22.
Marthen Luther Reasoa
Perawan yang Bercinta
Aku
temui kau di kaki bukit 
kubawa
pinang dua, untuk kita gigit 
lidah
perlu mengunyah kepahitan-kepahitan 
untuk
dinikmati berdua
Hari
masih terlalu pagi 
Pàhit
belum juga kurasai 
bahkan
nikmat yang kau beri 
belum
sempat kumiliki
Embun
dan rambutmu kulihat basah 
di
dalam aliran sungai yang bercabang-cabang 
mereka
membangun jalan-jalan rahasia 
untuk
menemui kita berdua
Sementara
bibirku yang nakal masih tetap kering dijemur keraguan 
angin
datang tapi tidak singgah 
aku
letakkan keningku di muka dagumu yang lancip 
membiarkan
ciuman terjadi dengan magis
Lalu
kutelan ludah pelan-pelan 
Nikmat
ini masih terasa 
Sebab
ciuman hanya menyisahkan bekas yang panas ketika senja terlentang 
dan
membiarkan dirinya kutiduri
kita
berlayar, melepas temali sadar 
jauh
dari dermaga yang gila 
kepada
keindahan getar 
di
antara pusar-pusar yang asyik melingkar
di
atas gelombang kita masih bimbang 
memikir
perasaan yang hilang 
barangkali
itu tentang kecemasan 
yang
telah kita tambatkan
Ambon, 21
Maret 2017
Marthen Luther Reasoa
Malam dan Kasur
Malam
yang kau bawa begitu gelap 
sementara
aku dan kehangatan masih terbaring pada kasur 
Kurebahkan
luka yang sudah lama melelahkan 
Supaya
kepalaku ringan memikul ingatan yang kabur
Gelisah
yang menyeringai, menekan suhu dan emosi 
Sehingga
aku abaikan pelukan yang hangat 
Aku
dapati dirimu dalam bekas-bekas malam sepi 
lalu
hujan datang sembari kita berbaring menahan pelukan
sudah
lama kita bermandikan rindu, 
namun
kita belum bersih dari bekas ciuman dan keringat hasrat 
kita
bercinta melulu 
seperti
doa anak sekolah sebelum mengunyah serat
Sudah
lama kita menelan senyum pahit, 
namun
bunga-bunga yang begitu manis tetap mekar di atas ranjang 
Padanya
aku sesali 
setiap
kecupan yang sudah tumbuh tunas
Marthen Luther Reasoa
Seranjang dengan Angin
Kau
bilang malam adalah kesunyian yang mestinya ditiduri
Sementara
perempuan macam aku hanya bersembunyi dalam nikmat-nikmat sesaat
Kau
bilang kesunyian mesti diciumi berkali-kali namun kau kencingi alkohol di atas
kepala
sementara
perempuan macam aku hanyalah sehelai rambut rontok di atas tanah tandus kota
ini  
Aku
adalah perempuan yang kau tiduri berkali-kali
Pada
tubuhku kau ukir luka-luka asmara
di
atas ranjang yang liar,
aku
tidak berhasil menjinakkan apa-apa selain hasrat
Bahkan
desahan-desahan harus kuberi agar malam tak lagi jadi mimpi
sebab
desahan-desahan telah melegakan kegelisahan-kegelisahan yang menggigit
Perempuan
macam aku harusnya kau nikmati dengan penuh rasa
sebab
kau pun sama: merobek tubuhku sekarang lalu menjahit hatiku kemudian 
Dan
pada bibirku kau hanya beri nafsu yang begitu sedap
kurasai,
seumpama petani kehausan setelah membangun perkebunan 
embun
pun jatuh di atas daun-daun yang masih basah
sebelum
pagi tiba, aku sudah bermandikan gelora
Bahkan
harum bunga yang kau siram semalam masih menyengat di teras rumahku
Angin
turut menyusup ke semua dinding dan selimut
lalu
menyebarkan dingin yang meracuni pikiran
Aku
kembali mengingat nikmat itu di setiap tatapan yang kau renggut dari istrimu
ada
sedikit harapan lalu buat aku jatuh telanjang
timur
di dada, barat di pusar, aku di lutut yang cuma tulang
menyisakan
ruang kesenyapan
kau
titipkan separuh bayangan
aku
ikut kau ke jalan panjang
seranjang
dengan angin: tenang lalu hilang
Ambon, 16 Maret 2017
Marthen Luther Reasoa,  lahir di  Saparua, 31 Oktober 1988 , memasuki Pendidikan
 S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia ,  tinggal di  Kecamatan Sirimau, Kota Ambon . Aktif dalam
Bengkel Sastra Maluku.
