Jumat, 22 Mei 2020

Tinjauan Puisi Rofiah Ross dalam karyanya : Ramadhan di Kampung Kami, Oleh Rg Bagus Warsono

 Puisi yang ditulis Rofiah Ross sungguh indah mengambarkan suasana desa. Pilihan kata yang bagus menyebabkan puisi pendek dalam Tadarus Puisi ini semakin kaya makna.

//Ramadhan di kampung kami
dari tengah malam ke tengah malam... //

 pembukaan yang menarik yang memberikan makna bahwa puisi ini sebulan masanya : Ramadhan.
//.../gema Islami bercampur suasana klasik budaya desa
Malam thadarus mengumandang di corong masjid desa/...// 

Ia hendak menceritakan banyak tetang kampung dalam satu baris. Ribut yang menggembirakan : 
//.../Di dapur tempat masak keluarga, blandongan ala desa
Satu dapur empat keluarga
keluarga kakak beradik
Masak ala desa sambil dan suara ibu-ibu meramu masak
ribut yang menggembirakan
di bawah terang lampu dan nyala api pawon.//

Tampaknya Rofiah Ross berhasil memberi gambaran sangat luas suasana Ramadhan dikampungnya. Bidikan tetang dapur keluarga yang ribut mengembirakan dapat mengundang daya hayal pembaca . Disini rofiah memberi makna kesibukan dan nyala api pawon mereka yang memasak untuk keluarganya. Puisi yang sederhana namun kuat menyimpan makna. Berikut Puisinya :

Ramadhan di kampung kami

dari tengah malam ke tengah malam
gema Islami bercampur suasana klasik budaya desa
Malam thadarus mengumandang di corong masjid desa
dan pemuda membangunkan sahur dengan musik jalanan
sesekali mereka melantunkan tembang khasidah populair
Di dapur tempat masak keluarga, blandongan ala desa
Satu dapur empat keluarga
keluarga kakak beradik
Masak ala desa sambil dan suara ibu-ibu meramu masak
ribut yang menggembirakan
di bawah terang lampu dan nyala api pawon.













Rg Bagus Warsono, Penyair dan Kritikus sastra 

65.SUKMA PUTRA PERMANA PESAN WHATSAPP TERAKHIR KEPADA IBUNDA, DARI SEORANG ANAK SEMATA WAYANG, YANG WAFAT DALAM BERTUGAS DI GARIS TERDEPAN PERANG MELAWAN VIRUS CORONA.

65.SUKMA PUTRA PERMANA

PESAN WHATSAPP TERAKHIR KEPADA IBUNDA, DARI SEORANG ANAK SEMATA WAYANG, YANG WAFAT DALAM BERTUGAS DI GARIS TERDEPAN PERANG MELAWAN VIRUS CORONA.



Ibu, Lebaran tahun ini ananda tidak bisa pulang. Keadaan belum memungkinkan. Di tempatku bertugas masih banyak pasien. Memenuhi ruang-ruang perawatan. Yang positif atau terindikasi terinfeksi virus menakutkan. Dalam keadaan sangat mengkhawatirkan. Bahkan terancam kematian. Karena belum ada obat yang bisa diandalkan. Jumlah dokter dan paramedis yang ada juga sangat terbatas. Jadi, kami harus bekerja keras. Nyaris tanpa jeda untuk lepas menarik napas. Atau sekadar duduk di lantai dan bersandar lemas.

Ibu, doakan ananda agar tetap sehat, kuat, dan sabar menjalani tugas. Karena justru kami petugas kesehatan yang rawan tertular virus. Beberapa teman kami sudah ada yang wafat. Tertular virus ketika merawat pasien dalam keadaan badan yang kurang sehat. Ibu juga selalu ananda doakan agar senantiasa dalam keadaan sehat dan cukup istirahat. Kalau malam, Ibu jangan tidur telat. Agar di penghujung malam masih dapat bangun sholat. Sahur pun jadi tidak terlambat.

Ibu, ananda ingin memeluk Ibu karena rindu sekali. Rindu berbulan puasa bersama lagi. Seperti tahun-tahun lewat yang pernah kita alami. Jauh sebelum datangnya musim pandemi ini. Rindu ingin berjalan perlahan berdampingan. Menuju mushola di depan rumah di seberang jalan. Peninggalan yang tercinta mendiang Ayah. Yang insya Allah menjadi amal jariyah dan penuh barokah. Untuk masa sekarang ibu beribadah di rumah saja, ya. Karena usia Ibu menjadikan antibodi yang sangat lemah. Sehingga sangat rentan tertular jika keluar rumah.

