Selasa, 31 Juli 2018

Pencakar Langit Masyono Bunergis Muryono.

Membaca puisi penyair ini, adalah membaca (seakan) membaca diri. penuh nasehat dan petuah. Seakan teman selagi gundah gulana atau tengah murung. Ibarat jamu, antologi ini penyegar rasa sekaligus penyembuh lara. Bacaan yang enak dibaca, Puisi-puisinya tampak bermakna, ringan namun bernas, seringan antologi yang dapat dibawa kemana-mana.


Mari kita sorot Hujan. Sebagaimana tempat tingal penyair ini, Bogor identik dengan hujan dan Indramayu identik dengan kemarau. Bogor adalah kota paling banyak memperoleh hari hujan terbanyak dalam setahun di Indonesia. sedang desa yang tidak pernah diberi hujan adalah di desa Belik di Pemalang Jawa Terngah. Entah karena apa dua tempat ini yang satu mendapat curah hujan terbanyak dalam setahun dan yang lain tidak sama sekali, yang jelas disinilah keagungan Allah di alam Nusantara ini.

Hujan

//Aku bicara pada langit
diam
kilat menggeliat diiringi guruh
aku mengguman pada langit
termenung
seiring mendung bergulung disapu angin
ledakan halilintar menggeliatkan pecahan cahaya angkasa
raya
hujan
sapaku perlahan.....//

Goresan tangan Mas Yono Buanergis Muryono meyakinkan sebagai penyair profesional dengan pilihan diksi yang indah dan tatanan bahasa yang apik. Dan ini menunjukan mutu bahwa puisi tidak ditulis sembarangan seperti penyair yang memiliki omong besar tetapi karyanya tak bermutu. Mas Yono Buanergis Muryono memintal dan merajut benang kata-kata dengan apik dan indah, ia penyair sesungguhnya.
(bersambung)

Tak Kulihat Lagi Becak di Kotaku Rg Bagus Warsono






Tak Kulihat Lagi Becak di Kotaku

Rg Bagus Warsono

Tak kulihat lagi becak hari ini dan di pangkalanmu
yang kini menjadi taman perempatan kota denga tugu yang memperingatimu
bahwa kau tak diperlukan lagi.
Becak kemana pergi entah mulai kapan
sejak pagi atau kau mengurung diri di halaman rumahmu
dengan tangis anaka-anak dan istri
karena bapak kehilangan gemerincing suaramu.
Mula kau dibiarkan berkarat
dan tiba-tiba banmu kempes
satu persatu baud dan mur lepas
sedang kanvas kerudung becat terbakar
menjerit hati abang becak
bersama tangis istri cdan anak-anak
Hilang bersama becak di depan sekolah
Becak pun dipaksa bermesin tempel
lalu mengganti roda-roda jari-jarimu
dan ketika kau disuruh memegang hand phone
pedal becak itu sudah tiada
diiring air mata
becak termakan sejarah
kau tetap dikenang abang becakku,

Indramayu, 30 Juli 2018

Becak karya Rg Bagus Warsono


Becak,

Becak berjajar menunggu penumpang,
harap rezeki di hari ini,
becak cemas hampa,
dapur istri hanya air mendidih tanpa beras.
Becak melayang,
penumpang senang,
keringat bercampur bayang sesuap nasi.
Becak melaju kencang tanpa penumpang,
gemerincing perut lapar ,
hanya sekilogram beras.Becak menanti ,
berrebut,
dan kadang semrawut,
becak digalang truk ,
dibuang laut.
Duhai teman bukankah sama dengan kita makan untuk hidup ,betapa susahnya mendapatkan makan.
Beri kesempatan rezeki, teman.
(Rg Bagus Warsono)

