Kamis, 26 Maret 2020

Kurliyadi Kepadamu Corona

32.Kurliyadi

 Kepadamu Corona

Kepadamu corona
Yang tidak terlahir berjenis kelamin jantan atau betina
Selamat datang, ucapkanlah salam
Di negeri kami yang ramai dan bahagia
Yang mengandung senyum paling ramah
Untuk pendatang dan tamu tak di undang

Di televisi, koran dan kabar dari penyihir hoax
Dirimu menyerupai segala bentuk rasa takut
Mengibarkan bendera tanda merdeka
Atau kau bangga pada dirimu sendiri
Sebab adamu yang semakin menjadi duri dan api

Di negeri seberang dan kerabat
Wajahmu menghias segala ruang kosong
Seakan melumat segala hak dan kekuasaan
Bahkan adamu semakin membuat kami terusir
Dari jabat tangan, berpelukan bahkan saling lempar senyum
Hanya untuk bertanya “apa kabar?”

Dari adamu pulalah kami rasanya haram
Untuk pergi ke tempat ibadah kami sendiri
Yang selalu suci dan tidak terdapat caci maki
Apalagi iri dan dengki
Kepadamu corona,
Kami sama sekali tidak takut mati







Atau menyerah untuk terakhir kali
Tapi kami terus membenahi diri, bersatu
Mencari jalan untuk melawanmu
Sebab pada diri ini masih tumbuh belati
Yang akan mengoyak tubuhmu menjadi mati
Atau mengusirmu dengan tanpa jejak kaki lagi
2020


Suara Corona

Dari kota wuhan
Lahir sebagai awal
Beranjak dewasa sampai sekarang
Berdiri tegak di negeri-negeri tuan

Suaramu menggema
Seperti menunjukkan tanda
Bahwa adamu adalah jalan musibah
Bagi kami yang hanya manusia sahaya

Wahai corona, dalam tubuh kami
Sudah tertanam jalan perang
Kalah atau menang adalah dua mata uang
Yang sama sekali tidak kami takutkan

Mari serang, kami tidak berdiam diri
Meski ruang kami hanya sebatas pagar rumah
Dan anak-anak kami belajar tanpa sosok guru
Kami tetap siap dan setia
Dengan pedang dan pena
Dengan doa dan mencari jalan keluar
Meski nyawa taruhannya
2020
Kurliyadi lahir di kepulauan kecil gili-genting madura, bekerja sebagai pedagang kelontong (sembako) dan alumni pondok pesantren mathali’ul anwar pangarangan sumenep, menulis cerita pendek dan puisi, karyanya tersiar di beberapa media massa dan beberapa antologi sekarang berdomisili di alamat Warung Madura Zayadi Jalan pamengkang raya ( masjid jami baiturrahman) blok pahing Rt. 03 Rw. 03 kecamatan mundu ciebon Email  : kurliyadi.khuzaimah@gmail.com  nomer Rekening BRI : 093501033013532   blog : https://istanapuisikurliyadi.blogspot.co.id contact : 082215788844


Zaeni Boli Takut

31.Zaeni Boli


Takut

Orang orang dengan hati yang kacau
sedang mengintip dibalik jendela
suara anjing yang menggonggong
kini sahdu terdengar

seorang anak dan ibunya tertidur pulas
meski maut mungkin mengintai
Larantuka , 2020




Ajaib

Seperti biasa ia tak terlihat
bentuknya seperti durian
tapi bukan durian runtuh jika kita mendapatinya

engkau sedang mengecup maut
jika ia datang
Larantuka , 2020


Kurnia Kaha BILA KABAR ITU TIBA

30.Kurnia Kaha

BILA KABAR ITU TIBA

Kabar kematian itu akan tiba
Entah untukku
Atau untukmu
Tak perlu risau bila tak ada yang melayat
Sebab semua tinggal menunggu penghitungan
Antara kita dan diriNya
Doa-doa mungkin akan sampai atau
Bisa juga tak akan pernah sampai

Sebelum kabar itu tiba
Ada baiknya kita berkaca
Di ruang yang terang
Biar terlihat kedua mata,
hidung, dan mulut
Agar jelas jawabnya
Jika corona mejemput
Telah sejauh apa kita bergelut
Dan sekhusyuk apa dalam sujud-sujud
Pekalongan, 22 Maret 2020













DARURAT CORONA

Tak seperti biasanya
Pagi begitu tenang
Jalan-jalan lengang
Hanya sedikit yang melenggang

Salah satu penjual jajanan kesekolah
Belum sempat ia membuka lapaknya
Mengapa sesepi ini?
Bakulnya digendongnya lagi
Melangkah pulang
Dengan hati yang gamang
Menoleh ke pintu gerbang
“Darurat Corona Belajar Di Rumah”
Aku hilang kerja
Untuk beberapa hari yang belum pasti
Gumamnya dalam hati
Pekalongan, 18 Maret 2020


Kurnia Kaha, lahir di Batang, 30 April 1983. Penulis buku puisi “Debur-debur Rindu”  diterbitkan oleh meja tamu tahun 2019. Selain menulis puisi, Kurnia juga menulis artikel, cerpen, penelitian dan lainnya. Tulisannya telah dimuat di buku tunggal dan buku antologi bersama, surat kabar, majalah, dan jurnal penelitian. Selain menulis kegiatannya adalah mengajar di SMP N 5 Pekalongan, aktif di MGMP Bahasa Indonesia Kota Pekalongan dan penggerak Komunitas Guru Belajar. Untuk silaturahmi lebih lanjut bisa di fb: Kurnia Kaha, Instagram: @kurniakaha, dan HP 081 390 516 166.


Caridah Hartati TAMU SENJAKU; CORONA

29.Caridah Hartati

TAMU SENJAKU; CORONA

Sekejap lalu dari langit kuterima kabar; Dihantar nanar angin getir penuh khawatir. Belum lagi kopi manis kunikmati lantis. Berpilin dengan dongeng Ibu meninabobokan kesibukan. Corona dengan pongah tengah berada di beranda. Mengetuk gerbang tanpa gamang. Tak ada jeda dan gencar. Bukan untuk masuk, namun memaksaku keluar. Menitipkan luka di kepala. Sebagai kandil agar suara Tuhan lebih lantang terdengar. "Tidak hanya pada sepertiga malam", bisiknya tartil.

Beranjak pagi menemukan sepi. Kota kehilangan matahari. Malam tanpa dentuman. Sebab hening berarak di jalanan. Kecuali, di balik pintu-pintu. Lirih menyeduh kecemasan. Mengaduk derita. Memamah luka. Melarutkan segala duka. Berebut mencari cahaya justru saat membawa lentera. Berjejal spekulasi suci sekadar melegalisasi gengsi.

Siapa yang dapat melihat salah di sini? Usah menunggu dijauhi mimpi. Jika nanti saat terjaga memilih tak mendapati dipara mata rusa.
Bekasi, 24 Maret 2020






ICHABadmom*
Caridah Hartati<caridahhartati@gmail.com>

Selasa, 24 Maret 2020

MUHAMMAD JAYADI DI MASA GENTING CORONA INI

MUHAMMAD JAYADI

DI MASA GENTING CORONA INI

Rupa-rupa sore menjelang malam
Sunyi masih mengaduk kampung kami, menepuk pundak kami
Kesadaran hidup sehat masih digalakkan
Demi keselamatan, karena hidup mesti berjalan

Wabah-wabah yang datang telah merubah wajah negeri menjadi muram, suram
Namun tak henti kita panjatkan doa dan berusaha keluar dari ngerinya keadaan
Meminta jalan terbaik di sisi Tuhan
Dan yakin, badai pasti berlalu, pasti berlalu.

Halong 24 Maret 2020
BISIKKU PADA SI CORONA

Tolonglah engkau pergi, hei Corona
Kami ingin hidup damai sejahtera melalui hari
karenamu
Risau kemarau hati menjadi lebih panas lagi
Tangis-tangis menghujani bumi, akibat ulahmu ini
Ayolah, pergi dari tempat kami di bumi ini, hei Corona

Waktu kami terbuang hanya mengurusimu saja
Sedang kehidupan kami mesti berjalan sebagaimana adanya
Mencari nafkah kehidupan
Tempat-tempat ibadah kami tertutup dari segala puja-puji kepada-Nya
Akibat ulahmu juga, hei Corona

Lama aku bermenung, memanjat doa pada Ilahi
Ampuni kami, ya Allah
Tolong jauhkan bala' yang menghantam penjuru bumi ini
Dengan kuat kuasa-Mu menjaga jiwa raga kami yang lemah ini. Aamiin.

Halong 24 Maret 2020



LALU MALAM DATANG

Menemui jejak bulan
yang lama mengendap di jiwa
seiring keadaan wabah-wabah datang membuat ribut dunia

Membuka jalan ini dengan semangat
keluar dari keterpurukan nan hitam yang menggerogoti keadaan
kita, manusia lemah ini berharap pada Tuhan
berusaha juga lepas bebas dari cengkeraman virus-virus mematikan
mengikuti saran-saran pemerintah, melawan Corona
hingga tumbang dari bumi ini, lenyap dalam riwayat tak hina.

Halong 24 Maret 2020

Muhammad Jayadi lahir di Galumbang kecamatan Juai, Kab. Balangan Kalsel pada 19 Juli 1986. Menyukai sastra dan puisi sejak SMP. Bermula dari ikut lomba baca puisi, kecintaan kepada sastra tumbuh begitu saja hingga kini. Kini menetap di Halong, kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan.