O, iya, untuk barang-barang dan bahan makanan keperluan bulanan. Ananda rutin pesankan secara online. Dan akan diantar sampai di depan teras rumah kita. Jadi, Ibu tidak usah bingung memikirkannya. Ibu dapat menelepon ananda kapan saja. Jika ada kebutuhan mendesak segera. Pulsa dan kuotanya akan selalu ananda isikan. Ibu jangan lupa untuk sering memperhatikan  baterai teleponnya, ya.

Semoga Allah segera menghilangkan wabah ini dari negeri kita ya, Bu. Agar semuanya dapat kembali berjalan normal. Ananda pun dapat cepat pulang untuk segera mendekap Ibu. Dan kita dapat kembali hidup berdua dengan tenang dan damai.

Sembah sujud dan peluk cium rindu dari ananda di tempat tugas.



SUKMA PUTRA PERMANA lahir di Jakarta, 3 Februari 1971. Beberapa antologi puisi terbaru yang memuat karya-karyanya antara lain: Yogya Dalam Nafasku, Klungkung: Tanah Tua Tanah Cinta, Kenangan Semalam di Cianjur, DNP 7: Negeri Awan, DNP 8: Negeri Bahari, DNP 9: Pesisiran, Segara Sakti Rantau Bertuah, Perjalanan Merdeka, Wong Kenthir, dan CORONA. Sedangkan buku puisi tunggalnya adalah: Sebuah Pertanyaan Tentang Jiwa Yang Terluka. Sampai sekarang masih giat berproses kreatif sebagai penyair, penulis, dan editor di Komunitas Belajar Menulis (KBM) Yogyakarta. Alamat: RingRoad Timur Mutihan No.362 RT.05, Wirokerten, Bantul, D.I.Yogyakarta 55194. HP/WA: +6281392018181. E-mail: sukmaputrapermana1@gmail.com

64.Erena Marsiana Pada Sepertiga Malam


64.Erena Marsiana

Pada Sepertiga Malam

Di kesepian malam
Jiwa meronta resah
Termenung kulminasi dosa
Merangkai kembali belenggu lupa,
Walau sebatas bayang kelam
Mengenang pekik perbuatan
Abu-abu, antara dosa dan amal
Lalu segera bangkit dari
lelapnya tidur
Diri masih bertanya
Apa yang sedang terjadi?

Jam dinding berdetak
melampaui tengah malam
Memecah keheningan sukma
Dinding-dinding membeku oleh embun
Di kejauhan hanya terdengar sayup
suara binatang malam
Hingga membuat bulu kuduk berdiri

Tetapi ini dinding hati,
Niat sudah bulat,
Tekad sudah berapi-api
Kalau tidak sekarang, kapan lagi?

Di tengah kebekuan malam
Kaki-kaki melawan kaku
Beranjak mengambil wudhu
Sembari melafazhkan asma-Mu



Raga memberanikan diri
menghadap istana-Mu yang megah
Untuk tunduk sujud dipangkuan-Mu
Hamba yang hina tak berdaya,
Mengharap dosa-dosa berguguran,
Melalui celah do’a-do’a yang dipanjatkan
Do’a Penghujung Ramadhan

Gema takbir memecah angkasa
Pertanda bulan yang suci ini
perlahan meninggalkan diri
Ia ada diantara bulan-bulan
yang penuh dengan harapan
Terasa sangat istimewa,
Karena dinanti-nanti berjuta umat
Bulan seribu bulan
Manusia berlomba menuju fitrah,
Ramadhan nama bulan ini

Kini hanya tersisa kenangan,
ketika amal perbuatan baik diganjar
berlipat-lipat
Berharap umur dipanjangkan
Diberikan nikmat sehat
Seraya memanjatkan do’a
dipertemukan
kembali dengan bulan suci itu
Ramadhan, kami semua merindukanmu



63. BAITI JANNATI Asih Minanti Rahayu

BAITI JANNATI

Asih Minanti Rahayu

Baiti Jannati,
Rumahku surgaku,
Tempat bernaung keluarga,
Anak, ayah dan Ibu,
Tempat bercengkrama di dunia,
Dan pusat-pusat cahaya semesta,

Baiti Jannati,
Hari-hari ini,
Ramai berbondong-bondong,
Orang-orang kembali,
Pada baiti jannati,
Harap-harap surga,
Pada tali kasih keluarga,

Baiti Jannati,
Karena corona virus merajalela,
Kita berdiam di rumah saja,
Kita bak suluk bersama-sama,
Fokus di rumah dan ibadah semata,
Menjauhkan diri dari hiruk pikuk dunia,
Memperbanyak dzikir dan shalawat saja,
Menyambungkan hati pada Yang Kuasa,
Menyambungkan ruhani pada Nabi kita,

Kita berjihad fisabilillah,
Dalam kerangka baiti jannati,
Yang semula Duha di kantor,
hanya dua rakaat,
Di rumah bisa merasakan,
Syahdunya Duha 12 rakaat,

Yang semula shalat di kantor,
tergesa-gesa,
Kita di rumah,
lebih khusuk terasa...