Sabtu, 12 Mei 2018

“ Mbohlah” , Sastra Latar dalam Kelesuan Kreativitas

“ Mbohlah” , Sastra Latar dalam Kelesuan Kreativitas

Seperti dikatakan Corrie Layun Rampan sastra adalah tonggak. Yakni sebuah perubahan dari sastra kemarin. Karena itu judul puisi, judul antologi atau judul kegiatan agar dapat dikenang haruslah memiliki kekuatan pertama dan belum ada sebelumnya agar memiliki pembeda dari hari kemarin. Seperti event sastra Mbohlah yang diselenggrakan oleh para  penyair Semarang patut mendapat apresiasi .
Ada kesamaan dan perbedaan antara dunia intertaint dan dunia sastra. Ahli-ahli  promosi menganggap menjual kemewahan adalah hal jitu untuk mendapatkan rating penonton. Itu di tv atau intertaint panggung. Di sastra,  buku bersampul indah belum tentu di rangsang pembaca. Begitu pula event sastra. Kenyataan banyak panggung megah tanpa penonton. Namun apa yang dilakukan para penyair Semarang yang dengan kesederhanaannya mampu membuat gebrakan kecil yang cukup berarti. Mereka menyebut sebagai sastra Pelataran. Seperti dilakukan oleh Slamet Unggul, Bayu Aji Anwari, Didiek WS, Agung Wibowo, Gunung Gus Tinoeng, Nawi Aan, Kang Ujang dengan karya berjudul “Mbohlah” sebuah musikalisasi bertahta drama monolog puisi yang apik untuk diapresiasi, yang disutradarai Lukni Maulana.
Judulnya, ‘ Embohlah  patut mendapat apresiasi dari kalangan sastra karena baru pertama dan pertama  dilakukan di dunia sastra. Mbohlah  bagi penulis sendiri memiliki makna sagat luas diera zaman now sekarang ini.  Mbohlah yang berarti :  enggak taulah atau tak ambil pusing ini sebuah satir yang bermakna luas.
Demikian seperti memilih jajanan di pasar pagi. Yang enak akan dibeli lagi pada esok harinya. Makanan itu seperti nogosari, lapis, onde, cikak, koci, dan sebagainya. Jika membuat jajanan baru tentu harus beda dari sebelumnya misalnya kue pipis isi pisang , kemudian diberi nama, apakah bertahan atau dilupakan . Namun jajanan baru tetap terkenal seperti bakwan walaupun hanya terigu dicampur sayuran kol.
Sastra demikian banyaknya, bagi penulis tak begitu sulit menentukan puisi bernas dari sekian ribu puisi. Juga menentukan buku, atau sebuah acara berkualitas. Meskipun banyak faktor mempengaruhi tetapi sudut pandang seseorang yg memiliki pemahaman cepat, akan dapat menentukan pilihannya tanpa keliru.
Namun terdapat juga peristiwa dimana ide cemerang justru hinggap pada pegiat sastra yg memiliki keterbatasan duniawi. Harapan itu pasti ada dimana stake holder sastra memiliki kejujuran pandang. Sebab ketika ada sesuatu proses ada disediakan dananya oleh lembaga atau pemerintah . Pandang memandang terhadap objek sastra sudah dikotori perasaan . Pilihan akhirnya subyektif dan ber kepentingan pribafi dan kelompok.
Menurut Buanergis Muryono, sastrawan sekaligus Seniman , mengatakan bahwa Dunia Sastra terbelenggu keangkuhan, dan jagad Entertainment mengkultuskan eforia bila di tangan tak tepat. Mapingnya nyaris fully pembohongan publik serta pengabdinya miskin riset development. Waton maton. Ini artinya kita tidak harus bermewah-mewah menyelenggarakan kegiatan sastra, sebab memelihara sastra itu dapat dengan kesederhanaan dan niat yang tulus.
(Rg Bagus Warsono, sastrawan tinggal di Indramayu, 8-5-18)