Suyitno Ethexs SATU DEPA

Suyitno Ethexs

SATU DEPA

jangan mendekat dulu
:ukur setidaknya satu depa
biar virus itu
tak meraja

:tapi
tak tapi tapian
kita harus mengikuti
anjuran

kalau kau nekat
kau sendiri kena akibat
jangan ngenyel merasa kuat
sebelum terlambat

2020

PAGEBLUK KORONA

kata orang-orang di warung
--sambil nyeruput kopi
negara kita kena baglebuk

apa itu bagebluk
mbah gono bercerita
yang pernah terjadi suatu masa
waktu dimana belum ada berita
yang cepat menyebar begitu saja

dulu sebelum ada listrik
apalagi internet segala
bila malam gelap gulita
bagebluk datang cari masa

warga resah gelisah
--ah cerita mbah gono menakutkan
kok hampir mirip dengan
virus corona

2020



Mim A Mursyid, CORONA, YA TUHAN...

26.Mim A Mursyid,

CORONA, YA TUHAN...

Heboh!
Corona tiba-tiba
Dunia geger seketika
Manusia menjalani takdir tergesa
Ratusan orang hilang nyawa,
Ribuan sisanya dada-dada kosong tanpa jiwa
Kepanikan maha perkasa.

Corona menyerang semuanya;
Kesehatan, kesadaran, hingga kewarasan
Orang-orang memborong kebutuhan pokok
Merayakan kepanikan
Harga masker naik, harga kemanusiaan jatuh
Hoax bertebaran, bau bangkai kedewasaan
Busuk menyengat hingga perasaan

Corona benar-benar menghantam karang-karang di dada
Yang bercokol, mengeras telah bertahun lamanya
Dada busung kita dihempasnya
Keras kepala kita dijambaknya
Tatap pongah kita diludahi
Bahkan kelamin dikebiri;
Tak ada kejantanan lagi
Ambruklah keangkuhan yang selama ini diusahakan.
Malu-malu aku menyapa-Mu

Tuhan,
Ya Tuhan...

Madura, 23 Maret 2020

Mim A Mursyid, santri pecinta seni asal pulau Sapudi, Sumenep. Hingga saat ini masih tinggal di Madura, kampung halamannya. Kesibukan sehari-hari selain mengajar sebagai guru honorer, ia menulis puisi dan merawat tanaman cabai di pekarangan belakang rumahnya sepenuh hati. Bisa disapa di FB: Mim A Mursyid.

Heru Mugiarso DEWI CORONA

25.Heru Mugiarso

DEWI CORONA


Dewi corona menari mengayunkan sampurnya
Siapa yang bakal terjerat dan kasmaran
Lalu menggigil memohon cinta
Dalam ampunan ajal juga kecemasan berkelindan

Di panggung orangorang menyeru
Sambil mengenakan topeng kepalsuan
Dosa masih saja dipilah dan dipilih dari rasa ragu
Tersumpal di sela gumam kematian

Dewi corona terus menari dengan pesona
Membidik lelaki yang jatuh hati dan terkesima
Orangorang terus menyimpan demam sambil menghiba
Tersaruk dan terpuruk ke sudut dunia paling lara.

2020

KOTA MATI

Pasca lockdown

Sebuah kota mendadak mati
Apakah detak jantungnya berhenti
Apakah rabunya enggan mengembang
Atau selsel otaknya malas menari?

Tapi kota hanyalah struktur paranoia
Ketika gerbangnya dijaga para hantu
Malam bertugur siang terjaga
Pada debar senarai kematian yang ditunggu.
2020
JANTUNG JOGYA

Pageblug Covid -19

Apakah Jantung Jogya berhenti berdenyut
Ketika debarnya kaubaca sebagai romansa percintaan
Antara para pelancong, penjaja nasib dan puisi elegi
Yang dinyanyikan para pengamen jalanan?


Senja adalah nostalgi
Tertulis pada ribuan tilas jejak kaki
Tapi tidak pada saat kini
Ketika udara bertuba tibatiba berubah jadi buruk mimpi


Apakah sesuatu yang viral ketika nafas mendadak tersengal?
Dan di jantung Jogya yang sibuk kau cari pada halaman peta itu
 Seolah meramal ada yang harus hilang dan terpenggal
2020

TUBUH YANG TERKUNCI

Lockdown! lockdown!.Engkau berteriak sambil mengunci
dirimu ketika jam acuh tak acuh dan pintu diketuk dari luar.

Spada, seru seseorang dari luar pintu sebelum gegar
cahaya dan tingkap membujukmu agar membuang anak kunci
ke lubang closed itu

Entah pada kemiringan berapa derajat
otakmu mulai tak beres. Ia memaksa mulutmu untuk menyanyi lagu reliji
yang mengamanatkan pesan kiamat sudah dekat.

Lockdown matamu
          .lockdown hidungmu
                          .lockdown telingamu
                                         lockdown kelaminmu.
Biarlah semua terkunci. Biarlah semua kembali pulang
ke alamat cangkangnya sendiri
setelah sekian abad berkeliaran di jalanan
dan mengaku- ngaku sebagai tuhan.
 “Bukankah orang lain adalah neraka, Tuan Sartre?”
2020.

Heru Mugiarso, lahir di Purwodadi Grobogan, 2 Juni 1961. Menulis puisi sejak masih duduk di bangku SMP.  Karya-karya berupa puisi, esai dan cerpen serta artikel di muat di berbagai media lokal dan nasional.Antologi puisi tunggal yang telah terbit : Tilas Waktu  (2011) dan Lelaki Pemanggul Puisi (2017). Novelnya bertajuk  Menjemput Fatamorgana terbit  tahun 2018. Kumpulan esainya berjudul Wacana Sastra Paragraf Budaya  ( Leutikprio , 2019)Sekitar delapan  puluhan judul buku  memuat karya-karyanya.Penghargaan yang diperoleh adalah Komunitas Sastra Indonesia Award 2003 sebagai penyair terbaik tahun 2003 Namanya tercantum dalam buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia (2017.)Sebagai nara sumber acara sastra pada program Bianglala sastra Semarang TV.  ,Sehari-hari bekerja sebagai dosen Universitas Negeri Semarang. Alamat rumah : Jl Bukit Kelapa Sawit IV/30-31 Perum Bukit Kencana Jaya Tembalang Semarang 50271 , email :  heruemge@gmail.com   no HP/WA 081325745254

Pensil Kajoe Virus Genit

24.Pensil Kajoe

Virus Genit

 Namamu indah,
terbayang cantik rupawan wajah seorang perempuan
dengan tubuh gemulai bak gitar spanyol

kubayangkan senyum mengembang di depanku
kupanggili namamu, Corona sayang
ya sayang
oh sayang
duhai sayang
Ah sayang, sayang
bayanganku rancu
aku keliru
aku malu

Corona bukan nama perempuan berdada bola
meski namanya kini mendunia
di televisi
di radio
di koran
di warung kopi
di angkringan
di pematang sawah
semua membahas corona
lalu ada yang berseloroh
"Jenengku ana neng konora?"

Corona, si virus genit yang sangat menggoda
orang-orang terpedaya
satu persatu jatuh bertekuk lutut
di kerling mata dan senyum nakalmu.
Tumiyang, 15032020

Pensil Kajoe, lahir dan dibesarkan di Banyumas, 27 Januari. Puisi serta cerpennya sudah bertebaran di berbagai koran di tanah air. Tulisan pertamanya berupa resensi buku: Remaja Doyan Nonton, Why Not? dimuat di Suara Merdeka tahun 2003, rubrik opini: Remaja Tanpa Narkoba (Radar Banyumas, 2004). Selain itu, laki-laki berkacamata minus ini telah membukukan tulisannya ke dalam 16 buku tunggal dan lebih dari 20 buku antologi bersama. Saat ini, Kang Pensil begitu sapaan akrabnya menjadi penulis rubrik Banyumasan di Majalah Djaka Lodang, Yogyakarta.



Hasani Hamzah : MASKER DAN WAJAH KITA HARI INI

23.Hasani Hamzah :

MASKER DAN WAJAH KITA HARI INI

Adalah wajah kita hari ini, dengan mulut yang terkatup Seperti kelopak pintu tertutup
Dengan mata sayu, senyum yang getir dan bibir yang berlibur tanpa pelipur
Tangan - tangan enggan berjabat
Tuhuh - tubuh tak lagi mau dipeluk

Sejak virus covid -19 kita menghitung mundur
Empat belas hari lamanya
Para pekerja dan pengangguran sama saja
Berdiam diri dan bertanya - tanya
Kapan corona akan berlalu?
Padahal, saat kita membuka jendela dengan senyuman
Di sana di halaman buku pelajaran yang terlipat
Tumbuh lahan - lahan baru
Yang memberi harapan dan semangat
Para pekerja dan pengangguran
Akan sama - sama bekerja:
Ya! Bekerja jualan masker
Namun kesedihan dan rasa bahagia
Sangatlah wajar dan sudah menjadi bakat manusia
Karenanya tak usah kabur tak juga takabbur
Segalanya Tuhan yang mengatur

Adalah wajah kita hari ini, yang terbungkus karena virus
Murung dan bingung
Mengunci diri dalam rumah berkabut
Menunggu hari - hari yang cerah dan terbebas dari corona
Sumenep, 17/03/2020


Bangsaku Mencatat Tragedi Virus Corona

Aku tulis sajak ini, saat bangsaku mencatat tragedi
Di mana dunia membaca tentangnya
Tentang virus baru bernama corona yang mewabah
Dan membuat gundah

Sungguh tak pernah menduga sebelumnya
Dan kini orang - orang panik  dibuatnya
Sejak kali pertama di Wuhan
Lalu di negeriku sendiri
Pandemi ini tanpa kompromi membuat ngeri

