyair Grup ASM “Dari Malam Sunyi Sampai Aku Sudah Tiada” (2019)


Puisi-ouisi Agus Mursalin dalam ACP

18.Agus Mursalin

Omongan Tanpa Naskah
(kau yang selalu bergejolak)

Selalu gerak gertakanmu
Oleng kanan kiri limbung melinglung
Sebaris bait mengeja kata
Irama tubuh ikut membaca
Arti menjelma naluri terbawa pesan
Wajah berekspresi tanpa beban
Alunan suara mengguruh
Nafas mengikut menyeluruh

Lalu lalang huruf di pikiran
Elan vitalmu pada kesejatian
Akhir tiap pembacaan
Kesimpulan yang  tak terbantahkan
Murtirejo, 25 Maret 2019



Agus Mursalin

Saxophon Sayap Kumbang

Sangkan paranmu menandakan batas
Darimana berasal kemana bertuju
Tak perlu menunggu tiupan  malaikat untuk bertemu wujud asli dalam sanubari
Karena  terompetmu mengaum membawa kesejatian rupa
Atas gelisah atas pencarian atas kesaksian
Sang Maha Adil
Menyanyi di tiap celah liang kubur kau singgah bersimbah
Air mata taubatmu menjadi bah
Menenggelamkan
Menggontor lepas
Menyuci hati
Lahir kembali
Merupa lukisan wajah wali
beratus kanvas

Cerca bibirmu menumpahkan peluru di negeri para Jancuker
Pengecut penjilat pengabdi pemuja penuhi beranda
Kau presideni mereka
Tanpa proklamasi seheroik tahun '45
Murtirejo, 27 Maret 2019

Agus Mursalin, lahir bukan di bulan Agustus, tahun 1971. Lulus IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1998, Koordinator Pendamping Desa Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Bergiat sastra di LISONG (Lingkar Sastra Gombong). Tinggal di Murtirejo Kebumen.

Puisi-puisi Sugeng Joko Utomo dalam ACP

19. Sugeng Joko Utomo

Ode Buat Rendra

Puisi yang kau gubah
Lewat sorot mata gundah
Seperti elang mengicar rubah
Melesat tatap bak anak panah

Bibir tegas mengucap lafal
Garang keras melempar sebal
Memantul seperti bola futsal
Di sana-sini membentur portal

Gemulai jemari meliuk molek
Seperti jingkat genit merak bersolek
Membeber tentang kedunguan tetek bengek
Nasib dunia diperkosa manusia-manusia bebek

Lantang kalimatmu Willy
Merobek langit bumi pertiwi
Mengajarkan berjuta cara menghormati
Anugerah indah dari Ilahi

Namun banyak cibir menista
Dari mulut-mulut sinis pendusta
Yang terusik kenyamanan hidup semata
Oleh teriak galakmu wahai Rendra

Gigih kepalmu meninju dunia
Memporakporandakan istana durjana
Tak perduli berjuta racun kau terima
Coba menghalaumu tanpa rasa

Kau menjadi mercusuar
Benderang nyala berpijar
Terangi meja-meja altar
Sumber inspirasi budaya pintar

Tasikmalaya, 24 Maret 2019

Sugeng Joko Utomo

Wijimu Thukul Subur

Kamu
Disuruh diam
Malah makin keras mengecam

Kamu
Dipaksa bungkam
Malah makin galak mengancam

Lalu yang terjadi
Sepi berhari-hari
Bahkan sampai kini

Lantang ceracau
Disinyalir pengacau
Membuat hati galau
Para pemilik otak kerbau

Sejak saat itu
Tak terendus jejakmu
Pada rerumput tiada
Pada ubin marmer tak ada
Di gedung megah tak tercatat
Di pasar terminal tak terlihat

Hanya di lembar koran
Berita penyair dihilangkan
Terpampang nyaris buram
Sekusam nasib rawan

Wiji Thukul
Semakin subur wijimu
Thukul di hatiku
Di hati para insan
Penyuara kebenaran
Tasikmalaya, 25 Maret 2019


