Rabu, 20 Mei 2020

54.Susilo B. Utomo, NUN

Susilo B. Utomo


NUN

nun
demi pena
dengan segala hal yang kita tulis

nun
demi mata
dengan segala hal yang kita lihat

nun
demi Kau
dengan segala hal yang tidak aku punya



[bandung, 19/1/2020]



Sunrise


kalau matahari bersembunyi di balik kabut
masihkah kau tunggu sunrise:
di puncak Bromo


angin bertiup kencang
dingin menusuk tulang


masihkah kau cari hangatnya matahari:
di puncak Bromo
Sedang ada yang lebih hangat dari matahari
di sini
di dalam hati


terbit tak pernah sembunyi



[bandung, 6/5/2020]





Susilo B. Utomo

Lahir di Semarang, 19 Januari 1964. Menulis puisi sejak masih duduk di bangku sekolah menengah hingga sekarang. Karya puisinya tersebar di berbagai media. Saat ini sedang aktif mendalami Hakai, puisi tradisional Jepang.

53. Annis M Tarom. KIBLATKU RUMAHKU

Annis M Tarom
KIBLATKU RUMAHKU


Kiblat sujudku
Ingin kembali aku memelukmu
Aku tak lagi enggan
Tertatih pada samudra pasir
Terhuyung di padang semesta
Berdetak denyut gubuk asa, seiring imaji sepi
Benih rinduku bersimpuh
Menatap rumahku
Muara ibadahku

Kiblat doaku
Dalam lembut sejukmu melekat sukma
Mimpi lautan warna merangkul cahaya
Bulan suci jadi saksi
Cakrawala senja tersenyum
Aku akan merapat mendekat
Bulan berjalan melipat waktu
Mendayung menyibak gelombang

Kiblat rinduku
Kaulah muara rangkaian jiwa
Aku pasrah
Menyepi diri dalam sepi
Dalam cengkeram lembutmu
Kasih sayangmu
Hati ini berkidung bisik doa
Terukir dzikir di dinding khalwat
Menyelam syahwat
Merapat dermaga bai'at
Lembut memikat

Kiblat cintaku
Sketsa anggunmu
Mengukir selendang kasih
Bagai cahaya menembus kaca
Tercermin di ayat suci
Seperti mutiara biru
Aku rindu kembali ke rumahku
Dalam relung cahaya kalbu

10/5/2020

52.Agus Pramono. Elegi Sandal Jepit


52.Agus Pramono.

Elegi Sandal Jepit



dulu sandal jepitku sering merana

pulang harus mengalah terakhir

antre puluhan sandal yang acak

menunggu yang lain keluar dan pulang

meninggalkan mushala kecil

di tengah kampung



dan kenyataan sering berulang

harus dihadapi lapang dada

dengan rasa geram yang tertahan

yang tersisa sandal jepit butut

beda warna tak sepasang

kanan dan kanan



kini mushala amat sangat aman

jika dulu penghuni subuh sedikit

sejumlah tak lebih dari hitungan

tangan kanan atau kiri

sekarang bukan hanya subuh

juga maghrib dan isya’



sandal jepit pun kini aman

tak lagi tertukar dapat sisa

atau beringsut pulang

dengan kaki telanjang



jejak sandal di mushala

jadi saksi yang bungkam

pada pahala dan dosa

yang pernah tercatat





Mojokerto, akhir Mei 2020



Akhir Ramadhan 1441H



Ramadhan setiap musim

selalu punya cerita

ada yang tetap bertahan

ada yang tinggal kenangan



musim ini agak beda

aroma aneh menggelayut

ada aura pekat menyelimuti



tak terlihat lagi roti john

yang berjejar beberapa lapak

menghias trotoar



es tebu hijau pun tak tersisa

menyusul es kepal yang kandas

tergeser nanas kupas



toko bangunan berjuang bertahan

pasar kampung pun tidak seramai

musim sebelumnya riuh

panen bagi tukang parkir



ada yang lebih terengah napasnya

menjemput rezeki akhir Ramadhan

sisa-sisa penjaja duit baru

yang dibekap penjaja masker





Mojokerto, Mei 2020







Biodata Agus Pramono.



Aguspram, penulis dari Mojokerto kelahiran tanggal 28 Agustus. Lahir dan hidup di kota tersebut setengah abad lalu. Seorang penderita Wernicke dan lebih suka mengikuti antologi bersama para sejawat penulis; puisi, cerpen atau esai, itu pun hanya beberapa, belum banyak.

51.Sumrahadi INI RAMADHAN BERJARAK

51.Sumrahadi

INI RAMADHAN BERJARAK

Dzikir menghitung biji beras
Ramadhan kali ini begitu keras
Siapa memaksa bebas
Tergilas

Virus menyeruak di antara lapar dan kehausan
Memaksakan lantunan du'a pemakaman
Menggantikan tadarus Alqur'an
Mengosongkan rumah peribadatan

Ini Ramadhan yang berjarak
Membatasi segala ruang gerak
Iman dan akal sehat berteriak
Menjaga segala tindak

Ramadhan ini penuh pahala
Meski hanya di rumah saja

"SH" JAKARTA
17052020

50.Asro Al Murthawy DI ATAS LEMBAR JUZ `AMMA

50.Asro Al Murthawy



DI ATAS LEMBAR JUZ `AMMA



melesat dari ayat ke ayat

berkelindan  antara huruf dan mahroj

edari tetiap harakat fatah kasrah dzumah

milyaran cahaya mungkin melesap

berdenyaran meruang di kepala

aku tergeragap

lembar jiwa tak juga tersibak



selalu saja aku gagal menerjemahkan tanda

sesat di labirin logika. Kata-kata gagap

terpilin tak mampu tereja meski sepatah

tak alif tak nun tak wau

menajam mengirisi ulu hati

~ iqra bismi robbikalladziii...........~



terhampar dari juz ke juz

lembar demi lembar membentang kisah

tahun alif yang purba hingga nun di masa depan

ribuan episode mengilat

berpusar bagai topan mengapung di lelangit dada

aku tergugu

belum terbaca tuntas alifbataku

Imaji 1438 H



















Profil  Penulis:

