Sabtu, 22 April 2017

Puisi-puisi Lumbung Puisi Jilid V , 44-47



34.
Osratus

Istriku Minta di Atas, Aku Protes dengan Gemas

“Di bawah, tidak enak? Bapak sudah terlanjur basah
  Bapak janji. Besok, Ibu di atas
  Bahagia rasanya, punya istri pandai manjakan suami
  Lo, dari tadi Ibu belum lepas sandal?
  Tidak mau, ya sudah. Nanti, juga lepas sendiri
  Ini, Ibu pegang. Benamkan di bibir pintu
  Ibu, buka pintu. Bapak, mendorong
  Ibu mau ikut mendorong?
  Bu! Ibu! Aduh, Ibu. Tidak dengar, Bu?
  Apa, Bapak bilang? Basah, ‘kan Bu?
  Jangan pegang kaki Babak terus,  Bu
  Bapak turun sebentar. Nanti, naik lagi
  Di bawah Ibu, basah. Bapak lap, ya Bu?
  La, tambah basah semua?  
  Pindah ke sebelah, Bu
  Awas,  terlepas. Pindahnya pelan-pelan
  Ayo pindah sama-sama: satu, dua, tiga
  Nah, di sini kering. Kalau kompak, tidak terlepas
  Mau keluarkan lagi, Bu? Sabar, Bu.
  Kita keluarkan sama-sama. Dengar atau tidak, Bu?
  Bapak duduk saja, Bu?
  Aduh… Aduh, Bu. Bapak keluar, Bu!
  Ibu, sudah keluar? Sudah?
  O, iya. Ibu sudah keluar
  Tiang, telah berdiri. Rangka atap sudah jadi
  Satu seng terpasang, hujan turun deras sekali
  Jangan paksa diri. Ibu basah-kuyup.
  Ini, Babak juga
  Seng yang belum terpasang,
  Sudah kita titip di rumah tetangga
  Besok giliran Ibu pasang seng,‘kan?”
Sausapor, 11 Januari 2017 




Osratus adalah nama pena, dari Sutarso nama sebenarnya. Lahir di Purbalingga (Jawa Tengah), 8 Maret 1965. Pindah ke Sorong (Papua Barat), Tahun 1981. Pendidikan S1,  Jurusan Administrasi Negara. Menulis puisi sejak tahun 1981. Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia di  STKIP Muhammadiyah Sorong (2006 – 2010). Buku Puisi antara lain: Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia Jilid III (antologi bersama tahun 2015). Surau Kampung Gelatik (antologi bersama tahun 2015). Memo untuk Wakil Rakyat (antologi bersama tahun 2015). Kitab Karmina Indonesia (antologi bersama tahun 2015). Membaca Merah Putih (antologi bersama tahun 2015) Bunga Putra Bangsa (antologi puisi tahun 2015). Sakarepmu (antologi puisi tahun 2015). Pelangi Nusantara (antologi puisi tahun 2015). Pemantik Mimpi, Bahagia Bersamamu,  Melawan Kabut Asap, Kerinduan Hujan (Antologi bersama Negeri Kertas tahun 2015). Menyimpul Kasih (antologi bersama tahun 2015). Senandung Tanah Merah (antologi bersama tahun 2015)  Berdialog dengan Bulan (antologi bersama Negeri Kertas tahun 2016). Puisi Kampungan (antologi bersama tahun 2016). Palagan Sastra (antologi bersama tahun 2016).   Alamat : Jl. Basuki Rahmat Km. 7, Kompleks Kantor Transmigrasi lama, Remu Selatan, Sorong, Papua Barat.
35.
Rachmad Basuni 
Petani Padi

sedari pagi Aku gagahi hari,
tak perdulikan betapa teriknya sang mentari,
Aku punggungi ia seolah tak perduli,
meski panasnya mulai mengebiri,

usiaku memang sudah tua,
tubuhku tak lagi kekar,
pandanganku juga mulai samar,
meskipun renta Aku masih bergairah muda,
pagi itu,
Aku berjanji mengerjai istri keduaku,
membuahinya dengan bibit-bibit terbaikku,
memanjakannya hingga bergantinya waktu,

segera Aku tuntaskan semua hasratku,
walaupun lemas tak menjadi soal,
keringat nampak mengkilat dari tubuhku,
biarkan saja memang Aku ini sedikit bebal,

sampai nanti,
anak-anakku tumbuh,
Aku harus merawatnya dengan lapang hati,
kelak anak-anakku berjumbuh,

bakatku hanya melantunkan tembang,
mengucap puja dan syukur kepada sang hyang,
ku harap kau (anak-anakku) tak merajuk,
sedikit banyak yang ku beri agar kau (anak-anakku) merunduk,

memang,
bapakmu ini cuma seorang petani,
ibumu itu bumi pertiwi,
meskipun hanya sepetak kecil,
akan kurawat kalian berdua hingga akhir,
demi masa depan keluargaku,
kelak... .