Corona melejit dengan cepatnya
Corona bukan mobil mewah
Corona melaju tanpa roda

Di mana - mana
Dari kota - kota hingga desa - desa
Dari anak - anak hingga orang dewasa
Dari pejabat negara hingga rakyat jelata
Semua takut akan bahaya corona

Bagai hantu yang menjelma Tuhan------
Tuhan yang menjelma hantu
Corona merasuki jalan pikiran
Menggerogoti dan melumpuhkan sendi kehidupan
Orang - orang kalangkabutan
Saat bangsa ini diancam punah virus mematikan

Bagai keranda yang berjalan di atas pundak
Mengangkut satu persatu tanpa kehendak
Orang - orang berlari dan bersembunyi
Mengisolasi diri selama empat belas hari
Lalu merenung dalam kamar
Orang - orang tak berdaya
Sambil berdoa menurut keyakinan masing - masing
Berharap corona segera sirna
Dan kehidupan kembali berjalan normal

Saat bangsaku mencatat tragedi ini
Di mana dunia membaca tentangnya
Tentang virus yang mengancam seluruhnya
Corona menjadi pembelajaran sangat mahal
Bagi manusia untuk saling menjaga
Agar hidup tidak menjadi sia - sia

Sumenep, 16/03/2020






RINDU JALAN PULANG
(Saat Corona)

Telah lama mengelana
Jauh ke negeri sana

Tinggalkan sanak
Tinggalkan ternak

Saat dunia kini merana
Rindu pun merona

Kampungku membayang
Kususuri jalan pulang

Sumenep, 19/03/2020


Mohammad Mukarom: Abjad Corona

22.Mohammad Mukarom:

Abjad Corona

Cinta
diliburkan - bahkan masih bersemi bunga kuncup.
Onani seperti bahasa kegagalan.
 Rumah sakit semakin sakit.
Orang-orang sakit. Cinta gagal.
Onani begitu membosankan dijadikan pelampiasan.
Napas tersengal mencari jalan pulang paling nyaman.
Aduhai huru-hara wabah. Cinta yang sakit. Onani yang sakit. Napas yang sakit.
Ohhh....
Wonosobo | 2020










Mohammad Mukarom, penulis asal Gresik-Jatim. Membuahkan karya puisi, cerpen, dan esai. Telah menekuni dunia kepenulisan sejak 2015 dibawah asuhan Pak A’yat Kholili-Madura. Aktif di COMPETER (Community Pena Terbang) dan Kelas Puisi Bekasi yang digagas oleh Pak Budi Setiawan. Buku perdananya berjudul RIHLATULILLAH (Sekumpulan Kisah Inspiratif Hafidz Qur’an) telah terbit dan cetak 2018 lalu.Mari menjalin silaturrahim | WA : 085843131913. FB : Mohammad Mukarom

Marlin Dinamikanto : Lelaki Tua yang Bertanya

20.Marlin Dinamikanto :
Lelaki Tua yang Bertanya
1/Rona Corona
Melepuh di setiap kota
Lumpuh
Tak ada daya

getir menggigit
Lelaki tua yang bertanya
Kepada dirinya
Adakah Corona
Membuatnya merana

Lelaki tua itu
Memang sebatang kara
Ada tak ada Corona
Hidupnya sudah merana

2/Trotoar terlihat asing
Lumpuh segala pikiran
Lelaki tua itu memandang
Kota yang hilang
Tidak menyisakan botol Aqua
Di karung rombeng miliknya

Rona Corona
Mewabah di pikirannya
Menginfeksi jiwanya
Ketika botolbotol Aqua
Tak lagi didapatnya

Kota menjadi asing baginya
Pertanyaan yang tak terjawab
Adakah Corona
Bergegas membunuhnya
Depok, 18 Maret 2020

RINDU LESUNG PIPITMU

Lesung Pipitmu
Hilang dari stasiun kereta
Setelah Corona
Membungkam pandang
Setiaku menunggu di peron
Melihat gigimu yang putih
Menyembul bibir merah jambu
Tak ada lagi itu

Rona merah pipimu
Terbalut kain tebal
Ditambah kaca mata dan topi
Sungguh, kau seperti memedi
Tak lagi terlihat anggun
Dan membuatku tertegun

Engkau mungkin Corona itu
Terdengar merdu menakutkan
Saat kau bertanya jam berapa
Dari masker yang membalut
Wajah yang tak lagi indah
Menerkam bola mataku

Buang masker jingga itu
Aku rindu lesung pipitmu
Juga gigi putihmu
Di stasiun kereta itu
Depok, 18 Maret 2020





Siswo Nurwahyudi : (1) RASA BERSALAH TAK BERSALAH

19.Siswo Nurwahyudi :

 (1)
RASA BERSALAH TAK BERSALAH

nun di sana, penyair maya lantang berteriak
: hei..., sajak-sajakmu merah bergincu
itu penghianatan pada dunia yang berduka

aku di sini
memandangnya sepi
hatiku padam
pikiranku hitam

lubang pantatku berpuisi
bersiul nyaring pada dunia
: corona, i love you so much

Bojonegoro, 16/03/2020


(2)
TAK APA, SUMPAH

tak apa
sementara tak ada pesta
bagiku bukan bencana

kalaupun corona merebut semua pesta
juga tak apa, sumpah
bagiku, Tuhan boleh apa-apa semau-Nya

Bojonegoro, 16/03/2020



(3)
CORONA, I LOVE U

sejantan apa dirimu?
sebetina kelelakianku kah?
sungguh, aku mericintaimu
andai saja Tuhan sudi ijinkan
sedia aku bertukar tempat denganmu
atau kita bercumbu berdua
lalu, lahir berjuta anak-anak kita
berbiak lagi, bermiliar-miliar lagi
menghujam bagai peluru para serdadu
melumat segala jiwa yang kotor
ya, yang kotor-kotor saja
seperti berpesta di istana para raja
kita berdansa di atas bangkai mereka
kemudian melaporkan kerja kita pada-Nya
tak peduli surga bukan lagi milik kita
Bojonegoro, 20/03/2020








Siswo Nurwahyudi, Lahir: Bojonegoro, 01 Agustus 1965
Tinggal di Bojonegoro
Alamat: Sinar Merah blogspot.com
E-mail: siswo.nurwahyudi@gmail.com

Sugeng Joko Utomo : Pada Sunyi Kata

18.Sugeng Joko Utomo :

Pada Sunyi Kata

Tempat ibadah sepi
Sekolah sepi
Pasar sepi
Mall sepi
Terminal sepi
Kemana mereka
Takut corona?

Rapat kantor ditiadakan
Transaksi fisik bank ditiadakan
Pesiar dibatalkan
Kongkow-kongkow dibubarkan
Masker dikenakan
Sanitizer dihamburkan
Kenapa semua
Takut corona?

Mari tinggal di rumah
Seraya khusu' ibadah
Bertakdzim pada Allah
Sumber segala berkah
Corona itu isyarat
Agar kita lekas bertaubat
Memohon penuh khidmat
Agar Dia melimpahkan berkat

Tak perlu saling mengolok
Tak elok saling memojok
Kita hadapi bersama
Bergandeng tangan sepenuh jiwa
Mumpung masih diberi kesempatan
Bertemu jalan kebenaran

Demikian sabda Tuhan
Dalam jernih pikir kita sarikan
Lantas diwartakan
Menebar kebajikan
Lupakan hiruk-pikuk dunia
Dalam sunyi memadahkan puji-puja
Berpasrah diri pada Yang Kuasa


Tasikmalaya, 18 Maret 2020

Anisah Virus Corona

17.Anisah

Virus Corona

Seorang wanita membawa suaminya
Dari rumah sakit satu ke remah sakit lain
Tapi
Semua menolaknya
Di rumah sakit banyak pasien bergelimpangan
Tak ada yang mengurus
Pedih melihat itu
Walau di negeri lain
Tapi
Imereka juga makhluk Allah
Jangan engkau makan kelelawar, tikus dan ular
Itu sumber virus corona
Hindari semaksimalmungkin
Makanlah gurami, tawes, ayam, sapi
Itul
lebih
menyehatkan
dan
halal

Magelang, Maret 2020











Pembelajaran Online

Virus corona  menjadikan siswa diliburkan
Atau belajar di rumah
Guru di sekolah menyiapkan materi
yang akan diupload
Guru serentak menyiapkan materi
Aneka jenis materi disiapkan
Agar siswa paham dan mengerti
Di pagi ini
Masih ada 22 siswa dari 36 siswa yang belum membuka HP-nya
Itu menjadi PR buat guru tuk menindaklanjutinya
Semoga Corona segera reda
Dan siswa bisa ke sekolah lagi

Magelang, Maret 2020


CUCI TANGAN

Selesai fingerprint cuci tangan
Selesai belanja cuci tangan
Habis pegang uang cuci tangan
Sembarang pegang cuci tangan
Bersalaman?
Libur
Cukup
Sembah kalbu
Dag dag
Adu sikut
Itulah akibat corona
Semua serba takut
Tuk beracengkerama seperti biasa
Dekat-dekat takut
Magelang, Maret 2020

Sulistyo : CORONA

16.Sulistyo :

CORONA
Dunia sekarat
Dihajar virus laknat!!

Jakarta,  07.03.2020

PANIC BUYING
Takut kelaparan
berebut memborong makanan
Takut mati karena perut tidak diisi nasi

Virus mematikan menjadi momok menakutkan
Mengusik manusia-manusia yang takut kelaparan
Memenuhi keranjang belanjaan dengan berbagai jenis makanan

Apakah kalau perutmu kenyang pasti dijamin aman dari kematian?
Apakah kalau semua jenis makanan memenuhi lemari penyimpanan kau tak akan luput dari ajal?

