Senin, 06 Mei 2019

Puisi M. Sapto Yuwono dalam ACP

16. M. Sapto Yuwono

Kepada Zara Zetira ZR dan Putriku


Pada kedatangan seuntai cinta
Menyejuk
Merapal doa
Kini dan esok
Dambaan putih dan gambaran asa
Putriku merasuk pada harap


Pada padanan kenyataan
Terurai kesanggupan
Inspirasimu mengalir
Menuang kental nyata
Putriku
Dan empat belas tahun lalu
Bahkan sebelumnya
Kini
Kutuangkan pada goresan
Nyata dan hakiki

Kini
Putriku bernama Zella Midzi  Zeta
Adalah seuntai cintaku pada goresan namanu
Ada rasa banggaku padamu
Semoga ada dan bisa

Muara Bungo, 21 April 2019



M. Sapto Yuwono, lahir.  49 tahun yang lalu, tinggal.di Muara Bungo.Jambi.



Puisi Arie Png Adadua (Syaiful B. Harun.) dalam ACP

17. Arie Png Adadua  (Syaiful B. Harun.)

Tapi Aku
aku ingin menjadikan diriku
sebagai kayu yang dijadikan abu oleh api
untuk cintanya yang sederhana

aku ingin menjadikan diriku
sebagai awan yang dijadikan tiada oleh hujan
untuk cintanya yang sederhana

tapi aku seperti berbaris puisi yang dihapus pada selembar kertas
yang tiada pernah dapat dibaca dalam sebait puisi
tapi aku seperti titik embun yang lebur dalam gerimis malam
yang hadirku kemarin dilupakan oleh bunga perdu
Palembang, 21/04/2019
*) terinspirasi puisi “Aku Ingin” (Sapardi Djoko Damono)



Arie Png Adadua adalah nama pena dari Syaiful B. Harun. Lahir di Palembang,16-06-1967 yang kini berdomisili di Palembang. Berprofesi sebagai salah seorang guru di Ma’had Al Islamiy Aqulu-el Muqoffa. Semasa kuliah telah tertarik pada puisi, terlebih sejak menjuarai “Lomba Cipta Puisi Provinsi Bengkulu”, dalam rangka memperingati Penyair Chairil Anwar pada tahun 1996. Buku yang pernah diterbitkan berupa kumpulan puisi tunggal Nyanyian Cerita Fajar (Palembang, 2004) dan buku teks Apresiasi dan Menulis Puisi (Palembang, 2018), serta beberapa buku antologi puisi, yaitu “Gerhana” Memperingati Peristiwa Gerhana Matahari Total di Sebagian Wilayah Indonesia - Rabu, 9 Maret 2016 (Jakarta, 2016), Celoteh di Bawah Bendera (2018), Nyanyian Sang Bayu (2018), Segenggam Kenangan Masa Lalu (2018), Marhaban ya Ramadhan (2018), Lumbung Puisi VI, Indonesia Lucu (2018), Antologi Puisi Perempuan “Rembulan Bermata Intan” (2018), Musafir Ilmu (2018), Kata Mutiara Pendidikan (2018), Sedekah Puisi (2018), Antologi Puisi Tulisan Tangan – Satria Piningit (2018), Puisi Mblekethek (2018), dan Antologi 6 Penyair Grup ASM “Dari Malam Sunyi Sampai Aku Sudah Tiada” (2019)


Puisi-ouisi Agus Mursalin dalam ACP

18.Agus Mursalin

Omongan Tanpa Naskah
(kau yang selalu bergejolak)

Selalu gerak gertakanmu
Oleng kanan kiri limbung melinglung
Sebaris bait mengeja kata
Irama tubuh ikut membaca
Arti menjelma naluri terbawa pesan
Wajah berekspresi tanpa beban
Alunan suara mengguruh
Nafas mengikut menyeluruh

Lalu lalang huruf di pikiran
Elan vitalmu pada kesejatian
Akhir tiap pembacaan
Kesimpulan yang  tak terbantahkan
Murtirejo, 25 Maret 2019



Agus Mursalin

Saxophon Sayap Kumbang

Sangkan paranmu menandakan batas
Darimana berasal kemana bertuju
Tak perlu menunggu tiupan  malaikat untuk bertemu wujud asli dalam sanubari
Karena  terompetmu mengaum membawa kesejatian rupa
Atas gelisah atas pencarian atas kesaksian
Sang Maha Adil
Menyanyi di tiap celah liang kubur kau singgah bersimbah
Air mata taubatmu menjadi bah
Menenggelamkan
Menggontor lepas
Menyuci hati
Lahir kembali
Merupa lukisan wajah wali
beratus kanvas

Cerca bibirmu menumpahkan peluru di negeri para Jancuker
Pengecut penjilat pengabdi pemuja penuhi beranda
Kau presideni mereka
Tanpa proklamasi seheroik tahun '45
Murtirejo, 27 Maret 2019

Agus Mursalin, lahir bukan di bulan Agustus, tahun 1971. Lulus IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1998, Koordinator Pendamping Desa Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Bergiat sastra di LISONG (Lingkar Sastra Gombong). Tinggal di Murtirejo Kebumen.

Puisi-puisi Sugeng Joko Utomo dalam ACP

19. Sugeng Joko Utomo

Ode Buat Rendra

Puisi yang kau gubah
Lewat sorot mata gundah
Seperti elang mengicar rubah
Melesat tatap bak anak panah

Bibir tegas mengucap lafal
Garang keras melempar sebal
Memantul seperti bola futsal
Di sana-sini membentur portal

Gemulai jemari meliuk molek
Seperti jingkat genit merak bersolek
Membeber tentang kedunguan tetek bengek
Nasib dunia diperkosa manusia-manusia bebek

Lantang kalimatmu Willy
Merobek langit bumi pertiwi
Mengajarkan berjuta cara menghormati
Anugerah indah dari Ilahi

Namun banyak cibir menista
Dari mulut-mulut sinis pendusta
Yang terusik kenyamanan hidup semata
Oleh teriak galakmu wahai Rendra

Gigih kepalmu meninju dunia
Memporakporandakan istana durjana
Tak perduli berjuta racun kau terima
Coba menghalaumu tanpa rasa

Kau menjadi mercusuar
Benderang nyala berpijar
Terangi meja-meja altar
Sumber inspirasi budaya pintar