Sedang murid-muridku,
Sedang berjuang dengan sapu,
dengan wajan di dapur,
dengan tanamannya,
dan dengan binatang peliharaannya,
Sesuai perintah Sang Guru,
dan Pendampingan Orang Tua selalu,

Dalam hidup selalu ada ruang,
Dan bumi Allah luas dimana-mana,
Tidak menyempitkan dada,

Oh, baiti jannati,
Suluk bersama-sama,
dengan keluarga dirumah saja,
Makan seadanya,
Menghentikan hura-hura,
Hening Cipta.

Catatan:
Suluk adalah tradisi Islam dalam aliran tarekat, biasanya berdiam di rumah untuk beribadah menjauhkan diri dari dunia.

62. Oka Miharzha.S DIRUMAHKU ADA SENOKTAH SURGA

62. Oka Miharzha.S

DIRUMAHKU ADA SENOKTAH SURGA

Di rumahku ada senoktah surga
di malam paling suci
di penghujung ramadan
peperangan memang belum usai
wahai sahabat
dan senjata-senjata musuh hampir rampung kulucuti
tapi mereka masih ada sembunyi
dalam retakan nafsuku
boleh barangkali aku harus waspada
dengan serangan balik mereka
karena peperangan kali ini
bermantra ganda banyak sekali
sangat mengerikan dan mesiunya
benar-benar mematikan ranting-ranting peradaban
hanya puisi Tuhanlah
yang kuasa menahan dan memusnahkan
lantunkan puisi-puisi suci-Nya sembari berdoa
aku yakin perang pasti berakhir
kemenangan mutlak ada
pada kita sahabat
rumahku
rumahmu sahabat, sungguh sahdu
malam ini
mari sama-sama melewatinya
dengan penuh tawadu
dalam dekapan bingkai suasana sunyi dan diam sendiri
istigfarlah
dan malam ini
kurasakan tebaran senoktah surga
bebar-benar menyinari
Batulicin 29 Ramadan 1441 H
Oka Miharzha.S

MEMBAGI RINDU BERTADARUS DI RUMAH

Membagi rindu
kurasa tak sulit
bertadarus pun bisa khusyuk
ngajinya khatam
terimalah Tuhan demi ramadan
apalah dayaku
aku ingin
rinduku tak sia-sia
benar-benar sampai
hanya itu

Batulicin 22 Mei 2020


















Oka Miharzha S. adalah nama pena dari Abdul Karim ia menulis puisi sejak tahun 1980 berdomisili di Kota Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Kalsel Jl Kupang Rt 07 No 18 Desa Sarigadung Kec Simpang Empat Tanah Bumbu
Penyair ini pernah menerbitkam Antologi puisi pribadinya (Sungai Kenangan Tahun 2010) dan turut serta pada banyak antologi puisi bersama baik Kab Tanah Bumbu, Kalsel dan Nasional serta aktif ikut serta pada beberapa kegiatan Kesastraan lokal/ daerah regional dan nasional kontak Person Hp/ Wa 082255572727 Fb Damang Tanbu email abdulkarim6112@ gmail.com.





61.Siti Khodijah Nasution Menuju Rumahmu

61.Siti Khodijah Nasution
Menuju Rumahmu

Ramadan
kembali segala hati durjana
berpulang segenap jiwa pendosa

Ramadan
meronce zikir
merapal namamu, dekat!
duri menancap, dikurung sekat
aku. Rumahrumah tebarkan kasih
adanya saja!

Ya, habibana
Menuju rumahmu.
dalam diam… memeluk sunya
memanterai jejak
hanya kerundukan. Menggulirlah untai tasbih
Panjatkan selaksa doa akan yang meraja ini!

Kiranya langit mendengar
Menuju rumahmu

Jakarta, Akhir Ramadan
Sujud Pendoa
Oleh: Siti Khodijah Nasution

Bilik-bilik pendoa
Memanjangkan sajadah
Bermunajat
Akan negri



Dari kemungkaran yang melata
Tak terbendung
PadaMu
Kurapalkan doa
Kedamaian
Akan negri

Sajadah perekat sujudku
Luruhkan keampunan
Merekat buhul kasih sayang
Akan negri
Ya, Ilahi

Garam-garam kehidupan ini
Larungkan ruh mata
Sujud sebasah-basahnya
di PintuMu
ramadan bulan ampunan