Asro al Murthawy.  Lahir Temanggung, pada tanggal 6 November. Adalah Ketua Umum Dewan Kesenian Merangin dan Anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jambi. Karya-karyanya terhimpun dalam Syahadat Senggama (k.puisi, 2017) Equabilibrium Retak (2007), Lagu Bocah Kubu (puisi, tanpa tahun),  Kunun Kuda Lumping (k.Cerpen, 2016)  dan berbagai antologi bersama sastrawan Indonesia lainnya. Karyanya yang lain: Pangeran Sutan Galumat (2017), Pengedum Si Anak Rimba (2018), Mengenal Lima Sastrawan Jambi (2018), Katan dan Jubah Sang Raja Hutan (2019) Bujang Peniduk (2019) dan Ujung Tanjung Muara Masumai (2019) diterbitkan oleh Kantor Bahasa Jambi sebagai Pemenang Sayembara.. Hadir dalam Temu Sastra Indonesia I (2008), Pertemuan Penyair Nusantara VI (2012) Jambi,  MUNSI II (2017) Jakarta,  Pertemuan Penyair Asia Tenggara (2018) Padang Panjang,dan Borobudur Writter And Cultural Festival (BWCF) (2019)
49.Sih Utami

RAMADAHAN PARA PANDAWA


Waktu menutun kami berlima
Ibu sedang terluka parah,  menangis sangat dalam
Bersandar  pada tembok lapuk rumah yang dingin dan pengap
Para Pandawa ini  belum punya senjata sakti apapun, Ibu …

Kami masih sekumpulan anak-anak yang bersandar di bahunya yang ringkih
Kemarin kami mendengar teriakan, keluh kesahnya
Melihatnya dalam uraian air mata
Terluka karena cinta yang diingkari

Dia sedang memeluk periuk kosong tempat beras
Percayalah, itu akan terisi sebentar lagi, entah oleh siapa
Lupakan saja lukamu sejenak, sandarkan lelahmu
Perut kami kosong, tak apa. Hibur kami

Tuhan membuat kami berjumpa lagi dengan Ramadhan
Kami riang menanti malam seribu bulan, banyak pinta terucap pada-Nya
Ini bulan penuh Rahmat
Meski takdir tidak inginkan kami menikmati Ramadahan seperti tahun lalu

Semua memang tidak lagi sama, seperti tidak ada ruang bagi kami untuk bernafas
Tetapi kami bertanya di mana Tuhan dan sedang apa?
Dia sedang membebat luka kami,
Dia itu Hening yang Bening dalam tangis kami
Dia itu Ramadahan yang menghampiri kami dengan sejuta Rahmat


Sidoarjo, 19 Mei 2020

RAMADHAN DALAM SETANGKUP RINDU


Inilah yang kusukai dari semesta
bulan bersinar di atasku, cahaya bintang menghujani kepala
anak-anak berlarian di jalanan kampung
aku mandi hujan Rahmat, memetik begitu saja nikmatnya dari udara

Aku tertawa sepanjang hari
malamnya aku dikepung penyesalan di atas sajadah
sementara mulut komat kamit mengucap doa entah apa
Lihat Tuhan, betapa banyak ingin dalam hatiku

Berikanlah kelegaan nafas, pada kami yang sedang sesak
Pada jiwa yang hampir terenggut pademi ,
atau pada yang sudah pergi karenanya
Puaskan dahaga kami akan kebebasan, mudik dan jajanan kampung halaman

Lihat, Tuhan, Aku bukan pecinta sejati-Mu, meski aku ingin
Aku hanya peminta, lantas kapan aku bisa berlaku ihsan?
Siapakah aku ini? Hingga Kasih-Mu sedemikian besar atasku?
Dalam sujud kubawa setangkup rindu pada Ramadhan yang segera berlalu




 Sih Utami, Ibu pekerja di pabrik swasta, pekerja sosial. Seseorang yang  mencintai sastra dan semua tentangnya., Pengagum para penyairnya.
Dia penulis dalam bahasa sederhana. Berusaha membagi kisah dengan tulus, sekiranya mampu memberi hiburan, menjadi teman dan inspirasi.


48. SAAT IFTHAR, Abidi Al-Ba'arifi Al-Farlaqi

Abidi Al-Ba'arifi Al-Farlaqi

SAAT IFTHAR

Saat ifthar menjelma
aku, orangtua, saudara dan keponakanku
mengamalkan sunnah Sang Nabi Kekasih Allah
meneguk secangkir air putih
mengunyah tiga butir kurma
menadah tangan dan berdoa
mensyukuri nikmat-Nya yang tak terhingga

Ifthar mengajariku cara mencintai-Nya
mereguk bahagia di semesta waktu

BIREUEN, 19 Mei 2020

___

= IFTHAR BERSAMA MEREKA =

By: Abidi Al-Ba'arifi Al-Farlaqi

Aku bersama bocah-bocah yatim
juga beberapa faqir dan miskin
meneguk secangkir air putih
mengunyah tiga butir kurma

Ifthar bersama mereka
membuatku sangat bahagia
karena aku melihat senyum indah Sang Nabi Kekasih Allah

