Sabtu, 08 Juni 2019

NYANYIAN SEMESTARAYA Karya Bunergis Muryono

NYANYIAN SEMESTARAYA

Ketika semua sibuk berparadok
Aku bertahan dalam sahaja
agar legawaningtyas dadi ikhlas
Bersinar bagai Surya pada Teratai Tunjung kolamku
Aku berkisah tentang taburan bintang-bintang
Teman tiap malam selama Ramadhan
Juga di saat gelap tiba
Menyapa Bulan dari berbagai pandang.
Diam
Tanpa syair
Tidak berpuisi
Semestaraya telah mengidungkannya
Merdu
Di jiwaku
Dalam hidupku
Hingga kaca danau
Cermin laut
Percikan air menjadi biasan diri kecil ini.
Angin membelaiku
Seusap dua usap sebelum menghantar kabut jadi awan.
Burung-burung berkicau
Ayam jantan menyahut dari berbagai penjuru
Bunga-bunga bermekaran di lahan tandus
Menebar wangi dan harum dalam kemewahan busana aneka warna....
Bumi sesekali bergetar
adalah ibundaku menimang dengan kasih cinta.
"Nak...setinggi apa pun engkau berdiri...tetaplah ingat...engkau berpijak di perut ibumu. Bumi Pertiwi nan tulus hati
Harapku...tetaplah tulus bersyukur...jangan sedikit pun membuatmu angkuh.... Engkau anakku.... Anak lapang jiwa...."


 Mbahkung Buanergis Muryono Renungan Zaman 8 Juni 2019 09:35 at Titian Moksa Ashram Character Building Education Bungkulan Buleleng Bali

Senin, 27 Mei 2019

Retno Marsudi Mentri Luar Negeri Hebat dalam sejarah Indonesia

 Retno Lestari Priansari Marsudi (lahir di Semarang, Jawa Tengah, 27 November 1962; umur 56 tahun adalah Menteri Luar Negeri perempuan pertamaIndonesia yang menjabat dari 27 Oktober 2014 dalam Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo. Sebelumnya dia menjabat sebagai Duta besar Indonesia untuk Kerajaan Belanda di Den Haag.

Retno Marsudi yang lahir di Semarang, Jawa Tengah, pada 27 November 1962 itu menempuh pendidikan menengah atasnya di SMA Negeri 3 Semarang sebelum akhirnya memperoleh gelar S1nya di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada tahun 1985.Ia lalu memperoleh gelar S2 Hukum Uni Eropa di Haagse Hogeschool, Belanda.
Setelah lulus, ia bergabung dengan Kementerian Luar Negeri Indonesia. Dari tahun 1997 hingga 2001, Retno menjabat sebagai sekretaris satu bidang ekonomi di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag, Belanda.Pada tahun 2001, ia ditunjuk sebagai Direktur Eropa dan Amerika.Retno dipromosikan menjadi Direktur Eropa Barat pada tahun 2003.

Pada tahun 2005, ia diangkat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Norwegia dan Islandia. Selama masa tugasnya, ia memperoleh penghargaan Order of Merit dari Raja Norwegia pada Desember 2011, menjadikannya orang Indonesia pertama yang memperoleh penghargaan tersebut.Selain itu, ia juga sempat mendalami studi hak asasi manusia di Universitas Oslo. Sebelum masa baktinya selesai, Retno dikirim kembali ke Jakarta untuk menjadi Direktur Jenderal Eropa dan Amerika, yang bertanggung jawab mengawasi hubungan Indonesia dengan 82 negara di Eropa dan Amerika.

Retno kemudian dikirim sebagai Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Belanda pada tahun 2012. Ia juga pernah memimpin berbagai negosiasi multilateral dan konsultasi bilateral dengan Uni Eropa, ASEM (Asia-Europe Meeting) dan FEALAC (Forum for East Asia-Latin America Cooperation).