23.
Mohamad Amrin (Amrin Moha)
Malam
Laknat 
Mereka
membunuhnya sebelum tengah malam
Ia tak sempat
bermimpi duduk di atas kursi pelaminan
Ia menjerit
"tolong, jangan!" 
Dengan nada
dan muka ketakutan
Darah semakin
mendidih
Seluruh
tubuhnya kesakitan
Kaki
ditendang tangan dilipat
Punggung
dibacok dada diremas
Tanpa ampun
Malam dingin
suara disumpal kain 
Mata memerah
hujan dalam batin
"ibu,
aku tak mau mati muda"
Menyeka air
mata semakin membabi buta
Darah segar
menghitam bercampur tanah
Tubuh
terguling bulan tenggelam disiram air mani
Dan wajah
tertelan warna kelam
Malam
menggali kuburan gadis tak tahu dosa
Laknat!!
Cirebon, 12 oktober 2016
Mohamad Amrin (Amrin Moha)
Bapak
Rakus 
Bapak
menidurinya setiap hari
Istrinya
tunanetra usia empat puluh tahun
Merasa masih
perkasa
Tak peduli
sedang haid
Yang penting
nafsu hewani terbenam
Malam penuh
setan
Gerimis dan
bau amis
Bapak
diam-diam masuk kamar
Sorot matanya
seperti maling
Wajahnya
seperti anjing kelaparan
Bapak
menidurinya setiap hari
Padahal
anaknya masih dibawah umur
Kelas enam
sekolah dasar
Bapak terus
menidurinya setiap malam
Dan mimpi
anaknya terbenam 
Cirebon, 28 maret 2017
AMRIN MOHA  (Mohamad
Amrin) Lahir di Karangampel
Indramayu dan lulus dari Fakultas 
Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (FKIP) Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNWIR
Indramayu. Puisi-puisi dimuat di Harian Radar Cirebon (Jawa Pos Group).
Antologi Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia (2014), Antologi Pusi Penyair
Indonesia Bertema Margasatwa (2016), Antologi Moratorium Senja (2016), Antologi
Kolaborasi Karya (2016), Antologi Di Balik Tulisanku Aku Bercerita (2016),
Antologi Di Balik Jendela Demokrasi (2016), Antologi Satu Nusa Satu bangsa
(2016), Antologi Sajak Pujangga Negeri (2016), Antologi Negeri yang Terluka
(2016).  Tinggal di Desa Sampiran Kecamatan
Talun Kabupaten Cirebon dan menjadi jurnalis media elektronik.
24.
Mohamad Iskandar
Malam Pertama 
Senja mendekap gunung-gunung birahi yang
menguncup
Letupan di dalam, minta pelepasan ketika
hangat
Bukan dari wedang ronde
Atau wedang jahe.
Pada tubuh telentang
Tumbuh pepohonan buah. Ranum dan
menyegarkan, tersembunyi dalam semak-semak lebat
Rasa surga.
Oh
-semalam suntuk.
Buahbuah akan terpetik
Lalu dua tubuh membisu
Hanya derit dipan dan bisikan saling
bersekutu dalam rahasia
Tumbuh bunga api
Tumbuh segala nyeri
Dan
Terbakar!
Malam tercuri dari mimpi
Sidomulyo, 10 januari 2017
Mohamad iskandar
Lipatan
Dari malam yang tersungkur di dada
Geliat napsu tiba lebih awal dari nyaring
jangkrik dan burung kuk
Lantas di puncak dingin
Rasa kepingin mengapi di ubun-ubun.