Jakarta- Dije 22 Mei 2020








60.Riswo Mulyadi BULAN TINGGAL SEPERTIGA

60.Riswo Mulyadi

BULAN TINGGAL SEPERTIGA

ia tetap dalam kesepiannya
hanya hiruk knalpot sepeda motor barisan anak muda tanpa beban
menghentak sunyi

suara-suara sakral menepi ke sudut sunyi
di ruang batin para pemuja
yang tak lagi dibatasi apa-apa
mereka menghuni ruang bulan tanpa tepi

sepertiga bulan,  tetap saja sunyi
dari suara pengeras suar di atas kubah
suara-suara itu berdetak dalam irama nadi para penikmat sunyi
berdenyut di dada tanpa sastra
menelisik diri
di ruang muhasabah cinta
seirama hembus napas
lepas

Gigir Bukit,  14052020











Riswo Mulyadi

KESEPIAN

seorang lelaki yang selalu berdiri paling depan mengurut dada
kelopak matanya berembun saat ia membalikan badan
menatap ruang kosong

ia rindu keramaian
walau ia pun sadar,  keramaian tak menjamin kebersamaan
sunyi pun tak berarti sendiri

ia berusaha tersenyum
ya tersenyum
dengan senyum yang ia sembunyikan di balik masker
senyum yang entah apa maknanya
setidaknya ia masih bisa tersenyum

seorang lelaki tertegun di ambang subuh
menatap bayang sunyi
pada sajadah yang amat lebar

Gigir Bukit Sinawing, Mei 2020


59.Elly Azizah DESAKU


59.Elly Azizah

DESAKU

1/
Tapak ini gemetar
Maju menyambar
Mata nanar terlempar
Asa ini tetap membara
Menyongsong angin kembara

2/
Pantang kata surut
Selagi kapal singgah di dermaga
Selagi janggut masih di dagu
Selagi mentari terbit pagi hari
Asa menyala bagi desaku

3/
Aku hanya punya tongkat
Pemandu jalan pulang
Lalu kabut merona bias
Terperangkap dalam gelas

Ea, 2019










Elly Azizah

RAMADAN SEJUK

Pasa saat sepenggal bulan tabik
Sayup sayu mata pandang menukik
Buluh perindu getar mengusik
Nun Ramadan datang menabik

Dalam kesejukan Ramadan ini
Berkah nafasmu kupeluk dengan damai
Baris ayat-ayat pun kulantun sendu
Dalam lirih senandungku

Bergetar jiwaku
Saat bermunajat dalam sunyi
Bertatapan dengan mu Robbi

Ea, 2020









58. Tabaheriyanto PERIUK

58. Tabaheriyanto

PERIUK

periuk kaya
lama telungkup
mejigkom ganti mengatup

periuk lara
lama telentang
tiada beras menantang

periuk kita
mencari bara
di atas bumi fana

mp, 2020


Tabaheriyanto

PANTAI MALABERO

air laut surut
kapal ikan membuang sauh
air laut pasang
kapal rindu ke laut jauh

mp, 2020






57.Sugeng Joko Utomo LEBARAN DI RANTAU

Sugeng Joko Utomo 

LEBARAN DI RANTAU

Menjelang akhir bulan ramadhan
Mendekati hari lebaran
Sesak dada terhimpit berat beban menekan
Terasa perih di hati tak kuasa menahan

Hasrat kalbu ingin pulang kampung
Tetapi pikiran dirancu bingung
Angan pun tinggi melambung
Jiwa terhuyung tertatih limbung
Mendapati di sani-sini
Pos jaga Covid tegak berdiri
Petugas bekerja tiada henti
Agar pembawa virus terdeteksi

Allahu Akbar Allahu Akbar
Lailaha ilallahu Allahu Akbar
Allahu Akbar walilaailhamdu
Di rumah saja dahulu
Beribadah semakin khusyu'
Sambil meniti rentang waktu
Aral melintang segera hilang berlalu

Biarlah kutahan kerinduan
Pada desa tempat kelahiran
Karena kondisi tak memungkinkan
Untuk bertandang menengok handaitaulan

Barangkali nanti
Setelah aman situasi
Bisa berpuas diri
Meluapkan seronok riang hati
Tasikmalaya, 21 Mei 2020

56.Anisah Effendi DI RUMAH (1)

56.Anisah Effendi

DI RUMAH (1)

Di rumah
Nestapa dan bahagia berpaut dalam hati dalam rasa

Di rumah
Tawa dan tangis tak jarang beriringan datang

Namun di rumah juga harapan dan cita-cita selalu kita kumandangkan
Untuk senantiasa berdendang
Agar tak ada ruang bagi muram durja meraja
Agar hidup tak redup

