34.
Osratus
Istriku Minta di Atas, Aku Protes dengan Gemas
“Di
bawah, tidak enak? Bapak sudah terlanjur basah
Bapak janji. Besok, Ibu di atas
Bahagia rasanya, punya istri pandai manjakan suami
Lo, dari tadi Ibu belum lepas sandal?
Tidak mau, ya sudah. Nanti, juga lepas sendiri
Ini, Ibu pegang. Benamkan di bibir pintu
Ibu, buka pintu. Bapak, mendorong
Ibu mau ikut mendorong?
Bu! Ibu! Aduh, Ibu. Tidak dengar, Bu?
Apa, Bapak bilang? Basah, ‘kan Bu?
Jangan pegang kaki Babak terus, Bu
Bapak turun sebentar. Nanti, naik lagi
Di bawah Ibu, basah. Bapak lap, ya Bu?
La, tambah basah semua?
Pindah ke sebelah, Bu
Awas, terlepas. Pindahnya pelan-pelan
Ayo pindah sama-sama: satu, dua, tiga
Nah, di sini kering. Kalau kompak, tidak terlepas
Mau keluarkan lagi, Bu? Sabar, Bu.
Kita keluarkan sama-sama. Dengar atau tidak, Bu?
Bapak duduk saja, Bu?
Aduh… Aduh, Bu. Bapak keluar, Bu!
Ibu, sudah keluar? Sudah?
O, iya. Ibu sudah keluar
Tiang, telah berdiri. Rangka atap sudah jadi
Satu seng terpasang, hujan turun deras sekali
Jangan paksa diri. Ibu basah-kuyup.
Ini, Babak juga
Seng yang belum terpasang,
Sudah kita titip di rumah tetangga
Besok giliran Ibu pasang seng,‘kan?”
Sausapor,
11 Januari 2017
Osratus adalah
nama pena, dari Sutarso nama
sebenarnya. Lahir di Purbalingga (Jawa Tengah), 8 Maret 1965. Pindah ke Sorong
(Papua Barat), Tahun 1981. Pendidikan S1, Jurusan Administrasi Negara.
Menulis puisi sejak tahun 1981. Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia di
STKIP Muhammadiyah Sorong (2006 – 2010). Buku Puisi antara lain: Lumbung Puisi
Sastrawan Indonesia Jilid III (antologi bersama tahun 2015). Surau Kampung
Gelatik (antologi bersama tahun 2015). Memo untuk Wakil Rakyat (antologi
bersama tahun 2015). Kitab Karmina Indonesia (antologi bersama tahun 2015).
Membaca Merah Putih (antologi bersama tahun 2015) Bunga Putra Bangsa (antologi
puisi tahun 2015). Sakarepmu (antologi puisi tahun 2015). Pelangi Nusantara
(antologi puisi tahun 2015). Pemantik Mimpi, Bahagia Bersamamu, Melawan
Kabut Asap, Kerinduan Hujan (Antologi bersama Negeri Kertas tahun 2015).
Menyimpul Kasih (antologi bersama tahun 2015). Senandung Tanah Merah (antologi
bersama tahun 2015) Berdialog dengan Bulan (antologi bersama Negeri
Kertas tahun 2016). Puisi Kampungan (antologi bersama tahun 2016). Palagan
Sastra (antologi bersama tahun 2016). Alamat : Jl. Basuki Rahmat
Km. 7, Kompleks Kantor Transmigrasi lama, Remu Selatan, Sorong, Papua Barat.
35.
Rachmad
Basuni
Petani Padi
sedari
pagi Aku gagahi hari,
tak
perdulikan betapa teriknya sang mentari,
Aku
punggungi ia seolah tak perduli,
meski
panasnya mulai mengebiri,
usiaku
memang sudah tua,
tubuhku
tak lagi kekar,
pandanganku
juga mulai samar,
meskipun
renta Aku masih bergairah muda,
pagi
itu,
Aku
berjanji mengerjai istri keduaku,
membuahinya
dengan bibit-bibit terbaikku,
memanjakannya
hingga bergantinya waktu,
segera
Aku tuntaskan semua hasratku,
walaupun
lemas tak menjadi soal,
keringat
nampak mengkilat dari tubuhku,
biarkan
saja memang Aku ini sedikit bebal,
sampai
nanti,
anak-anakku
tumbuh,
Aku
harus merawatnya dengan lapang hati,
kelak
anak-anakku berjumbuh,
bakatku
hanya melantunkan tembang,
mengucap
puja dan syukur kepada sang hyang,
ku
harap kau (anak-anakku) tak merajuk,
sedikit
banyak yang ku beri agar kau (anak-anakku) merunduk,
memang,
bapakmu
ini cuma seorang petani,
ibumu
itu bumi pertiwi,
meskipun
hanya sepetak kecil,
akan
kurawat kalian berdua hingga akhir,
demi
masa depan keluargaku,
kelak...