Minggu, 06 Mei 2018

Puisi Indah di Indonesia Lucu

Puisi Indah di Indonesia Lucu

Ada yang sangat apik dari penyair yang juga seniman Arya Setra yang berjudul Opera Cicak.
Syahriannur Khaidir, penyair yang mulai menanjak namanya memberikan pusi yang bagus dengan judul Njentit.
Penyair muda berbakat Adelia Dwi Cahyani tampil memukau dengan berjudul Ayahku dan Mamahku.
Begitu juga Funuun A.B.M dengan puisi Negeri Tuyul menambah kelucuan Indonesia.
Penyair lain Khoerun Nisa memberi puisi apik dalam Cinta zaman New.
Di lain penyair Raditya Andung Susanto dalam judul Menonton Televisi :
Penyair Roni Nugraha Syafroni dalam puisi berjudul Racun juga menggambarkan lucunya Indonesia.
Nurholis dalam puisi  Pusingan Secangkir Kopi katanya seperti nonton jangan dilewat untuk dinikmati senyum.
Judul yang bagus juga disugugkan oleh Tarni Kusprawiro seperti Rebutan Piring.
Judul yang bagus juga disuguhkan Dicky Armando, S.E  berjudul Menukar Nasib.
Berikut Puisi pendek karya Arya Setra berjudul Opera Cicak:
//Pertunjukan opera cicak
Para pemainnya sungguh kocak
Ada peran berpura pura sakit
Ada peran teraniaya diskriminalisasi
Ada peran merasa paling hebat
Mengangap yg lain tidak ada apa apanya..
Sementara para penonton teriak menjerit karena harga-harga yang selangit
Ada pula yang mencibir karena tidak puas atas pertunjukan nya
Dan ada juga yang terdiam seakan pasrah akan akhir cerita..
Sementara diriku....
Haruskah aku tertawa, menangis atau terdiam melihat kenyataan yang ada ??? //
Syahriannur Khaidir dalam Njentit:
//.…/Indonesia kan asik
Maling ayam ditendang jungkir-balik
Koruptor dikondang banding bolak-balik
Hukum peceklik
Orang luar cekikak-cekikik//.
Adelia Dwi Cahyani dalam puisio pendek yang sederhana namun cukup membuat senyum pembacanya. Ia menulis dalam Ayahku:
//Suaminya mamaku
Ayahnya kakakku
Ayahnya adikku
/Ayahku..................
Anaknya kakekku
Anaknya nenekku
/Ayahku
Kaulah ayahku//.
Funuun A.B.M dalam  Negeri Tuyul:
//Tugas negara kini jadi bisnis keluarga
Memudahkan komunikasi, lagaknya.
Ada yang diusung jadi bupatinya
ininya jadi tangan kanannya
itunya jadi penasehatnya,
anunya jadi entah siapanya
Belum lagi lain-lainnya. ….//
Khoerun Nisa di puisinya Cinta zaman New.
//…..Cinta dalam pegangan layar
Jadikan pendamping hati
Dalam sisi keadaan
Layar yang terfokuskan
Tersenyum geli
Rasa salahmengartikan
Cinta bertemu dalam layar
Pertemuan sebelah bagian
Hanya luar yang terpandang
Dengan rayuan gombal…//
Di lain penyair Raditya Andung Susanto dalam judul Menonton Televisi :
//Bumi sudah tampak ramai
Kabarnya ;
akan ada sinetron baru
yang diputar di stasiun swasta
nasional hingga mancanegara
Ada guyonannya, seriusannya
ada juga yang cuma banyak bicara
saat adegannya…//
Penyair Roni Nugraha Syafroni dalam puisi berjudul Racun juga menggambarkan lucunya Indonesia.
//Kursi seringkali menjadi saksi,
Pada nafas-nafas deru kedudukan.
Sering bersitegang hingga renggang mati,
Tiadalah lagi puing-puing peradaban/…
…/Melingkar tiada guna,
Walau rupiah terbang melayang.
Kami di sini hanya menyeringai,
Senang senang ha ha ha .//
Demikian tampak dalam puisi Nurholis berjudul Pusingan Secangkir Kopi :
//…./Ampas kopi adalah hak wajah
Dibalurkan sebagai cat wajah ala tentara
Bukan untuk gerilya
Tapi sembunyi dari kejaran tikus-tikus penguasa/
/Cangkir kosong adalah hak sunyi
Kasihan! Kursi goyang mengayun tubuhnya sendiri
Sudah lama sekali mulut-mulut dibungkam rapat
Maka biar cangkir dibanting saja, biar ramai//
Sigar Aji Poerana dalam puisi pendek cukup membuat lucunya Indonesia. Demikian puisi Mudahnya Cari Makan dan Jabatan:
//Kau mau yang cepat?
Ada/
/Kau mau yang mudah?
Tentu ada!/
/Di negeri ini banyak yang instan
Dari mulai panganmu sehari-hari
Sampai pejabat di Senayan kini //.
Penyair Dicky Armando dalam puisi
Menukar Nasib menyuguhkan puisi yang juga lucu dan menarik:
//Jangan jadi orang miskin, Kawan!
Karena fakir dilarang sakit,
disuruh diet pula.
Jangan pula mengeluh soal listrik.
Tak sanggup bayar, cabut saja meterannya!
Perihal makanan apalagi,
daging sapi mahal, telan saja keong sawah.
Selesai urusan./…//
(Rg Bagus Warsono, penyair tinggal di Indramayu)








Senin, 30 April 2018

Penyair Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia Jilid VI Indonesia Lucu