Di rumah
Kita tetap bisa memandang semesta
Seluas-luasnya
Sepuas-puasnya
Mendengar burung berkicau dan angin berdesir
Tersenyum kepada matahari siang
Menyapa rembulan dan bintang-gemintang di malam hari

Di rumah
Demi keluarga dan umat manusia
Demi kasih sayang dan persaudaraan
Demi peradaban dan kemanusiaan
Jagalah cinta dalam hati
Agar tetap utuh mengada

Danawinangun, 18 Mei 2020



Anisah Effendi

DI RUMAH (2)

Di rumah
Aku menjaga keluargaku
Mereka yang terkasih

Di rumah
Ku sembuhkan lukaku
Ku hapus pedihku
Ku sapu perihku
Dalam peluk kasih keluargaku

Di rumah
Dari jendela kamarku
Aku menatap langit
Ku sambut matahari pagi
Ku sapa dedaunan pohonan
Ku biarkan senja datang menghampiri

Di rumah
Dalam kamarku
Aku tersenyum
Aku tertawa
Aku menangis
Aku melamun
Lalu ku tulis puisi

Danawinangun, 18 Mei 2020




Anisah Effendi, menyukai puisi sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Beberapa kali mengikuti antologi puisi bersama, di antaranya Puisi Menolak Korupsi 5, Antologi Puisi 1000 Guru dan Antologi Corona Mencatat Peristiwa Negeri. Bisa ditemui di alamat: blok Lor, desa Tugu, Sliyeg, Indramayu, atau blok Kajengan, desa Danawinangun, Klangenan, Cirebon.





Kamis, 21 Mei 2020

55.Wadie Maharief , DZIKIR DI PERSIMPANGAN

DZIKIR DI PERSIMPANGAN

adakah engkau berdzikir di setiap persimpangan jalan
ketika lampu lalu lintas menyala merah mengisyaratkan segala bahaya, berhentilah berbuat jahat dan maksiat, kalau tidak segera tobat Allah akan murka dan melaknat

adakah engkau berdzikir di setiap persimpangan jalan
ketika lampu lalu lintas menyala kuning, mengisyaratkan waspadalah segala goda dan rayuan, berjalanlah terus dan lurus, beribadah dengan tulus, Allah akan memberikan barokah dan pahala yang bagus

adakah engkau berdzikir di setiap persimpangan jalan
ketika lampu lalu lintas menyala hijau, mengisyaratkan sabar dan ikhlas, hidupmu akan bahagia, tentram dan sejahtera, Allah menyertai selamanya

dzikir lampu lintas, merah, kuning dan hijau, ingatlah Allah...

--- Yogya 200520

Rabu, 20 Mei 2020

54.Susilo B. Utomo, NUN

Susilo B. Utomo


NUN

nun
demi pena
dengan segala hal yang kita tulis

nun
demi mata
dengan segala hal yang kita lihat

nun
demi Kau
dengan segala hal yang tidak aku punya



[bandung, 19/1/2020]



Sunrise


kalau matahari bersembunyi di balik kabut
masihkah kau tunggu sunrise:
di puncak Bromo


angin bertiup kencang
dingin menusuk tulang


masihkah kau cari hangatnya matahari:
di puncak Bromo
Sedang ada yang lebih hangat dari matahari
di sini
di dalam hati


terbit tak pernah sembunyi



[bandung, 6/5/2020]





Susilo B. Utomo

Lahir di Semarang, 19 Januari 1964. Menulis puisi sejak masih duduk di bangku sekolah menengah hingga sekarang. Karya puisinya tersebar di berbagai media. Saat ini sedang aktif mendalami Hakai, puisi tradisional Jepang.

53. Annis M Tarom. KIBLATKU RUMAHKU

Annis M Tarom
KIBLATKU RUMAHKU


Kiblat sujudku
Ingin kembali aku memelukmu
Aku tak lagi enggan
Tertatih pada samudra pasir
Terhuyung di padang semesta
Berdetak denyut gubuk asa, seiring imaji sepi
Benih rinduku bersimpuh
Menatap rumahku
Muara ibadahku

Kiblat doaku
Dalam lembut sejukmu melekat sukma
Mimpi lautan warna merangkul cahaya
Bulan suci jadi saksi
Cakrawala senja tersenyum
Aku akan merapat mendekat
Bulan berjalan melipat waktu
Mendayung menyibak gelombang

Kiblat rinduku
Kaulah muara rangkaian jiwa
Aku pasrah
Menyepi diri dalam sepi
Dalam cengkeram lembutmu
Kasih sayangmu
Hati ini berkidung bisik doa
Terukir dzikir di dinding khalwat
Menyelam syahwat
Merapat dermaga bai'at
Lembut memikat

Kiblat cintaku
Sketsa anggunmu
Mengukir selendang kasih
Bagai cahaya menembus kaca
Tercermin di ayat suci
Seperti mutiara biru
Aku rindu kembali ke rumahku
Dalam relung cahaya kalbu

10/5/2020

52.Agus Pramono. Elegi Sandal Jepit


52.Agus Pramono.