Sugeng Joko Utomo.  Guru mapel Fisika dan Rekayasa Perangkat Lunak di SMK TI Riyadul Ulum Cibalong Tasikmalaya. Dan guru mapel Biologi di SMA BoardingSchool Bina Insan Mandiri Bantarkalong Tasikmalaya. Pencetus dan admin grup penulis sastra Kebumen di FB, "Prosa Kita Puisi Kita". Rajin menulis puisi bertema jatuh cinta dan patah hati dan geguritan Jawa Ngapak. Sedang menunggu sponsor untuk menerbitkan lebih dari 200 puisinya dalam 2 buku kumpulan puisi. Asal dari Gombong tinggal di Tasikmalaya. Sekarang juga tengah bergiat di Lingkar Sastra Gombong (LISONG)





Minggu, 05 Mei 2019

Puisi-puisi M Dhaun El Firdaus dalam ACP

20. M Dhaun El Firdaus

Setelah Pertemuan Itu
 (Teruntuk Gus Candra Malik)

Sebab tatapan pertama yang membuat candu
Aku merindu
Menjadikan sketsa wajahmu hiasan dinding waktu
Harapan dan doa pun diwarnai asmamu

Sebab tatapan pertama yang membuat candu
Cinta itu kini berlayar melanjutkan perpisahan
Memuat rasa kagum dan keingintahuan
Melabuhkan pertanyaan "Bagaimana kau bisa mengenali hatiku?"


Gus, sebab tatapan pertama yang membuat candu
Biarkan kukirim tanda panah asmara untukmu
Mengikuti arah yang pernah kautunjukkan
Menyentuhmu dengan ayat-ayat dari Tuhan

Gus, setelah pertemuan pertama itu yang tak terlupa
Gejolak hati semakin berarah menemukan damainya
Kian menggugurkan butiran bertasbih
Izinkan antaranya ada untukmu, Al Fatihah...

Sruweng, 31 Maret 2


M Dhaun El Firdaus

Aku Bayi sebab Kau Ayah
(Teruntuk Achmad Masih)

Jatuh ke dunia aksara membuatku ingin mengeja semesta
Tanah-tanahnya yang digerogoti rindu menggelar lembar-lembar dahaga
Ingin kuteguk sampai puas liarnya kata-kata
Sedang aku terlalu bodoh menjejakkan tinta

Kupaksa mengayunkan pena
Berinteraksi dengan alam raya
Meski pemahamanku terbata-bata mengenali bahasanya
Kucoba merekam dengan diksi sederhana

Tak mudah mendulang jiwa puitis yang merengek kelaparan
Kucoba memasak rima, irama, mantra yang kubumbui cinta
Namun aku masih saja bingung menyajikannya
Lalu kumemanggilmu, "Ayah"

Kuanggap dirimu orang tua dan guru
Sapaan bijak, lembut, dan penuh kasih kauberi
Di lapang dadamu kautimang lembaran kertas yang gagu
Hingga abjad tersusun menjelma deretan arti

Aku ibarat bayi literasi
Lahir  dari penjuru abu-abu
Tak pandai memainkan jemari
Lalu kaubimbing merangkak dan melantangkan suaraku
 Ayah...
Hanya jarak Kebumen-Jogja yang memisahkan
Sesungguhnya kita tak pernah jauh
Doa adalah saksi yang mempertemukan

Sruweng, 4 April 2019

M Dhaun El Firdaus,lahir di Kebumen, tanggal 13 Agustus, tanpa angka tahun. Sekarang tinggal di Sruweng, Kebumen. Ibu rumah tangga ini suka menulis semenjak tahun 1990-an dalam bentuk puisi, cerpen, fiksi, dan kata-kata motivasi. Sangat mecintai karya-karya para Sufi.
Mbak Dhaun, begitu dia biasa disapa, beberapa kali menjadi kontributor dalam event-event puisi. Buku yang pernah diterbitkannya adalah Kumpulan Puisi PELAYARAN HATI PENDAMBA SURGA. Saat ini beliau juga aktif di Lingkar Sastra Gombong (Lisong). Modal hidup : Positif thinking . Motto : komunikasikan hidup pada Yang Maha Pencipta.