Hasan Bisri BFC dalam Alangkah Damai Negeriku

Hasan Bisri BFC

Alangkah Damai Negeriku

Alangkah damainya negeriku
Pohon-pohon nyiur indah melambai
Lautan dengan ombak tenang membiru
Dan kokoh gunung-gunung  menghijau
Dibungkus selimut awan tipis
O, begitu manis

Betapa damainya negeriku
Berton-ton narkoba datang
Masuk dari pintu-pintu terbuka pelabuhan dan bandara
Sebagian jadi barang haram selundupan yang dilena
Sebagian  lagi jadi tangkapan sempurna
Siapa penyelundup, siapa pengimpornya
Tentu bukan orang kita

Alangkah damainya negeriku
Pabrik-pabrik narkoba tegak berdiri
Tumbuh di negeriku seolah-olah sembunyi
Sebentar dibongkar, sebentar kemudian tak ada kabar
Mungkin saja pemiliknya ditangkap dan dipenjara
Bisa jadi benar adanya
Bisa juga akal-akalan saja
Sebagian jadi barang bukti
Sebagian banyak lagi  tak tahu rimbanya

Alangkah damainya negeriku
Banyak penyelundup narkoba
Tapi mereka bukan orang kita
Banyak pemilik pabrik narkoba
Tapi mereka bukan orang kita
Tapi lihatlah korban-korbannya
Bahkan sebagian banyaknya generasi muda
Mereka pasti orang kita!
Bogor, 21 April 2018

Hasan Bisri BFC

Ganti Presiden

Selaksa meme terpampang di media sosial
#2019
Ganti
Presiden
Lalu para petani menyisihkan sebagian uang pupuknya
Lalu para nelayan menyisihkan sebagian uang solarnya
Lalu para ibu menyisihkan sebagian uang belanjanya
Lalu para kiai menyisihkan sebagian uang transpornya
Lalu para eksekutif menyisihkan sebagian kecil gajinya
Lalu para pedagang membuka lebar-lebar mulutnya:
“pakailah kaos ini
Kaos yang akan menyingkap  selubung duka sejarah bangsa
Taruhlah tumbler ini di meja kerja
Kelak anda menjadi bagian penting dari coretan sejarah bangsa
Pakailah gelang kesayangan ini
Kelak……..”
Sebuah truk lewat dengan bak yang terbuka
Di pantatnya meme yang begitu menggoda:
#2019
Ganti
Rakyat
Si pedagang terpana
Di pikiran nakalnya berkata
Kelak, bisa saja rakyat diekspor besar-besaran ke Malaysia
Ke Brunei dan Singapura
Ke Hongkong, Taiwan dan Timur Tengah tentu saja
Maka, rumah-rumah jadi kosong
Tanah-tanah jadi lapang
Lalu berdatanganlah orang-orang jangkung berkulit warna udang
Berbondong-bondonglah  orang-orang berkulit warna mentega
Hingga penuh sesak udara
Oleh napas-napas busuk dari negeri tetangga

Hingga #2030
kita bakal ternganga
Bogor, 21 April 2018

Hasan Bisri BFC tahu dari kakaknya, bahwa kelahirannya 18 Agustus 1964, karena sehari sebelumnya ada perayaan 17-an. Tapi oleh pejabat desa, kelahirannya dicatat sebagai 1 Desember 1963. Lahir di Karang Jompo, Tirto, Pekalongan. Kesukaannya menggambar kartun, menulis humor dan wayang mbeling, membuat skenario komedi. Pernah nekad jadi pelawak bersama cewe Ausie berkulit putih bersih, cantik dan berambut blondie panjang, di negeri Kanguru, tepatnya Brisbane (1994 ). Namanya Debra Surman. Beberapa kali memperoleh penghargaan dalam penulisan naskah humor dan skenario. Bersama seorang istri dan keempat anaknya yang lucu-lucu tinggal di Bojong Kulur, Gunung Putri, Bogor, tempat yang apabila hujan deras tidak banjir, tapi dalam keadaan berawan bisa seleher banjirnya karena kiriman dari hulu sungai Cikeas dan Cileungsi.

Fathurossi dalam Negeriku

Fathurossi

Negeriku
Tertawalah Saat kau
Menatap negeriku
Dan menangislah
Saat kau melihat pelawak negeriku


Fathurossi

Lucunya Negeriku
Tertawalah ,
Tersenyumlah,
Bersenanglah,
Selagi masih bisa
Menatap Indonesia

Fathurossi , lahir tanggal 24 juli, di desa Jadung Dungkek Sumenep. Berproses di Lubselia sejak 29-07-2015, hingga kini. Aktif di perpustakaan sekolah . Penyair ini adalah siswa kelas akhir SMA Annuqayah, Sumenep.