BIREUEN, 19 Mei 2020

JIKA PENYAIR MENCATAT CORONA oleh Nanang R Supriyatin

JIKA PENYAIR MENCATAT CORONA

Virus Corona atau Severe Acute Respitatory Syndrome Corona Virus 2 (SARS-COV-2), ialah virus yang menyerang sistem pernapasan. Hingga menyebabkan demam, batuk kering, flu, pilek serta sakit tenggorokan.
Wabah yang mendunia ini kiranya menimbulkan efek global, terutama menurunnya ekonomi dan merosotnya daya beli masyarakat. Infeksi Corona yang pertama kali terjadi akhir Desember 2019 di kota Wuhan, China, setidaknya terlihat jalan-jalan agak sepi dikarenakan 'lock down', resto-resto sepi dikarenakan berlaku Pembatasan Sosial Berskala Besar. Orang-orang menjaga jarak dengan menggunakan masker, dan sebagainya. Paramedis berupaya dan berjuang mengurangi pasien yang tak pernah henti berdatangan, menunggu untuk disembuhkan. Meskipun, banyak dokter yang mengorbankan nyawanya akibat wabah akut ini.
Seniman, khususnya penyair tak menyiakan even 'gila' ini. Salah satunya senantiasa mencatat peristiwa baik yang hadir melalui pemberitaan di media massa dan media elektronik, maupun kejadian yang tercermin di lingkungan serta diri sendiri. "Work From Home" (WFH) ternyata membuat penyair mencatat bebas peristiwa ini.
Antologi puisi "Corona, Penyair Indonesia Mencatat Peristiwa Negeri", ialah sebuah buku berisi puisi-puisi anyar, ditulis oleh 101 penyair Indonesia. Setiap penyair ternuat 1-3 puisi. Merupakan antologi puisi yang dicetak semata-mata sebagai dokumentasi yang digagas RgBagus Warsono, penulis asal Indramayu yang merangkap sebagai editor.
Peristiwa menakutkan akan kehadiran sebuah wabah, kiranya menuntut seorang RgBagus Warsono atau Agus Warsono untuk tak menyia-nyiakan mengajak peranan penyair menuliskan tema khusus tentang covid-19. Tak ada syarat formal. Pengirim puisi dipersilahkan mengirim puisi dengan tema sekitar Corona, serta biodata satu paragraf. Naskah dikirim melalui email, whattshap atau massanger. Sebuah awal yang saya kira kerja setengah hati. Bahkan, pengisi buku tak diwajibkan membeli buku. Naskah yang sesungguhnya pencatat sejarah dunia ini pada dasarnya akan tersimpan sebagai asset di Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia yang dikelolanya.
Alhasil, saat buku dikirim ke alamat rumah saya, setelah saya buka isi paket dan setelah saya simak lembar per lembar isi buku -- spontan agak kaget untuk tidak mengatakan 'hebat!' Sang editor merangkap kurator ini, ternyata sangat serius. Antologi puisi dicetak sempurna. Terbukti, Rg Bagus Warsono membuat pengantar cukup panjang (hal. 7-21). Buku 237 halaman ini terbit tak berselang lama setelah deadline pengiriman puisi.
"Bagaimana membangun ide judul puisi adalah bagaimana mata dan mata hati memandang kehidupan di alam ini. Sangat banyak garapan ide puisi namun banyak penulis terbelenggu oleh tema yang disuguhkan. Padahal tema itu menyuguhkan yang sangat luas disampingnobjek juga dampak dan penyebab. Artinya tema dapat ditarik kebelakang bahkan ke depan." (Hal 16).
Beberapa nama penyair yang puisinya dimuat sudah tak asing lagi. Sebut saja A. Zainuddin Kr, Asro Al Murthawy Dkm, Bambang Eka Prasetya, Giyanto Subagio, Heru Mugiarso, I Made Suantha, Roymon Lemosol, Salimi Ahmad, Salman Yoga S. dan Wadie Maharief.
Salah satu puisi Wardjito Soeharso asal Semarang di bawah ini, agak beda dalam diksi serta irama. Sangat menarik.

JAPA MANTRA

Bolading!
Klambi Abang
Bendho giwang
Jalitheng!
Jun jilijijethot
Wong Tampang asli
Cempe-cempe!
Undangan barat gede
Tak opahi duduh tape
Weerrr.....weerrr.....
Weeeeeerrrrrr....
Setan ora doyan
Penyakit ora ndulit
Wabah orang teman
Amung kersane Gusti Allah
Corona...
Minggaaaaaatttt!

Semarang, 27 Maret 2020 (hal. 199).

Buku indah ini -- sayangnya tidak diimbangi dengan pengerjaan cover yang tak serius. Di samping tak ada gambar sebagai simbol virus covid, juga foto para penyair terlalu gelap. Biodata dengan huruf kecil membuat mata mengantuk tatkala membacanya.

NRS, Jakarta Pusat.