.
Plesungan,
12 Januari 2017
Rachmad
Basuni
Aku
Gundikmu
Dalam bilik
sepi Aku merenung,
tepat di
depanku sebuah meja rias terpampang,
dengan aneka
rupa bedak dan gincu,
juga maskara
yang mengharuskanku bersolek rindu,
padahal Aku
tak ingin melakukannya,
Aku sudah
lelah bersembunyi,
pada topeng
rias ini Aku menangis,
bibirku
nampak merekah,
walaupun Aku
sedang murung,
Aku
dipaksanya tersenyum,
tok ! tok !
suara pintu
diketuk,
membuyarkan
lamunanku,
seorang
berwajah Barat nampak tak asing,
di depanku Ia berdiri,
Ia hanya
berkata dengan sedikit tegas,
"bolehkah
Aku masuk ?"
Aku
tak sempat merapikan diri,
hanya sehelai jarik menutup
tubuhku,
dari dada
hingga atas lutut,
Aku gugup
sementara Aku tertegun melihatnya,
lirih Aku
berkata,
"masuklah"
tiada kursi
yang dapat Aku persilahkan,
untuk Ia
duduk dan menceritakan maksud kedatangannya,
tiada
hidangan yang bisa Aku sajikan,
kecuali hanya
air putih dari kendi yang kapanpun bisa pecah,
"maaf",
kataku,
untuk
mengungkapkan kegelisahanku,
Ia berjalan
mendekat,
sepersekian
senti dadanya berada di depan mukaku,
tangannya
bergerak,
memegang
pundakku,
Aku
dipaksanya mendongak memandanginya,
supaya
Ia bisa menunduk melihat wajahku,
beberapa
detik kita saling beradu pandang,
tak
lama bibirnya mengisyaratkan kata,
membentuk
kalimat,
permintaan
maafnya,
"Aku
hanya pegawai rendahan,
dari
sebuah rezim Hindia Belanda,
bagi
kaumku,
Kau
hanya kesenangan,
bagiku,
Kau adalah istriku"
"maafkan
Aku,
Aku
dipulangkan ke Negeriku,
Belanda,
Aku tak bisa
membawamu serta,
karena Kau
hanyalah gundik ku,
kini Aku
kembali",
mataku
tergenang,
tangisku
hampir pecah,
dalam hatiku,
"kata mu
Aku adalah istrimu,
tapi Aku
hanya gundik mu,"
Plesungan, 6 maret 2017
Rachmad
Basuni merupakan
penulis puisi amatir yang lahir di Solo pada tanggal 5 November 1992. @basvnisan
atau Celotehkayu_ merupakan nama pena yang diguratkannya sebagai penanda yang
memulai menulis melalui pemanfaatan media sosial, dan juga sempat diberikan
tempat menulis pada Lumbung Padi Jilid II dan IV. Ia sedang dalam proyek
pribadi, Proyek Menulis Cinta “Surat Untuk Istriku
Kelak”, yang sudah dimulai namun belum sempat diakhiri karena memang
masih ingin sendiri.
36.
Riswo Mulyadi,
Tinta Tumpah
tinta
ditimpa hujan
menulis
kata tak beraturan
membuncah
seperti banjir
di
kepala
entah
ke mana muara
mengalir
tanpa alur
:
"adakah tetes yang singgah di dadamu
menjelma
serupa rindu?"
kau
hanya menggigil
kulit
membiru
napas
memburu getar
seperti
dawai kegelisahan
dipetik
jari waktu
:
"apakah tubuhmu berkeringat hujan?"
tubuh
berlumur tinta
tak
beraturan
seperti
puisi yang gagal
Hujan,13
Januari 2017
RISWO
MULYADI, lahir
di Banyumas tahun 1968, aktif menulis puisi dan geguritan bahasa banyumasan.
Beberapa Geguritannya pernah dimuat di Majalah Ancas dan antologi Geguritan
Banyumasan “Inyong Sapa Rika Sapa” (2016). Puisinya juga tergabung dalam
sejumlah antologi : Mendaras Cahaya (2014), Jalan Terjal Berliku Menuju-Mu
(2014), Nayanyian Kafilah (2014), Memo untuk Presiden (2014), Metamorfosis
(2014), 1000 HAIKU Indonesia (2015), Surau Kampung Gelatik (2015), Puisi
Sakkarepmu (2015), Palagan Sastra (2016), Lumbung Puisi Jilid IV Penyair
Indonesia (2016), Memo Anti Kekerasan Terhadap Anak (2016), Negeri Awan (2017).
