68.Salimi Ahmad
Ramadhan dan Corona
sebelum ini, sudah jarang aku mampir ke rumahmu
di samping suka menggampangkan, tapak kakiku ini
lebih mudah melangkah ke kerumunan orang
mengikuti matahari yang datang, melengkapi
malam yang melenggang sepi
terkadang saja, jika kebetulan lewat, aku mampir,
misalnya sepekan sekali ketika orang-orang
berombongan datang, meramaikan shaf-shafmu,
menunggu waktu, menjenguk teduhmu di tengah simpuh
di khutbah yang memuji dan mengagungkan namamu
ketika virus corona datang menyebar, mendatangi
ke tiap-tiap orang, memporakporandakan tatanan,
juga negeri ini, kota ini, desa ini, seantero dunia
dilanda kepanikan bertubi-tubi, aku makin tak pasti
menjaga silaturahmi
dunia seperti hendak meredam penyebarannya
mengambil tindakan dan himbauan; jaga jarak
dengan sesama orang, dan hindari kerumunan,
diam di rumah lebih baik untuk mencegah terjadi kontak
; aku semakin merasa menjauhi rumahmu
sungguh semua kerja, aktivitas gerak jadi kian terbatas.
pagi berjemur membuat imun tubuh dengan hangat matahari
makan-minum di ruang ke ruang membikin tambah bosan
kembali dari itu ke itu lagi. seluruh ruang kujelajahi
dengan cara yang sama, dengan pikiran hampir tak berubah
lalu ramadhanmu datang, diri ini kian merasa disiksa ulang
shalat tarawih bersama ditiadakan, riuh kangen suara
anak-anak yang bercanda di belakang, kini tak terdengar
masjid sudah kosong melompong, yang terdengar tinggal azan,
karpet dan sajadah tergulung sudah, tersimpan di sudut menara.
inikah kutukan seperti yang sudah kau firmankan
seperti yang telah diurai dalam sabda rasul akhir jaman,
“pada suatu hari nanti, masjid-masjid akan dibangun megah
tapi para jamaah meninggalkannya, tiada lagi ada yang ingin
memakmurkannya.”
sungguh takut, akukah orang yang kausebut dalam riwayat itu.
akukah orang yang termasuk telah mendustakan kalimatmu
o, begitu asing diriku. begitu semakin terasingnya aku
duka corona bertambah-tambah mengacaukan diriku.
kuakui, aku telah banyak berbuat dhalim kepada diriku
telah banyak melakukan ingkar kepada pikiranku
ya Allah, ya Rabb, betapa banyak aku diserang keraguan
dari berbagai arah, dari simulasi bencana ini
ampunilah aku atas semua kedhalimanku
ampunilah aku atas banyak perbuatan ingkarku
Jakarta, 22 Mei 2020
Salimi Ahmad
Doa Tutup Ramadhan
1
biarkan nafsu jadi bagian yang membawa langkahmu
seperti laut bagi kapalmu, jalani bentangan luas samudera
berlayar di permukaannya begitu menyenangkan senantiasa
ia boleh berombak, memain-mainkan pesonanya saat melaju
namun jangan biarkan ia masuk mengisi lambung kapalmu
nanti kau tenggelam, dan terkubur hingga ke dasar debur.
2
apa yang telah kau suguhkan pada mereka untuk puasamu
padahal setiap berbuka, kau telah banyak menerima suguhannya?
apa yang telah kau sampaikan pada mereka dengan puasamu
padahal dalam puasamu kau telah banyak menerima pesan-pesannya?
terpujilah rasa lapar dan dahaga
yang bersamanya, kau wangikan bau mulutmu untuk sesama
3
kita hanya tumpukan airmata
yang disimpan awan mengelilingi luasnya angkasa
pada waktunya, kita akan dibuatnya terperangah
ketika ia tumpah, menggenapi tugasnya
menghidupi mereka yang didera kering dan hampa
4
akankah kau biarkan diriku menjadi kota
tempat anak bermain dengan segala gemerlap cahaya
tiada bisakah diriku menjadi padang rumput belantara
tempat berlarian mereka, nikmati basah embun
juga hakekat wewangian daun, saat rebah-lelah mencium
5
beban yang berat, kita pikul untuk diantar ke pemiliknya
sedikit bagian kita terima sebagai upah angkutnya
memahami lahir dan hidup, bukanlah sia-sia
kecuali kita bermain memainkan diri sendiri
dan melupakan lainnya
Jakarta. 27 Juli 2014 – 22 Mei 2020.
Salimi Ahmad, lahir di Jakarta 22 Mei 1956. Buku puisinya ‘Di Antara Kita’ (2009), dan beberapa puisinya tersebar di beberapa antologi puisi lainnya yang terbit sejak tahun 2010 – 2020.