Tasikmalaya, 24 Maret 2019

Sugeng Joko Utomo

Wijimu Thukul Subur

Kamu
Disuruh diam
Malah makin keras mengecam

Kamu
Dipaksa bungkam
Malah makin galak mengancam

Lalu yang terjadi
Sepi berhari-hari
Bahkan sampai kini

Lantang ceracau
Disinyalir pengacau
Membuat hati galau
Para pemilik otak kerbau

Sejak saat itu
Tak terendus jejakmu
Pada rerumput tiada
Pada ubin marmer tak ada
Di gedung megah tak tercatat
Di pasar terminal tak terlihat

Hanya di lembar koran
Berita penyair dihilangkan
Terpampang nyaris buram
Sekusam nasib rawan

Wiji Thukul
Semakin subur wijimu
Thukul di hatiku
Di hati para insan
Penyuara kebenaran
Tasikmalaya, 25 Maret 2019


Sugeng Joko Utomo.  Guru mapel Fisika dan Rekayasa Perangkat Lunak di SMK TI Riyadul Ulum Cibalong Tasikmalaya. Dan guru mapel Biologi di SMA BoardingSchool Bina Insan Mandiri Bantarkalong Tasikmalaya. Pencetus dan admin grup penulis sastra Kebumen di FB, "Prosa Kita Puisi Kita". Rajin menulis puisi bertema jatuh cinta dan patah hati dan geguritan Jawa Ngapak. Sedang menunggu sponsor untuk menerbitkan lebih dari 200 puisinya dalam 2 buku kumpulan puisi. Asal dari Gombong tinggal di Tasikmalaya. Sekarang juga tengah bergiat di Lingkar Sastra Gombong (LISONG)





Minggu, 05 Mei 2019

Puisi-puisi M Dhaun El Firdaus dalam ACP

20. M Dhaun El Firdaus

Setelah Pertemuan Itu
 (Teruntuk Gus Candra Malik)

Sebab tatapan pertama yang membuat candu
Aku merindu
Menjadikan sketsa wajahmu hiasan dinding waktu
Harapan dan doa pun diwarnai asmamu

Sebab tatapan pertama yang membuat candu
Cinta itu kini berlayar melanjutkan perpisahan
Memuat rasa kagum dan keingintahuan
Melabuhkan pertanyaan "Bagaimana kau bisa mengenali hatiku?"


Gus, sebab tatapan pertama yang membuat candu
Biarkan kukirim tanda panah asmara untukmu
Mengikuti arah yang pernah kautunjukkan
Menyentuhmu dengan ayat-ayat dari Tuhan

Gus, setelah pertemuan pertama itu yang tak terlupa
Gejolak hati semakin berarah menemukan damainya
Kian menggugurkan butiran bertasbih
Izinkan antaranya ada untukmu, Al Fatihah...

Sruweng, 31 Maret 2


M Dhaun El Firdaus

Aku Bayi sebab Kau Ayah
(Teruntuk Achmad Masih)

Jatuh ke dunia aksara membuatku ingin mengeja semesta
Tanah-tanahnya yang digerogoti rindu menggelar lembar-lembar dahaga
Ingin kuteguk sampai puas liarnya kata-kata
Sedang aku terlalu bodoh menjejakkan tinta

Kupaksa mengayunkan pena
Berinteraksi dengan alam raya
Meski pemahamanku terbata-bata mengenali bahasanya
Kucoba merekam dengan diksi sederhana

Tak mudah mendulang jiwa puitis yang merengek kelaparan
Kucoba memasak rima, irama, mantra yang kubumbui cinta
Namun aku masih saja bingung menyajikannya
Lalu kumemanggilmu, "Ayah"

Kuanggap dirimu orang tua dan guru
Sapaan bijak, lembut, dan penuh kasih kauberi
Di lapang dadamu kautimang lembaran kertas yang gagu
Hingga abjad tersusun menjelma deretan arti

Aku ibarat bayi literasi
Lahir  dari penjuru abu-abu
Tak pandai memainkan jemari
Lalu kaubimbing merangkak dan melantangkan suaraku
 Ayah...
Hanya jarak Kebumen-Jogja yang memisahkan
Sesungguhnya kita tak pernah jauh
Doa adalah saksi yang mempertemukan

Sruweng, 4 April 2019

M Dhaun El Firdaus,lahir di Kebumen, tanggal 13 Agustus, tanpa angka tahun. Sekarang tinggal di Sruweng, Kebumen. Ibu rumah tangga ini suka menulis semenjak tahun 1990-an dalam bentuk puisi, cerpen, fiksi, dan kata-kata motivasi. Sangat mecintai karya-karya para Sufi.
Mbak Dhaun, begitu dia biasa disapa, beberapa kali menjadi kontributor dalam event-event puisi. Buku yang pernah diterbitkannya adalah Kumpulan Puisi PELAYARAN HATI PENDAMBA SURGA. Saat ini beliau juga aktif di Lingkar Sastra Gombong (Lisong). Modal hidup : Positif thinking . Motto : komunikasikan hidup pada Yang Maha Pencipta.




.Puisi Karan Figo dalam ACP

21.Karan Figo.

Aku Pengagummu Ki Ronggo Warsito

Tak semua orang tahu
Tapi karyamu terlanjur tertanam di benaku
Tak semua orang mengenalmu
Tapi karya-karya sastramu telah menggetarkan semua jiwa-jiwa membatu

Memang aku tak langsung melihat sosoknya itu
Tapi karyamu lebih memikatku
Memang aku lahir bukan di masamu
Tapi aku cukup mengagumi karya-karyamu

Ki Ronggo Warsito bapak sastrawan Jawa Dwipa
Banyak karyanya yang seolah nyata
Seperti syair saktinya
Yang hingga kini terus di bicarakan dunia

Jaman iki jaman wis edan
Yen ora ngedan ora keduman
Jaman ini sudah jaman edan
Kalau tidak ikut ngedan tidak kebagian

Sikayu, 30 Maret 2019
Karan Figo

Karan Figo

Wiji Sing Tetep Thukul

Tek tawur winih wijiku
Tek siram winih wijiku
Tapi wijiku garing klinting
Tapi godong pangmu, kabeh garing

Oh udan..endi udan
Aku wis edan..awaku gupak kotoran
Awu, ladu, kabur kanginan
Tememplek nang kabeh panggonan

Oh...udan...endi udan
Kae suket witwitan pada tetangisan
Jedeeeeeeeerrrr...kemlabet, icir-icir ana kelep nggawa udan gedene sapendul-pendul
Akhire wiji sing garing klinting, ora sida mati tapi tetep dadi wiji sing thukul.

