14.
Dasuki Kosim
Hatimu Bagai Batu
Tak menaruh iba padaku
Menanggung rindu menantimu
Lenyap tanpa harapan mengurung waktu
Malam sunyi
Dusun-dusun larut dalam kegelapan
Mengingatkan memori akan kemesraan
Yang terpisah dari kenyataan
Kuberikan segalanya
Kugadaikan urat nadiku demi kebhagiaan
Kepuasan telah berlalu
Meratap tersingkir pada nasib
Bagiku polos tak pernah paham masa depan
Tak menghiraukan masalah berat
Habis manis sepah dibuang
Sepuluh tahun lamanya membeku
Rasa dingin bagai salju
Tak gairah mencicipi, merasakan nikmat cinta
Dulu mati membeku kini hidup bergelora
Kau datang tanpa undanganku
Kau tanamkan cinta padaku
Setelah itu kau tinggalkan diriku
Mengapa kau datang bila untuk pergi
Memang kau buat aku senang
Namun kau sakiti gertusuk merana
Hingga kini terngiang penodaan hanyalah
penyesalan hidup penuh duri
Indramayu, 29 Maret 2017
15.
Djemi Tomuka
Selalu Kami
begitu teduh berumah di tubuhmu
ketika kumasuki pintunya, serupa susu
yang larut pada dinding-dindingnya
memoles ranum kuning langsat, manis
ketika kumasuki pintunya, serupa susu
yang larut pada dinding-dindingnya
memoles ranum kuning langsat, manis
menjadi aku di tubuhmu adalah terang
yang menyeberangkanku dari bokong gelap
bahwa tak ada yang lebih cahaya dari cinta,
menguliti setiap benang-benang malam, telanjang
buat sebuah kesejatian disebut perkasa
yang menyeberangkanku dari bokong gelap
bahwa tak ada yang lebih cahaya dari cinta,
menguliti setiap benang-benang malam, telanjang
buat sebuah kesejatian disebut perkasa
pada jam yang menggulirkan waktu
aku bermohon untuk sedikit melonggar
untuk sempat kususun keringat,
melekatkan setiap udara pada pori-porinya
agar pagi akan mendapati,
selalu kami.
aku bermohon untuk sedikit melonggar
untuk sempat kususun keringat,
melekatkan setiap udara pada pori-porinya
agar pagi akan mendapati,
selalu kami.
(DJT. mdo, 30 Januari 2017; 23.53)
Djemi Tomuka , lahir di kota Makassar 15 Juni 1962 dengan nama, Djemi Tomuka, tapi biasa dipanggil dengan Djemi saja. Sekarang tinggal dan menetap di Jl. S. Citarum. No. 73. Kel. Kombos Barat, Kec. Singkil, Manado, Sulwesi Utara Bekerja sebagai tenaga pengajar (dosen) di Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado (Unsrat), untuk Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, juga pada Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Fakultas Hukum Unsrat Riwayat Pendidikan: Dulu, setelah tamat SMA melanjutkan di Fakultas Kedoktaran Unsrat (dokter), melanjutkan kembali pada Program Post graduate Forensic Medicine, Medical Jurisptrudence, Medical Ethics and Human Right, Groningen University Netherland (DFM), kemudian menimba ilmu di Fakultas hukum UKI Tomohon (SH) dan meneruskan di Pasca Sarjana PIH-PS Ham Unsrat (MH), Sangat menyenangi semua seni terutama, Sastra (puisi), Musik, Lukis dan patung Kegiatan menulis hingga kini dijalani, beberapa puisi yang terangkum dalam Buku puisi tunggal " Seperti Angin " ( Daseng Seni Fordjefo dan Wale Kofie ESA ) juga beberapa yang tergabung dalam buku Antologi puisi bersama seperti, " Duka Gaza Duka Kita " (Antologi Puisi 99 Penyair Indonesia, Empati untuk Palestina ), " Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia " ( Himpunan Masyarakat Gemar Membaca ), " Metamorfosis " ( Dapur Sastra Jakarta ), Hujan Kampoeng Jerami " dan " Titik Temu " ( Komunitas Kampoeng Jerami ), " Jurnal Puisi " ( Sembilan Mutiara Publishing ).
16.
Eddy Pramduane
Batang Terendam
Aku dilahirkan lewat lorong gelap
milik perempuan
jenis kelaminku laki-laki
ketika remaja kelaminku dapat tegak
Seperti batang pisang
seperti peluru kendali
tentu setelah aku dikhitan.
di sekeliling batang mulai tumbuh rumput liar
sebagai tanda aku Sudah akil balik
bulu di bawah hidung: kumis
bulu di dagu : Jenggot
bulu di bawah pusar : Jem..
ketika aku sudah menikah
sebagai lelaki aku Pejantan
yang bisa mengairi sawah
bercocok tanam
agar dapat menafkahi keluarga.
ketika melaksanakan Sunah Rasul
maka aku harus merendamkan
batang agar terendam
pada petak sawah milik
Istri ku yang sah!
dan dapat menjadi benih
menjadi batang-batang yang tunas
juga petak-petak sawah yang bernas.
Depok, 26 maret 2017.
