Sabtu, 22 April 2017

Puisi-puisi Lumbung Puisi Jilid V , 22-25



22.
Marthen Luther Reasoa

Perawan yang Bercinta

Aku temui kau di kaki bukit
kubawa pinang dua, untuk kita gigit
lidah perlu mengunyah kepahitan-kepahitan
untuk dinikmati berdua

Hari masih terlalu pagi
Pàhit belum juga kurasai
bahkan nikmat yang kau beri
belum sempat kumiliki

Embun dan rambutmu kulihat basah
di dalam aliran sungai yang bercabang-cabang
mereka membangun jalan-jalan rahasia
untuk menemui kita berdua

Sementara bibirku yang nakal masih tetap kering dijemur keraguan
angin datang tapi tidak singgah
aku letakkan keningku di muka dagumu yang lancip
membiarkan ciuman terjadi dengan magis

Lalu kutelan ludah pelan-pelan
Nikmat ini masih terasa
Sebab ciuman hanya menyisahkan bekas yang panas ketika senja terlentang
dan membiarkan dirinya kutiduri

kita berlayar, melepas temali sadar
jauh dari dermaga yang gila
kepada keindahan getar
di antara pusar-pusar yang asyik melingkar

di atas gelombang kita masih bimbang
memikir perasaan yang hilang
barangkali itu tentang kecemasan
yang telah kita tambatkan

Ambon, 21 Maret 2017






















Marthen Luther Reasoa
Malam dan Kasur

Malam yang kau bawa begitu gelap
sementara aku dan kehangatan masih terbaring pada kasur
Kurebahkan luka yang sudah lama melelahkan
Supaya kepalaku ringan memikul ingatan yang kabur

Gelisah yang menyeringai, menekan suhu dan emosi
Sehingga aku abaikan pelukan yang hangat
Aku dapati dirimu dalam bekas-bekas malam sepi
lalu hujan datang sembari kita berbaring menahan pelukan

sudah lama kita bermandikan rindu,
namun kita belum bersih dari bekas ciuman dan keringat hasrat
kita bercinta melulu
seperti doa anak sekolah sebelum mengunyah serat

Sudah lama kita menelan senyum pahit,
namun bunga-bunga yang begitu manis tetap mekar di atas ranjang
Padanya aku sesali
setiap kecupan yang sudah tumbuh tunas


Marthen Luther Reasoa

Seranjang dengan Angin

Kau bilang malam adalah kesunyian yang mestinya ditiduri
Sementara perempuan macam aku hanya bersembunyi dalam nikmat-nikmat sesaat
Kau bilang kesunyian mesti diciumi berkali-kali namun kau kencingi alkohol di atas kepala
sementara perempuan macam aku hanyalah sehelai rambut rontok di atas tanah tandus kota ini 


Aku adalah perempuan yang kau tiduri berkali-kali
Pada tubuhku kau ukir luka-luka asmara
di atas ranjang yang liar,
aku tidak berhasil menjinakkan apa-apa selain hasrat
Bahkan desahan-desahan harus kuberi agar malam tak lagi jadi mimpi
sebab desahan-desahan telah melegakan kegelisahan-kegelisahan yang menggigit

Perempuan macam aku harusnya kau nikmati dengan penuh rasa
sebab kau pun sama: merobek tubuhku sekarang lalu menjahit hatiku kemudian


Dan pada bibirku kau hanya beri nafsu yang begitu sedap
kurasai, seumpama petani kehausan setelah membangun perkebunan
embun pun jatuh di atas daun-daun yang masih basah
sebelum pagi tiba, aku sudah bermandikan gelora
Bahkan harum bunga yang kau siram semalam masih menyengat di teras rumahku
Angin turut menyusup ke semua dinding dan selimut
lalu menyebarkan dingin yang meracuni pikiran
Aku kembali mengingat nikmat itu di setiap tatapan yang kau renggut dari istrimu
ada sedikit harapan lalu buat aku jatuh telanjang


timur di dada, barat di pusar, aku di lutut yang cuma tulang
menyisakan ruang kesenyapan
kau titipkan separuh bayangan
aku ikut kau ke jalan panjang
seranjang dengan angin: tenang lalu hilang
Ambon, 16 Maret 2017