Terus thukul, terus thukul..!!
Dadia wit wit sing migunani
Terus thukul, terus thukul..!!
Ngremboko uga mayungi.

Sikayu:30 Maret 2019,22:40
Karan Figo cah Sikayu


Karan Figo. Pekerjaan wiraswasta, dagang. Hobi menulis puisi. Menulis di event tantangan 100 puisi dalam 100 hari yang diadakan oleh J-Publisher. Pernah menulis hanya 10 hari di event pertama; masuk 10 penulis teraktif/tercepat dalam 28 hari terakhir, dan rangking 3 dari 7581 anggota. Beberapa terbitan karyanya adalah: Segenggam Pasir di Tepi Samudra Biru, Buih Alam Sekitar Kita, Bulir-bulir Embun Pagi, Bait-bait Sangga Langit, oleh Penerbit J-Maestro. Aktif menulis di grup Editorial Ceentina,. Pernah mendapatkan beberapa sertifikat sebagai peserta/kontributor di event-event grup-grup  sastra, seperti : Syalira, Sastra Pujangga Indonesia (SPI), ATC, Goresan Pena, dll. Asli kelahiran Sikayu, Buayan, tinggal di Jakarta. Kini tengah bergiat di Lingkar Sastra Gombong (LISONG)

Puisi Anom Triwiyanto dalam ACP

22.Anom Triwiyanto

                                                                Rebel Anwar

 (Untuk keabadian Chairil Anwar)
Sampai kapan kau akan menghantui kami?
Dalam buku-buku sekolah bersemayam abadi
Sampai bila seribu tahun lagi?
Bercokol kekal dalam riwayat literasi
Kuat berakar dalam moda legenda

Sampai kapan kau beri sela pada tunas muda sama bara?
Sudah penghujung jaman keempat dan kau masih saja keramat
Sampai berapa terra pemula harus gumamkan mantra?
Atau tampuk itu akan jatuh pada mesin-mesin yang belajar bernurani

Ingin kulupa binatang jalang, Diponegoro dan Dien Tamaela yang dijaga datu-datu
Tetap saja kami kerdil dalam kungkungan narasi akademi yang dijaga sekian generasi sarjana

Apa yang kau pikirkan?
beep
Apa lagi yang kau pikirkan?
beep
Update lagi yang kau pikirkan
beep

Dan sepertinya kami tak kuasa
Membesarkan diri dalam totem masa
Kami ingin keluar saja dari lembaran dua matra
Hidup sebagai puisi sejadi-jadi
Mewujud kata tanpa guratan pena
Membakar oplah dalam kopi, hujan, dan senja
Melupa bila
Bersemena-mena dengan kesementaraan dawai nyala
Pensiun dini
Punah tanpa lunas mimpi
Kami
                                            Gombong, Maret 2019
 

Anom Triwiyanto

                                                            Huizche Tak Terperi 
 
Terkesiap gagap menanggap
Menyimak Mata Luka Sengkon Karta dengan jantung berderap
 
"aku seorang petani bojongsari
menghidupi mimpi
dari padi yang ditanam sendiri"
 
Adukan luka, amarah, dan erang tak berdaya
Begitu bernyawa mencelat fasih dari sang penggubah,
yang tak terlintas sedikit pun di jelajah baca sebelumnya
 
Perih merayap meraba pose nyaman penyaksian
Merinding dingin dihantui hidupnya pembacaan
Rapal kedalaman menahan jemari
untuk memutuskan henti tayang
padahal hanya sejarak sekali sentuh
 
Maka aku terbiar
Terhanyut
Pasrah mati dalam penghayatan
Ikut terpukul
Terantuk sakit
Tersungkur panik
Turut mengaduh ditendang sepatu lars lemah kemanusiaan
Memojok ngeri coba menghindar dari hunusan lembing tanpa hati
Meradang mengharap kosong ditengah nanar "anjing!" dan "babi!"
Jangan sadarkan aku terlalu segera, wahai Sang Maha!
Ini lupa yang selow saja, begitu memalukan dipelihara!
Menulis moral, memimpi peradaban, serasa kudapan sampah saja!
 
"tuhan tak datang di kehidupannya
malaikat pencatat kebaikan
kemana kau ngeloyornya?"
 
Mimik seribu wajah
Tajam mata cakar pandang
Menghardik tajam pada para pemanja jaman
Tak cukup merangkum salut,
aku lelaki
tertunduk mengkurcaci
menangis banci
 
Untuk tak menyurutkan hormat
pada daftar besar legenda pemantra lintas generasi
:Ini tuan pujangga padat gelora,
siapa gerangan?

 (untuk aksi "Mata Luka Sengkon Karta" dan Peri Sandi Huizche)
Gombong, Maret 2019

Anom Triwiyanto, lahir di Gombong, 8 November 1974. Sempat mengenyam pendidikan di FSRD ITB Bandung (dropped-out). Bekerja sebagai Freelancer di bidang desain graphic, clothing, videography. Mengerjakan apa saja kecuali lukis kanvas. Tempat tinggal sekarang : Buayan, Gombong, Kebumen, Jawa Tengah. Menulis dan membaca dianggapnya sebagai penyegar disela rutinitas utamanya yang cenderung lebih banyak berkaitan dengan ranah visual dan multimedia. Kini tengah bergiat di Lingkar Sastra Gombong (LISONG).






Puisi Buanergis Muryono dalam ACP

23.Buanergis Muryono

                                                             Sulaiman As Salomo

Dia dikenal sebagai Raja, Nabi, Pujangga, Pengkhotbah, dengan seribu isteri.
Putra Nabi Daud ini menulis dan melukiskan apa pun yang dilaluinya. Mulai dari puing-puing hingga puting-puting gugusan Kurma.
Kehidupannya digambarkan penuh keindahan, kesempurnaan, kemuliaan, sebab arif bijaksana menjadi satu pohon doanya.
Bukan kekuasaan
Tidak kedudukan
Bahkan kekayaan...dia tidak inginkan
Tidak dia butuhkan
semua adalah sia-sia tanpa tulus syukur.
Sulaiman
Salomo
Sang Nabi
Maharaja
Memohon Kearifan dan Kebijaksanaan.
Maka segala-galanya dia dapatkan
Dianugerahkan
Sampai binatang-binatang pun menyapanya
Tumbuh-tumbuhan meneduhinya
Alam raya memeluknya.
Akhirnya
Dia diam
Diam dalam kamar
Hening
Sunyi
Sepi
Sendiri
Tidak bangun
Enggan bangkit
Duduk diam dengan pena di tangan
Terpejam
Penuh puas lembut senyuman
Atmannya menuju sempurna awal daya hidup
Melepas raganya diam sendirian....
Sulaiman
Salomo
Sang Raja
Sang Pujangga
Diam selamanya
Tapi buah penanya...sampai di ujung mata ini....
Juga datang padamu
Bila mau....
Tulisan Sulaiman
Goresan Salomo
kini disebut people...KITAB...
Kitab Kehidupan
sebab tulisannya memberi daya hidup
Pembangkit spirit
Bagi anak cucu Sulaiman di muka bumi
Atas seluruh manusia
Bagi bangsa-bangsa
Berbeda-beda, namun satu adanya
Satu
Menyatu
Anak Cucu Sulaiman
Salomo
Sang Raja
Sang Pujangga
Sang Nabi....