Selasa, 19 Mei 2020

47.Khoirul Mujib KETIKA RINDU DAN BERTEMU


47.Khoirul Mujib

KETIKA RINDU DAN BERTEMU


udara sayup sejuk menyusuri bulu romaku
aku duduk depan rumah bersama rindu
rindu akan kenangan ramadan tahun lalu
berbuka bersama dan saling bantu
ketika anggota keluarga pikirannya buntu

rumahku berhias kenangan syahdu
kenangan yang selalu menjaga ingatanku
dari terpaan angin waktu menderu-deru
andai sewaktu suka membuka kunci pikiranku
dan membawanya ke alam bawah sadarku
mencoba melupakan kisah indah di rumah itu
namun, sudah terikat erat kasih sayang ayah ibu

di ramadan tahun ini yang belum berlalu
bertemu adalah hal yang diinginkan oleh rindu
karena rindu adalah jembatan saling bertemu
bertemu di rumah kita yang indah tanpa ragu
mewarnai rona hidup menyatu dan bertalu-talu
Mojokerto, 30 April 2020










Khoirul Mujib

TADARUS PUISI DI RUMAH SAJA

aku bersastra di rumah saja
situasi masih pandemi corona
membaca puisi ditemani buku,
rak buku dan meja yang setia

puisi aku baca penuh tenaga
akupun masuk di dalamnya
duduk berdampingan mesra
dengan deretan suku kata
ditemani diksi mempesona

suara tadarus puisi menggelegar
rak buku bergetar mendengar
tumpukan buku saling jatuh terkapar
meja yang setia menunggu sabar
agar buku jatuh itu juga dibaca
walau sebentar
Mojokerto, 18 Mei 2020












Khoirul Mujib, lahir dan tinggal di Mojokerto. Saat ini bekerja sebagai guru di SDN Kumitir 1 Jatirejo, Mojokerto, Jatim. Buku tunggal puisinya yang sudah terbit: Lalu Lintas Kata Menyapa (2019), Merawat Dinding Hati (2020). Karyanya juga terhimpun dalam antologi puisi bersama; Brantas (2018), Merawat Jiwa yang Hilang (2018), Tentang Sebuah Buku dan Rahasia Ilmu (2018), Tamasya Warna (2018), Aksara Langit (2018), Bulan-Bulan dalam Sajak (2018), Gadis Kampung Air (2019), Dari Kisah Para Pemburu Hidayah Hingga Kolak Pisang (2019). Bendera Sepenuh Tiang (2019), Sajak Cinta Untuk Peneroka (2019), Meneroka Aba Yat Hingga Kubu Aur Duri (2019). Festival Sonian (2019), Jantung Kata (2019), Antologi Kata Hati (2019). Sayur Mayur (2020), dan Perempuan-Perempuan Kencana (2020). Cerpennya terhimpun dalam: Cerita-Cerita dari Kranggan (2018). Candhuk Badra (2018) dan Dari Ujung Benteng Pancasila 242 (2019). Penulis dapat dihubungi melalui E-mail di khomujiboy@gmail.com. Fb: Kho Mujib.




46.IS MUGIYARTI
KA’BAH DI SAJADAH 1


Seorang kakek duduk di teras musholanya
“Nak, mungkin ini ramadhan yang terakhir kali”

Bocah itu menghela napas
Mengerti benar bagaimana orang tua berlaras
“Kek, setelah hari raya akan berhaji kan?”

Kakek itu mengusap wajahnya
“Jika Allah mengizinkan,
sedang mushola ini saja hanya boleh buat kita”

“Kakek, apakah berhaji harus ke ka’bah?”
“Itu satu rukunnya”
“Kakek, apakah sholat harus ke masjid atau mushola?”

Bocah itu menggelar sajadah bergambar ka’bah“Dengan atau tanpa sajadah, aku tetap beribadah

dan kakek bisa menemaniku lima belas tahun lagi mencapai Makkah”

Senyum pun merekah
Saat ini masjid dan mushola hanya berbenah
Di lain waktu manusia menatapnya indah

Sragen, 24 April 2020




IS MUGIYARTI
KA’BAH DI SAJADAH 2

Tahun ini
Kaki terhambat
Merindu masjid
Benarkah ?
Hingar bingar ngabuburit
Berkali-kali menampar

Sewaktu buka tadi
Istriku suguhkan sayur bening
Sambal korek dan krupuk nasi
Aku mulai berhalu jahat
Kakap bakar dan lalap lengkap
Kusantap dengan lahap
Bersama yang kusebut sobat
Tanpa setahuku
Istriku berbagi dengan tetangga
Katanya biar berkat

Hari-hari memberat
Istriku mulai menakar jatah berempat
Mencoba kuat
Namun matanya sering sembab
Tetesnya tak lagi tersimpan rapat

Ooiiiii kiamat mendekat.......
Pekikku mulai melaknat
Allah sedang membuka pintu taubat
Istriku meralat

Malam ini
Ku gelar lagi sajadah
Dalam ruku’ kupandang ka’bah
Tak cukup sesaat
Dalam sujud kucium ka’bah
Dekat dan lekat

Ya Allah
Hati ini...
Terpikat
Tercekat
Ka’bah di sajadah
Hamba insyaf
Pengakuan pencuri shalat

Catatan 10 hari Ramadan 2020
Sragen, 3 Mei 2020

IS MUGIYARTI ~ Belum bisa menyebut diri penyair, hanya guru Bahasa Indonesia di SMA N 1 MOJOLABAN SUKOHARJO. Di masa korona ini, sebagai guru tetap mengajar meskipun daring via GOOGLE CLASS dan WA. Untuk kelas X materi pelajaran saat ini adalah Mendalami Puisi, sedangkan materi kelas XI adalah Bermain Drama. Walhasil, puisi edisi ramadhan 2020 ini adalah perpaduan keduanya. Dengan jenis balada, semoga bisa menjadi satu bagian kecil dalam kemeriahan sastra



45.Sukardi Wahyudi

SETELAH INI AKU AKU TETAP RINDU

1.
Di awal penghulu bulan
menyambut gembira mendapat berkah
marhaban ya Ramadhan
seru seisi bumi langit mengamini
sahur pertama pembuka pintu malam yang bening
mengarungi puasa
pikiran
mata
hitung
mulut
tangan dan kaki
juga gerak hati
berlari menjemput di pelataran senja
sesudah azan terhapuslah lapar dahaga.