Elegi Sandal Jepit



dulu sandal jepitku sering merana

pulang harus mengalah terakhir

antre puluhan sandal yang acak

menunggu yang lain keluar dan pulang

meninggalkan mushala kecil

di tengah kampung



dan kenyataan sering berulang

harus dihadapi lapang dada

dengan rasa geram yang tertahan

yang tersisa sandal jepit butut

beda warna tak sepasang

kanan dan kanan



kini mushala amat sangat aman

jika dulu penghuni subuh sedikit

sejumlah tak lebih dari hitungan

tangan kanan atau kiri

sekarang bukan hanya subuh

juga maghrib dan isya’



sandal jepit pun kini aman

tak lagi tertukar dapat sisa

atau beringsut pulang

dengan kaki telanjang



jejak sandal di mushala

jadi saksi yang bungkam

pada pahala dan dosa

yang pernah tercatat





Mojokerto, akhir Mei 2020



Akhir Ramadhan 1441H



Ramadhan setiap musim

selalu punya cerita

ada yang tetap bertahan

ada yang tinggal kenangan



musim ini agak beda

aroma aneh menggelayut

ada aura pekat menyelimuti



tak terlihat lagi roti john

yang berjejar beberapa lapak

menghias trotoar



es tebu hijau pun tak tersisa

menyusul es kepal yang kandas

tergeser nanas kupas



toko bangunan berjuang bertahan

pasar kampung pun tidak seramai

musim sebelumnya riuh

panen bagi tukang parkir



ada yang lebih terengah napasnya

menjemput rezeki akhir Ramadhan

sisa-sisa penjaja duit baru

yang dibekap penjaja masker





Mojokerto, Mei 2020







Biodata Agus Pramono.



Aguspram, penulis dari Mojokerto kelahiran tanggal 28 Agustus. Lahir dan hidup di kota tersebut setengah abad lalu. Seorang penderita Wernicke dan lebih suka mengikuti antologi bersama para sejawat penulis; puisi, cerpen atau esai, itu pun hanya beberapa, belum banyak.

51.Sumrahadi INI RAMADHAN BERJARAK

51.Sumrahadi

INI RAMADHAN BERJARAK

Dzikir menghitung biji beras
Ramadhan kali ini begitu keras
Siapa memaksa bebas
Tergilas

Virus menyeruak di antara lapar dan kehausan
Memaksakan lantunan du'a pemakaman
Menggantikan tadarus Alqur'an
Mengosongkan rumah peribadatan

Ini Ramadhan yang berjarak
Membatasi segala ruang gerak
Iman dan akal sehat berteriak
Menjaga segala tindak

Ramadhan ini penuh pahala
Meski hanya di rumah saja

"SH" JAKARTA
17052020

50.Asro Al Murthawy DI ATAS LEMBAR JUZ `AMMA

50.Asro Al Murthawy



DI ATAS LEMBAR JUZ `AMMA



melesat dari ayat ke ayat

berkelindan  antara huruf dan mahroj

edari tetiap harakat fatah kasrah dzumah

milyaran cahaya mungkin melesap

berdenyaran meruang di kepala

aku tergeragap

lembar jiwa tak juga tersibak



selalu saja aku gagal menerjemahkan tanda

sesat di labirin logika. Kata-kata gagap

terpilin tak mampu tereja meski sepatah

tak alif tak nun tak wau

menajam mengirisi ulu hati

~ iqra bismi robbikalladziii...........~



terhampar dari juz ke juz

lembar demi lembar membentang kisah

tahun alif yang purba hingga nun di masa depan

ribuan episode mengilat

berpusar bagai topan mengapung di lelangit dada

aku tergugu

belum terbaca tuntas alifbataku

Imaji 1438 H



















Profil  Penulis:

Asro al Murthawy.  Lahir Temanggung, pada tanggal 6 November. Adalah Ketua Umum Dewan Kesenian Merangin dan Anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jambi. Karya-karyanya terhimpun dalam Syahadat Senggama (k.puisi, 2017) Equabilibrium Retak (2007), Lagu Bocah Kubu (puisi, tanpa tahun),  Kunun Kuda Lumping (k.Cerpen, 2016)  dan berbagai antologi bersama sastrawan Indonesia lainnya. Karyanya yang lain: Pangeran Sutan Galumat (2017), Pengedum Si Anak Rimba (2018), Mengenal Lima Sastrawan Jambi (2018), Katan dan Jubah Sang Raja Hutan (2019) Bujang Peniduk (2019) dan Ujung Tanjung Muara Masumai (2019) diterbitkan oleh Kantor Bahasa Jambi sebagai Pemenang Sayembara.. Hadir dalam Temu Sastra Indonesia I (2008), Pertemuan Penyair Nusantara VI (2012) Jambi,  MUNSI II (2017) Jakarta,  Pertemuan Penyair Asia Tenggara (2018) Padang Panjang,dan Borobudur Writter And Cultural Festival (BWCF) (2019)
49.Sih Utami