Plesungan, 12 Januari 2017












Rachmad Basuni 
Aku Gundikmu
Dalam bilik sepi Aku merenung,
tepat di depanku sebuah meja rias terpampang,
dengan aneka rupa bedak dan gincu,
juga maskara yang mengharuskanku bersolek rindu,
padahal Aku tak ingin melakukannya,
Aku sudah lelah bersembunyi,
pada topeng rias ini Aku menangis,
bibirku nampak merekah,
walaupun Aku sedang murung,
Aku dipaksanya tersenyum,

tok ! tok !
suara pintu diketuk,
membuyarkan lamunanku,
seorang berwajah Barat nampak tak asing,
di depanku Ia berdiri,
Ia hanya berkata dengan sedikit tegas,
"bolehkah Aku masuk ?"

Aku tak sempat merapikan diri,
hanya sehelai jarik menutup tubuhku,
dari dada hingga atas lutut,
Aku gugup sementara Aku tertegun melihatnya,
lirih Aku berkata,
"masuklah"

tiada kursi yang dapat Aku persilahkan,
untuk Ia duduk dan menceritakan maksud kedatangannya,
tiada hidangan yang bisa Aku sajikan,
kecuali hanya air putih dari kendi yang kapanpun bisa pecah,
"maaf", kataku,
untuk mengungkapkan kegelisahanku,
Ia berjalan mendekat,
sepersekian senti dadanya berada di depan mukaku,
tangannya bergerak,
memegang pundakku,

Aku dipaksanya mendongak memandanginya,
supaya Ia bisa menunduk melihat wajahku,
beberapa detik kita saling beradu pandang,
tak lama bibirnya mengisyaratkan kata,
membentuk kalimat,
permintaan maafnya,
"Aku hanya pegawai rendahan,
dari sebuah rezim Hindia Belanda,
bagi kaumku,
Kau hanya kesenangan,
bagiku,
Kau adalah istriku"
"maafkan Aku,
Aku dipulangkan ke Negeriku,
Belanda,
Aku tak bisa membawamu serta,
karena Kau hanyalah gundik ku,
kini Aku kembali",

mataku tergenang,
tangisku hampir pecah,
dalam hatiku,
"kata mu Aku adalah istrimu,
tapi Aku hanya gundik mu,"
Plesungan, 6 maret 2017

Rachmad Basuni merupakan penulis puisi amatir yang lahir di Solo pada tanggal 5 November 1992. @basvnisan atau Celotehkayu_ merupakan nama pena yang diguratkannya sebagai penanda yang memulai menulis melalui pemanfaatan media sosial, dan juga sempat diberikan tempat menulis pada Lumbung Padi Jilid II dan IV. Ia sedang dalam proyek pribadi, Proyek Menulis Cinta “Surat Untuk Istriku Kelak”, yang sudah dimulai namun belum sempat diakhiri karena memang masih ingin sendiri.















36.
Riswo Mulyadi,

Tinta Tumpah

tinta ditimpa hujan
menulis kata tak beraturan
membuncah seperti banjir
di kepala
entah ke mana muara
mengalir tanpa alur
: "adakah tetes yang singgah di dadamu
menjelma serupa rindu?"
kau hanya menggigil
kulit membiru
napas memburu getar
seperti dawai kegelisahan
dipetik jari waktu
: "apakah tubuhmu berkeringat hujan?"
tubuh berlumur tinta
tak beraturan
seperti puisi yang gagal
Hujan,13 Januari 2017







RISWO MULYADI, lahir di Banyumas tahun 1968, aktif menulis puisi dan geguritan bahasa banyumasan. Beberapa Geguritannya pernah dimuat di Majalah Ancas dan antologi Geguritan Banyumasan “Inyong Sapa Rika Sapa” (2016). Puisinya juga tergabung dalam sejumlah antologi : Mendaras Cahaya (2014), Jalan Terjal Berliku Menuju-Mu (2014), Nayanyian Kafilah (2014), Memo untuk Presiden (2014), Metamorfosis (2014), 1000 HAIKU Indonesia (2015), Surau Kampung Gelatik (2015), Puisi Sakkarepmu (2015), Palagan Sastra (2016), Lumbung Puisi Jilid IV Penyair Indonesia (2016), Memo Anti Kekerasan Terhadap Anak (2016), Negeri Awan (2017). Penyair ini juga Kini aktif sebagai pendidik dan tinggal di Desa Cihonje Kecamatan Gumelar, Banyumas, Jawa Tengah.


