Marthen Luther Reasoa,  lahir di  Saparua, 31 Oktober 1988 , memasuki Pendidikan  S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ,  tinggal di  Kecamatan Sirimau, Kota Ambon . Aktif dalam Bengkel Sastra Maluku.





23.
Mohamad Amrin (Amrin Moha)

Malam Laknat

Mereka membunuhnya sebelum tengah malam
Ia tak sempat bermimpi duduk di atas kursi pelaminan
Ia menjerit "tolong, jangan!"
Dengan nada dan muka ketakutan
Darah semakin mendidih
Seluruh tubuhnya kesakitan
Kaki ditendang tangan dilipat
Punggung dibacok dada diremas
Tanpa ampun
Malam dingin suara disumpal kain
Mata memerah hujan dalam batin
"ibu, aku tak mau mati muda"
Menyeka air mata semakin membabi buta
Darah segar menghitam bercampur tanah
Tubuh terguling bulan tenggelam disiram air mani
Dan wajah tertelan warna kelam
Malam menggali kuburan gadis tak tahu dosa
Laknat!!
Cirebon, 12 oktober 2016












Mohamad Amrin (Amrin Moha)

Bapak Rakus
Bapak menidurinya setiap hari
Istrinya tunanetra usia empat puluh tahun
Merasa masih perkasa
Tak peduli sedang haid
Yang penting nafsu hewani terbenam
Malam penuh setan
Gerimis dan bau amis
Bapak diam-diam masuk kamar
Sorot matanya seperti maling
Wajahnya seperti anjing kelaparan
Bapak menidurinya setiap hari
Padahal anaknya masih dibawah umur
Kelas enam sekolah dasar
Bapak terus menidurinya setiap malam
Dan mimpi anaknya terbenam
Cirebon, 28 maret 2017

AMRIN MOHA  (Mohamad Amrin) Lahir di Karangampel Indramayu dan lulus dari Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNWIR Indramayu. Puisi-puisi dimuat di Harian Radar Cirebon (Jawa Pos Group). Antologi Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia (2014), Antologi Pusi Penyair Indonesia Bertema Margasatwa (2016), Antologi Moratorium Senja (2016), Antologi Kolaborasi Karya (2016), Antologi Di Balik Tulisanku Aku Bercerita (2016), Antologi Di Balik Jendela Demokrasi (2016), Antologi Satu Nusa Satu bangsa (2016), Antologi Sajak Pujangga Negeri (2016), Antologi Negeri yang Terluka (2016).  Tinggal di Desa Sampiran Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon dan menjadi jurnalis media elektronik.


24.
Mohamad Iskandar

Malam Pertama

Senja mendekap gunung-gunung birahi yang menguncup
Letupan di dalam, minta pelepasan ketika hangat
Bukan dari wedang ronde
Atau wedang jahe.

Pada tubuh telentang
Tumbuh pepohonan buah. Ranum dan menyegarkan, tersembunyi dalam semak-semak lebat
Rasa surga.
Oh

-semalam suntuk.
Buahbuah akan terpetik
Lalu dua tubuh membisu
Hanya derit dipan dan bisikan saling bersekutu dalam rahasia
Tumbuh bunga api
Tumbuh segala nyeri
Dan
Terbakar!
Malam tercuri dari mimpi

Sidomulyo, 10 januari 2017



Mohamad iskandar

Lipatan

Dari malam yang tersungkur di dada
Geliat napsu tiba lebih awal dari nyaring jangkrik dan burung kuk
Lantas di puncak dingin
Rasa kepingin mengapi di ubun-ubun. Mengalir ke tiap lekuk lipatan
Harum ranjang dan putih kelambu

Suara napas melebihi desing peluru
Kita arungi samudera
Lantas mendaki gunung
Mengekalkan titah cinta dari sang Maha. Dan
Kita petik bungabunga
Sambil menghitung pendar usia
Kita pengelana?