Iskandar Zulkarnain dalam Negeri Tua



Iskandar Zulkarnain

Negeri Tua
Negeriku sudah tua
Penyair disangka pesulap oleh pemerintah
Sebagai terdakwah penggelapan negro
Mahasiswa berdemo tadi pagi sebelum pak tinggi datang
Polisi main petak umpet di balik layar
Tentara nembak layar

Negeriku kian matang usianya
Hingga kerutan dahinya berwarna pelangi
Merah kuning hijau kombinasi yang sempurna
Pak tinggi mulai mengaduk warna itu
Hingga belepotan pada mata dan sebagian masuk kedalam jidat
Otak merah
Mata biru
Campuran dari pelangi itu ada pada mulut
Merah kuning hijau di mulut yang baru
Janji bau pesing
sebabkan wanita bunting.
Annuqayah 2018

Iskandar Zulkarnain,  kelahiran Sumenep, merupakan pembaca dan penulis yang aktif di LPM Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) dan anak asuh Sanggar Basmalah. Sekarang sedang menetap di Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa Selatan Blok B /08. Sebagian karyanya sudah banyak yang dimuat di media, utamanya koran lokal.



Ancis Mura dalam Bersetubuh

Ancis Mura
Bersetubuh
(Ranjang Demokrasi yang Acak-acakan)

Sajakku bergerilya
Menjelajahi lekuk lekuk tubuhmu
Dan aromamu tak perna menyudahi
Birahi yang membuncah
Meletup letup
Ingin
Inginku taklukan sendi-sendimu, dengan tombaku
yang selalu kau anggap tumpul tuk lubangi
nikmatmu
kau tak jua ambruk.

Berbagai gaya dan posisi telah ku coba
Tetapi kau terlalu kokoh tuk ku taklukan
Birahimu meletup lagi
tiada henti
hingga tiang listrikpun kau gagahi
kali ini ku yakin kau tersengat racun
yang ku oles di ujung tombakku
kau mengerang
merintih sakit di pojok ranjang yang acak acakan
aku tersenyum puas
melihat kedua bola matamu nyaris terbalik
akhhhh...
kita sama sama mengerang
kau kesakitan
aku kenikmatan

di pojok ranjang yang acak acakan
melihatmu meratapi diri yang tidak suci lagi
seperti belia lepas perawan
kau menangis
Meski ku tahu
Air matamu lebih didominasi
Air mata buaya
( Maumere , November 2017)

Ancis Mura, merupakan nama pena dari Fransiskus Mura. Lahir di Diawatu, Nagekeo-Flores 13 April 1993.Menulis puisi di beberapa media lokal yakni Harian Pagi Pos Kupang dan beberapa media online seperti Floressastra.com, Vox NTT, Flores Post dan lain-lain. Saat ini berstatus sebagai Mahasiswa aktif di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik – Ledalero- Flores, NTT. Berdiam di Maumere-Flores-NTT.

M. Rofiqi Fahmi HR dalam Sebatas Mimpi

M. Rofiqi Fahmi HR

Sebatas Mimpi

Bangsaku sungguh indah nan elok
Yang telah diciptakan oleh-Nya
Tapi membuatku tertawa
Dengan bangsaku

Lenyaplah
Seperti daun malam
Belum terhembus angin suci
Yang menyeruap pada samudra
Untuk mngelurkan amarahnya

Mabuklah
Seperti capung malam
Yang belum terampung hidupnya
Susah dipandang
Tapi rindu di pandang

Tehembuslah oleh waktu
Terlelaplah oleh jiwa

Bangsaku hanya dijadikan guyonan bersama
Yang tak menghasilkan apa-apa

Mari kita penerus bangsa
Tanamkan keadilan dulu
Sehingga kita dapat menemukan mutiara kehidupan
Sumenep, 0-04-2018

M. Rofiqi Fahmi HR-Penulis kelahiran Lombang Gili Genting Sumenep. Ia  pembaca dan penulis yang masih menginjak bangku siswa kelas akhir MA 1 Annuqayah dan merupakan anak asuh Sanggar Basmalah.