Pada 2017, Retno mendapatkan penghargaan sebagai agen perubahan di bidang Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan. Penghargaan tersebut diberikan oleh UN Women dan Partnership Global Forum (PGF). UN Women adalah lembaga PBB yang bertugas memajukan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Sementara PGF adalah lembaga non-profit yang bertujuan memajukan kemitraan inovatif bagi pembangunan. Penghargaan ini diserahkan oleh Asisten Sekretaris Jenderal PBB yang juga selaku Deputi Direktur Eksekutif UN Women Lakhsmi Puri pada acara jamuan makan siang di sela pelaksanaan Sidang Majelis Umum PBB ke-72 di Markas Besar PBB, New York.Retno menikah dengan Agus Marsudi, seorang arsitek, dan dikaruniai dua orang anak, yaitu Dyota Marsudi dan Bagas Marsudi.

Rabu, 08 Mei 2019

Puisi-puisi di Antologi Anak Cucu Pujangga (ACP)


Daftar Isi :

1.Raeditya Andung Susanto, Tidur dengan Celana Jokpin
2.Carmad, Merak di Ufuk Senja
3.Anisah, Sang Api Buat: Gus Warsono
4. Ure Maran, Kembang Sajak Bulan Desember;
    Ketika Semesta Dalam Kebingungan
5. Zaeni Boli, Rindu Baang
6. Sarwo Darmono,  Aku Cucu Pujangga
7.Gilang Teguh Pambudi, Aku Cerita Lewat Pertanyaan
8. Bd'oel Santri Bangor, Anak Pujangga
9. Mohd Zainal Bin Abdul Karim, Serpihan Cahaya Ane Matahari
10.Teguh Ari Prianto, Kurir Kata-kata Emha
11.Rg Bagus Warsono, Celana Pendek Leak
12. Pensil Kajoe, Semalam Kubertemu Rendra
13.Heru Mugiarso, Aku Ingin
14.Emby B. Metha, * Tuhan Ku Dimana
15.Sami’an Adib, Pewaris Celurit Emas
16. M. Sapto Yuwono, Kepada Zara Zetira ZR dan Putriku
17. Arie Png Adadua  (Syaiful B. Harun), Tapi Aku
18.Agus Mursalin, Omongan Tanpa Naskah (kau yang selalu bergejolak)
19. Sugeng Joko Utomo, Ode Buat Rendra
20.M Dhaun El Firdaus, Setelah Pertemuan Itu (Teruntuk Gus Candra Malik)
21.Karan Figo, Aku Pengagummu Ki Ronggo Warsito
22.Anom Triwiyanto, Rebel Anwar
23.Buanergis Muryono, Sulaiman As Salomo
24. Lela Hayati,Manteramu Candu Cintaku
25.Barokah Nawawi, Kepada Toto Sudarto Bachtiar
26.Sukma Putra Permana, Catatan untuk Chairil di Batu Kilometer
     Terakhir Antara Krawang –Bekasi
27. Fian N,Dalam Waktu: Kita Abadi
28.Wanto Tirta: Di Ruang Tamu





Puisi-puisi Raeditya Andung Susanto dalam ACP

1.Raeditya Andung Susanto

Tidur dengan Celana Jokpin

Semalam, saya tidur dengan Jokpin
Diajari olehnya bagaimana cara menenangkan malam
Menimang kata-kata
Kemudian latihan tidur berselimut puisi
Dia memberikan celananya yang tua dan kedodoran
saya kenakan, kemudian dibungkus sarung
Yang pernah berkibar gagah
Di pantai; bersama pacar senjanya
Bekasi, 2019


Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dan sebisanya
Supaya kelak tak menjadi duka yang abadi
Pada suatu hari nanti
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dan sebisanya
menjadi selembar daun yang terbang ke kotamu
Untuk melipat jarak dari waktu yang fana
Kemudian menyepi di pinggir telaga
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dan sebisanya
Lalu bercermin di matahari
Mencipta baying-bayang
Hingga angin meniup hujan bulan juni
Dan kasih kata-kata : abadi
Bekasi, 2019