2.
Tak ada yang sia-sia selagi niat terucap
di malam seribu bulan
karena cinta ku yang teramat padat kepada kekasihMu
karena ridhoMu ku hirup wanginya hidup ini
untuk bertamu dan memasuki bulan penuh rahmat
hari-hari yang sarat dan mengucurkan nikmat
di atas hamparan haus dan lapar.

Yang haus ku hanya sebatas niat dan buka
lapar ku pun dari imsak ke maghrib
tak sebanding hausnya sahara tandus yang merindukan hujan
tak seperih laparnya duafa fakir miskin untuk seuap makanan
ini pelajaran yang tak harus mendapatkan nilai dari semesta
ini ibadah rahasia sang pencipta dan hambaNya.

3.
Puasa ku hanya untukMu ya Rob
karena rahasia ku ada di genggamanMu
mudah bagiMu membuka aib ku
yang terlalu bangga dengan alpa
dalam perjalanan malam dan siangMu
dan aku tak bermakna tanpa siraman kasihMu.

Puasa ku hanya untukMu ya Rob
persembahan sederhana tak semulia namaMu
aku hanya seorang musafir
yang melintas di kehidupan fana
berhenti sejenak melepas lelah menjalankan rukun
mengharap tanda kasih tergores dalam dada ini
dan ketika matahari mulai letih menuju malam
aku tersungkur dalam rukuq sujud ku
aku mengigil dalam doa
saat Kau bertanya
bekal apa yang kau bawa pulang menghadapKu.

4.
Betapa gemuruh semesta ini saat Kau kirimkan Romadhan
untuk mengetuk kalbu kehidupan
langit dan bumi menyambut girang
di bukakannya pintu surga di tutupnya pintu neraka
di rantainya musuh abadi manusia
dan kebaikan di lipat gandakan pahalanya.

5.
Di ujung hari yang fitri
bersama senja sebentar melangkah pergi
menghibahkan segala rindu
sebelas bulan lagi ku tunggu
agar aku bisa bercumbu denganmu
dan setelah hari ini, aku kangen kamu.
Di hari kemenangan
semua berteriak merdeka
padahal bahagia itu sempurna
bila semua beban di dada terlepas iklas.

6.
Ramadhon penuh catatan sejarah
singkat, padat
buka dada kita
lihat ada tulisan apa di dalamnya.

Ramadhan 1441 H.
























Sukardi Wahyudi.

MENIKMATI SENJA

Ada takdir yang harus kita baca
mengantung di dada cakrawala
ayat demi ayat di eja dengan sempurna
memaknai iklas
yang diberikan-Nya.

Senyum mu adalah sedekah untuk ku
mengalir mengikuti arus jejak kaki
mencari sari pati doa sang pengembara
bekal perjalanan
teman setia yang tak pernah alpa
mengukir makna disetiap batang jiwa yang hidup
pasti merasakan keabadian yang nikmat
dari-Mu Ya Rob.

Senyum mu adalah pelajara bagi yang sehat
untuk merakit senja dengan bijak
laku dan kata
harus satu warna
merah keemasan sudah tentu lambangnya
jangan takut jatuh pada gelap malam
ada ribuan tangan mengamgkat
gemuruh pasukan doa meringankan beban
karena sayang ini milik mu
rindu ini berdenyut dalam nadi kehidupan.

Senyum mu adalah harapan yang harus diwujudkan
setiap menit dan detik menyisir waktu
dingin bisu berharap dalam nada cemas
menanti pagi nyata
esok hari.

Senyum mu adalah semangat rukuq sujud mu
tegadah pasrah dalam syukur
dia
kalian
dan aku
masih bersemayam dalam gengaman-Nya
antri untuk pulang.
Kukar, 19112019.
H. SUKARDI WAHYUDI, lahir di Samarinda pada tanggal 17 Januari 1960, Sukardi Wahyudi mengaku mengeluti dan memperdalam dunia sastra secara autodidak, hal itu dilakukan sejak tahun 1977 dan baru tahun 1981 berani mempublikasikan karyanya di media masa baik Daerah maupun nasional serta Buletin sastra yang tersebar di Nusantara.  Telah menghimpun karyanya yang diterbitkan dalam sejumlah buku antologi puisi antara lain : Diam (1983), Tongkat  (1984), Boom  (1984), Hudoq 2000   (1985),  Menepis Ombak Menyusuri Sungai Mahakam (1999) Secuil Bulan Di Atas Mahakam (1999), Seteguk Mahakam  (2006), Ada Gelisah Di Pertemuan Waktu (Antologi Cerpen 2011)  Lelaki Itu ( cetekan I - 2010, cetakan II - 2018) dan Jejak Rindu (2019) . Karyanya juga termuat dalam beberapa buah buku dan antologi bersama baik puisi maupun cerpen.

.Sering menghadiri undangan dan pertemuaan sastra baik skala Daerah maupun Nasional dan hampir seluruh kota di Indonesia ia datangi termasuk Negara Asia dan Eropa. Pendiri Pondok Sastra Prajurit Puisi dan Teater Swara Siswa Kabupaten Kutai Kartanegara serta seabrek organisasi kesenian lainnya. beralamat rumah di Jalan Durian Gang Maulida RT. XIV/ 08 Telpon (0541) 7082728 Kelurahan Panji Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara – Kalimantan Timur 75514 email : sukardi_wahyudi@yahoo.com.