Buleleng Bali 2019 07:40


Puisi Lela Hayati dalam ACP

24. Lela Hayati

Manteramu Candu Cintaku

lima percik mawar
tujuh sayap merpati
terhunus asmara mengakar
menukik nyanyian di jantung hati

sesayat langit perih
terburai darah mengalir masih
dicabik puncak gunung
aku melanglang merambahi relung

sepi mengubur lilitan rindu
terjerat jiwa suguhan dupa rupa
malam menggelora bayangmu
bisik bisik atma menggoda

dayaku terampas bagai magnet
tugu menyan luka
mengasapi duka
menggerogoti setiap lekuk sendi oleh ulat-ulat keket

puih!
aku melirih
kau jadi kau
engkaulah dikau

kekasihku

Bandung, 20 April 2019





Lela Hayati di Surakarta, 03 Desember 1972 Tinggal di Jl Bojong Koneng 131 Cikutra - Bandung. Lela H adalah hanya perempuan biasa yang menyukai merangkai kata yang ada unsur seni sastranya. Sekarang aktif di beberapa grup sastra di dunia maya.  Mengikuti antologi Bersama Lumbung Puisi sastrawan Indonesia VII 2019



Puisi Barokah Nawawi dalam ACP

25.Barokah Nawawi


Kepada Toto Sudarto Bachtiar


Ijinkan aku memanggilmu guru
Karena lantaran dirimulah aku mengenal puisi
Dan mencintainya sampai kini.

Kubaca berulang kali Etsa dan Suara
Kurasakan berulang kali rasa sedih dan rindumu pada dunia tanpa tepi
Betapa akrab dirimu dengan mereka-mereka yang menjadi obyek puisimu
Tak ada garis pemisah meski hanya seujung rambut yang sangat tipis.

Namamu memang tak seheboh Chairil Anwar
Yang memisalkan dirinya sebagai binatang jalang
Tapi aku merasa lebih akrab dengan dirimu
Jiwa sunyi yang tersisih yang merindu kasih sayang
Yang panjang dan abadi.

Betapa mesra kau menyapa sahabatmu
"Gadis kecil berkaleng kecil "
Yang menurutmu dunianya lebih tinggi dari menara katedral
Tapi yang begitu kau hafal
Dan jiwanya begitu murni, terlalu murni
Untuk bisa membagi dukamu.

Toto Sudarto Bachtiar
Penyair sederhana dalam kehidupan yang sebenarnya
Kemanapun kau pergi kau lebih suka bersama orang banyak
Menyusuri lika liku kota dengan angkot yang berjubel
Dengan baju sederhana tanpa dasi dan sepatu yang mengkilat.

Kau adalah kehidupan yang sepi
Sesepi puisi-puisimu yang mengharu biru rasa hati
Dan aku terjerembab kedalam labirinmu
Sampai kini.


Semarang, 21 April 2019



Aloysius Slamet Widodo

Aloysius Slamet Widodo (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 29 Februari 1952; umur 67 tahun) adalah pengusaha yang juga sastrawan berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal di kancah kesusasteraan Indonesia melalui karya-karyanya berupa puisi mbeling yang dipublikan di sejumlah surat kabar Indonesia. Slamet Widodo merupakan salah satu penyair yang tergabung dalam Gerakan Puisi Menolak Korupsi. Etnomusikolog Rizaldi Siagian, pernah menyusun komposisi musik dari puisi-puisi bertema lingkungan karya Slamet Widodo. Kolaborasi mereka diwujudkan dalam bentuk visual grafis yang diberi tajuk Kehidupan: Dalam Ekspresi Teater Bunyi. Beberapa seniman yang terlibat dalam proyek tersebut antara lain Rahayu Supanggah, Peni Candrarini, Dharsono, Djenar Maesa Ayu, dan Masri Ama Piliang. Saat ini, Slamet Widodo aktif mengelola Komunitas Sastra Reboan yang diselenggarakan setiap bulan, di Warung Apresiasi, Bulungan, Jakarta Selatan. Karya Slamet Widodo seperti : Potret Wajah Kita (Jakarta, 2004), Bernapas Dalam Resesi (Jakarta, 2005),
Kentut (Jakarta, 2006), Selingkuh (Precil Production, Jakarta, 2007),
Simpenan (2010), Namaku Indonesia (Pena Kencana, Jakarta 2012),



Rg Bagus Warsono,

Rg Bagus Warsono, nama lainnya Agus Warsono lahir di Tegal 29 Agustus 1965. Ia dibesarkan dalam keluarga pendidik  yang  dekat dengan lingkungan buku dan membaca. Ayahnya bernama Rg Yoesoef Soegiono seorang guru di Tegal, Jawa Tengah. Rg Bagus Warsono menikah dengan Rofiah Ross pada bulan Desember 1993. Dari pernikahan itu ia dikaruniai 2 orang anak. Ia mulai sekolah dasarnya di SDN Sindang II  Indramayu dan tamat 1979, masuk SMP III Indramayu tamat tahun 1982,  melanjutkan di SPGN Indramayu dan tamat 1985. Lalu ia melanjutkan kuliah di D2 UT UPBBJJ Bandung dan tamat tahun 1998, Kemudian kuliah di STAI di Salahuddin Jakarta dan tamat 2004 , pada tahun 2011 tamat S2 di STIA Jakarta. Setelah tamat SPG, Rg Bagus Warsono menjadi guru sekolah dasar, kemudian pada tahun 2004 menjadi kepala sekolah dasar, dan kemudioan 2015 pengawas sekolah. Tahun 1992 menjadi koresponden di beberapa media pendidikan seperti Gentra Pramuka, Mingguan Pelajar dan rakyat Post. Pada 1999 mendirikan Himpunan Masyarakat Gemar Membaca di Indramayu. Menjadi anggota PWI Jawa Barat. Rg Bagus Warsomo juga menulis di berbagai surat kabar regional dan nasional seperti PR Edisi Cirebon, Pikiran rakyat, Suara karya dan berbagai majalah pendidikan regional maupun  nasional.
Karya : a. Puisi
1. Bunyikan Aksara Hatimu, Sibuku Media , Jogyakarta 2013
2. Jakarta Tak Mau Pindah, Idie Publising, Jakarta 2013
3. Jangan Jadi sastrawan, Indie Publising, Jakarta 2013