Raeditya Andung Susanto, penulis muda kelahiran Bumiayu Brebes yang sedang menempuh pendidikan S1 di Bekasi.Anggota Komunitas Bumiayu Creative City Forum (BCCF). Karya-karyanya pernah dimuat dalam antologi Senyum Lembah Ijen, Indonesia Lucu Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia jilid VI, Menjemput Rindu di Taman Maluku, Abu-abu Merah Jambu, Mblekethek. Puisinya tayang di redaksi Tembi Rumah Budaya Jogja, Penulis RUAS Indonesia-Malaysia 2017, Di tahun 2019 ia sedang menyelesaikan buku pertamanya.



Puisi Carmad dalam ACP

2.Carmad.

Merak di Ufuk Senja

Ku dengar sirine sunyi
Di antara berisik di sebalik tembok kaca
Di sana, burung merak merontokkan mahkota

Engkau, merak yang menerjang angin
Setelah kabut  menyapa pagimu
Dan mentari membakar dadamu

Aku tak faham tentang siangmu
Tentang dua ekor lain di belakangmu
Aku pun tak mengerti
Jalan cahaya yang terangi langkahmu

Aku hanya menjumpamu senja ini
Saat tabir malam jelas terpampang
Masih ku saksikan jua
Indah ukiran tanganmu,
Jejak-jejak wasiatmu

Apa yang harus ku suguhkan
Di antara nisan-nisanmu yang agung?

Ya, kelak aku akan membelai nisanmu saja
Engkau, Willi, sang burung merak
Hanya menyisa petuah indah
Jejak perjuangan, bayang-bayang siangmu

Tenanglah bersama malam
Izinkan anak-cucumu melantun kidung
Bersama syair barzanji
Bersama tengadah telapak tangan
Indramayu, 16 Maret 2019
(Mengenang peristiwa 6 Agustus 2009)

Carmad, lahir di Indramayu 21Agustus 1986. Menulis puisi untuk beberapa antologi bersama di Lumbung Puisi sastrawan Indonesia. Entahlah, apakah ada garis keturunan penyair atau tidak. Yang jelas, ibu-ayahku kuli tani. Lulus dari SMA N 1 Kandanghaur – Indramayu (2006), mencoba kuliah tiga tahun kemudian, namun gagal meraih strata 1 karena kekurangan dana. Sekarang lebih fokus menjadi manager, koki, marketing, juga bendahara di balik gerobak Mielor dan batagor.



Puisi Anisah dalam ACP

3.Anisah

Sang Api
Buat: Gus Warsono

Kau pengusung kata-kata bijak
Berbondong penyair dan tidak lupa calon penyair
Mendatangimu, mengomentarimu, menilaimu
Awal kubaca peraturan-peraturan
Tak juga kumengerti, terlalu jauh pengalaman
Sangat rumit kucari arti sebuah kesempatan
Hingga berhari-hari kutunggu julukan, jawaban, apresiasi
darimu Gus Warsono

Apa ya mungkin ada jawaban
Mengingat
Jauhnya
Pengetahuan
Pengalaman

Tetap kutunggu
Walau
Sampai di ujung waktu








Selasa, 07 Mei 2019

Puisi Ure Maran dalam ACP

4. Ure Maran

Kembang Sajak Bulan Desember

Mega membumbung bak tenda hitam
musim kuncup menyambut rintik
kembang sajak tersembul malu
berkiprah, ku petik syair
namun getir menyapa peluh
sejenak terdiam
"ragu"