44.Sami’an Adib SAYAP CAHAYA

44.Sami’an Adib

SAYAP CAHAYA

bila ada yang bertanya ke mana hendak mencari Ramadhan
ketika gerbang masjid rapat tertutup tirai-tirai kecemasan
ketika rentang jarak merenggangkan ikatan persaudaraan

katakan saja Ramadan tak pernah pergi ke mana-mana
ia senantiasa hadir di mana pun para pencarinya berada
bahkan di kesunyian ruang pengasingan paling rahasia

ia datang dengan segenap aksesoris kemuliaannya
malam-malam yang riuh rendah oleh rubaiat cinta
: senandung terindah dari ayat-ayat Mahasempurna
siang pun bukan semata tentang lapar dan dahaga
tapi sebagai arena pembuktian diri paling hamba

di rumah saja, Ramadhan tak akan kehilangan makna
sebab ia gesit bergerak dengan sayap-sayap cahaya
yang menerangi hingga ke kedalaman palung jiwa

kesendirian adalah rute paling lempang
bebas dari rambu-rambu bernada sanjung
yang sering menciptakan arah rumpang

masih adakah celah keraguan
tentang keagungan Ramadhan
penyulut terang lentera iman:
suluh terbaik menyusuri jalan
menuju puncak Keanggunan Tuhan

Jember, 2020


DEMI
dalam kesendirian
dalam keterasingan
di rumah sendiri
malam belum mati
meski ada geram
tapi bukan dendam

tarawihku terlaksana meski tanpa imam
tadarrusku berkumandang dalam diam

di teras depan
luruhan daun
kehendak Tuhan
kidung kematian
manusia merancang
takdir tak terhadang

napasku tersaring masker kecemasan
langkahku terhambat aral kepanikan

sampai kapan
tanpa kepastian?
dalam kepasrahan
kuhampar harapan
meraih kemenangan
di puncak Ramadhan

tak ada kesedihan yang tersirat dari laparku
tak ada keluhan yang terucap sebab dahagaku

dalam keterasingan
dalam kesendirian
tulus kulakukan
penghambaan
atas Kuasa-Mu
demi Kasih-Mu
Jember, 2020
Sami’an Adib, lulusan Strata I pada jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Negeri Jember (Unej) ini lahir di Bangkalan pada tanggal 15 Agustus 1971. Prestasi kepenulisan antara lain: pernah memenangkan Juara III lomba mengarang cerpen yang diadakan BEM Fakultas Sastra Unej, Juara I Lomba Cipta puisi Gus Dur yang diselenggarakan Pelataran Sastra Kaliwungu, Puisi Pilihihan II Poetry Prairie Literature Journal#5, Puisi Pilihan III Poetry Prairie Literature Journal#6. Sejak SMA ia aktif menulis di buletin sekolah. Ia pernah menjadi Pemimpin redaksi Mading Sekolah.  Puisi-puisinya terpublikasikan di beberapa media cetak dan on line. Antologi puisi bersama antara lain: Menuju Jalan Cahaya (2013), Ensiklopegila Koruptor, Puisi Menolak Korupsi 4 (2015), Kata Cookies pada Musim (2015), Kalimantan Rinduku yang Abadi (2015),  Memo Anti Terorisme (2016), Ije Jela Tifa Nusantara 3 (2016), Malam-malam Seribu Bulan (2016), Requiem Tiada Henti (2017),  Negeri Awan (DNP 7, 2017),  Lumbung Puisi V: Rasa Sejati (2017), PMK 6 (2017), Lebih Baik Putih Tulang daripada Putih Mata (2017),  Menderas Sampai Siak (2017), Timur Jawa: Balada Tanah Takat (2017), Hikayat Secangkir Robusta (2017), Perjalanan Sunyi (2017), Negeri Bahari (DNP 8, 2018), Lumbung Puisi VI:Indonesia Lucu (2018), Menjemput Rindu di Taman Maluku (2018), Gus Punk (2019), Negeri Pesisiran (DNP 8, 2019), Risalah Api (2019), Bulan-bulan dalam Sajak (2019), Tambak Gugat (2019), 100 Penyair Indonesia dalam Antologi Puisi Binjai (2019), Risalah Tubuh di Ladang Kemarau (2019), Perjalanan Merdeka (2020), Setangkai Bunga Padi (2020), Wong Kenthir (2020), dan lain-lain. Aktivitas sekarang sebagai tenaga pendidik di sebuah Madrasah di Jember.


43.Kurliyadi SULUK PAHALA

43.Kurliyadi
SULUK PAHALA

Di kenur hilalmu
Sabit tipis pulang ke barat langit senja
Pertanda rubayat puasa
Telah tiba sebagai pohon perintah

Di merdu azan
Lima waktu mengejar pintu pahala
Mendalami bacaan keyakinan
Tentang amal, zikir mendekat pada tuhan

Menyua bahagia sebab berbuka
Bangun sahur ruas jalan ibadah
Adalah romantisnya ramadan pada makna
Saat petang sebagai akhir membasah rusuk bahagia
Berkumpul bersama sanak keluarga

Di tarawih itu, ada malam berkumandang
Mengucapkan bahasa jiwa merangkul cinta
Di surau tua tempat dulu mengaji abjad arab
Sampai tahu jalan makrifat hakikatnya Allah

Tentang lebih baik dari seribu bulan di malammu
Tentang witir di ganjil doa-doa
Sebab di mana kita mesti mencari
Pahala tinggi sepadan ramadan ini

Pada suluk pahala itu
Kita mestinya menangis merindukanmu
Sebagai rumah, tempat berteduh tiada henti
Sampai fitri kemenangan sejati
: aku ingin memelukmu, agar kau tak cepat berhenti dan kembali
2020
NEMOR* DI GILI
Sebab pada matahari
Risalah gersang tandus mencipta buah hari
Terseok di ombak, memantulkan binarnya di langit senja
Bersama kemandang azan, nelayan berlabuh melaut
Ternak dipulangkan pada kandang
Anak-anak bertolak ke surau mengaji kebaikan-kebaikan