Eddy Pramduane,lahir dan
besar di Kebayoran baru jakarta Selatan. Mesasuki SD blok D 1 Kramat Pela, SMP N 29 , Tahun 1981
maauk SMA N 6 Bulungan Jakarta, Menikah tahun 1987 . Karyanya Kumpulan Puisi
Tunggal " Menyunting Waktu ( Q Publisher, 2014 ), serta mengikuti berbagai
antologi bersama nasional Antology bersama " Memo untuk Presiden "(
forum Sastra Surakarta 2015 ), Bebas Melata ( Penyunting Rohani Din,Aksara kata
), Memo untuk Wakil Rakyat ( forum Sastra Surakarta ,2015 ), Kumpulan Pantun
" Senandung Tanah Merah ( Kosa kata kita,2016 ), Kartini ( Jobawi ,2016),
Memo Anti Terorisme( forum Sastra Surakarta, 2016), " Yogja dalam Nafasku
( Balai bahasa DIY Yogjakarta,2016 ), Antologi Hari Puisi Indonesia
" Matahari Cinta Samudera kata( Yayasan hari Puisi & Yayasan Sagang
2016), Antologi " Mencari Mimpi" 2 bahasa Indonesia Rusia (
Prof.Victor Pogadaev, HW Project 2016 ).
-Peserta Ramah tamah Penyair ,30-31 Januari 2016 di Singapura. -
Pemerhati acara " Expresi Puisi Dunia" n Uber di Kuala Lumpur
Malaysia, Maret 2016. - Peserta "Ziarah karyawan mengenang Usman Awang
" Lumut Perak Malaysia, 15 - 18 July 2016.
- Peserta " Seminar Intetnasional Sastra" Antar Bangsa
Malaysia - Indonesia di UGM Yogjakarta, 14 - 18 September 2016. Kini menetap di
Kota Depok.
17.
Eko
Saputra Poceratu
Bibir
Merahmu
sekian kali aku meleburkan
diri di sekat bibirmu,
kubawa serta kepahitan
Bahkan rasa yang begitu manis
telah ku berikan hingga tumbuh
luka-luka rindu
tetapi aku suka, merahmu itu
purnamaku,
ia menyelamatkanku dari kebutaan
nafsu
Juga sentuhan-sentuhan bibirmu
selalu terasa nikmat
Nikmat yang paling dalam itu,
masih kurasa
aku dan hari-hari yang hitam
tak pernah bisa berjalan lebih
jauh dari belahan pandangmu
Buah dadamu selalu memanggilku
pulang
pada rimba-rimba yang
mengurungku dalam asmara
Karena bibir sepertimu yang
indah begitu
akan tumbuh tunas-tunas cinta
ya, engkaulah sore,
tempat paling dekat bagiku
menoleh dan merengek:
kuserahkan keresahan-keresahan
Dan jika hari kembali malam
bau merah bibirmu semakin
sedap seumpama bunga sedap malam yang sedang mekar
aku tertidur dalam keharuman
yang saban waktu menyerbak
Ambon, 13 Maret 2017
Eko Saputra Poceratu
Buka Bajumu
Buka bajumu,
tunjukkan padaku lautan biru dengan ombak-ombak liar itu
Karena nelayan macam aku ‘kan terus melaju
bergelora meski gelombang yang kau beri ingin membunuhku
tunjukkan padaku lautan biru dengan ombak-ombak liar itu
Karena nelayan macam aku ‘kan terus melaju
bergelora meski gelombang yang kau beri ingin membunuhku
Buka bajumu, tunjukkan padaku lembah yang berbunga
beserta sarang-sarang burung, yang sudah jadi satu perkotaan
Maka aku akan terus tidur pada kota yang begitu mekar
Lalu kusirami bunga dengan air yang mengalir dari kolam-kolam kesepian
beserta sarang-sarang burung, yang sudah jadi satu perkotaan
Maka aku akan terus tidur pada kota yang begitu mekar
Lalu kusirami bunga dengan air yang mengalir dari kolam-kolam kesepian
Air jatuh, di atas batu-batu, runtuhlah lutut,
bagaikan pohon roboh usai bertarung
Daun-daun kembali hijau, kurasai tubuh seumpama madu: lekas-lekas aku menelannya
manis, sungguh manis hingga menawarkan candu
bagaikan pohon roboh usai bertarung
Daun-daun kembali hijau, kurasai tubuh seumpama madu: lekas-lekas aku menelannya
manis, sungguh manis hingga menawarkan candu
Buka celanamu, tunjukkan padaku hutan itu
yang bisa kumasuki tanpa senapan dan peluru
supaya kita bisa berkebun
saling menggali dan menanam benih unggul
yang bisa kumasuki tanpa senapan dan peluru
supaya kita bisa berkebun
saling menggali dan menanam benih unggul
Bila benih yang kau harapkan,
maka mencintaimu tak hanya sebatas ranjang
aku mesti melebihi ketetapan
menyeberangi jalan-jalan yang panjang
maka mencintaimu tak hanya sebatas ranjang
aku mesti melebihi ketetapan
menyeberangi jalan-jalan yang panjang
Ambon, 20 Maret 2017
Eko Saputra Poceratu, penyair kelahiran Ambon tinggal
di Ambon