Chairil Anwar

Chairil Anwar (lahir di Medan, 26 Juli 1922 – meninggal di Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun), dijuluki sebagai "Si Binatang Jalang" (dari karyanya yang berjudul Aku), adalah penyair terkemuka Indonesia berdarah Minangkabau. Dia diperkirakan telah menulis 96 karya, termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, dia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45sekaligus puisi modern Indonesia.
Chairil lahir dan dibesarkan di Medan, sebelum pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) dengan ibunya pada tahun 1940, di mana dia mulai menggeluti dunia sastra. Setelah mempublikasikan puisi pertamanya pada tahun 1942, Chairil terus menulis. Puisinya menyangkut berbagai tema, mulai dari pemberontakan, kematian, individualisme, dan eksistensialisme, hingga tak jarang multi-interpretasi.
Chairil Anwar dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada 26 Juli 1922. Dia merupakan anak satu-satunya dari pasangan Toeloes dan Saleha, keduanya berasal dari Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai bupati Indragiri, Riau. Dia masih memiliki pertalian keluarga dengan Soetan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Sebagai anak tunggal, orang tuanya selalu memanjakannya, namun Chairil cenderung bersikap keras kepala dan tidak ingin kehilangan apapun; sedikit cerminan dari kepribadian orang tuanya.
Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Saat usianya mencapai 18 tahun, dia tidak lagi bersekolah. Chairil mengatakan bahwa sejak usia 15 tahun, dia telah bertekad menjadi seorang seniman.
Pada usia 19 tahun, setelah perceraian orang tuanya, Chairil bersama ibunya pindah ke Batavia (sekarang Jakarta) di mana dia berkenalan dengan dunia sastra; walau telah bercerai, ayahnya tetap menafkahinya dan ibunya. Meskipun tidak dapat menyelesaikan sekolahnya, ia dapat menguasai berbagai bahasa asing seperti Inggris, Belanda, dan Jerman. Ia juga mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer Maria Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, Hendrik Marsman, J. Slaurhoff, dan Edgar du Perron. Penulis-penulis tersebut sangat memengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung terhadap tatanan kesusasteraan Indonesia.
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan puisinya yang berjudul Nisan pada tahun 1942, saat itu ia baru berusia 20 tahun. Hampir semua puisi-puisi yang ia tulis merujuk pada kematian. Namun saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di majalah Pandji Pustaka untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu individualistis dan tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta, Chairil jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945.Kemudian ia memutuskan untuk menikah dengan Hapsah Wiraredja pada 6 Agustus 1946. Mereka dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa, namun bercerai pada akhir tahun 1948.


Makam Chairil di TPU Karet Bivak
Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya. Sebelum menginjak usia 27 tahun, sejumlah penyakit telah menimpanya. Chairil meninggal dalam usia muda di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo), Jakarta pada tanggal 28 April 1949. Penyebab kematiannya tidak diketahui pasti, menurut dugaan lebih karena penyakit TBC. Ia dimakamkan sehari kemudian di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Chairil dirawat di CBZ (RSCM) dari 22-28 April 1949. Menurut catatan rumah sakit, ia dirawat karena tifus. Meskipun demikian, ia sebenarnya sudah lama menderita penyakit paru-paru dan infeksi yang menyebabkan dirinya makin lemah, sehingga timbullah penyakit usus yang membawa kematian dirinya - yakni ususnya pecah. Tapi, menjelang akhir hayatnya ia menggigau karena tinggi panas badannya, dan di saat dia insaf akan dirinya dia mengucap, "Tuhanku, Tuhanku...". Dia meninggal pada pukul setengah tiga sore 28 April 1949, dan dikuburkan keesokan harinya, diangkut dari kamar mayat RSCM ke Karet oleh banyak pemuda dan orang-orang Republikan termuka. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari masa ke masa. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar. Kritikus sastra Indonesia asal Belanda, A. Teeuw menyebutkan bahwa "Chairil telah menyadari akan mati muda, seperti tema menyerah yang terdapat dalam puisi berjudul Jang Terampas Dan Jang Putus".

Selama hidupnya, Chairil telah menulis sekitar 94 karya, termasuk 70 puisi; kebanyakan tidak dipublikasikan hingga kematiannya. Puisi terakhir Chairil berjudul Cemara Menderai Sampai Jauh, ditulis pada tahun 1949,sedangkan karyanya yang paling terkenal berjudul Aku dan Krawang Bekasi. Semua tulisannya baik yang asli, modifikasi, atau yang diduga dijiplak, dikompilasi dalam tiga buku yang diterbitkan oleh Pustaka Rakyat. Kompilasi pertama berjudul Deru Campur Debu (1949), kemudian disusul oleh Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin). Karya tulis Chairil Anwar yang diterbitkan adalah Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)
Tiga Menguak Takdir (1950) (dengan Asrul Sani dan Rivai Apin)
"Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949", disunting oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986)
Derai-derai Cemara (1998). Chairil juga menerjemakan karya  seperti Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide dan Kena Gempur (1951), terjemahan karya John Steinbeck

Puisi-puisi Sukma Putra Permana dalam ACP

26.Sukma Putra Permana

Catatan untuk Chairil , di Batu Kilometer Terakhir Antara Krawang –Bekasi

Kuhentikan langkahku, pada batu kilometer terakhir antara Krawang-Bekasi. Teringat kisahmu getir, Ninik. Namun semangat masih berapi. Tentang jasad-jasad yang terbaring, sangat ingin diberi arti.
Kusandarkan ranselku, pada batu kilometer terakhir antara Krawang-Bekasi. Kilasan kata-katamu bersyair. Walau tak ada lagi cinta sejak turun senja di pelabuhan kecil. Hingga Pattirajawane di pantai mata berapi.
Kusingsingkan lengan baju, saat tiba di batu kilometer terakhir antara Krawang-Bekasi. Untuk kutuliskan pesan padamu, Ninik. Masih ada yang harus dituntaskan dalam medan kehidupan. Bahwa untuk mendapatkannya, kepercayaan itu harus selalu diperjuangkan.
Dengan demikian, kiranya kita sudah pantas untuk hidup seribu tahun lagi.