Corona mentertawakan kita
Menganggap nyawa ada di tangannya
Corona hilir mudik mencari mangsa
Menerkam siapapun tak perduli siapa
Tak juga kalian yang memborong berkarung makanan karena takut kelaparan

Corona bangga dan menepuk dada
Melihat kita ketakutan kehilangan nyawa!

Jakarta,  03.03.2020


MASKER
    (kepada corona)

Aku tak habis pikir
Kenapa masker mendadak menyingkir
Padahal kemarin di etalase masih terparkir

Penjual masker mematok harga tinggi
Nurani mati terkubur materi
Corona datang masker menghilang

Corona makin Gelap mata
Menantang kepongahan manusia
Merobek dunia merenggut nyawa

Masker menjadi lebih berharga dari segenggam permata
Hingga tak lagi teronggok di etalase kaca
Dia tersembunyi menghuni brankas berlapis baja

Jakarta,  29.02.2020

Sudarmono : Jejak Mu Corona

15.Sudarmono :

Jejak Mu Corona

Virus itu melegenda
menjadi kehampaan manusia
menabur dirinya sendiri
pada nafsu segala nafasnya
untuk menguasai duniawi
melupakan Sang Pencipta

Virus itu mewabah
pada lekuk hati yang gundah
goyangkan iman hingga resah
sebab perang negara adu kuasa
membayang di pelupuk mata
mengguncang perekonomian dunia

Hilanglah panik segala panik
kabur bersama mereka yang unik
corona covid 19 adalah belantara etnik
mengunggah viral di tubir media sosial
kesombongan manusia yang tak sesal
bercermin pada dirinya sendiri
dan mampus itu rahasia Illahi

Tambun Utara, 16 Maret 2020

Dhea Lingkar : Indahnya Kebesaran-Mu

14.Dhea Lingkar :

Indahnya Kebesaran-Mu

Kebesaran-MU membuat kami tersadar akan kekuasaan-MU
Corona mengaum....
Corona menjerit ke seluruh penjuru dunia
Wahai Pencipta Alam...
Kekaguman sulit untuk kami pendam
Dari pagi hingga malam
Pesonanya tak pernah padam
Corona bagaikan desiran angin yang menusuk jiwa raga kami...
Hanya sedikit...
Ya...Sedikit tergores kau hempaskan...
Dengan sekajap mata kau jadikan menghilang satu persatu
Hingga ribuan
Inilah...
Keserakahan manusia yang selalu menyombongkan dirinya..
Manusia licik berterbangan mencari hakikat dan keegoisan hidup...
Tapi sayang...
Mereka lupa
Engakaulah Sang Pencipta segala nya tanpa susah payah
Corona teguran kecil yang kau beri
Agar kami tsenantiasa bertaubat dan berserah diri
Hanya pada-MU
Pemilik semesta Alam
Surabaya,15 Maret 2020




Aditya Mahdi F : 3-4-5

13.Aditya Mahdi F :

3-4-5

Disuatu tempat yang tak dapat dijangkau oleh mata kasat
Selang beberapa waktu setelah tahun kabisat
Terdapat beberapa mikroorganisme sedang bercengkrama dalam senyap dan gelap
Membicarakan virus baru yang sedang melesat

Icd 10 A98 menyatakan perasaan dengki terhadap virus ini
Saudara nya A91 dan A90 mendengarkan secara hati-hati
A98 mengatakan ia lebih mematikan daripada pemain baru ini
Ia juga mengakui bahwa dirinyalah yang patut untuk ditakuti

A91 tak mau tunduk
Ia mengatakan bahwa dirinyalah yang paling terkutuk
Tak terhitung berapa homo sapiens yang nyawanya ia buat di ujung tanduk
Ia menyatakannya tanpa ada rasa takut

Saudara kembarnya, A90 juga tak mau kalah
Ia mendebat keduanya, akulah yang terparah
Sudah berapa nyawa yang ia buat menyerah
Dan ia hanya mengandalkan aliran darah tanpa mengenal daerah

Namun, ke 3 bersaudara ini menyatakan gagasan yang sama.
Virus baru covid-19 tak ubahnya dengan mereka.
Tak lebih baik dari mereka.
Tapi mengapa, namanya melanglang buana senatero dunia.

Covid-19 mendengarkan
Berkata dalam hati memelas bahwa itu tak perlu dipamerkan
Ia tak sanggup hidup walau hanya sepekan
Tapi ia juga sadar dirinya berteman dengan kematian

Mereka ber 4 sadar ada 1 virus lagi yang sangat mematikan
Ia menyebabkan hal yang lebih buruk ketimbang kematian
Ia meruntuhkan harmoni, cinta, dan kebersamaan
Mereka mengenalnya sebagai virus kebencian.

Depok, 14 Maret 2020: 3

Yublina Fay : Siapakah Kamu?

12.Yublina Fay :

Siapakah Kamu?

Caramu menyebar laksana
Ombak mnerjang karang
Runtuhkan iman di dada
Orang-orang beriman
Naluri keyakinan menghilang bagai
Angin lalu tak berjejak

Corona sapaanmu di telinga
Orang-orang gemetaran mendengar namamu
Resah dan gelisah mulai menafsirkan segala laku
Orang-orang yang takut pada kematian sebelum kematian datang
Nafas akan terasa sesak meski kau belum juga menyerang
Akankah kau terus menyeramkan dan menakutkan seperti sekarang ini?

Cobalah sudahi semua ini
Otoritasmu tak lagi bertujuan
Runtuhkan kepanikan yang sedang merajai
Oh… corona
Namamu saja menggetarkan seluruh negeri
Akankan kau terus menjajah tubuh-tubuh tak berdaya ini?

Corona
Otakmu sungguh tak lagi terjamah
Ruas jarakmu telah memisahkan raga meski berdekatan
Oh corona…
Nyatakan keakrabanmu pada lembaran usang kehidupan ini
Agar kekejamanmu usai sudah digiring waktu



Sebab Ceritamu telah merenggut rasa percaya diri aku, dia dan mereka
Ocehanmu telah memekakan telinga aku, dia dan mereka
Rayumu juga telah menjerumuskan aku, dia dan mereka
Oleh hadirmu aku, dia dan mereka menjadi paranoid
‘Nyahlah kau dari kebisingan dan hingar bingar kehidupan ini
Aku, dia dan mereka yakin, kau hanya hama di musim sepi ini

Rinhat, 15 Maret 2020

Rg Bagus Warsono 14 hari bersama corona

11.Rg Bagus Warsono

14 hari bersama corona

dirumah sepi
serumah tapi bersembunyi
dalam siang
ketika malam tidur
corona menari

14 hari bersama corona
di rumah sepi
kaukah itu
memanggil mengajak
membuka pintu
gelas panas air berasap
corona menikmati

Dikesunyian hari hari di 14 hari
corona menemani
teman bukan kekasih
bukan kekasih tapi mau tidur bersama
telanjang dalam kesepian
corona
dalam hari yang menggila
siang dan malam sama saja
apa maumu?
sambil mengusung dada
besar
yang ditempelkan didadaku
jangan
jangan hari ini
14 hari masih ada waktu.

indramayu, 20 maret 2014

Muhammad Lefand : Guru dan Corona

10.Muhammad Lefand :

Guru dan Corona


Musim masih penghujan
Libur belum waktunya
Masih menunggu lebaran
Dan ujian sekolah tiba
Namun tanggal 16 sampai
29 maret 2020 libur
Tak ada keramaian
Guru di sekolah kesepian
Katanya corona mengancam
Mencekam semua kota

Guru dan corona
Seperti pasangan mesra
Guru kadang disalahkan
Persis seperti corona
Bedanya, corona lebih
Didengarkan daripada
Seorang guru yang bicara
Sungguh aku iri pada corona
Karena tak ada yang berani
Kepadanya, meski ksatria perkasa
Jember, 2020









MASA DEPAN KORONA DI KOTA-KOTA

Masa depan korona di kota-kota
Sebagai artis virus yang naik daun
Seorang atau dua orang terkena
Heboh di mana-mana tanpa ampun

Akulah corona dari negeri Wuhan
Awalnya hanya virus pada kelelawar
Di pasar kumuh aku menularkan
Kepada manusia tanpa bisa ditawar

Sekarang tak ada kota yang tak tertekan
Aku sangat terkenal di seluruh dunia
Tiap negara saling melarang kunjungan
Aku tetap menular dengan semestinya

Jember, 2020

CORONA

Corona mengaum
Orang-orang besar ketakutan
Orang-orang kecil tetap bekerja
Yang mecak tetap mecak
Yang ngojek tetap ngojek
Yang ngamen tetap ngamen
Yang nyayur tetap nyayur
Yang nguli tetap nguli
Di pasar tetap riuh tapi tidak di pasar Wuhan
Di desa tetap santai tapi tidak di kota besar
Yang bertani tetap bertani
Yang membajak tetap membajak
Yang manen tetap manen
Yang ngarit tetap ngarit
Yang nyangkul tetap nyangkul

Aditya Mahdi F: Hai

9.Aditya Mahdi F:

Hai

Kepada seluruh mahkluk
Izinkan aku mengenalkan diriku yang terkutuk
Dengan rasa hormat yang buruk
Inilah aku, sang penakluk yang teruk

Corona
Aku tercipta dari tangan-tangan manusia
Tanpa adanya sosok ayah dan bunda
Tapi memiliki banyak saudara senyawa

Ketika musibah menimpa di suatu kota
Lalu muruah mereka berubah menjadi wabah
Dari ujung langit hingga dasar lembah
Tanpa peduli apa yang mereka sembah

Aku mengalir bebas dengan seleksi alam
Menjadi pemisah takdir, keras dan kejam
Perjalananku menjadi kisah kelam
Dari pagi hingga datangnya malam