Pada serat pagi
Pasar dan pelabuhan menguapkan sukacita
Keberangkatan juga kedatangan saling mengamini keselamatan
Berbekal tujuan, atau pergi merantau mencari mata pencaharian
Ke kota-kota besar dengan bekal pengetahuan dasar ilmu berdagang
Atau mereka hanya ingin mencari lebih
Sekedar mencoba jika mujur maka keadaanlah bicara
Dengan alasan pekerjaan tidak lagi bersahabat di kampung sendiri

Pada keluasan bumimu
Sandang pangan subur tumbuh dengan cara tuhan menuai nikmat
Sebagai sakolellana* tanah dan laut
Yang mengenalkan barat dan timur
Kepada selatan sebagai tujuan
Untuk utara atas abadinya ringkih ketenangan

Sebab pada langit
Hujan akan turun kembali
Saat kelahirannya sebuah bulan syawal
Tanda akan datang sebuah jalan panjang
Di mana orang-orang kembali mudik
Ke tanah nenek moyang, merangkul sanak
Mengakui pendahulunya, yang
Melahirkanmu dari rimbun kematian

Cirebon 2020

Nemor : musim kemarau
Sakolellana : atas kehendak yang maha kuasa
Nama lengkap               : Kurliyadi
Alamat domisili             : Warung madura zayadi jalan pamengkang raya masjid jami baiturrahman dusun 2  blok pahung Rt.03 Rw. 03  desa pamengkang kecannatan mundu cirebon

Senin, 18 Mei 2020

42.Maya Ofifa Kristianti Aku mencari Mu

42.Maya Ofifa Kristianti

Aku mencari Mu

Tuhan, aku mencari Mu
di gelimang harta orang kaya
yang berebut kuasa
saling pangkas
tindas
tebas
untuk sebuah nama

Aku mencari Mu
di lorong sempit
tumpukan meja kayu berderit
anak anak menjerit
karena perut terlilit , sakit

Masih aku mencari Mu
di hingar bingar keramaian pasar
perempuan tua berjalan terseok
di pundaknya penuh gendongan belanjaan

Aku mencari Tuhan
di hening surau malam ini
malam ganjil
malam ramadhan
malam memeluk Mu
Kalialang, 23 ramadhan 1441H



Maya ofifa kristianti
Ibu rumah tangga, yang senang membaca puisi

41. Ismail Fathar Makka Suasana Dalam Istana


41. Ismail Fathar Makka

Suasana Dalam Istana


Bercengkrama dalam berbagai balutan ras
Saling bergantian dalam memberi tawa
Saling membahu dalam disiplin ilmu
Saling mencubit dikala terlena

Tak ada niat untuk melukai
Saling menghibur kala dihempas duka
Kami tak kenal warna kulitmu putih dan hitam
Kami tak kenal fisikmu gemuk dan kurus
Apa lagi parasmu jelek, ganteng bahkan cantik sekalipun
Kami tak kenal itu
Yang kami tau satu; kita saudara.

Kendari, 28 Oktober 2016















Gubuk '98

Pagi
rasa rindu mendera pada gubuk sembilan delapan di batas kota
Dihiasi pohon-pohon
tempat camar bermesra ria

Sayang, di gubuk '98 aku dilahirkan
ditimang dan dimanja
merangkak hingga berlari

Sayang, di gubuk '98
sesekali dia marah padaku
berpura dan benar-benar marah

Aku pergi dia mencariku
Aku terkadang acuh dia lemparkan senyum
Terus melambai
Aku pun malu dia merangkulku

Sayang, jika aku nakal suara lembut mendayu membisik di telingaku
Tenang dan tetap semangat

Sayang, jika aku sakit berbondong dia menghiburku
Satu persatu dengan cerita dan tingkah konyolnya
untuk melihat senyum di wajahku

Sayang, aku merindu
Aku menulis ini
Entah puisi
Entah sajak
Mungkin pula surat cinta
Entahlah, aku tak tahu
Bacalah, aku rindu

Pagi menarik lenganku mengajak
Ayo kembali ke gubuk '98
Di gubuk '98 ceritamu penuh warna.

Kendari, 06 Juli 2017

40.Ahmad Kohawan Berumah Rintik Hujan

40.Ahmad Kohawan

Berumah Rintik Hujan

rintik hujan
larik luka bersenandung
menyimak sembap
aku di daun jendela yang pernah kau sandar

rintik hujan
lirih duka berpeluh
penuh hasrat
pada renjana namamu terukir indah

dan aku menanti
meski musim berganti.

Bacukiki, 2020

















Ahmad Kohawan
Engkau Rumah

hina betala senandung Majnun
sebab rintih harum rembulan
munajat adalah munajat
engkau rumah tempatku pulang

lelah hari menjelma cakrawala
penaka tatap mata mu sembap

yang tak pernah menuntut
engkau rumah tempatku pulang

duhai angan yang menari lembut
kutitip rindu pada kekasih
ia pemilik dekapan dan mimpi.

Bacukiki, 2020



Ahmad Kohawan, lahir dan tinggal di Parepare. Menulis puisi tanpa kaidah dan ia suka.