April 2019


Sukma Putra Permana

Dukamu Sapardi Bukan Duka Abadi

Dukamu bukan duka abadi, Eyang. Yang selalu kau tuliskan dalam rangkaian kata. Hingga menjelang tutup senja. Setelah sedari pagi lelah berjalan ke arah barat.
Dukamu bukan duka abadi, Eyang. Yang ingin kau sampaikan secara perlahan. Kepada rinai rintik hujan. Nan menjadikan awan tiada.
Dukamu bukan duka abadi, Eyang. Yang belum sempat kau ucapkan karena rindu selalu kau rahasiakan. Hingga lelap angin malam bertiup dan menggugurkan dedaunan.
Dukamu bukan duka abadi, Eyang. Walau dengan ungkapan cinta sederhana akan aku redakan. Agar tiada lagi lara yang engkau rasakan. Dan dapat kita nikmati bersama sisa-sisa perjalanan kehidupan.

April 2019


Sukma Putra Permana, lahir di Jakarta, 3 Februari 1971. Berproses kreatif di Komunitas Belajar Menulis (KBM) Yogyakarta. Beberapa buku antologi terbaru yang memuat karya-karyanya, antara lain: Negeri Bahari (2018), Satrio Piningit (2018), dan Mblekethek (2019). Alamat tempat tinggal: RingRoad Timur Mutihan No.362 RT.5, Wirokerten, Kotagede, D.I. Yogyakarta 55194.


Puisi Fian N dalam ACP

Fian N

Di mana Kau Simpan Celanaku?
:Jokpin

Saya tidak tahu kenapa saya dilahirkan yang pertama.
Ibu tak pernah menceritakan hal itu kepada saya apalagi ayah,
hal itu tidak mungkin.
Maksudnya begini,
waktu kecil
saya tidak tahu apakah saya bercelana atau tidak,
yang pastinya saya sering telanjang,
kadang hanya dibalut kain
seperti Yesus saat disalibkan pada Jumat sore
di sebuah bukit tengkorak.
Saat itu, menurut Kitab Tua,
Yesus sudah berusia 32 tahun dan saya belum ada.
Saya pun bertanya,
di manakah kau sembunyikan celanaku?
Ini seperti sebuah pertanyaan yang gagal.
Jelas-jelas Jokpin hanya memainkan imaji
pembaca dalam kisah Yesus
dan celana yang sering menyembunyikan benda
yang ada di balik celana.
Begitu saja!
Maumere, 2019


Fian N adalah nama jalanan dari Fian Nggoa.Sedang menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero-Maumere. Bergiat di Komunitas KAHE-Maumere dan ASAL (Arung Sastra Ledalero). Kecil di Boawae dan besar di Maumere.Terlibat aktif dalam penulisan nasional bersama dan puisi-puisi tersebut dibukukan, antara lain Filososfi Padi (2017), Kita Dijajah Lagi (2017), Mencari Ikan Sampai Papua (2018), Indonesia Loecoe (2018), Sajak Untuk Pindul (2018), Seokarno, Cinta, dan Sastra (2018), Soekarno dan Wong Cilik (2018), Menjemput Rindu di Taman Maluku (2018), dll. Buku kumpulan puisi tunggalnya terbaru berjudul MUSAFIR, diterbitkan pada akhir tahun 2018.

Puisi -puisi wanto Tirta Wanto Tirta dalam ACP

28.Wanto Tirta

DI RUANG TAMU
bagi Suminto A. Sajuti

di ruang tamu yang teduh aku adalah bayang-bayang dinginnya
Kaliurang menghapus gerah di ruang tamumu aku minum jamu lega rasanya pintu-pintu terbuka tangan-tangan tengadah angin
Kaliurang kembali menyejukkan hati kau begitu semedulur :
Bapak
11012019




Wanto Tirta

DALAM BUS
catatan untuk Emha Ainun Nadjib

aku seperti mengaduk mimpi pemandangan perjalanan indah menawan sementara wajahmu bersih mripatmu jeli memandang tiap kilometer yang terlewati kagum jadi bara lelah jadi api dari pojok sejarah kutemukan tanganmu menenteng kertas putih wajahmu girang mulutmu melantunkan doa keselamatan
 17032019


Wanto Tirta

ELEGI PENDEK
bagi Chairil Anwar

berbilang tahun lewat batu nisanmu masih tegak memandang cakrawala menghitung bintang bintangmu sendiri sedu sedanmu masih mengalir ke laut seribu entah yang kau tuliskan telah mengundang berjuta antah yang tertumpah pada mulanya adalah pedang
membelah bumi baru setelah itu orang berebut jalan menapakinya masuk membentuk barisan aneka ragam di belakangmu
28042019



Wanto Tirta, Lahir dan besar di Desa Kracak Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyumas Jawa Tengah. Orang biasa saja, mengalir sampai jauh,...
Menulis puisi maupun geguritan.
Menerima penghargaan bidang sastra dari Pemkab Banyumas (2015). Penerima Nomine penghargaan Prasidatama Balai Bahasa Jawa Tengah, sebagai Tokoh Penggiat Bahasa dan Sastra Jawa (2017).
Bermain teater dan Kethoprak. Bergiat di Komunitas Orang Pinggiran Indonesia (KOPI), teater Gethek, Paguyuban Kethoprak Kusuma Laras