Hai, manusia
Sejatinya aku tercipta oleh mereka
Tanpa rasa dengan asa
Dengan masa hingga nanti binasa

Aku kecil, satukan semua yang ada !
Politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Kurasuki mereka semua !
Tanpa mengenal suku, ras, dan agama.

tanpa akal pun aku bisa mengguncang dunia dan sejatinya aku diciptakan oleh akal
Tidak kekal, apalagi mulia, ku berjalan hingga mereka semua kesal
Wihara, candi, katedral, maupun istiklal
Aku tak terbendung dengan hal mistikal

Atas kuasa tuhan dan seleksi alam
Perjalananku akan kulanjutkan
Eksistensi ku akan sedikit bertahan
Dan ini dimulai dari kota Wuhan

Sekali lagi, hai kawan-kawan
Covid-19 siap melayani nyonya dan tuan
Selama tuhan mengizinkan
Aku akan terus berjalan

Depok, 20 Maret 2020

Irna Ernawati : Ku Halang Kau Menghadang

8.Irna Ernawati :

Ku Halang Kau Menghadang

Seperti abu tak tampak
Namun kala memdekat terperangkap
Bisakah menjauh sedikit saja
Agar dapat tenang walau sesingkat itu
Apalah daya ku halang kau tetap menghadang
Hingga lumpuh negriku karena kau
Kita sama sama ciptaan tuhan
Mengapa begitu kejam
Niatmu apa balas dendam
Lantas aku harus apa
Bersujud pada mu mohon ampun
Tapi kau makhluk tuhan
Liahtlah negriku
Membisu bahkan mati karenamu
Tapi kembali lagi pada diri ini
Yang lengah dan terlena
Tak pantas menyalahkan sesama ciptaannya
Anggap saja sapaan sang pencipta
Agar sama sama tak lupa akan dosa

Roymon Lemosol : Ketika Corona Datang

7.Roymon Lemosol :

Ketika Corona Datang

corona datang
kucuci tangan
segera sesudah makan
hal yang tak pernah kulakukan
sepanjang perjalanan kehidupan

corona datang
dipaksanya aku blusukan
ke sekolahan
kantor-kantor pemerintahan
dan rumah-rumah peribadahan

tak dapat kusangkal
betapa corona telah mengubah tatanan kehidupan
dari kebersaman jadi kesendirian
keramaian jadi kesunyian
persekutuan jadi perseteruan
dari berjabat tangan ketika salam-salaman
jadi sikut-sikutan
bahkan tak jarang sepak-sepakan

corona
agen pembawa perubahan
begitulah terpaksa aku menyebutnya

Ambon, 21 Maret 2020





7.Roymon Lemosol, kelahiran Lumoli, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, 24 Agustus 1971. Puisi-puisinya pernah terbuplikasi di halaman sejumlah media cetak lokal maupun nasional, antara lain Majalah Fuly, Asau, Lombok Post, Suara NTB, Banjarmasin Post, Riau Post, Koran Seputar Indonesia, Media Indonesia dll. Sebagian lagi termaktub dalam 45 buku antolgi bersama. Puisinya yang berjudul “Pulang” meraih Anugerah Puisi Pilihan, Gerakan Akbar 1000 Guru Asean Menulis Puisi 2018. Buku kumpulan puisinya, Sebilah Luka Dari Negeri Malam (Akar Hujan, 2015), Jejak Cinta Di Negeri Raja-raja (Teras Budaya, 2019). Roymon dapat dihubungi melali HP/WA: 085243130770 e-mail pazaluei@yahoo.co.id

Asep Muhlis : Dari Corona Atawa Mahkota

6.Asep Muhlis :

Dari Corona Atawa Mahkota


Andai suatu saat tak dapat berjabat tangan
ketahuilah, aku telah lebih dulu
menjabat lirikan dan senyummu

Dan kerlingmu menggelayut
kadang berkepak, kadang menukik
berkelindan di dada dan ingatan
aku bertahan dalam kepayahan
yang kusesap tak bersudah

Walau suatu saat tak dapat menggam tanganku
bukankah kita telah saling menggenggam rindu
dengan sangat hati-hati
agar tak retak selamanya

Maafkan aku,
dulu sering tak lekas cuci muka,
setiap usai bertandang ke rumahmu
lantaran takut bayang wajahmu
hanyut oleh air bermuatan nafsu
maka biarlah mengendap
bersama garam susah-payahku

Tak perlu aneh, kini orang-orang
memberi nama badai, jasad renik jahat,
atau penyakit dengan nama yang indah
lebih puitis dari penyair
mungkin karena kini
penyair kurang doyan bahasa bunga


Entahlah, mari kita rajin mencuci tangan
agar tak ada selera untuk mengutip
berkumur untuk tak terpapar kenyinyiran
membasuh muka dari memandang yang tak senonoh

Serupa mahkota bunga yang ditopang kelopak
kau adalah keindahan
dan aku harus sanggup melindungi

Serang, 13 Maret 2020


Ninja Ngantor

Senin dini hari, gigil menyergap
di depan meja penerima tamu, dua orang petugas
menyergap setiap pegawai yang datang
menodongkan alat pengukur suhu tubuh
sinar merah berkedip di jidat.
Beruntung, alat pencatat kehadiran elektronik
dengan mendekatkan retina mata dan wajah,
andai harus menempelkan sidik jari
boleh jadi akan pada menghindar, menjauh,
layaknya bertemu orang berpenyakit kudis

Kesibukan menyergap, semua jadwal berubah
kegiatan baru lebih deras, lebih cepat
dengan resiko sulit diduga
blangko teknik tersaji, masih kosong
kerentanan bagai mengusir gerombolan lebah
ini hari pertama maklumat diberlakukan
kalender saat itu menunjukan 16 Maret 2020.
Entah hari beku, entah hari  mendidih, entah hari limbung
pase baru yang belum dialami sebelumnya

Dikeluarkan botol antiseptik
masker diwajah belum dibuka
hidup serupa bajingan
selalu siap senjata dan penutup wajah.

Batuk ditakuti, bersin ditakuti,
tombol lift dicurigai, tarikan pintu dicurigai,
kran air diwaspadai, pipa pegangan di selasar diprasagkai.
Layaknya pasangan yang telah tersakiti
semua prilaku dan bahasa tubuh dicurigai
bahkan semua benda diwaspadai.
hidup yang aneh telah dimulai
menjadi intelejen dadakan, tanpa analisa.

 (Oh..bukan, bukan begitu,
kehati-hatian yang ketat memang begitu konsekwensinya)

Pikiran terus berlari, membayangkan keadaan di luar kantor
mungkin bangku taman akan dicurigai,
kursi tunggu diwaspadai,

peralatan makan di restoran ditakuti, kursi bioskop ditakuti
virus corona yang sangat kecil dan tak terlihat
lebih menakutkan dari gendoruwo yg konon raksasa

Kepanikan yang serius
membuat logika tak jalan,
keakraban rontok, keyakinan terlupakan.
Lantas, dilihat lagi botol hand sanitizer
diraba lagi masker di wajah
kalender di atas meja nampak lesu.

(Di sisi lain pikiran menjadi jinak dan lindap ;
"mari kita junjung kehati-hatian,
hanya pengorbanan kecil, berupa menahan diri" )

Sejurus kemudian, ada iri yang mendadak terbit
melihat seseorang  sering mendatangi kran air
berwudhu dengan seksama
mampu menyisihkan dua rakaat ke dua rakaat
sebelum kerja, pada jam kerja, bahkan pada hening malam
ia nampak begitu tenang, anteng
melakukan yang disukainya.
Ia selalu menyempurnakan wudhunya
memelihara wudhu dari waktu ke waktu
dari kegiatan ke kegiatan

Ternyata air tidak hanya memadamkan api
tapi mampu memadamkan kobaran gelisah
dan kecemasan
Ialah air ajaib yang diberkati
Serang, 17 Maret 2020

Keterangan ;
anteng=(Bahasa Daerah; Sunda) = tenang, asik
antiseptik=(Inggris ; antiseptic ) ; senyawa kimia yang digunakan untuyk membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisma pada jaringan yang hidup, seperti pada kulit, rongga mulut
hand sanitizer =pembersih tangan, cairan atau pasta yang umumnya untuk mengurangi zat/jasad renik penyebab penyakit




Asep Muhlis, lahir di Ciamis- Jawa Barat, 21 Januari 1963
Pernah belajar di IKIP Bandung
Tinggal di Kota Serang – Banten
Puisinya dimuat dalam ;
Antologi puisi bersama MENYERUAK, penerbit D3M Kail, Jakarta, 2018
Antologi puisi bersama DARI NEGERI BAHARI , penerbit Kosa Kata Kita (KKK), Jakarta, 2018
Antologi puisi bersama CINTAMU KUJAGA, penerbit D3M Kail, Jakarta, 2018
Antologi puisi bersama REMAH RINDU, penerbit D3M Kail, Jakarta, 2019
Kumpulan Pentigraf WANITA GURU BANGSA, penerbit D3M Kail, Jakarta 2019
Antologi puisi bersama KOMANDAN, penerbit D3M Kail, Jakarta, 2019
Antologi puisi bersama NEGERI PENYAIR, Forum Silaturahmi Penyair Lintas Daerah Nusantara, Jogjakarta, 2019
Antologi Puisi Gila Penyair Indonesia WONG KENTHIR, Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia Edisi Spesial, penerbit Penebar Media Utama, Yogyakarta, 2020

Arif Abdil Bar, : Aku , Kau & Corona

5.Arif Abdil Bar, :

Aku , Kau & Corona


Jalani hari di dalam
Seakan selalu malam
Membuat hati terbenam
Sosokmu kian temaram
Akibat Corona yang mencekam

Namun aku menyadari itu hanya awan hitam
Namun aku menyadari kau terasa kelam
Akibat Corona yang mencekam

Tapi senyummu tetap tajam
Bersinar bak bohlam
Disana aku bersemayam
Kau usir Corona dan semacam
Ahirnya ku katakan pada Corona, wassalam,
Padamu welcome...