Di cipta langit biru
dan lekuk awan menabarak gunung
ku bagai bianglala tanpa warna
sejenak terdiam
"lunglai"

diam-diam ia menjawabku
"tak ada mimipi, ini nyata"
kembang sajak bulan desember
putik-putik larik bergumam, gugup
aroma?..
lahak membekap
mencekik imaji, inspirasi hilang
"pergi"

lihat.. disana
berpinar menari gemulai
sang kirana memamerkan megahnya
hangatkan yang kedinginnan
mengusir embun keresahan

ahhkk..bising
mengobrak-abrik ketenangan
panorama mengerikan dunia pagi
"hilang.. hilang entah kemana"

kembang sajak bulan desember
ku tunggu kau di tepian
di lereng-lereng bukit
"cepat beranjak"
Lewolere, 01 Desember 2018






Ure Maran

Ketika Semesta Dalam Kebingungan

Ku ingin memeluk semesta
"apa bumi tak irikan itu?"
ku ingin memeluk semesta
"apa lautan hanya terdiam?"
ku ingin memeluk semesta
"apa aku hanya penyejukmu?", dengung sang sepoi
dan batuan menaruh dendam, senja kau sunyikan remang
di langit ku hanya menghayal

ketika semesta dalam kebingungan
jangan mencari cakrawala di pijak
di kebun kau petik
warna-warni pelangi adalah janji yang hilang di surat kabar

ketika semesta dalam kebingungan
kejauhan adalah mimpi
di belakang dapur umum dan sisa-sisa makan mewah

ketika semesta dalam kebingungan
" itu.. dia di depan matamu"
cukup kamu katakan yang sebenarnya terjadi..
"tolong aku!!"
katakan iya..

Lewolere, 10 desember 2018




Kaliktus Ure Maran, mahasiswa di Institut Keguruan dan Teknologi Larantuka (IKTL)


Puisi-puisi Zaeni Boli dalam ACP

5. Zaeni Boli

Rindu Baang

Guruku mengajarkan ku jalan kesetiaan 
Kan ku tempuh ia meski sunyi dan berbatu
2016


Banyak Cinta

Terlalu banyak cinta yang kau tebar 
Ia berbunga di mana mana
Menjadi ajakan 
Untuk memberi warna 
Pada dunia yang kasar dan kotor
Ia tumbuh menjadi nasehat dan ingatan
Cinta seorang ayah
Cinta abang pada adik adiknya yang nakal
Cinta pada orang orang terpinggir
Pada pedagang kaki lima
Pada para santri
Bahkan pada preman
Inilah kesenian
Yang di katakan Sutardji
Di atas panggung terapung pertama
Kesenian tak sebatas kulit
Bang Ane Matahari
2016



















Zaeni Boli

Jalan sunyi

ijinkan aku melebur dalam cinta yang sama 
jalan sunyi yang kau pilih 
seorang ibu menulis puisi sambil memasak 
ia yang memilih kata jatuh cinta pada kata 
kau yang ajarkan itu padaku 
sastra bukan dilangit 
bahkan pada wajah Pao kita temukan puisi bang
2016

Doa untukmu

seperti yang kau pinta 
akhirnya hujan turun jua 
gerimis turun seperti ingatanku pada mu 
kesetiaan itu mahal 
tapi kau ajarkan kami dengan jalan yang sederhana
silahturahmi batin guru 
terimalah doa kami
2016
Singgasana kecil
Jangan kau hidangkan untukku dunia
Aku rindu guruku
Disini manusia mencabik cabik daging saudara 
Sambil terus berdoa berharap Tuhan menonton televisi 
Boli jangan nyanyi fals 
Itu yang ku ingat tentang guru 
Tak ada lagi cita cita 
Hanya harapan ingin bertemu dia 
Guru jiwaku
Guru kehidupan 
Singgah sana kecil 
Saung Perpus pinggir kali
Taman Ane Matahari
Negeri tatih tayang 
Tempat bocah ,penyamun ,pemabuk tidur pulas di gigit nyamuk