RAMADAHAN PARA PANDAWA


Waktu menutun kami berlima
Ibu sedang terluka parah,  menangis sangat dalam
Bersandar  pada tembok lapuk rumah yang dingin dan pengap
Para Pandawa ini  belum punya senjata sakti apapun, Ibu …

Kami masih sekumpulan anak-anak yang bersandar di bahunya yang ringkih
Kemarin kami mendengar teriakan, keluh kesahnya
Melihatnya dalam uraian air mata
Terluka karena cinta yang diingkari

Dia sedang memeluk periuk kosong tempat beras
Percayalah, itu akan terisi sebentar lagi, entah oleh siapa
Lupakan saja lukamu sejenak, sandarkan lelahmu
Perut kami kosong, tak apa. Hibur kami

Tuhan membuat kami berjumpa lagi dengan Ramadhan
Kami riang menanti malam seribu bulan, banyak pinta terucap pada-Nya
Ini bulan penuh Rahmat
Meski takdir tidak inginkan kami menikmati Ramadahan seperti tahun lalu

Semua memang tidak lagi sama, seperti tidak ada ruang bagi kami untuk bernafas
Tetapi kami bertanya di mana Tuhan dan sedang apa?
Dia sedang membebat luka kami,
Dia itu Hening yang Bening dalam tangis kami
Dia itu Ramadahan yang menghampiri kami dengan sejuta Rahmat


Sidoarjo, 19 Mei 2020

RAMADHAN DALAM SETANGKUP RINDU


Inilah yang kusukai dari semesta
bulan bersinar di atasku, cahaya bintang menghujani kepala
anak-anak berlarian di jalanan kampung
aku mandi hujan Rahmat, memetik begitu saja nikmatnya dari udara

Aku tertawa sepanjang hari
malamnya aku dikepung penyesalan di atas sajadah
sementara mulut komat kamit mengucap doa entah apa
Lihat Tuhan, betapa banyak ingin dalam hatiku

Berikanlah kelegaan nafas, pada kami yang sedang sesak
Pada jiwa yang hampir terenggut pademi ,
atau pada yang sudah pergi karenanya
Puaskan dahaga kami akan kebebasan, mudik dan jajanan kampung halaman

Lihat, Tuhan, Aku bukan pecinta sejati-Mu, meski aku ingin
Aku hanya peminta, lantas kapan aku bisa berlaku ihsan?
Siapakah aku ini? Hingga Kasih-Mu sedemikian besar atasku?
Dalam sujud kubawa setangkup rindu pada Ramadhan yang segera berlalu




 Sih Utami, Ibu pekerja di pabrik swasta, pekerja sosial. Seseorang yang  mencintai sastra dan semua tentangnya., Pengagum para penyairnya.
Dia penulis dalam bahasa sederhana. Berusaha membagi kisah dengan tulus, sekiranya mampu memberi hiburan, menjadi teman dan inspirasi.


48. SAAT IFTHAR, Abidi Al-Ba'arifi Al-Farlaqi

Abidi Al-Ba'arifi Al-Farlaqi

SAAT IFTHAR

Saat ifthar menjelma
aku, orangtua, saudara dan keponakanku
mengamalkan sunnah Sang Nabi Kekasih Allah
meneguk secangkir air putih
mengunyah tiga butir kurma
menadah tangan dan berdoa
mensyukuri nikmat-Nya yang tak terhingga

Ifthar mengajariku cara mencintai-Nya
mereguk bahagia di semesta waktu

BIREUEN, 19 Mei 2020

___

= IFTHAR BERSAMA MEREKA =

By: Abidi Al-Ba'arifi Al-Farlaqi

Aku bersama bocah-bocah yatim
juga beberapa faqir dan miskin
meneguk secangkir air putih
mengunyah tiga butir kurma

Ifthar bersama mereka
membuatku sangat bahagia
karena aku melihat senyum indah Sang Nabi Kekasih Allah