.Puisi Karan Figo dalam ACP

21.Karan Figo.

Aku Pengagummu Ki Ronggo Warsito

Tak semua orang tahu
Tapi karyamu terlanjur tertanam di benaku
Tak semua orang mengenalmu
Tapi karya-karya sastramu telah menggetarkan semua jiwa-jiwa membatu

Memang aku tak langsung melihat sosoknya itu
Tapi karyamu lebih memikatku
Memang aku lahir bukan di masamu
Tapi aku cukup mengagumi karya-karyamu

Ki Ronggo Warsito bapak sastrawan Jawa Dwipa
Banyak karyanya yang seolah nyata
Seperti syair saktinya
Yang hingga kini terus di bicarakan dunia

Jaman iki jaman wis edan
Yen ora ngedan ora keduman
Jaman ini sudah jaman edan
Kalau tidak ikut ngedan tidak kebagian

Sikayu, 30 Maret 2019
Karan Figo

Karan Figo

Wiji Sing Tetep Thukul

Tek tawur winih wijiku
Tek siram winih wijiku
Tapi wijiku garing klinting
Tapi godong pangmu, kabeh garing

Oh udan..endi udan
Aku wis edan..awaku gupak kotoran
Awu, ladu, kabur kanginan
Tememplek nang kabeh panggonan

Oh...udan...endi udan
Kae suket witwitan pada tetangisan
Jedeeeeeeeerrrr...kemlabet, icir-icir ana kelep nggawa udan gedene sapendul-pendul
Akhire wiji sing garing klinting, ora sida mati tapi tetep dadi wiji sing thukul.

Terus thukul, terus thukul..!!
Dadia wit wit sing migunani
Terus thukul, terus thukul..!!
Ngremboko uga mayungi.

Sikayu:30 Maret 2019,22:40
Karan Figo cah Sikayu


Karan Figo. Pekerjaan wiraswasta, dagang. Hobi menulis puisi. Menulis di event tantangan 100 puisi dalam 100 hari yang diadakan oleh J-Publisher. Pernah menulis hanya 10 hari di event pertama; masuk 10 penulis teraktif/tercepat dalam 28 hari terakhir, dan rangking 3 dari 7581 anggota. Beberapa terbitan karyanya adalah: Segenggam Pasir di Tepi Samudra Biru, Buih Alam Sekitar Kita, Bulir-bulir Embun Pagi, Bait-bait Sangga Langit, oleh Penerbit J-Maestro. Aktif menulis di grup Editorial Ceentina,. Pernah mendapatkan beberapa sertifikat sebagai peserta/kontributor di event-event grup-grup  sastra, seperti : Syalira, Sastra Pujangga Indonesia (SPI), ATC, Goresan Pena, dll. Asli kelahiran Sikayu, Buayan, tinggal di Jakarta. Kini tengah bergiat di Lingkar Sastra Gombong (LISONG)

Puisi Anom Triwiyanto dalam ACP

22.Anom Triwiyanto

                                                                Rebel Anwar

 (Untuk keabadian Chairil Anwar)
Sampai kapan kau akan menghantui kami?
Dalam buku-buku sekolah bersemayam abadi
Sampai bila seribu tahun lagi?
Bercokol kekal dalam riwayat literasi
Kuat berakar dalam moda legenda

Sampai kapan kau beri sela pada tunas muda sama bara?
Sudah penghujung jaman keempat dan kau masih saja keramat
Sampai berapa terra pemula harus gumamkan mantra?
Atau tampuk itu akan jatuh pada mesin-mesin yang belajar bernurani

Ingin kulupa binatang jalang, Diponegoro dan Dien Tamaela yang dijaga datu-datu
Tetap saja kami kerdil dalam kungkungan narasi akademi yang dijaga sekian generasi sarjana