2016








Zaeni Boli

Mencari kata

Bener bang susah sekali menemukan kata .
Pagi ini aku coba merenungkan kata kata
Puisi adalah sukma kata mutiara bahasa begitu katamu suatu kali.
Kau ajak semua orang menulis puisi itu bukan puisi
Paling tidak di dasar hati mereka akan memilih kata yang tepat atau mereka telah bersungguh sungguh menulis.
Kau suruh anak Cibarusah menuliskan apa saja tentang masjid yang baru kita rapihkan 
Kau minta anak anak jalanan menulis puisi
Puisi terbaik lahir dari sel tikus 
Ya kita selalu merasa pantas paling benar 
Tapi lalai memilih kata yang tepat untuk di sampaikan

Sastra Kalimalang 2016

Kehilangan

Berapa kali 
Nyala rokok padam
Nyala kembali
Akhirnya aku rasakan juga
Hati Rumi
Saat kehilangan Matahari
2016
Semua tulisan ini aku dedikasi untuk mengenang Guruku Alm Ane Matahari.
Ane Matahari Pendiri sekaligus ketua Sastra Kalimalang 2011-2016

Moh Zaini Ratuloli (Zaeni Boli), Tempat tgl lahir: Flores,29-08-1982
Belajar membaca puisi sejak 1989 ,belajar menulis puisi sejak 2002 biasa menulis dihalaman facebook ,tapi beberapa karyanya juga pernah ikut di Antologi Puisi menolak korupsi (Jilid 2b dan jilid 4),Memandang Bekasi 2015,Sakarepmu 2015,Capruk Soul jilid 2,Antologi Puisi Klukung 2016,Memo Anti  Kekerasan terhadap  anak,Lumbung Puisi jiid 5 “Rasa Sejati”(antologi) 2017 ,Negeri Bahari 2018 dan Koran maupun bulletin lokal di Bekasi .sejak 2013 –sekarang tergabung dalam komunitas Sastra Kalimalang(Bekasi) .Sempat tampil di ajang Internasional “Asean Literary Festival “ tahun 2015 membawakan puisi Widji Thukul  “Lawan” .
Juga aktif bergiat di literasi dan teater.Sekarang tinggal di Flores aktif di Nara Teater ,mendirikan TBM Lautan Ilmu dan mengajar di SMK SURA DEWA Flores Timur sekaligus mendirikan Bengkel Seni Milenial sebagai wadah eskul kesenian di sekolah tempat mengajar ,tergabung juga dalam Agupena Flotim .

Puisi Sarwo Darmono dalam ACP

6. Sarwo Darmono
                                                          Aku Cucu Pujangga
Embuh aku ora weruh
Apa aku anak putune Pujangga
Apa aku anak putune Pandito
Apa aku anak putune Raja
Ngunu kuwi mung tetenger
Tetenger kang ora tinulis
Tetenger hamung jruning Lisan
Tetenger kang sinebut jruning bebrayan
Aku iki hamung titah
Titah kang seneng nata Aksara
Sanajan aku ora pirsa
Sapa sing nyipta aksara
Aksara ditata kanthi prayoga
Nuwuhke rasa suka
Nuwuhke rasa Tresno
Nuwuhke rasa bagya mulya jruning Nala
Kanggo sing gelem maca lan Ngrasa
Embuh aku ora weruh
Apa aku anak putune Pujangga
Apa aku sing diarani Pujangga
Aku hamung titah
Kang lagi nglakoni jatah
Jatah gesang ing alam nyata
Gesang kanthi laku prayoga
Gesang tansah Syukuri parenge Gusti
Gesang kang tansah Pasrah lan Mbudi daya     
                                                 
Lumajang Rebo Pon 23 – 1 – 2019 Pangripto Sarwo Darmono


Sarwo Darmono, lahir , Magetan 27 Oktober 1963 Pekerjaan Penyiar Radio. Dikenal sebagai penyair yang menulis geguritan, Puisinya mengisi Lumbung Puisi Jilid VI, Penebar Pustaka 2018,Sedekah Puisi Tadarus Puisi 2, Penebar Pustaka