Dari Mantri Lumbung

Dari Mantri Lumbung

Lumbung Puisi memasuki tahun ke tujuh 2019. Wadah kecil memuat kecil namun terus mengisi lumbung dari pemikir-pemikir budiman di Indonesia. Kami membawa untuk maju bersama dan bersama-sama melestarikan sastra Indonesia khusus puisi. Sengaja memberi dengan tema-tema menarik di setiap antologi bersama dalam setiap jilid Lumbung Puisi. Dalam tenggang waktu kami memberi pula tema-tema khusus dan favoriete yang menawan bagi penggemar puisi Indonesia. Tema tema favoriete dan khusus seperti Kita di Jajah Lagi, Puisi Tulisan Tangan Penyair, dan Tadarus Puisi II adalah antologi bersama mengiringi Lumbung Puisi VI 2018. Kini memasuki jilid VII Lumbung puisi mengetengahkan tema menggelelitik, cukup luas utuk mengembangkan imajenasi yakni bertema Anak Cucu Pujangga (ACP) adalah antologi bersama yang menggambarkan bahwa seorang penulis adalah kodrat Illahi yang bukan sembarang orang bisa membuatnya. Asahan dan kreatifitas tentu menjadi bagian dari ACP bahwa menulis tak semata asal menulis tetapi juga bagaimana karya tulis kita disukai pembaca dan sarat makna serta menjadi unsur seni yang agung
Anak Cucu Pujangga (ACP) adalah tema luas Lumbung Puisi ke-7 tahun 2019 yang dimulai 22 Desember 2018 sampai 21 April 2019. Tema ini sengaja diberikan untuk memeilihara sastra Indonesia bahwa sastra memiliki generasi berkelanjutan yang tak terputus oleh bentuk traged  apa pun di Indonesia.
Sebagaimana telah di singgung dalam berbagai buku dan pendapat serta teori-teori genetika. Maka anak cucu pujangga tidak saja mewarisi terhadap keturunan langsung tetapi juga pada diluar keturunan terhadap murid langsung atau tidak langsung. Oleh karena itu penyair yang mengirim puisi di Lumbung Puisi VII 2019 dapat mencantumkan nama orang tua atau kakek sastrawannya baik keterunan langsung maupun tidak langsung.
Generasi dapat ditimbulkan melalui biologis maupun psikologi. Wajar bila orang menyebut 'anak biologis dan ' anak idiologis .
Nama besar kakek atau orang tua langsung dapat ditulis di nama penyair agar nama orang tua kita ikut menjadi bagian karya kita. Disamping itu faedah lain yaitu mengangkat nama orang tua.
Demikian seorang penyair menunjukan kebesaran budi dan kerendahan hati serta senantiasa mengingat jasa orang tuanya.
Tentu saja nama embel-embel itu hanya terdapat di antologi ini dan tidak melekat untuk menjadi nama selanjutnya dalam situasi yang lain.
Anak Cucu Pujangga memberikan ruang kreativitas bahwa sastra itu sebetulnya adalah 'garis lurus genetika dari'sononya. Semoga dengan Anak Cucu Pujangga ini dunia sastra semakin semarak dengan kreativitas-kreativitas baru yang pantas untuk dibaca semuanya .
( Rg Bagus Warsono, 26-12-2018)





Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (lahir di Surakarta, 20 Maret 1940; umur 79 tahun) adalah seorang pujangga berkebangsaan Indonesia terkemuka. Ia kerap dipanggil dengan singkatan namanya, SDD. SDD dikenal melalui berbagai puisinya mengenai hal-hal sederhana namun penuh makna kehidupan, sehingga beberapa di antaranya sangat populer, baik di kalangan sastrawan maupun khalayak umum

Masa mudanya dihabiskan di Surakarta (lulus SMP Negeri 2 Surakarta tahun 1955 dan SMA Negeri 2 Surakarta tahun 1958). Pada masa ini, SDD sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah. Kesukaannya menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang Bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Tahun 1973, SDD pindah dari Semarang ke Jakarta untuk menjadi direktur pelaksana Yayasan Indonesia yang menerbitkan majalah sastra Horison. Sejak tahun 1974, ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, tetapi kini telah pensiun. SDD pernah menjabat sebagai dekan FIB UI periode 1995-1999 dan menjadi guru besar. Pada masa tersebut, SDD juga menjadi redaktur majalah Horison, Basis, Kalam, Pembinaan Bahasa Indonesia, Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, dan country editormajalah Tenggara di Kuala Lumpur. Saat ini SDD aktif mengajar di Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta sambil tetap menulis fiksi maupun nonfiksi.
Sapardi Djoko Damono banyak menerima penghargaan. Pada 1986, SDD mendapatkan anugerah SEA Write Award. Ia juga penerima Penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar. Ia menikah dengan Wardiningsih dan dikaruniai seorang putra dan seorang putri.

Sajak-sajak Sapardi telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa daerah. Ia tidak saja aktif menulis puisi, tetapi juga cerita pendek. Selain itu, ia juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, menulis esai, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola. Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti "Aku Ingin" (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan), "Hujan Bulan Juni", "Pada Suatu Hari Nanti", "Akulah si Telaga", dan "Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari". Kepopuleran puisi-puisi ini sebagian disebabkan musikalisasi oleh mantan-mantan mahasiswanya di FIB UI, yaitu Ags Arya Dipayana, Umar Muslim, Tatyana Soebianto, Reda Gaudiamo, dan Ari Malibu. Dari musikalisasi puisi yang dilakukan mantan-mantan mahasiswa ini, salah satu album yang terkenal adalah oleh Reda dan Tatyana (tergabung dalam duet "Dua Ibu"). Selain mereka, Ananda Sukarlan pada tahun 2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya SDD.
Berikut ini adalah karya-karya SDD (berupa kumpulan puisi) serta beberapa esai.
Duka-Mu Abadi (1969)
Lelaki Tua dan Laut (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
Mata Pisau (1974)
Sepilihan Sajak George Seferis (1975; terjemahan karya George Seferis)
Puisi Klasik Cina (1976; terjemahan)
Lirik Klasik Parsi (1977; terjemahan)
Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak (1982, Pustaka Jaya)
Perahu Kertas (1983)
Sihir Hujan (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
Water Color Poems (1986; translated by J.H. McGlynn)
Suddenly The Night: The Poetry of Sapardi Djoko Damono (1988; translated by J.H. McGlynn)
Afrika yang Resah (1988; terjemahan)
Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia (1991; antologi sajak Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks)
Hujan Bulan Juni (1994)
Black Magic Rain (translated by Harry G Aveling)
Arloji (1998)
Ayat-ayat Api (2000)
Pengarang Telah Mati (2001; kumpulan cerpen)
Mata Jendela (2002)
Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro? (2002)
Membunuh Orang Gila (2003; kumpulan cerpen)
Nona Koelit Koetjing: Antologi cerita pendek Indonesia Periode Awal (1870an - 1910an)" (2005; salah seorang penyusun)
Mantra Orang Jawa (2005; puitisasi mantera tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)
Before Dawn: The Poetry of Sapardi Djoko Damono (2005; translated by J.H. McGlynn)
Kolam (2009; kumpulan puisi)
Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita (2012; kumpulan puisi)
Namaku Sita (2012; kumpulan puisi)
The Birth of I La Galigo (2013; puitisasi epos "I La Galigo" terjemahan Muhammad Salim, kumpulan puisi dwibahasa bersama John McGlynn)
Hujan Bulan Juni: Sepilihan Sajak (edisi 1994 yang diperkaya dengan sajak-sajak sejak 1959, 2013; kumpulan puisi)
Trilogi Soekram (2015; novel)
Hujan Bulan Juni (2015; novel)
Melipat Jarak (2015, kumpulan puisi 1998-2015)
Suti (2015, novel)
Pingkan Melipat Jarak (2017;novel)
Selain menerjemahkan beberapa karya penyair luar seperti Kahlil Gibran, Jalaluddin Rumi, dan Mak Dizdar ke dalam bahasa Indonesia, Sapardi juga menulis ulang beberapa teks klasik, seperti Babad Tanah Jawi (2005) dan manuskrip I La Galigo.