Apa yang kau pikirkan?
beep
Apa lagi yang kau pikirkan?
beep
Update lagi yang kau pikirkan
beep

Dan sepertinya kami tak kuasa
Membesarkan diri dalam totem masa
Kami ingin keluar saja dari lembaran dua matra
Hidup sebagai puisi sejadi-jadi
Mewujud kata tanpa guratan pena
Membakar oplah dalam kopi, hujan, dan senja
Melupa bila
Bersemena-mena dengan kesementaraan dawai nyala
Pensiun dini
Punah tanpa lunas mimpi
Kami
                                            Gombong, Maret 2019
 

Anom Triwiyanto

                                                            Huizche Tak Terperi 
 
Terkesiap gagap menanggap
Menyimak Mata Luka Sengkon Karta dengan jantung berderap
 
"aku seorang petani bojongsari
menghidupi mimpi
dari padi yang ditanam sendiri"
 
Adukan luka, amarah, dan erang tak berdaya
Begitu bernyawa mencelat fasih dari sang penggubah,
yang tak terlintas sedikit pun di jelajah baca sebelumnya
 
Perih merayap meraba pose nyaman penyaksian
Merinding dingin dihantui hidupnya pembacaan
Rapal kedalaman menahan jemari
untuk memutuskan henti tayang
padahal hanya sejarak sekali sentuh
 
Maka aku terbiar
Terhanyut
Pasrah mati dalam penghayatan
Ikut terpukul
Terantuk sakit
Tersungkur panik
Turut mengaduh ditendang sepatu lars lemah kemanusiaan
Memojok ngeri coba menghindar dari hunusan lembing tanpa hati
Meradang mengharap kosong ditengah nanar "anjing!" dan "babi!"
Jangan sadarkan aku terlalu segera, wahai Sang Maha!
Ini lupa yang selow saja, begitu memalukan dipelihara!
Menulis moral, memimpi peradaban, serasa kudapan sampah saja!
 
"tuhan tak datang di kehidupannya
malaikat pencatat kebaikan
kemana kau ngeloyornya?"
 
Mimik seribu wajah
Tajam mata cakar pandang
Menghardik tajam pada para pemanja jaman
Tak cukup merangkum salut,
aku lelaki
tertunduk mengkurcaci
menangis banci
 
Untuk tak menyurutkan hormat
pada daftar besar legenda pemantra lintas generasi
:Ini tuan pujangga padat gelora,
siapa gerangan?

 (untuk aksi "Mata Luka Sengkon Karta" dan Peri Sandi Huizche)
Gombong, Maret 2019

Anom Triwiyanto, lahir di Gombong, 8 November 1974. Sempat mengenyam pendidikan di FSRD ITB Bandung (dropped-out). Bekerja sebagai Freelancer di bidang desain graphic, clothing, videography. Mengerjakan apa saja kecuali lukis kanvas. Tempat tinggal sekarang : Buayan, Gombong, Kebumen, Jawa Tengah. Menulis dan membaca dianggapnya sebagai penyegar disela rutinitas utamanya yang cenderung lebih banyak berkaitan dengan ranah visual dan multimedia. Kini tengah bergiat di Lingkar Sastra Gombong (LISONG).