Puisi Gilang Teguh Pambudi dalam ACP

7.Gilang Teguh Pambudi

Aku Cerita Lewat Pertanyaan

apakah yang menari janger di Bali
adalah gubernur Bali?
Apakah yang azan tiap tiba waktu sholat
adalah pak RW setempat?
apakah presiden kita
suka menyanyi pake rok seksi?
apakah ustad pesantren
ada yang merasa MC dangdutan?
apakah yang mengasah keramik Plered
adalah bupati Purwakarta?
apakah ketika polisi terpaksa menembak penjahat,
Ibu Aisah boleh merasa sebagai sang penembak
sebagai musuh kejahatan?
siapakah yang menanam pohon
menyelamatkan tanah tandus?
siapa menari ularkan korupsi?
siapa pula yang menanam ganja
menyemai maksiat
lewat gambar pada topi dan ikat pinggang?
apakah Bung Karno adalah Chairil?
apakah Hamka juga mengajar
di suatu sekolah di Papua atau Madura?
lalu siapakah pelacur itu
kalau di suatu kota ada lokalisasi
dan lorong remang-remang?
maka bagaimana mestinya jadi pribadi,
jadi orang,
jadi pejabat publik
supaya tidak hina dan hianat?
kalau perbuatan pejuang yang humanis kau sebut Aku,
maka siapa kamu supaya dia juga menyebutmu Aku?
bagaimana kalau kita menemukan hikmah 
di dalam Al-Qur'an dan As-Sunah, bahwa Rosulullah
berkata, semua perbuatan mulia hamba Allah
adalah umur dan perbuatanku!
Kemayoran, 05 02 2019







Gilang Teguh Pambudi sesungguhnya memiliki nama KTP, Prihana Teguh Pambudi. Nama Gilang dipergunakan sejak memulai jadi Orang Radio Indonesia, dengan alasan nama radio dengan dua suku kata sangat mudah diucapkan dan diingat oleh para penggemar. Nama Gilang dipilih karena memiliki makna, pemersatu yang sukses. Penyair ini berdomisili di Kemayoran, DKI Jakarta. Putra dari alm. Soetoyo Madyo Saputro (Bogor-Kendal) dan Siti Djalaliyah (Jogja). Ayah dari Nurulita Canna Pambudi (Bandung) dan Findra Adirama Pambudi (Purwakarta), buah pernikahannya dengan Wihelmina Mangkang (Manado). Menulis sejak SMP dan mulai dimuat koran kelas 1 SMA/SPGN. Beberapa puisinya sudah dimuat dalam berbagai antologi puisi bersama dan antologi puisi pribadi. Antologi puisi pribadinya yang terbaru adalah, JALAK (Jakarta Dalam Karung).





Puisi Bd'oel Santri Bango dalam ACP

8. Bd'oel Santri Bangor

Anak Pujangga

Hanya Coretan Puisi Yang Menghiasi Benak Ini
Hanya Uraian Kata Yang Selalu Membayangi Benak Ini
Coretan Puisi Seorang Anak Penyair
Coretan Kata Yang Menjadikan Sebuah Karya

Aku Terlahir Dari Rahim Sebuah Kata
Aku Di Besarkan Dari Untaian Kalimat
Sebuah Kata Yang Menjadikan Ku Seorang Penyair
Sebuah Untaian Kalimat Yang Membesarkan Seorang Penyair

Alam Dan Isinya Yang Menjadi Jiwaku
Angin, Sinar Mentari Menjadi Nyawaku
Jiwa Seorang Penyair Berkawan Alam
Nyawa Seorang Penyair Bagaikan Angin












Puisi Mohd Zainal Bin Abdul Karim (Detektifsenja) dalam ACP

9. Mohd Zainal Bin Abdul Karim (Detektifsenja)

Serpihan Cahaya Ane Matahari

Dipenghujung masa
Serpihan logika harap ada canda tawa
Belum kita bercerita sudah ada anunggra menyapa
Cukup menyebut namamu terobati lapar dan dahaga