Probolinggo, 21/03/2020

Maya Ofifa Kristianti : Mestinya malam ini

4.Maya Ofifa Kristianti :

Mestinya malam ini


Mestinya malam ini
Aku mengunjungimu
Di bumi mina tani, bukit gunung wungkal, di rumahmu yang kini

Mestinya malam ini
Ku tabur mawar di peraduanmu
Ku lafadzkan ayat alquran
Ku senandungkan dzikir
Ku peluk nisanmu, sambil mengenang masa dulu

Papa, negeri kita sedang terkena bencana
Ada virus baru yang bernama corona, yang bisa menyerang siapa saja, tanpa pilih nama

Maafkan papa
Kami tak bisa ke mana
Bukan karena kami takut corona
Tetapi lebih karena waspada

Mestinya malam ini
Aku mengunjungimu, tidak lewat online seperti yang pemerintah mau.


Maya Ofifa, Ibu rumah tangga
Senang membaca puisi. Dari semarang.


.Sutarso : Protes di Darurat Corona

3.Sutarso :

Protes di Darurat Corona


"Daripada panik,
 tidak lebih baik piknik
 dengan
 bermungkinmungkin
 mesti kemungkinannya
 jauh dari mungkin?
 Bukankah mungkin
 dan tidak mungkin
 punya nasibnya
 masing masing, diriku?
 Mungkin juga, yang di
 bawah ini mungkin:
 Mungkin,
 kita pernah bilang, 'Dia
 tidak tidur' tapi kita
 kucingkucingan di
 hadapan-Nya?
 Mungkin,
 kita pernah bersumpah
 'pantang ngadali teman
 padahal menipu teman jadi
 komoditi andalan?
 Mungkin,
 kita pandai teriakkan hidup
 bersih, kedodoran di
 perilaku bersih.
 Mungkin,
 kita ingin sehat tapi pola
 hidup kita tidak sehat.
 Mungkin,  kita suka
 menasehati
 tapi tidak suka dinasehati.
 Mungkin,
 kita pernah mengaku sakit
 tapi tidak berpenyakit.
 Mungkin,
 kita bilang 'enak
 tinggal di  rumah sendiri'
 nyatanya betah
 di penginapan mewah.
 Mungkin,
 anak kita belajarnya
 garuk kepala terus
 tapi harus
 nilai raportnya bagus.
 Mungkin,
 ada di antara kita
 yang bicara keras hubungan antar lawan jenis mesti ada batas
dia sendiri di luar batas?
Sausapor, 14 Maret 2020


M. Muchdlorul Faroh : Dipaksa Libur

2.M. Muchdlorul Faroh :

Dipaksa Libur


dilihat sekilas kau nampak garam
pemerintahpun kau buat
ketar ketir ketakutan
wabahmu sempat getarkan dunia
sekolah sekolahpun ikut jadi dampak
kau paksa kami berpisah dengan guru
kau buat jeda antara aku dan teman bertemu
dan harus menunggu selama 2 pekan
tuk melebur rindu
pagiku sekarang hanyalah antara aku, jalan sepi, dan kopi yang mulai mendingin
sudah tak ada lagi teman yang membuat riuh
tak ada lagi guru yang bersenandung lama
dan tak ada lagi papan tulis yang belepotan oleh tinta
darimu aku harus berpisah dengan sekolah
dan dipaksa libur tuk ngangsu kaweruh

Supianoor : Semua Siaga Semua Berjaga

1. Supianoor :

Semua Siaga Semua Berjaga

Bermula di Wuhan negerinya tirai bambu
Ratusan bahkan ribuan orang tergelapar tak sadarkan diri
Suhu badan meningkat bahkan banyak  yang wafat
Kemudian menyebar dan beterbangan ke penuru dunia
Eropa,asia,aprika tak luput dari serangannya
Tak terkecuali nusantara kita Indonesia tercinta

Semua rakyat siaga
Dari Presiden hingga rakyat jelata
Mulai istana hingga emper rumahan
Mereka diskusi  tentang wabah yang satu ini
Dari Jakarta hingga pelosok negeri
Semua siaga semua beraga
Dengan peralatan dengan gaya kehidupan
Tanah Bumbu, Maret 2019





1.Supianoor dilahirkan di Kusan Hulu, sebuah kecamatan yang berada di pelosok Kalimantan Selatan pada tanggal 1 Juli 1969. Puisi-puisinya terdapat dalam antologi bersama Buitenzorg Bogor Dalam Puisi Penyair Nusantara (2017), Berbagi Kebahagiaan (2019), Surak Sumampai (2019)Sekarang bertugas sebagai Kepala SMPN 4 Kusan Hulu. Bisa dihubungi di no Hp/WA 081348562835 atau E-mail smpn2kusanHulu@yahoo.com

Lumbung Puisi Mencatat Peristiwa Negeri ini yang terserang Corona melalui Antologi Puisi Karya Penyair Indonesia




























Rabu, 15 Januari 2020

1. Matthew Isaac Cohen Suluk Topeng

1.

Matthew Isaac Cohen

Suluk Topeng

Translated by Matthew Isaac Cohen

The poem below is an example of aesthetic theory and lyric theology from Java (Indonesia). It is a meditation on the philosophy of appearance in relation to performance. The text originates from Cirebon, a coastal area of Java’s west coast that is known for its lively folk arts and ancient mystical traditions. The redaction I translate here is from an early nineteenth century manuscript compiled by a mosque official known as ‘Abdul Kahar and Sultan Adiwijaya of the royal house of Kacerbonan.
  The nominal subject of the poem is topeng, the mask theatre or mask dance, a popular daytime entertainment filled with comedy and exciting dancing performed to the accompaniment of gamelan music. Sometimes a series of dances with comic interludes is performed, less often a story is enacted. (The poem refers to the character of Pekik Anom, also known as Jaka Pekik, the eponymous hero of a play titled Jaka Pekik or Jaka Menyawak.) Cognate traditions of topeng exist elsewhere in Java, as well as in the neighbouring islands of Bali and Madura.
Topeng is likened in the poem to the third stage on the mystical path to enlightenment— kakekat, which means Truth or Reality. The poem speaks vividly on an allegorical level – contemplating the theatrical apparatus provides perspective, in Kenneth Burke’s usage, upon relations with the Divine. It is the third of a suite of mystical poems or suluk dealing with performance—the first compares shadow puppetry with Law, the second compares animal dances in full-body costumes to The Path and the fourth compares the female social dancer to Seeing God. The unifying scheme structuring the suite is that the less mediation there is between the animator and the object of performance, the closer one gets to Divine Union.
The suite of poems exists in multiple manuscript copies in major collections, and is well known to scholars of Javanese literature, though it has yet to be translated into English as a whole. I have translated and provided an extensive commentary on the first of the suite (Suluk Wayang) elsewhere. Someday I hope to translate the work as a whole.

***

Topeng appears at mid-day
though this is but a symbol.
It is actually kakekat
artfully ensconced in the form of topeng.

The performer and the object of performance can be said to be one and the same.
There is nothing else.
But there is still concealment.
On the face, there is a mask as wrana [screen, pretext, substitute, representation]

Kakekat, because it is candid, masquerades as ignorance,
on the face of things.
Genuinely swift motion has yet to occur.
That is the way of kakekat in art.

My creation in the mask art
Is the ability to transform.
The performer is invisible.
It is the mask that attracts attention.

Then the performer returns and changes his mask.
Things get increasingly mixed up.
It’s as if one does not know or has
forgotten that the performer doing the mask dance has bodily substance.

The excellent mask performance I do not attribute to the performer.
Mouth wide open, the neck gets sore from looking
At the masked performer representing Pekik Anom.
I consider this not as the performer.

One recalls that it is a performer doing the mask dance
when one sees
him change his mask to impersonate a woman,
very attractive and eye-pleasing.

Then the performer, that crazed pig, picks up
and changes into another mask
He’s like a ferocious demon and people [watching] make a move,
intending to strike him as they perceive this to be not the performer.

Most of those watching the mask performance go home.
I do not look
at the face. What is visible,
what is given to ponder, is the performer in my own self.

Like when the performer himself does mask dance,
what is then also visible
are not two masks indeed.
I cannot discuss this matter furthermore.

I am unable to run from the mask performance
I am unable to be still
in the movement of my body.
That is why I originate with Allah and go towards Allah.

On reflection, there is no place for me to run to.
A masked dancer impersonating a lion will run
but will return in the end to the same place.
This is recipient of the Lord’s tribulations.