Mengecup bibir basah
Doadoa hambur
Lalu...

Pandean
23 februari 2017

 Mohamad Iskandar, Asli dari Demak. Senang menulis puisi dan cerpen. Penyair ini sebelumnya  memakai nama pena Damar Anggara.



25.
Muhammad   Daffa

Detak Waktu

Kudengar detak waktu di dadamu pecah dan melenting ke pekarangan tubuh
Ada yang ingin bertemu dan kau katakan jangan
Sebab sekarang bukan waktu yang tepat untuk melumbar perasaan
Sepasang mataku yang jaga
Ingin menyelam ke rahasia matamu lebih lama
Tapi jarak telanjur membentang
Perasaan jadi korban pertama bagi rindu tertanam sedalam ini.
2017

















Muhammad   Daffa, 

Beranda Kupu-kupu

Pertemuan ini terjadi begitu saja di beranda
Sambil menunggu secangkir kopi terhidang,
Kau kejar seekor kupu-kupu. Melulu terpaku badannya
Ketika matamu tak sengaja menatap padanya demikian lama.
Seekor kupu-kupu telah menggodamu dengan rindu.
Kau meminum secangkir kopi yang baru terhidang, berharap masih ada jalan terpilih
Untuk mencari seseorang di masa lalumu yang hancur.
Hingga terbit pertanyaan, dari mulut yang sangat ingin merayu
Di mana bisa kutemukan bagian dari adegan masa lalumu yang telah usai?
2017












Muhammad   Daffa

Memandang Hujan
Hujan tanpa rasa bersalah turun ke likat pipimu
Memandang lama ke dalam sepasang mata
Ia ingin tahu rahasia apa telah kau garap ketika tengah pejam
Dalam tidur dinihari. Mungkin luka yang mekar setelah masa lalu menetap
Pada kenangan berliku.
2017

Muhammad   Daffa,  Lahir   di   Banjarbaru,   Kalimantan   Selatan,   25   Februari   1999. Kegemarannya menulis sudah ada  sejak duduk di  bangku sekolah  dasar, tapi baru berani
menyebar   luaskan   karya   sewaktu   duduk   di   bangku   sekolah   menengah   atas.   Sejumlah tulisannya   dipublikasikan   pada   SKH  Media   Kalimantan,  SKH   Radar   Banjarmasin,   SKH Banjarmasin   Post,   SKH  Tribun   Bali,   Buletin   Jejak  Bekasi,   Sumatra   Ekspress,  Nusantara News,   Flores   Sastra,   Tatkala.co.   Termaktub   juga   dalam   banyak   antologi   bersama:   Ije Jela(Tifa Nusantara 3), 1550 MDPL, Menemukan Kekanak Di Tubuh Petuah, terpilih sebagai kontributor terbaik, Meratus Hutan Hujan Tropis, Nyanyian Puisi Untuk Ane Matahari, 6,5
SR Gempa Aceh, dan beberapa prestasi kejuaraan sempat pula diraihnya. Pada tahun 2016, terpilih sebagai juara 1 dalam lomba cipta puisi tingkat Kota Banjarbaru.
Dan   juara   1   di   tingkat   provinsi   Kalimantan   Selatan.   Di   tahun   yang   sama,   mewakili Kalimantan Selatan mengikuti FLS2N di Manado, Sulawesi Utara. Namun tidak mendapat juara. Memenangkan lomba penulisan kreatif Dapur Sastra Jakarta yang membawanya dalam wisata sastra ke Ubud Writers And Readers Festival di Bali, sebagai pengunjung.