Rahmat Akbar dalam Di Negeri Seribu Wajah


Rahmat Akbar

Di Negeri Seribu Wajah
Bila kau ingin melihat Negeri seribu wajah
Tidak perlu harus jalan-jalan ke luar Negeri
Sebab kau tidak akan melihat tikus dan kadal pemuas diri
Di Negeri seribu wajah orangnya lucu berpakaian rapi
Mereka duduk di kursi dan malam-malamnya terus mencuri

Bila kau ingin berjalan di Negeri seribu wajah
Maka kau akan melihat tikus dan kadal ramai di televisi
Mulutnya manis tapi berbau terasi
Mereka umbar senyum-senyum penuh pasti
Padahal, sebenarnya itu hanya sebuah amunisi

Di Negeri seribu wajah
Manusia bermata merah bersuka ria
Demokrasi memang benar terjadi
Tapi mereka tidak pernah perduli
Sebab di Negeri seribu wajah tikus dan kadal hanya mementingkan diri sendiri

Di Negeri seribu wajah derai air mata berpesta pora
Di kolong jembatan
Di emperan toko
Di diskotik
Di jalan-jalan kota sampai pelosok desa
Lalu ada seorang yang tertawa ria: yaitu’
Tikus dan kadal yang menggambil hak saudaranya sendiri

Di Negeri seribu wajah
Istana bertrali besi bagai rumah sendiri
Bebas keluar ke sana ke mari
Bahkan ada yang bisa jalan-jalan ke Bali
Makanya tikus dan kadal hanya senyum
Sebab hukum hanya dijadikan sebuah ilustrasi
Di Negeri seribu wajah ada anak-anak Negeri
yang masih setia berorasi
Berdoa agar tikus dan kadal yang berpakaian rapi
Menggingat tentang amanah yang suci
Kotabaru, Maret 2018

Rahmat Akbar,lahir di Kotabaru 04 Juli 1993 tepatnya di Kalimantan Selatan. Puisinya, pernah menggisi media Tribun Bali, Media Kalimantan, puisinya “Hitammu Di Tanahku” antologi puisi ASKS Ke 13 KALSEL 2016, puisinya di antologi “ Gemuruh1001 Kuda Padang Sabana, antologi puisi “ Empat Ekor Belatung Bersarang di Ubun-Ubunku, antologi puisi “Tadarus Puisi Kalsel 2017”, antologi puisi ASKS ke 14 KALSEL 2017, antologi puisi “Puputan Melawan Korupsi” Bali.
Penyair ini kesehariannya adalah guru Bahasa Indonesia di SMA Garuda Kotabaru dan aktiv tergabung di komunitas Taman Sastra SMA Garuda Kotabaru.


Rahel Tambun dalam “Kerinduan akan Pembebasan”

Rahel Tambun
“Kerinduan akan Pembebasan”

Kita adalah anak-anak bangsa yang ditirikan,
Pembangunan di Negeri ini tidak tumbuh untuk anak-anak tiri Negeri
Tapi berdiri atas industri pengusaha asing yang berinvestasi untuk meraup kekayaan alam ibu pertiwi

Kitalah bangsa yang ditendang menjadi gelandangan
Kita bersama telah menjadi pengungsi di tanah leluhur sendiri

Orang-orang tiri di desa
Berhamburan mengejar mimpi-mimpi di kota
Menjadi tenaga pekerja oleh orang asing yang semena-mena hanya untuk meraup kekayaan di Negeri sendiri

Sampai kapan..
Aku, kamu dan kita
Bisa merasakan kedamaian, kenyamanan dan tidak adanya lagi kesenjangan sosial dalam Negeri kita ini

Siapa yang kita salahkan?
Siapa yang kita tuntut?
Siapa yang akan bertanggungjawab?

Kawan..
Kita siap tergilas jika kita terpaku dengan kondisi.

Bogor, 21 April 2018

Rahel Tambun S.Pd, lahir di Silombu Bagasan, 27 Agustus 1995, menamatkan sekolah dasar di SD Negeri 173660, SMP Negeri 2 Lumban Julu,  SMA Negeri 1 Pardinggaran dan melanjutkan pendidikan Ke perguruan Tinggi Negeri Medan (UNiMED) dan menamatkan kuliahnya pada tahun 2017.