Mengalir ke tiap lekuk lipatan
Harum ranjang dan putih kelambu
Suara napas melebihi desing peluru
Kita arungi samudera
Lantas mendaki gunung
Mengekalkan titah cinta dari sang Maha.
Dan
Kita petik bungabunga
Sambil menghitung pendar usia
Kita pengelana?
Mengecup bibir basah
Doadoa hambur
Lalu...
Pandean
23 februari 2017
 Mohamad Iskandar, Asli dari Demak. Senang menulis
puisi dan cerpen. Penyair ini sebelumnya  memakai nama pena Damar Anggara. 
25.
Muhammad   Daffa
Detak Waktu 
Kudengar detak waktu di dadamu pecah dan
melenting ke pekarangan tubuh
Ada yang ingin bertemu dan kau katakan
jangan
Sebab sekarang bukan waktu yang tepat
untuk melumbar perasaan
Sepasang mataku yang jaga
Ingin menyelam ke rahasia matamu lebih
lama
Tapi jarak telanjur membentang
Perasaan jadi korban pertama bagi rindu
tertanam sedalam ini.
2017
Muhammad   Daffa,  
Beranda Kupu-kupu
Pertemuan ini terjadi begitu saja di
beranda
Sambil menunggu secangkir kopi terhidang,
Kau kejar seekor kupu-kupu. Melulu terpaku
badannya
Ketika matamu tak sengaja menatap padanya
demikian lama.
Seekor kupu-kupu telah menggodamu dengan
rindu.
Kau meminum secangkir kopi yang baru
terhidang, berharap masih ada jalan terpilih
Untuk mencari seseorang di masa lalumu
yang hancur.
Hingga terbit pertanyaan, dari mulut yang
sangat ingin merayu
Di mana bisa kutemukan bagian dari adegan
masa lalumu yang telah usai?
2017
Muhammad   Daffa
Memandang Hujan
Hujan tanpa rasa bersalah turun ke likat
pipimu
Memandang lama ke dalam sepasang mata
Ia ingin tahu rahasia apa telah kau garap
ketika tengah pejam
Dalam tidur dinihari. Mungkin luka yang
mekar setelah masa lalu menetap
Pada kenangan berliku.
2017
Muhammad   Daffa,  Lahir   di  
Banjarbaru,   Kalimantan   Selatan,  
25   Februari   1999. Kegemarannya menulis sudah ada  sejak duduk di  bangku sekolah  dasar, tapi baru berani
menyebar   luaskan   karya  
sewaktu   duduk   di  
bangku   sekolah   menengah  
atas.   Sejumlah tulisannya   dipublikasikan   pada  
SKH  Media   Kalimantan, 
SKH   Radar   Banjarmasin,   SKH Banjarmasin   Post,  
SKH  Tribun   Bali,  
Buletin   Jejak  Bekasi,  
Sumatra   Ekspress,  Nusantara News,   Flores  
Sastra,   Tatkala.co.   Termaktub  
juga   dalam   banyak  
antologi   bersama:   Ije Jela(Tifa Nusantara 3), 1550 MDPL,
Menemukan Kekanak Di Tubuh Petuah, terpilih sebagai kontributor terbaik,
Meratus Hutan Hujan Tropis, Nyanyian Puisi Untuk Ane Matahari, 6,5
SR Gempa Aceh, dan beberapa prestasi kejuaraan sempat pula diraihnya. Pada
tahun 2016, terpilih sebagai juara 1 dalam lomba cipta puisi tingkat Kota
Banjarbaru.
Dan   juara   1  
di   tingkat   provinsi  
Kalimantan   Selatan.   Di  
tahun   yang   sama,  
mewakili Kalimantan Selatan mengikuti FLS2N di Manado, Sulawesi Utara.
Namun tidak mendapat juara. Memenangkan lomba penulisan kreatif Dapur Sastra
Jakarta yang membawanya dalam wisata sastra ke Ubud Writers And Readers
Festival di Bali, sebagai pengunjung.