Namamu merasuk, merangsang, mematangkan logika yang sempat tak ku percaya
Menebar cahaya tak pilih pilah selera
Tingkah mu sepadan namamu
Beri cahaya meski pada yang tak punya logika
Meski tanpa imbalan pendukung realita

Saat pertama bertatap mata, cahaya mu melekat di jiwa
Tak sempat bercanda tawa, hanya nikmati masa yang tersisah, untuk mengisi lubang yg tak berpelita dengan cahaya sang pujangga
Diluar duga ....
Pertemuan ini ternyata dipenghujung masanya didunia
Raga mu kini tinggal nama, namun tulusnya jiwa sisahkan berjuta cahaya

Dipenghujung masa...
Kau tak memberi tanda
Setelah semalaman kita bercerita tanpa suara, hanya terjaga
Dipagi buta, aku membuta sedikit lelah
Yang ternyata penghujung kisah
Serpihan cahaya mu mengisi jiwa ku yg penuh tanya
Meski sekedar serpihan, namun sudah cukup membuat aku dijuluki anak cucu pujangga

Baras 4, 11/01/19.




Mohd Zainal Bin Abdul Karim (Detektifsenja)

Sastra Genetika Dunia

Mari meluruskan cerita
Teori tentang genetika dan sastra
Meski tak merdu saat bersuara
Namun tak ada manusia tak bisa bermuka dua

Dari lembah ku merangka
Bermodal suara dan tingkah gila
Mengikuti angin apa adanya
Lewati dunia tak sengaja temukan petunjuk arah

2 manusia yang hanya menjalankan sumpah dan hobinya, 'tak sengaja'
Berikan ku arah, menjelaskan makna genetika yang sebenarnya
Kini ku tau benar adanya malaikat dalam dunia nyata
Kini ku tau makna biologis dan ideologis benar adanya

Dia NASIR menanam benih saat ku dibangku SMA
Dia ANE MATAHARI memupuk ku hingga benih berkelopak bunga
Kini aku tak lagi miris akan pepatah yang berbunyi garis lurus genetika dari "dari'sononya"
Kini aku juga bisa dijuluki "Anak Cucu Pujangga"

Baras, 06/01/19.




Puisi Teguh Ari Prianto dalam ACP

10. Teguh Ari Prianto

Ceruk Laku Chairil

Ketulusan doamu, Chairil
Mengantarku menuju pemeluk teguh
Kerdip lilin
Terangi lelaki malam

Kuasa meremuk redam
Adalah iba yang kemudian reda

Seteguk waktu yang kau miliki
Berjuta semangat yang menyala-nyala

Chairil, desing peluru di kepala
Pengiring jiwa meronta

Saat-saat masa juang
Jiwa itu bertenaga
Kegigihan tak pandang usia

Aku rindu gelora Chairil
Bersama iringan tanyamu yang sederhana
Bagaimana mungkin dunia tanpa cahya-Nya?

Kegelisahan itu menembus langit
Hingga tiba dunia merdeka

Kami iri kepada Chairil
Perjuangannya terus bersua
Luka di dada bukanlah neraka

Pikir mana terus dipijak
Penanda sakti mengiringi
Menembus senja beranjak kelam

Sesaat sunyi
Sesekali melirih

Chairil, engkau masih di sini!

 (Dedikasi untuk Chairil Anwar)
Bandung, 09-2-2019





Teguh Ari Prianto
Kurir Kata-kata Emha

Saat tak menulis puisi
Aku juga kurir kata-kata Emha

Bukan sekedar tunai predikat
Tapi menenun juluk

Bahwa aku penyair?