Yemi alfiani dalam Negeri Para Pendongeng


Yemi alfiani

Negeri Para Pendongeng

Telah dikisahkan dahulu
Kala aku masih dalam buaian ibu
Tentang saktinya negeri pertiwi
Menjadi buah bibir banyak orang

Apabila ditancapkan kayu di tanah
Maka akan tumbuh
Apabila dibasahi rintik-rintik hujan
Akan subur tanaman
Tatkala terik mentari menyerang
Tetap ditemukan rasa nyaman bersandar di bawah pohon menjulang

Kini, negeriku terlelap pulas
Telah terlena dengan dongeng-dongeng
Dalam buaian
Mimpi-mimpi hanya omongan
Jagad pertiwi terasa hanya persinggahan

Tidak ada lagi damai
Tanah sudah berlumpur api
Rintik hujan bisa menjadi bencana
Terik mentari terasa membakar
Seiring waktu saktinya pun memudar

Seiring waktu tanah surga yang dulu dipuja, lambat laun menjelma neraka.
KRC, April 2018


Yemi Alfiani

Syurga yang Membuat Sengsara
Konon, segumpal tanah dari syurga
Telah dicampak ke bumi
Segumpal itu menjadi negeri
Negeri yang asri
Sejuk dan menghijau alamnya
Teramat indah pantainya
Menjulang kokoh gunung-gunungnya
Membuat mata memandang tanpa henti bersyukur
Keindahannya pula
Menjadi awal sengsara
Berdatanganlah penghuni asing
Untuk melihat indahnya negeri lintasan khatulistiwa
Lama waktu berlalu

Kini.
Aku lapar, aku tidak bisa makan nasi ataupun ubi
Aku haus, aku tidak bisa minum air bersih
Aku ingin melihat langit yang membiru
Aku ingin berlari di bibir pantai
Tapi aku tidak bisa
Gunung-gunung sampah telah menjamur
Air bersih sangat langka
Ketika mengadah menggumpal awan hitam
Limbah pabrik ikut serta memberi warna
Yang katanya tanah syurga telah tiada
Telah lenyap bersama guliran waktu
KRC, April  2018
Yemi Alfiani , lahir di Koto Rendah, 15 Juni 1993. Kerinci Profinsi Jambi. Tinggal di Kab. Kerinci.

Najibul Mahbub dalam Maafkan Kartini


Najibul Mahbub
Maafkan Kartini

Maafkan Kartini
Sementara ber ibu-ibu
Berkebaya bernostalgia
Kami masih mengerjakan
Soal-soal ujian yang semakin tak jelas arahnya
Sementara membaca sangatlah asing
Bagi kami
Sedang menonton lebih asyik
Mengunggah rasa
Menjadi baper bukannya pinter

Maafkan kami Kartini
Jika kebaya yang kau sandingkan
"Dihujat" dan " dikafirkan"
Oleh sebagian suara
Sedang "ninja" menjadi "idola"
"Pengkapling surga"

Suratmu kepada abandenon kembali
Bertebaran
Memenuhi serambi grup WhatsApp ku
Suratmu kembali
Mengingat kepada kearifan
Dalam beragama dan berbudaya
Karena Eropa bukanlah menjadi idola
Tapi negeri inilah
Moncer luar biasa

Maafkan kami Kartini
Hari lahirnya
Kugunakan mencuci baju
Yang telah dipakai istriku
Menyambut miladmu

Pekalongan, 21 April 2018

Najibul Mahbub, mengikuti   beberapa antologi bersama : Antologi 105 Penyair, Semanggi Surabaya, Indonesia dalam Titik 13, Penyair Menolak Korupsi jilid I, Penyair Menolak Korupsi Jilid II, Menuju Jalan Cahaya, Antologi tentang Gus Dur,  Habituasi Wajah Semesta, Daun Bersayap Awan, Ziarah Batin, Antologi Puisi 2 Koma 7, Puisi Menolak Korupsi Jilid I, Puisi menolak korupsi jilid 2, Antologi Wakil Rakyat, Memo Wakil Rakyat, Memo Anti terorisme, Memo Anti Kekerasan Anak, Memo untuk Presiden, AntologiPuisi Kampungan, Antologi Puisi “Ayo Goyang”,Antologi Puisi 122 Penyair “Cinta Rindu Damai dan Kematian”, Rasa Sejati (Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia), Memo Kepala Daerah, Kumpulan Esai PMK “Bungai Rampai PMK”, Antologi “Madah Merdu Kamadhatu” Magelang 2017, Antologi puisi religi “Tadarus Puisi” 2017, antologi kita dijajah lagi, antologimerawat kebhinekaan,dan  antologi jendela Pekalongan.
Penulis juga adalah guru Bahasa Indonesia dan juga pendiri teater Bayang di MAN 2 Pekalongan merupakan Pria kelahiran 13 Maret 1981.  Ia tinggal di Gubuk kecil di Jalan Nusa indah 11 Perumahan Taman Seruni Gamer Pekalongan.