Provide me with ample shelter, Oh Lord.
Protect your humble servant
in all my movements…























Matthew Isaac Cohen ,  Areas of specialization :Art and Culture of Southeast Asia (particularly Indonesia), Asian Theatre, World Puppetry, Cross-Cultural and Transnational Art and Performance, Histories of Popular Culture, Cultural Heritage
Academic employment :2019-present Professor of World Arts and Culture, Department of Dramatic Arts, University of Connecticut, USA
2011-2019 Professor of International Theatre, Department of Drama, Theatre & Dance, Royal Holloway, University of London, UK
2005-2011 Senior Lecturer, Department of Drama & Theatre, Royal Holloway, University of London, UK
2001-2005 Lecturer, Department of Theatre, Film & Television Studies, University of Glasgow, UK
1998-2000  Postdoctoral Research Fellow, International Institute for Asian Studies, the  Netherlands.
Visiting Positions since 2009:
2018-2019 Senior Fellow, Institute of Sacred Music at Yale University, to research the history of wayang
2017 Visiting Senior Fellow, Yale University Art Gallery to research and help curate the Dr. Walter Angst and Sir Henry Angest Collection of Indonesian Puppets
2015-2016 External Curator at the British Museum for the temporary exhibition ‘Shadow Puppet Theatre from Indonesia, Malaysia and Thailand’
2015 Visiting Research Professor (Spring Term), University of Connecticut, USA
2011-12 Research Fellow, Netherlands Institute for Advanced Study in the Humanities and Social Sciences, Wassenaar, The Netherlands
2009 Visiting Associate Professor, University of Malaya, Malaysia
Degrees awarded
1997 PhD in Sociocultural Anthropology with Departmental Distinction, Yale University (Thesis title: An Inheritance from the Friends of God: The Southern Shadow Puppet Theater of West Java, Indonesia)
1992 MPhil in Sociocultural Anthropology, Yale University
1990 Certificate in Puppetry from the Wonogiri branch of Ganasidi, Indonesia’s National Puppetry Organization
1988 AB Magna cum Laude in Psychology, Harvard College
Mayor awards and distinctions:
2018 Awarded the royal name ‘Ki Dalang Bawana’ (Sir Puppeteer of the World) by Sultan Arief Natadiningrat of the court of Kasepuhan, West Java, Indonesia
2011 Netherlands Institute for Advanced Study Fellowship
2009 Awarded the royal title ‘Ki Ngabehi’ (equivalent to a knighthood) from Sultan Abdul Gani of the royal court of Kacirebonan, West Java, Indonesia
2008 American Council of Learned Societies Fellowship
2008 Harry J. Benda Prize in Southeast Asian studies, awarded by the Association for Asian Studies
Books
2016 Inventing the Performing Arts: Modernity and Tradition in Colonial Indonesia. Honolulu, HI: University of Hawai’i Press.
2010 Performing Otherness: Java and Bali on International Stages, 1905-1952. Basingstoke: Palgrave Macmillan.
2010 Contemporary Southeast Asian Performance: Transnational Perspectives/ Cambridge: Cambridge Scholars Publishing. (Co-editor with Laura Noszlopy)
2010 The Lontar Anthology of Indonesian Drama, Volume 1: Plays for the Popular Stage. Jakarta: Lontar. 
2006. The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia, 1891-1903. Athens, OH: Ohio University Press and Leiden: KITLV Press.
1998 Demon Abduction: A Wayang Ritual Drama from West Java. Jakarta: The Lontar Foundation.
Javanese shadow puppet theatre (Wayang Kulit) performances :
I have performed more than 30 wayang kulit plays as solo puppeteer since 1989. Below are some of the more important performances since 2006.
2016 The Birth of Kangsa and Kangsa’s Cockfight, English-language shadow puppet play performance with Gamelan Kridha Budaya Sari at the Linden-Museum Stuttgart
2015 Arjuna’s Meditation, English-language shadow puppet play performed at the British Museum (with ISBI Bandung, 2 hours), Harvard University’s Arts First Festival (with Gamelan Si Betty, 2 hours) and at the Ballard Institute and Museum of Puppetry at the University of Connecticut (1 hour).
2012 Lokananta: The Gamelan of the Gods, performed in English with 150 gamelan musicians from around the United Kingdom at the Roger Kirk Centre, University of York, UK (8 hours).
2011 Anoman, the Envoy, performed in English with Gamelan Madu Sari at Gong! The Vancouver Gamelan Festival, Goldcorp Centre for the Arts, Vancouver, Canada (2 hours).
2011 A Dalang in Search of Wayang. Lecture-performance with Javanese shadow puppets performed at the 1st Asian Theatre Festival, Thessaloniki (Greece); Centre for Creative  Collaboration, London (UK); Puppetry and Post-Dramatic Performance: An International Conference on Performing Objects in the 21st Century, University of Connecticut (USA); Department of Theatre, Speech, and Dance at Brown University (USA); CHIME-APAF International Conference on Traditional Performing Arts in Contemporary Asia (UK); Buxton Puppet Festival (UK); Indonesia Kontemporer Festival (UK); Netherlands Institute for Advanced Study (Netherlands); Fahmina Institute (Cirebon, Indonesia) (50 minutes).
2009 Kresna Denawa. 3-hour English language shadow puppet play performed at Cambridge University’s Festival of Ideas (with the Cambridge Gamelan) and at the Royal Northern College of Music in Manchester (with the Southbank Gamelan Players). Previously performed a 5-hour long Javanese version of this play in Cirebon, West Java in 1999.
2009 Arjuna Sasrabau. Shadow puppet play, performed in Javanese with royal heirloom puppets and open-flame oil lamp, Kraton Kacirebonan, Cirebon (6 hours).
2009 Sinta Colong. Shadow puppet play performed in Javanese, Indonesia and English. Sono Budoyo Museum, Yogyakarta (3 hours).
2008 Ramayana. 4 episode shadow puppet Ramayana cycle (The Birth of Ravana, Arjuna Sasrabahu, The Abduction of Sita, The Fall of Alengka), performed in English with the Southbank Gamelan Players. The British Library, London (12 hours).
2006 Palguna. Shadow puppet play, performed in English with Gamelan Puloganti. Picture Gallery, Royal Holloway, University of London (3 hours); performed in Cirebon Javanese on a 10-stop tour of the north coast of Java in 2018 sponsored by Indonesia’s Department of Education and Culture (4 hours).


2. Brett Sense Elliot Nature Is Sexy

2.

Brett Sense Elliot

Nature Is Sexy

I expect you’ve heard of LGBT,
But what do you call a person who loves hugging trees?
Who talks to plants and walks the earth
Massaging Her with their feet to please?
Her…
You call them Ecosexual… I am an ecosexual…
My heart and body blossoms
When I see the sweet curves of Her land
The rolling hills and river fills
my soul when Her sacred water runs through my hands..

Yes I am an ecosexual
Shameless I am to say
That when the wind and sun touch my skin
I spread my legs to pray…

I taste the rainfall like I taste the pink sweat of a lover’s breast
I delight in touching smooth tree bark
And eat Her fruits with zest…

Mango from tree from roots from earth
drip sweetly from my face
the dirt that walks beneath my feet reminds me of my place…
on Her…

BUT WAIT!
This polite rhythm and rhyme of verse and time doesn’t reflect the reality of desert sands or sea,
They are wild and radical and fearless and powerful and free from the laws of men and poetry
Free from all
From all but gravity.

Nature rises in storms that rages against our feeble homes
Of stacked brick and tarmac slick, nature rips to shred as she pleases
Our dreams and hopes and families
She Crushes ships like match sticks
And with ocean devours our cities...
My God She is sexy…

She can rise in 20 metre waves
Conjure 300 mile per hour winds
She will deny us rain for years
She will cleanse us of our sins…

Our sins you say our Sins?
Pray tell what could they be?
The cause that summons storms from sea
with such fierce capacity
to take everything from me??

What sins you say?
What sins you plead?
Unfortunately my friend to She, we are one humanity..

It is humanity’s ecocide
And this human proclivity
To destroy habitat and spew pollution from our cities
we burn the homes of all God’s creature-ess
With such absent minded cruelty
With stupid sworn fealty
To the Lords of so called Progress.

Oh baby… darling girlfriend Lover Earth…
I am so so sorry… we are fools…
I love You…
I love every part of You…

I love the way You touch my skin with sun and summer breeze
The way You move across the land and
Gently move the trees


I love ...

I love the way the oceans laps upon Your shores with gentle lover’s caress
The way you coax a seed to life
That sprouts like a tongue through hard shell
Just to tell the sun, I love you…

Have you ever taken off your shoes just to walk upon the grass
To feel soft Earth press your feet
Or sit amongst stretching branches
Enjoying nature’s perfect seat?

I remember She…

She who made the Earth so perfect that you can breathe
Soft and slow as you walk the streets
Or fast as you caress fresh lover’s treats
When our bodies are enmeshed like butcher’s meat
We are but meat...
Meat of flesh and bone that makes men old men
And girls old crones…

We are mortal.
We will all die you and I
And in that dying moment your life will flash across your eyes
And you will remember all the things you love.…
That playful lover that called you Peach when your skin tasted sweet
Your children playing at your feet
The friends who laughed at your stupid jokes
You’re remember the ones who always listened when you spoke…

But I… like each night and with each breath
will spare those precious moments to reflect
On sunlight speckles through sunkissed trees
Those perfect sunsets that stilled my mind and set my soul on fire
The perfect green forest under sky blue perfection
Dappled with clouds the perfectly selection
of wind and rain and sunkissed glow
I will remember as above, so below…

And with that thought cast back from my life’s end
I will begin
Now
And say….
Nature Is Sexy.

2 Desember 2018



Brett Sense Elliot, a well-known writer and poet, lives in Australia.


3. Vittoria (German)

3.

Vittoria (German)

He said in a seven days
Carpet on the table
What did I want to write
I forgot all






















Vittoria, is a writer, lives in Germany





4. Candi (USA) The Change

4.

Candi (USA)

The Change

Tap into the Love
Energy pulses
DNA upgrade
Each cell
Emulses
Imbibing joy juices
Miracles abound

Receiving
Calibration
Such VIBRATING
To the sound
Recalculating
To the Heavens
Nature's Frequency
Of Healing

Gratitude
Exudes
Liberation
Ensues
To You
I am Kneeling

Thank you
Always
For this
Ethereal
Revealing .



Candi Michelle,  is a poet from the United States. Louis, Missouri.








5. Naning Scheid Ono Momentin in Time

5.