Puisi Buanergis Muryono dalam ACP

23.Buanergis Muryono

                                                             Sulaiman As Salomo

Dia dikenal sebagai Raja, Nabi, Pujangga, Pengkhotbah, dengan seribu isteri.
Putra Nabi Daud ini menulis dan melukiskan apa pun yang dilaluinya. Mulai dari puing-puing hingga puting-puting gugusan Kurma.
Kehidupannya digambarkan penuh keindahan, kesempurnaan, kemuliaan, sebab arif bijaksana menjadi satu pohon doanya.
Bukan kekuasaan
Tidak kedudukan
Bahkan kekayaan...dia tidak inginkan
Tidak dia butuhkan
semua adalah sia-sia tanpa tulus syukur.
Sulaiman
Salomo
Sang Nabi
Maharaja
Memohon Kearifan dan Kebijaksanaan.
Maka segala-galanya dia dapatkan
Dianugerahkan
Sampai binatang-binatang pun menyapanya
Tumbuh-tumbuhan meneduhinya
Alam raya memeluknya.
Akhirnya
Dia diam
Diam dalam kamar
Hening
Sunyi
Sepi
Sendiri
Tidak bangun
Enggan bangkit
Duduk diam dengan pena di tangan
Terpejam
Penuh puas lembut senyuman
Atmannya menuju sempurna awal daya hidup
Melepas raganya diam sendirian....
Sulaiman
Salomo
Sang Raja
Sang Pujangga
Diam selamanya
Tapi buah penanya...sampai di ujung mata ini....
Juga datang padamu
Bila mau....
Tulisan Sulaiman
Goresan Salomo
kini disebut people...KITAB...
Kitab Kehidupan
sebab tulisannya memberi daya hidup
Pembangkit spirit
Bagi anak cucu Sulaiman di muka bumi
Atas seluruh manusia
Bagi bangsa-bangsa
Berbeda-beda, namun satu adanya
Satu
Menyatu
Anak Cucu Sulaiman
Salomo
Sang Raja
Sang Pujangga
Sang Nabi....

Buleleng Bali 2019 07:40


Puisi Lela Hayati dalam ACP

24. Lela Hayati

Manteramu Candu Cintaku

lima percik mawar
tujuh sayap merpati
terhunus asmara mengakar
menukik nyanyian di jantung hati

sesayat langit perih
terburai darah mengalir masih
dicabik puncak gunung
aku melanglang merambahi relung

sepi mengubur lilitan rindu
terjerat jiwa suguhan dupa rupa
malam menggelora bayangmu
bisik bisik atma menggoda

dayaku terampas bagai magnet
tugu menyan luka
mengasapi duka
menggerogoti setiap lekuk sendi oleh ulat-ulat keket

puih!
aku melirih
kau jadi kau
engkaulah dikau

kekasihku

Bandung, 20 April 2019





Lela Hayati di Surakarta, 03 Desember 1972 Tinggal di Jl Bojong Koneng 131 Cikutra - Bandung. Lela H adalah hanya perempuan biasa yang menyukai merangkai kata yang ada unsur seni sastranya. Sekarang aktif di beberapa grup sastra di dunia maya.  Mengikuti antologi Bersama Lumbung Puisi sastrawan Indonesia VII 2019



Puisi Barokah Nawawi dalam ACP

25.Barokah Nawawi


Kepada Toto Sudarto Bachtiar


Ijinkan aku memanggilmu guru
Karena lantaran dirimulah aku mengenal puisi
Dan mencintainya sampai kini.

Kubaca berulang kali Etsa dan Suara
Kurasakan berulang kali rasa sedih dan rindumu pada dunia tanpa tepi
Betapa akrab dirimu dengan mereka-mereka yang menjadi obyek puisimu
Tak ada garis pemisah meski hanya seujung rambut yang sangat tipis.

Namamu memang tak seheboh Chairil Anwar
Yang memisalkan dirinya sebagai binatang jalang
Tapi aku merasa lebih akrab dengan dirimu
Jiwa sunyi yang tersisih yang merindu kasih sayang
Yang panjang dan abadi.

Betapa mesra kau menyapa sahabatmu
"Gadis kecil berkaleng kecil "
Yang menurutmu dunianya lebih tinggi dari menara katedral
Tapi yang begitu kau hafal
Dan jiwanya begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukamu.

Toto Sudarto Bachtiar
Penyair sederhana dalam kehidupan yang sebenarnya
Kemanapun kau pergi kau lebih suka bersama orang banyak
Menyusuri lika liku kota dengan angkot yang berjubel
Dengan baju sederhana tanpa dasi dan sepatu yang mengkilat.

Kau adalah kehidupan yang sepi
Sesepi puisi-puisimu yang mengharu biru rasa hati
Dan aku terjerembab kedalam labirinmu
Sampai kini.