Lina Kus Dwi Sukesi dalam Padiku Menguning di Atas Klakson Angin


Lina Kus Dwi Sukesi

Padiku Menguning di Atas Klakson Angin

Pertiwiku adalah lumbung yang hijau
Di mana bulir-bulir padi telah menguning
Bermanja di atas pucuk-pucuk daun kering

Goyang tangkainnya, bagai gemulai penari
Menanti petani untuk menuai panen hari ini

Di sudut petak yang lain
Sawah telah dibajak, untuk ditanami kembali
Begitu cepat, laksana peredaran matahari

Berjuta-juta ton gabah dihasilkan dari sawah
Menjelma butir-butir Kristal putih
Mewangikan tungku di dapur yang sunyi

Di sisi lain, pada titik nadi
Aliran darahku berhenti
Biji pepadi yang tumbuh begitu rimbun
Tiada cukup untuk membuat kenyang negeri ini

Hingga dating hasil panen
Dengan kapal-kapal laut
Bukan dari gerobak-gerobak tua
Yang ditarik kerbau jantan dan betina

Di antara redup dan terang matahari
Sejumput asa mengetuk nurani
Inikah gemah ripah loh jinawi ?
Madiun,21-04-2018

Lina Kus Dwi Sukesi, lahir di Madiun, 9 Juni 1983. Tinggal di Madiun.


Muttaqin Haqiqi dalam Senandung Palu

Muttaqin Haqiqi

Senandung Palu

Palu beradu dengan landas kayu
Ramai deru gemuruh
Beraneka ragam
Berbeda lagu
Pelan bak belaian angin pada untaian rambut
Pun menggelegar menggetar
Menggertak relung sedalam palung
Ada kala seirama senada
Juga sumbang tak beratur

Palu beradu dengan landas kayu
Senandung sumbang palu
Menggebuk seru ranting rapuh
Meremuk debu
Mengguncang batin kalbu
Ranting bingung sedih dan kalut
Seru haru sedan tak bertalun
Datang diundang diserbu serdadu
Komandan palu dingin dan acuh
Tak peduli ranting hancur mendebu
Palu beradu dengan landas kayu
Terketuk ria, lenggok merayu
Senandung merdu palu
Menyambut cabang bertamu
Cabang riang tertawa
Berdendang bersama berseru

Sungguh pun Palu suka melucu
Bercerita jenaka dagel
Menghibur negeri ini
Menggelitik akal
Mengocok perut
Sampai kapan palu terus bersenandung
Sampai kapan terus melucu

Muttaqin Haqiqi, lahir di Pemalang, 1 Mei 1998.Saat ini tercatat sebagai mahasiswa aktif semester 4 pada Universitas Negeri Semarang, jurusan Teknik Mesin.

Rizki Andika dalam Indonesia Menonton Bioskop

Rizki Andika

Indonesia Menonton Bioskop

sepuluh ribu untuk tiket
masuk tanpa alas kaki
kursi kayu didapatnya
kisah mendatar dimulai

tak ada serius kali ini
layar makan tawa kering
perut buncit berisi kenyang
sisa jabat piring di bawah meja

kenal pemain dan sutradara
di layar adalah nikmat alur
sembunyi bukan tak kuat
biar cerita jadi menarik

pejabat kuasa main
jadi pemeran utama
indonesia menonton
di bioskop monoton
Karawang, April 2018




Rizki Andika

Warisan

sekarang sudah sampai kepala tujuh
dan sebentar akan jadi delapan
maaf aku harus begini bung
ini ada yang tak waras

sekarang orang sakit mimpin negara
mereka buang hajat kok di gunung
sungai jadi tempat cuci bokong
orang miskin dibikin kursi
agama dilelang murah

rakyat kecil simpan harapan
di sela pantat bandit politik
betapa kotornya posisi asa
di antara kelamin dan lubang

begini maksudku
bung warisanmu:
pancasila
hanya syarat upacara
Karawang, April 2018

Rizki Andika, lahir di Karawang, April 1997. Belajar menulis di Rumah Seni Lunar sejak 2017. Berkegiatan di Perpustakaan Jalanan Karawang dan menjadi mahasiswa di Universitas Singaperbangsa Karawang. Mengikuti antologi bersama The First Drop of Rain (2017), Anggrainim, Tugu dan Rindu (2018).