Naning Scheid

Ono Momentin in Time

On eventide, laying my peace on your chest
Stealing sounds of your pulse’ nest
among a mound of longing
Anxious body, falling in warming
Our breath is neat, serene feeling

Howling all night as many as sense
Our heartbeat is more and more intense
Wandering the travel of freedom
Towering a desire of wolf’ Edom

We are sweating mass perspiration
My love for you knows no duration

Oh dear, love is throughout the season
No fear, my heart is gripped on the horizon

Brussels, 2019.











Naning Scheid, bernama asli Sri Nurnaningrum. Lahir di Semarang, 5 Juni 1980. Penulis puisi, cerita fiksi dan non-fiksi, blogger, dan pemain teater. Sarjana FPBS UPGRIS sekaligus Sarjana SDM CEFORA Belgia. Pengajar di Fakultas Bahasa Inggris UPGRIS sebelum meninggalkan Indonesia tahun 2006. Aktif di beberapa organisasi sosial kemanusiaan di Belgia. Tinggal di Brussel, dan berkebangsaan Indonesia.
 Perjalanan Kepenulisan:
1993-1995  Beberapa puisi memenangkan lomba antar kelas maupun antar sekolah.
1997  Menulis naskah drama “Jack Tarub”, dan dipentaskan oleh Teater Sukma Semarang.
2017  “Paris, antara Mitos dan Realita” serta delapan artikel lain di Kliksolo.com
2018  “Mengenal dan Memahami Gen Z”, “Solidarisme Perempuan di Era Disrupsi dan Kelahiran Feminisme Gelombang Keempat” di Buletin PKPPA - LPPM UPGRI Semarang.
Antologi puisi: “Mimpi yang Berduri” serta empat puisi lain di antologi Persaudaraan Wanita Dunia (2018-D3M Kail), “Sabtu Siang di Simpang Lima Semarang” serta tiga puisi lain di antologi Indonesia Tanah Airku (2018–I.Dharta), “Sang Musafir” di The Talking Canting – Puisi Cinta Negeri (2018–KDS), “Eden, Melankolia” di Banjarbaru’s Rainy Day Festival 2019.
Cerpen: “Manusia Sempurna”, “Ranting-ranting Patah”, “Ne Le Dit à Personne”, “Denok Kenang”, dan beberapa fiksi mini di Facebook dan Wattpad. Novel: “Miss Gawky” (2019). 2018 - ... Menulis blog Madame Gokil di scheid.be. Berisi rubrik: (1) Pengetahuan Umum dan Opini, (2) Sastra Pop: Prosa, Puisi, Resensi (3) Wisata Eropa & Review, dan (4) Tips-tips Gokil.
Website: scheid.be 


6. Iwan Gunawan, SPD. MM I have no idea

6.

Iwan Gunawan, SPD. MM

I have no idea

sawadhikrab
said a small child gently
while raising both hands
and bow his head

as may may be familiar,
he continued while still
raise both hands
and his eyes stared sharply
in the direction of a mother

sawadhikha
sebaidhikha
answered a mother
in a soft voice too

I just shut up
and smile seeing the scene
this rarely happens
while muttering
beautiful nian if this happens
in my village, in my city, in my country
Bangkok, July 12, 2019







Iwan Gunawan

Come on, brother

I live among people of different languages
I live among people with different views
I live among people of different cultures
I live in the middle of the White Elephant metropolitan

Between the rows of buildings towering the sky
Among the magnificent temples
Between the traffic jams of vehicles and people
Faintly always heard the call to prayer
so melodious and solemn

Allohu Akbar Allohu Akbar, La ilahailalloh
Melted hearts feel it
Nostalgic to hear that
Dripping tears made

The country is predominantly Buddhist
Give room to everyone who has a different view
Free to live and mingle together
That is real independence

Everyone is free to do activities
in accordance with his confidence
everyone is free to move
in accordance with his conscience

during this time we often hear about tolerance
during this time we often hear about human rights
but what happened?
we are all castrated with uncertain sciences
without caring about the essential, ilahirobbi

Come on, brother, let's share
Ayu, my best friend, let's unite
Join hands together
Keep the unity and integrity of the nation
Towards the ideals of prosperity and spiritual birth




















Iwan Gunawan, SPD. MM, the writer is
Indonesian School Teacher Bangkok, address Amara Court apartment soi 13 Petchabury rd Bangkok 10400





7. Chayada Binsaven Nickname Sunbeia Time Change

7.

Chayada Binsaven Nickname Sunbeia


Time Change

The hearts of people change
Things that remain the same are just memories.
Each person's smile is in someone's memory.

Fate

Do you believe in fate?
Fate is often something that people believe and think that it is part of life.
Fate often comes by chance. Sometimes we may meet someone who or have known Someone, which we didn't expect to know.This is the charm of destiny. Maybe you are walking along the timeline of fate.






Chayada Binsaven Nickname Sunbeia .
I'm 18  years old. I 'm come from Thailand,Now I live in Bangkok  and My home are in Onnut  in the high school I'm grauduate from Sacred Heart Convent School .
Now I am freshy of Thammasat University I study In Faculty of Liberal Arts . The Branch of I study is South East Asian study.



8 Red Joan (Dwi Retno Asih) Merdeka is not a prison

8

Red Joan (Dwi Retno Asih)

Merdeka is not a prison

Freedom is an opportunity
For rank seekers
The desk drawer was locked by the safe
The count did not have time to be precise

Freedom is a delusion
Translucent sky translucent earth
Fly to fall because of dreams
Collided with layered imagination

But independence is also a term of life
For the fighters buried in history
Land and water are also stones, puffs of gunpowder explosion
Minions collide in shackles

But independence is not a prison
Because day and night shouted independence
At home
In the apparatus buildings
In the field
On the highway
At a red light
In the mind that was jailed for independence.







Dwi Retno Asih, choosing the pen name Redd Joan. Usually called RJ. Born 46 years ago in Lampung. Since 2004 pitted his fortune in neighboring countries until now. Become a staff of Kuala Manpower employment agency. Have followed some anthology with friends fb. Writing is a hobby and likes the world of literature as an expression of love for Indonesian.


9. Anggoro Suprapto Road to old age

9.

Anggoro Suprapto

Road to old age

in the middle of the night I like to meditate
then I ask at solitary time
I'm on my way to getting old huh?
I smiled, when you nodded for sure
in the somber sky of the moon covered in clouds
the night is getting restless
in anxious teeth

You really are my wife
towards old not so scary
for me still calm
as long as old is manly and healthy
as long as you are smart and alert
like manawan clairvoyant
every day praying reciting spells
continue to be grateful incessantly

then when
the way to grow old arrived, I decided
just want to stay in your house, my wife
every day can see
the clearness of your neutrality
shade your face
the kids' laughter bubbled up
joking that burst forth

Ah, really
growing old is a gift
from the merciful almighty
Semarang, September 2018
Anggoro Suprapto, born in Pati (Central Java) 17 August 1962. Write anything including poetry. Has been widely published, both individuals and joint joint. The author now lives in Semarang, joined in the "Kebun Kebun Kata" Art House.





10. Buanergis Muryono Independent

10.

Buanergis Muryono

Independent

Independent
Free
Freedom
Free
Freeze
Sometimes a lot of terms
Free yourself
Enter the free realm
Free
Roomy.
I traced the field of the soul
Endless
With you sincere.
Remove all burden
or shouldered dependents.
It's hard to spell.
Each word cannot represent it.
I traced the spirit recesses
Life force
In the spiritual dimension the body is complementary
Intact.
There is light in the dark
There is a black dot in the bright light.
Then I want my body to be transported to spirit
My pure spirit
We are good
Right
Wise
Until peace
Comfortable
Peace
Prosperous
Independent
Free
Free
As beautiful as the horizon
Every change of appearance
That is the real life
No words are represented
Even when quiet everything is perfect.





















Buanergis Muryono, Lives in Bali, Active in the world of art and culture from childhood until now. His work is called Scratching the Sky, and follows several national anthologies.

11. Heru Mugiarso Time Pilgrimage To the Mujahid of this Country

11.

Heru Mugiarso

Time Pilgrimage
To the Mujahid of this Country

I want to invite you, my child
Here for a moment enjoy a pilgrimage of time
Because I'm sure that things have changed a lot now
And we need to reopen the footnotes on the history page

In front of this tomb I have no intention of teaching you to make an idol
To those who have peace resided in it
But if the bones that are now white are able to tell stories
Then he will tell about extraordinary love for his homeland

Blood and tears may have been mixed
Life (perhaps) is no longer valuable
When the singing of the homeland is faint and injured
Calling his son's son to sincerely serve him

The range of their journey, me and you are too far, my child
So it's natural if you are not whole in understanding it
Unfortunately they are not celebrities and because they did not have the chance to become characters
Which makes you fall in love and fascinated to the legend

Not a few of them are just ordinary people
And sometimes the names are not recorded on the tombstone
But before the Creator they are martyrs
Being in the hearts of their noble people are heroes

Want to occasionally I invite you to ponder a moment in front of the tomb
For every time they refuse to forget that this country almost never existed
If they did not take up arms and advance to palagan
And in their souls there is only one word: independence!
Semarang, 2019










Heru Mugiarso, born in Purwodadi Grobogan, June 2, 1961. Writing poetry since I was in junior high school. The works in the form of poetry, essays and short stories and articles were published in various local and national media. Approximately 80 titles of books contain his works. The award obtained is the Indonesian Literature Community Award 2003 as the best poet of 2003. His name is listed in the book What and Who is the Indonesian Poet (2017.) Two anthologies of poetry that have been published are Tilas Time (2011) and Poetry Bear Men (2017), As a resource for literary programs on the BIANGLALA SASTRA SEMARANG TV program. Also, the Community Lentera Literature Guidance majoring in Unnes Counseling Guidance.