Semarang, 21 April 2019



Aloysius Slamet Widodo

Aloysius Slamet Widodo (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 29 Februari 1952; umur 67 tahun) adalah pengusaha yang juga sastrawan berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal di kancah kesusasteraan Indonesia melalui karya-karyanya berupa puisi mbeling yang dipublikan di sejumlah surat kabar Indonesia. Slamet Widodo merupakan salah satu penyair yang tergabung dalam Gerakan Puisi Menolak Korupsi. Etnomusikolog Rizaldi Siagian, pernah menyusun komposisi musik dari puisi-puisi bertema lingkungan karya Slamet Widodo. Kolaborasi mereka diwujudkan dalam bentuk visual grafis yang diberi tajuk Kehidupan: Dalam Ekspresi Teater Bunyi. Beberapa seniman yang terlibat dalam proyek tersebut antara lain Rahayu Supanggah, Peni Candrarini, Dharsono, Djenar Maesa Ayu, dan Masri Ama Piliang. Saat ini, Slamet Widodo aktif mengelola Komunitas Sastra Reboan yang diselenggarakan setiap bulan, di Warung Apresiasi, Bulungan, Jakarta Selatan. Karya Slamet Widodo seperti : Potret Wajah Kita (Jakarta, 2004), Bernapas Dalam Resesi (Jakarta, 2005),
Kentut (Jakarta, 2006), Selingkuh (Precil Production, Jakarta, 2007),
Simpenan (2010), Namaku Indonesia (Pena Kencana, Jakarta 2012),



Rg Bagus Warsono,

Rg Bagus Warsono, nama lainnya Agus Warsono lahir di Tegal 29 Agustus 1965. Ia dibesarkan dalam keluarga pendidik  yang  dekat dengan lingkungan buku dan membaca. Ayahnya bernama Rg Yoesoef Soegiono seorang guru di Tegal, Jawa Tengah. Rg Bagus Warsono menikah dengan Rofiah Ross pada bulan Desember 1993. Dari pernikahan itu ia dikaruniai 2 orang anak. Ia mulai sekolah dasarnya di SDN Sindang II  Indramayu dan tamat 1979, masuk SMP III Indramayu tamat tahun 1982,  melanjutkan di SPGN Indramayu dan tamat 1985. Lalu ia melanjutkan kuliah di D2 UT UPBBJJ Bandung dan tamat tahun 1998, Kemudian kuliah di STAI di Salahuddin Jakarta dan tamat 2004 , pada tahun 2011 tamat S2 di STIA Jakarta. Setelah tamat SPG, Rg Bagus Warsono menjadi guru sekolah dasar, kemudian pada tahun 2004 menjadi kepala sekolah dasar, dan kemudioan 2015 pengawas sekolah. Tahun 1992 menjadi koresponden di beberapa media pendidikan seperti Gentra Pramuka, Mingguan Pelajar dan rakyat Post. Pada 1999 mendirikan Himpunan Masyarakat Gemar Membaca di Indramayu. Menjadi anggota PWI Jawa Barat. Rg Bagus Warsomo juga menulis di berbagai surat kabar regional dan nasional seperti PR Edisi Cirebon, Pikiran rakyat, Suara karya dan berbagai majalah pendidikan regional maupun  nasional.
Karya : a. Puisi
1. Bunyikan Aksara Hatimu, Sibuku Media , Jogyakarta 2013
2. Jakarta Tak Mau Pindah, Idie Publising, Jakarta 2013
3. Jangan Jadi sastrawan, Indie Publising, Jakarta 2013