37.
Salimi Ahmad

Permainan Lidah

Permainan lidahmu sudah seperti belitan ular sanca. Menari-nari di antara rongga mulut. Mengacaukan pikiranku. Laksana telah membawaku ikut berlari. Dan aku merasa lelah, menerobos tempat yang tak pernah kukenali. Tak pernah kusinggahi. Tapi kutahu betul, apa arti perayaan, yang berakhir di tengah malam.

Kau lumat pikiranku dengan lidah dan mulutmu.

Sekujur tubuhku kau siram dengan wewangian yang kau pungut entah dari buku apa, siapa penulisnya. Kau kutip wejangan bijak, seraya sambil berbisik mesra dengan satu desahan yang teramat muskil untuk kutolak. Tapi ketika kau sebut namanya, tak pernah kukenali dia pernah hidup di mana.

Sesungguhnya aku tak bisa diam. Terlebih untuk waktu yang cukup lama.

Tapi hari itu, aku enggan mengikuti permainanmu, meski pun aku telah menggoyang-goyangkan isi otakku. Aku lebih suka memandangi lampu temaram.

Sebuah siluet hitam tiba-tiba menyergapku di ujung pangkal lampu itu. Bayangan itu membuat kedutan yang tak bisa kutahan di punggungku. Seolah datang dari campuran rasa ngilu, sesak napas, dan geli yang kandas.

Cepat saja ujung jari telunjukku menekannya. Masih sampai, di sela bongkol, dari lipatan tulang lengan.

Kutekan-tekan sambil menarik napas. Tapi permainan lidahmu tak juga berhenti, membuatku basah.

Aku mengangkat lenganku ke atas. Seperti orang menyerah. Tapi bukan kepadamu.

Sesungguhnya aku ingin merentakkan tulang-tulang di punggungku. Agar lebih terlihat rileks.

Beberapa tulang persendian di punggungku terdengar berkeretek. Lalu kutarik, ah mungkin lebih tepat bila kukatakan mendorongnya ke belakang. Selayaknya orang yang sedang membusungkan dada. Beberapa kali terdengar bunyi keretekan lagi. Duh. Terasa lebih nyaman sekarang. Kugerak-gerakkan leherku. Memijatnya di titik tertentu, lalu merebahkan punggung badanku, bersandar.

Aku memandangmu.

Permainan lidah dan mulutmu kembali seperti belitan ular sanca. Kau lumat segala yang ada di depanmu. Aku terpana. Tiba-tiba kau menangis. Sesegukan disertai sedih yang sangat.

“Aku telah kehilangan harga diriku. Sebab, apa yang kuucap dengan lidah dan mulutku, tak pernah benar-benar kukerjakan sebagaimana kuminta kau mengerjakannya.”


Salimi Ahmad, lahir di jakarta, 22 mei 1956, adalah seorang penyair yang namanya tak asing lagi di dunia seni lukis Indonesia . Pelukis ini adalah juga seorang penyair yang diperhitungkan secara nasional. Baginya menulis puisi adalah keseimbangan profesinya, namun ia dapat memetik sekaligus predikat pelukis dan penyair yang berhasil. Menurutnya ia  tak pernah benar-benar bisa melepaskan diri dari menulis puisi, sebab karena menurutnya dengan menulis puisi ia dapat menyeimbangkan rasa gelisah dalam hati dan pikirannya. Demikian ketika berbincang dengan ayokesekolah.com di acara Tifa Nusantara 27-29 Agustus 2015 di Cikupa Tangerang.  Salimi Ahmad meniti pendidikan mulai  SD dan SMP diselesaikan di Jakarta. Dia pernah masuk sekolah seni rupa indonesia (SSRI) di Yogya pada tahun 1973. hanya kurang dari 1 tahun dia pindah kejakarta lagi untuk melanjutkan pendidikannya. ia menyelesaikan SMA pada tahun 1976. Latar sebagai pelukis dan sekaligus penyair didapat dari ketika tinggal di  Yogyakarta, Bergabung di persada studi klub (PSK) dibawah asuhan Umbu Landu Paranggi, teater asuhan Niki Kosasih. Kemudian di  Jakarta, ia mendirikan Bengkel pelukis Jakarta bersama  Mas Sulebar Sukarman, dan kerap mengikuti berbagai kegiatan pameran lukisan bersama.