39.Hendra Sukmawan TADARUS RAMADHAN

39.Hendra Sukmawan

TADARUS RAMADHAN

Kubaca langit:
bulan dan bintang
menuliskan aksara yang tak terbaca

sepenuhnya

Kuteliti diri:
nafas dan darah
Isyaratkan sampah yang tak tersapu
seluruhnya

Semakin jauh kuberlabuh
kian dalam ku menyelam
di palung terdalam lautan misteri

















SUJUD SELEMBAR DAUN

biar semua menjadi ada ketika menghela sejuta mimpi
biar semua menjadi tiada ketika merajut sejuta makna
biarkan semua mengalir ke muara kehidupan

kita meraba galaksi di batas kesunyian

diam segala isyarat
diam segala tandatanya
fase demi fase
melangkah lelah, lalu tergolek di ranjang sunyi

kita adalah gelagat matahari yang masih membakar meski malam dan siang terus berganti

kita masih merumuskan jawaban
hingga diam
menyapa dengan ramah

Garut, 16 Mei 2020








38.Roro Sundari Rumah Cerita Cinta

38.Roro Sundari
Rumah Cerita Cinta


Hangat merapat di setiap penjuru
Desau bisik angin melewat bilik
Mengalun irama  nadi nan merdu
Mengiring  pelukan kasih sayang terbaik

Sejauh gegas langkah kaki keluar
Untuk menembus dunia hingar bingar
Selalu kembali tegas tak tertukar
Meski daun pintu warnanya memudar
Helainya selalu mampu menampung rindu
Selaksa senyum tergambar
Jelas menghias dinding kalbu

Di bawah teduh atap rumah
Tempat merebah segala resah dan lelah
Melerai gaduh yang erat mengaliri darah
Sejuk, damai merangkai kasih tak usai
Meredam berisik derai ramai tak terberai

Rumah nan indah,rumah cerita
Tentang lukisan jarak dan rindu tak reda
Tentang tenang dan senang  terkenang bahagia
Tentang kisah terindah dari harapan dan doa tercipta
Menyimpan sejarah bermula, muda dan menua.

Semarang,16 Mei 2020





37,Nani Tandjung, KUSIAPKAN PUISI UNTUKMU

37,Nani Tandjung

MENYINGKIRKAH KAU DAJJAL

Aku dengan yang lain bersama
Meski diumumkan kerja di rumah
Kami yakini semua mengolah jiwa
Di rumah sekecil apapun kami punya

Tahun bersama musim semesta
Bulan bersama muslim di buana
Tetes air mata mengingat kerja aneka
Dari tukang sampah hingga kerja pemerintah

Bahkan balita yang bernyanyi gembira
Hingga mahasiswa hampir sarjana
Semua menerima kembali seperti sedia kala
Schulle seperti kata orang eropah

Schulle adalah mengisi waktu bermain
Ditemani penjaga anak bermain dacin
Baca puisi mengenal alam, manusia dan jin
Belajar sopan berbaris serta terpimpin

Teknik mengatur segalanya dari awal
Tampak bagaimana ibu ayah tidak gagal
Masyarakat bersih teratur hindari yang mokal
Termasuk dimana tempat tinggal para dajjal

Nani Tandjung, rawajati , 16 Mei 2020





KUSIAPKAN PUISI UNTUKMU

Kuceritakan dalam puisiku
Terjadi ditahun dua ribu dua puluh
Kau belum kelihatan di pandanganku
Entah siapa bapakmu atau ibumu

Semoga masih tersambung alir darahku
Kau temukan buku yang menarik qalbumu
Kau tertarik sejarah masa lalu
Jantungmu berdebar ingin tahu

Ya itu aku itu puisiku kutulis ramadhan syahdu
Entah ibu entah bapakmu yang ikut terharu biru
Mereka berdecak mencari tambahan cerita baru
Ingin jelas siapa aku yang terbawa dalam buku

Mereka cari buku lain yang ada korelasinya
Hingga semua isi perpustakaan di baca
Ah ya mereka membawa sekerat darah
Yang masih tersisa terbawa dalam aorta
Di ramadhan yang kami catat kisahnya
Dalam usia tua renta diujung masa

Kau masih jauh
Kusiapkan puisiku
Untukmu dan keturunanmu

Nani Tandjung, Rawajati 16 Mei 2020





36.Raden Rita Maimunah RAMADHAN TAK LAGI SEMARAK

36.Raden Rita Maimunah

RAMADHAN TAK LAGI SEMARAK

Mimpi mimpi yang ada dalam kalbu
Adalah mimpi mimpi tahun kemaren
Saat ramadhan datang kita akan selalu berada di mesjid
Seperti di rumah kita sendiri
Jiwa bergelora mendengar azan dan tadarus
Hasrat menggebu mendengar ceramah
Dari satu mesjid ke mesjid lain jalani tarawih dengan gembira
Tahun ini mesjid mesjid sunyi
Teriakan anak anak menunggu tarawih tak lagi terdengar
Bahkan suara suara sholat tarwihpun tak ada
Sunyi..
Membuat luka luka jiwa terbentuk dari kesedihan
Sampai malam datang menjemput  kelam
Suasana sepi hingga subuh tiba
Ramadhan tahun ini tak lagi pancarkan senyum dan keceriaan
Kita hanya dapat berdoa
Mengatupkan tangan memohon pada yang Kuasa
Agar ramadhan yang kan datang kembali semarak
Padang, 6 mei 2020

Raden Rita Maimunah, dengan no HP: 082172619207, WA 081266135861, Alamat surat menyurat, Komplek Pemda Blok F2, Sungai lareh kelurahan Lubuk Minturun, Kecamatan Koto Tangah Padang Sumatera Barat . Email maimunahraden@yahoo.co.id, masuk dalam berbagai  antologi Puisi dan antologi cerpen,  menerbitkan 2 buku antalogi Puisi tunggal  dengan nama pena yang juga sering menggunakan  nama  Raden Rita Yusri