BIREUEN, 19 Mei 2020

JIKA PENYAIR MENCATAT CORONA oleh Nanang R Supriyatin

JIKA PENYAIR MENCATAT CORONA

Virus Corona atau Severe Acute Respitatory Syndrome Corona Virus 2 (SARS-COV-2), ialah virus yang menyerang sistem pernapasan. Hingga menyebabkan demam, batuk kering, flu, pilek serta sakit tenggorokan.
Wabah yang mendunia ini kiranya menimbulkan efek global, terutama menurunnya ekonomi dan merosotnya daya beli masyarakat. Infeksi Corona yang pertama kali terjadi akhir Desember 2019 di kota Wuhan, China, setidaknya terlihat jalan-jalan agak sepi dikarenakan 'lock down', resto-resto sepi dikarenakan berlaku Pembatasan Sosial Berskala Besar. Orang-orang menjaga jarak dengan menggunakan masker, dan sebagainya. Paramedis berupaya dan berjuang mengurangi pasien yang tak pernah henti berdatangan, menunggu untuk disembuhkan. Meskipun, banyak dokter yang mengorbankan nyawanya akibat wabah akut ini.
Seniman, khususnya penyair tak menyiakan even 'gila' ini. Salah satunya senantiasa mencatat peristiwa baik yang hadir melalui pemberitaan di media massa dan media elektronik, maupun kejadian yang tercermin di lingkungan serta diri sendiri. "Work From Home" (WFH) ternyata membuat penyair mencatat bebas peristiwa ini.
Antologi puisi "Corona, Penyair Indonesia Mencatat Peristiwa Negeri", ialah sebuah buku berisi puisi-puisi anyar, ditulis oleh 101 penyair Indonesia. Setiap penyair ternuat 1-3 puisi. Merupakan antologi puisi yang dicetak semata-mata sebagai dokumentasi yang digagas RgBagus Warsono, penulis asal Indramayu yang merangkap sebagai editor.
Peristiwa menakutkan akan kehadiran sebuah wabah, kiranya menuntut seorang RgBagus Warsono atau Agus Warsono untuk tak menyia-nyiakan mengajak peranan penyair menuliskan tema khusus tentang covid-19. Tak ada syarat formal. Pengirim puisi dipersilahkan mengirim puisi dengan tema sekitar Corona, serta biodata satu paragraf. Naskah dikirim melalui email, whattshap atau massanger. Sebuah awal yang saya kira kerja setengah hati. Bahkan, pengisi buku tak diwajibkan membeli buku. Naskah yang sesungguhnya pencatat sejarah dunia ini pada dasarnya akan tersimpan sebagai asset di Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia yang dikelolanya.
Alhasil, saat buku dikirim ke alamat rumah saya, setelah saya buka isi paket dan setelah saya simak lembar per lembar isi buku -- spontan agak kaget untuk tidak mengatakan 'hebat!' Sang editor merangkap kurator ini, ternyata sangat serius. Antologi puisi dicetak sempurna. Terbukti, Rg Bagus Warsono membuat pengantar cukup panjang (hal. 7-21). Buku 237 halaman ini terbit tak berselang lama setelah deadline pengiriman puisi.
"Bagaimana membangun ide judul puisi adalah bagaimana mata dan mata hati memandang kehidupan di alam ini. Sangat banyak garapan ide puisi namun banyak penulis terbelenggu oleh tema yang disuguhkan. Padahal tema itu menyuguhkan yang sangat luas disampingnobjek juga dampak dan penyebab. Artinya tema dapat ditarik kebelakang bahkan ke depan." (Hal 16).
Beberapa nama penyair yang puisinya dimuat sudah tak asing lagi. Sebut saja A. Zainuddin Kr, Asro Al Murthawy Dkm, Bambang Eka Prasetya, Giyanto Subagio, Heru Mugiarso, I Made Suantha, Roymon Lemosol, Salimi Ahmad, Salman Yoga S. dan Wadie Maharief.
Salah satu puisi Wardjito Soeharso asal Semarang di bawah ini, agak beda dalam diksi serta irama. Sangat menarik.

JAPA MANTRA

Bolading!
Klambi Abang
Bendho giwang
Jalitheng!
Jun jilijijethot
Wong Tampang asli
Cempe-cempe!
Undangan barat gede
Tak opahi duduh tape
Weerrr.....weerrr.....
Weeeeeerrrrrr....
Setan ora doyan
Penyakit ora ndulit
Wabah orang teman
Amung kersane Gusti Allah
Corona...
Minggaaaaaatttt!

Semarang, 27 Maret 2020 (hal. 199).

Buku indah ini -- sayangnya tidak diimbangi dengan pengerjaan cover yang tak serius. Di samping tak ada gambar sebagai simbol virus covid, juga foto para penyair terlalu gelap. Biodata dengan huruf kecil membuat mata mengantuk tatkala membacanya.

NRS, Jakarta Pusat.