Aku Menyaksikan
Potret perjuangan
Dari buku yang kau tulis
Dari foto yang kau kumpulkan
Dan
film yang kau putar
Hanya sekuku
ireng
penderitaan
Aku melihat ribuan kepala berlinang air mata
Aku melihat darah membeku di mayat beku
Aku menyaksikan derita kesakitan menyayat
Sengsara
Lapar
Ketakutan
Kesakitan
Aku menyaksikan.
Rg Bagus Warsono, 1996
Aku Tak Menitipkan Anak-Anakku
Kecil
Aku ajari membidik burung gelatik
Untuk makan sore
Dan kau bisa memanah ikan dalam air
Tak berlari bertemu sanca
Tarik ekornya selagi kekenyangan
Dan benturkan kepalanya di batu
Aku ajari kau merayu
Macan lapar
Dengan tombak runcing bambu
Lalu sejak kecil mengerti
Memisahkan gabah dan beras dari butir padi
Kau dapat membawa diri
Membangun jiwamu sendiri
Dengan tiada tangis
Kau putra sejati.
Rg. Bagus Warsono, 1996
Jangan Kunjungi Nisanku
Kau berdoa untukku namun kau
mengotori batu nisanku dengan abu rokok
melumurinya dengan tahi kerbau
dan menginjak-injak bumiku yang damai dengan kakimu
yang najis.
Sementara burung walet di Pantai Kidul menghargaiku
dan kera-kera hutan menjauh merasa ia tak pantas berada
bumiku damai
Padahal aku tak melarang
Sementra pengemis, gelandangan, dan petani
mengirim doa dengan tulus
tanpa doa-doa yang direkayasa
Yang hanya menutup bejat pejabat kita
Jangan kau kunjungi nisanku
Jika kau tak hendak melihatku
Karena aku sesungguhnya
Sudah tak berada di sana
Ketika orang-orang sepertimu datang di tempatku.
Rg Bagus Warson, 1993
Si Bung Menangis
Mari buka buku sejarahmu
dengan penggaris dan pena
menekan kata
duhai kesuma
haruskah belajar mengeja
sedang umurmu tlah dewasa
Tersenyum Si Bung
memandang
anak-anak bangsa
betanyalah ! mengapa
aku pilih kaca mata hitam
agar aku tak melihat
agar kau tak melihat
Di sana
Si Bung membuka kaca mata
air mata membatu dalam sapu tangan
Merah putih
kenapa tidurku tak dapat nyenyak
duhai kesuma
selimuti aku dengan merah putihmu