Toto Sudarto Bachtiar

Toto Sudarto Bachtiar (lahir di Cirebon, Jawa Barat, 12 Oktober 1929 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 9 Oktober 2007 pada umur 77 tahun)[1] adalah penyair Indonesia yang seangkatan dengan W.S. Rendra. Penyair angkatan 1950-1960-an ini dikenal masyarakat luas dengan puisinya, antara lain Pahlawan Tak Dikenal, Gadis Peminta-minta, Ibukota Senja, Kemerdekaan, Ode I, Ode II, dan Tentang Kemerdekaan.
Suara: kumpulan sajak 1950-1955, 1956, memenangkan Hadiah Sastra BMKN
Etsa (kumpulan sajak, 1958)
Datang dari masa depan: 37 penyair Indonesia (2000)
Toto Sudarto Cachtiar  juga mengerkan terjemahan antara lain : Pelacur (1954), terjemahan karya Jean Paul Sartre
Sulaiman yang Agung (1958), terjemahan karya Harold Lamb
Bunglon (1965), terjemahan karya Anton Chekhov
Bayangan Memudar (1975), terjemahan karya Breton de Nijs, diterjemahkan bersama Sugiarta Sriwibawa
Pertempuran Penghabisan (1976), terjemahan karya Ernest Hemingway
Sanyasi (1979), terjemahan karya Rabindranath Tagore


Willibrordus Surendra Broto Rendra

W.S. Rendra yang memiliki nama asli Willibrordus Surendra Broto Rendra (lahir di Solo, Hindia Belanda, 7 November 1935 – meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun) adalah sastrawan berkebangsaan Indonesia. Sejak muda, dia menulis puisi, skenario drama, cerpen, dan esai sastra di berbagai media massa. Pernah mengenyam pendidikan di Universitas Gajah Mada, dan dari perguruan tinggi itu pulalah dia menerima gelar Doktor Honoris Causa. Penyair yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak", ini, tahun 1967 mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta. Melalui Bengkel Teater itu, Rendra melahirkan banyak seniman antara lain Sitok Srengenge, Radhar Panca Dahana, Adi Kurdi, dan lain-lain. Ketika kelompok teaternya kocar-kacir karena tekanan politik, ia memindahkan Bengkel Teater di Depok, Oktober 1985
Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru bahasa Indonesia dan bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di Keraton Surakarta Hadiningrat. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya.
TK Marsudirini, Yayasan Kanisius.
SD s.d. SMA Katolik, SMA Pangudi Luhur Santo Yosef, Solo (tamat pada tahun 1955).
Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
Mendapat beasiswa American Academy of Dramatical Art (1964 - 1967).

Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek, dan dramauntuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.
Ia pertama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun '60-an dan tahun '70-an.
Kaki Palsu adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan Orang-orang di Tikungan Jalan adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya, Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan '60-an, atau Angkatan '70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, dan India.
Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi(1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).

Pada tahun 1967, sepulang dari Amerika Serikat, ia mendirikan Bengkel Teater yang sangat terkenal di Indonesia dan memberi suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air. Namun sejak 1977 ia mendapat kesulitan untuk tampil di muka publik baik untuk mempertunjukkan karya dramanya maupun membacakan puisinya. Kelompok teaternya pun tak pelak sukar bertahan. Untuk menanggulangi ekonominya Rendra hijrah ke Jakarta, lalu pindah ke Depok. Pada 1985, Rendra mendirikan Bengkel Teater Rendra yang masih berdiri sampai sekarang dan menjadi basis bagi kegiatan keseniannya..Bengkel teater ini berdiri di atas lahan sekitar 3 hektar yang terdiri dari bangunan tempat tinggal Rendra dan keluarga, serta bangunan sanggar untuk latihan drama dan tari. Di lahan tersebut tumbuh berbagai jenis tanaman yang dirawat secara asri, sebagian besar berupa tanaman keras dan pohon buah yang sudah ada sejak lahan tersebut dibeli, juga ditanami baru oleh Rendra sendiri serta pemberian teman-temannya. Puluhan jenis pohon antara lain, jati, mahoni, eboni, bambu, turi, mangga, rambutan, jengkol, tanjung, singkong, dan lain-lain.
Karya-karya Rendra yang berupa drama sebagai berikut :
Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
Bib Bob Rambate Rate Rata (Teater Mini Kata) - 1967
SEKDA (1977)
Selamatan Anak Cucu Sulaiman (dimainkan 6 kali)
Mastodon dan Burung Kondor (1972)
Hamlet (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)- dimainkan dua kali
Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)
Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya Sophokles, aslinya berjudul "Oedipus Rex")
Lysistrata (terjemahan)
Odipus di Kolonus (Odipus Mangkat) (terjemahan dari karya Sophokles,
Antigone (terjemahan dari karya Sophokles,
Kasidah Barzanji (dimainkan 2 kali)
Lingkaran Kapur Putih
Panembahan Reso (1986)
Kisah Perjuangan Suku Naga (dimainkan 2 kali)
Shalawat Barzanji
Sobrat
Kumpulan Sajak/Puisi
Ballada Orang-orang Tercinta (Kumpulan sajak)
Blues untuk Bonnie
Empat Kumpulan Sajak
Sajak-sajak Sepatu Tua
Mencari Bapak
Perjalanan Bu Aminah
Nyanyian Orang Urakan
Pamphleten van een Dichter
Potret Pembangunan Dalam Puisi
Disebabkan Oleh Angin
Orang Orang Rangkasbitung
Rendra: Ballads and Blues Poem
State of Emergency
Do'a Untuk Anak-Cucu