Penyair ini juga Kini aktif sebagai pendidik dan tinggal di Desa Cihonje
Kecamatan Gumelar, Banyumas, Jawa Tengah.
37.
Salimi Ahmad
Permainan Lidah
Permainan lidahmu sudah seperti belitan
ular sanca. Menari-nari di antara rongga mulut. Mengacaukan pikiranku. Laksana
telah membawaku ikut berlari. Dan aku merasa lelah, menerobos tempat yang tak
pernah kukenali. Tak pernah kusinggahi. Tapi kutahu betul, apa arti perayaan,
yang berakhir di tengah malam.
Kau lumat pikiranku dengan lidah dan
mulutmu.
Sekujur tubuhku kau siram dengan wewangian
yang kau pungut entah dari buku apa, siapa penulisnya. Kau kutip wejangan
bijak, seraya sambil berbisik mesra dengan satu desahan yang teramat muskil
untuk kutolak. Tapi ketika kau sebut namanya, tak pernah kukenali dia pernah
hidup di mana.
Sesungguhnya aku tak bisa diam. Terlebih
untuk waktu yang cukup lama.
Tapi hari itu, aku enggan mengikuti
permainanmu, meski pun aku telah menggoyang-goyangkan isi otakku. Aku lebih
suka memandangi lampu temaram.
Sebuah siluet hitam tiba-tiba menyergapku
di ujung pangkal lampu itu. Bayangan itu membuat kedutan yang tak bisa kutahan
di punggungku. Seolah datang dari campuran rasa ngilu, sesak napas, dan geli
yang kandas.
Cepat saja ujung jari telunjukku
menekannya. Masih sampai, di sela bongkol, dari lipatan tulang lengan.
Kutekan-tekan sambil menarik napas. Tapi
permainan lidahmu tak juga berhenti, membuatku basah.
Aku mengangkat lenganku ke atas. Seperti
orang menyerah. Tapi bukan kepadamu.
Sesungguhnya aku ingin merentakkan
tulang-tulang di punggungku. Agar lebih terlihat rileks.
Beberapa tulang persendian di punggungku
terdengar berkeretek. Lalu kutarik, ah mungkin lebih tepat bila kukatakan
mendorongnya ke belakang. Selayaknya orang yang sedang membusungkan dada.
Beberapa kali terdengar bunyi keretekan lagi. Duh. Terasa lebih nyaman
sekarang. Kugerak-gerakkan leherku. Memijatnya di titik tertentu, lalu
merebahkan punggung badanku, bersandar.
Aku memandangmu.
Permainan lidah dan mulutmu kembali
seperti belitan ular sanca. Kau lumat segala yang ada di depanmu. Aku terpana.
Tiba-tiba kau menangis. Sesegukan disertai sedih yang sangat.
“Aku telah kehilangan harga diriku. Sebab,
apa yang kuucap dengan lidah dan mulutku, tak pernah benar-benar kukerjakan
sebagaimana kuminta kau mengerjakannya.”
Salimi Ahmad, lahir di
jakarta, 22 mei 1956, adalah seorang penyair yang namanya tak asing lagi di
dunia seni lukis Indonesia . Pelukis ini adalah juga seorang penyair yang
diperhitungkan secara nasional. Baginya menulis puisi adalah keseimbangan
profesinya, namun ia dapat memetik sekaligus predikat pelukis dan penyair yang
berhasil. Menurutnya ia tak pernah
benar-benar bisa melepaskan diri dari menulis puisi, sebab karena menurutnya
dengan menulis puisi ia dapat menyeimbangkan rasa gelisah dalam hati dan
pikirannya. Demikian ketika berbincang dengan ayokesekolah.com di acara Tifa
Nusantara 27-29 Agustus 2015 di Cikupa Tangerang. Salimi Ahmad meniti pendidikan mulai SD dan SMP diselesaikan di Jakarta. Dia
pernah masuk sekolah seni rupa indonesia (SSRI) di Yogya pada tahun 1973. hanya
kurang dari 1 tahun dia pindah kejakarta lagi untuk melanjutkan pendidikannya.
ia menyelesaikan SMA pada tahun 1976. Latar sebagai pelukis dan sekaligus
penyair didapat dari ketika tinggal di
Yogyakarta, Bergabung di persada studi klub (PSK) dibawah asuhan Umbu
Landu Paranggi, teater asuhan Niki Kosasih. Kemudian di Jakarta, ia mendirikan Bengkel pelukis
Jakarta bersama Mas Sulebar Sukarman,
dan kerap mengikuti berbagai kegiatan pameran lukisan bersama.