Chairil Anwar

Chairil Anwar (lahir di Medan, 26 Juli 1922 – meninggal di Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun), dijuluki sebagai "Si Binatang Jalang" (dari karyanya yang berjudul Aku), adalah penyair terkemuka Indonesia berdarah Minangkabau. Dia diperkirakan telah menulis 96 karya, termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, dia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45sekaligus puisi modern Indonesia.
Chairil lahir dan dibesarkan di Medan, sebelum pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dengan ibunya pada tahun 1940, di mana dia mulai menggeluti dunia sastra. Setelah mempublikasikan puisi pertamanya pada tahun 1942, Chairil terus menulis. Puisinya menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi.
Chairil Anwar dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada 26 Juli 1922. Dia merupakan anak satu-satunya dari pasangan Toeloes dan Saleha, keduanya berasal dari Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai bupati Indragiri, Riau. Dia masih memiliki pertalian keluarga dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Sebagai anak tunggal, orang tuanya selalu memanjakannya, namun Chairil cenderung bersikap keras kepala dan tidak ingin kehilangan apapun; sedikit cerminan dari kepribadian orang tuanya.
Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Saat usianya mencapai 18 tahun, dia tidak lagi bersekolah. Chairil mengatakan bahwa sejak usia 15 tahun, dia telah bertekad menjadi seorang seniman.
Pada usia 19 tahun, setelah perceraian orang tuanya, Chairil bersama ibunya pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) di mana dia berkenalan dengan dunia sastra; walau telah bercerai, ayahnya tetap menafkahinya dan ibunya. Meskipun tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai berbagai bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman. Ia juga mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron. Penulis-penulis tersebut sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung terhadap tatanan kesusasteraan Indonesia.
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan puisinya yang berjudul Nisan pada tahun 1942, saat itu ia baru berusia 20 tahun. Hampir semua puisi-puisi yang ia tulis merujuk pada kematian. Namun saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di majalah Pandji Pustaka untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis dan tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta, Chairil jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945.Kemudian ia memutuskan untuk menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946. Mereka dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa, namun bercerai pada akhir tahun 1948.


Makam Chairil di TPU Karet Bivak
Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya. Sebelum menginjak usia 27 tahun, sejumlah penyakit telah menimpanya. Chairil meninggal dalam usia muda di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo), Jakarta pada tanggal 28 April 1949. Penyebab kematiannya tidak diketahui pasti, menurut dugaan lebih karena penyakit TBC. Ia dimakamkan sehari kemudian di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Chairil dirawat di CBZ (RSCM) dari 22-28 April 1949. Menurut catatan rumah sakit, ia dirawat karena tifus. Meskipun demikian, ia sebenarnya sudah lama menderita penyakit paru-paru dan infeksi yang menyebabkan dirinya makin lemah, sehingga timbullah penyakit usus yang membawa kematian dirinya - yakni ususnya pecah. Tapi, menjelang akhir hayatnya ia menggigau karena tinggi panas badannya, dan di saat dia insaf akan dirinya dia mengucap, "Tuhanku, Tuhanku...". Dia meninggal pada pukul setengah tiga sore 28 April 1949, dan dikuburkan keesokan harinya, diangkut dari kamar mayat RSCM ke Karet oleh banyak pemuda dan orang-orang Republikan termuka. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari masa ke masa. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar. Kritikus sastra Indonesia asal Belanda, A. Teeuw menyebutkan bahwa "Chairil telah menyadari akan mati muda, seperti tema menyerah yang terdapat dalam puisi berjudul Jang Terampas Dan Jang Putus".

Selama hidupnya, Chairil telah menulis sekitar 94 karya, termasuk 70 puisi; kebanyakan tidak dipublikasikan hingga kematiannya. Puisi terakhir Chairil berjudul Cemara Menderai Sampai Jauh, ditulis pada tahun 1949,sedangkan karyanya yang paling terkenal berjudul Aku dan Krawang Bekasi. Semua tulisannya baik yang asli, modifikasi, atau yang diduga dijiplak, dikompilasi dalam tiga buku yang diterbitkan oleh Pustaka Rakyat. Kompilasi pertama berjudul Deru Campur Debu (1949), kemudian disusul oleh Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin). Karya tulis Chairil Anwar yang diterbitkan adalah Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)
Tiga Menguak Takdir (1950) (dengan Asrul Sani dan Rivai Apin)
"Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949", disunting oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986)
Derai-derai Cemara (1998). Chairil juga menerjemakan karya  seperti Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide dan Kena Gempur (1951), terjemahan karya John Steinbeck