Semula kukira cukup
Selembar kertas dan pena ditangan

Sementara Emha
berjibaku dengan Buku bergunung-gunung

O, sejauh ini ternyata aku kurir kata-katanya
Sayangnya kau tak tahu
Hatimu luluh terbius usai menelan kata-kata yang kupinjam

Aku ternyata pengantar kata-kata
Yang seperti tanpa paham siapa pemiliknya

Mengapa pula kau terlena dan mencinta
Tanpa kritik, cukup merasa saja

Sayang, cintaku seperti palsu
Sejatinya ia adalah milik Emha
Kata-kata yang menelanjangi hati


(Dedikasi untuk Emha Ainun Najib)
Bandung, 7 Pebruari 2019




Teguh Ari Prianto. lahir di Cimahi, 20 Mei 1978. Menghabiskan sebagian besar masa kecilnya,  bersekolah, berkesenian serta aktivitas lain di Kota kelahirannya. Menulis sejak masa sekolah menengah atas, menekuni sastra dan teater lebih lanjut di Kelompok Drama Radio 1026 AM Radio Litasari, Teater Bandung Mooj, Studi Klub Teater Bandung (STB) melalui kursus singkatnya dan beberapa kelompok teater lainnya.
Menjadi penggiat pergerakan musik melalui penyelenggaraan event-event musik lokal yang rutin dilaksanakan bersama Insan Seni Satu Bumi sejak 1999.
Dunia jurnalis sempat dijalani hingga pertengahan 2007 dengan bergabung menjadi wartawan di media-media cetak local serta di Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional (PRSSNI) Cabang Bandung.
Selepas berhenti dari beberapa perusahaan media massa, lalu menghabiskan sebagian waktunya dalam kegiatan aktivis kampus dan kepemudaan mulai dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Daya Mahasiswa Sunda (Damas) dan Pengurus Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
Bersamaan dengan itu, menjalani pekerjaan mengajar di salah satu perguruan tinggi swasta dan mendirikan sekolah menengah kejuruan.
Dunia pendidikan lain yang ditekuni adalah bekerja bersama relawan di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) melalui gerakan Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Melalui TBM ini, pada tahun 2017 melaksanakan program Kampung Literasi bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Kota Bandung.
Hingga saat ini tetap menulis (penulis lepas) untuk media-media massa lokal dan nasional serta menerbitkan buku bersama TBM dan Majelis Adat Sunda (MAS) serta menjadi pelaksana  Program “Paseban” (Paguneman Pustaka Seni Budaya Bandung) yang diselenggarakan Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Dinas Perpustakaan dan Arsip (Dispusip) Kota Bandung 






Puisi Rg Bagus Warsono dalam ACP

11.Rg Bagus Warsono

Celana Pendek Leak

Celana pendek leak
memasuki gedung terhormat
lirik satpam guman tak sopan
dan wajah cewe cekikik-an
bukan karena kucir rambut kuda
itu celana pendek
memamerkan dengkul
dan sepatu kiker
agar bisa melompat cepat
berlari bebas
dari kejaran puisi-puisi penghujat
dari panggung-panggung pejabat
Celana pendek leak
tak pernah duduk
hanya dikursi kereta
Celana pendek leak
lama dikereta
Celana pendek leak
melekat berpuisi.
04-03-2019





Rg Bagus Warsono

Surat Buat Burung Merak

Burung merak
sudikah ajari aku berpuisi
kulihat kau semakin mengepak sayap
bukalah diklat aku akan duduk disana
mendengar celotehmu
dan tak sekadar kasak kusuk
menerima untuk mengeri tingkahmu
dengan omongan orang
kapan golonganku bersiul menikmati teriaknya
Indramayu, 17 Oktober 1990




Rg Bagus Warsono

Penyair Jenaka,
Buat : Aloysius Slamet Widodo,

Slamet memang penyair langka
Widodo namanya,
panjang usia gembira
lucu dan jenaka
ditulis
amalmu memberi senyum tawa,
tatkala puisi orang mengkritik
mengadukan kepedihan sengsara duka
sehingga malas dibaca
Slamet menulis lucu,
lalu Indonesia tertawa
monas tertawa
laut tertawa
tiang beton jembatan tertawa
gunung tertawa
mahasiswa tertawa
dokter tertawa
dan keluarga tertawa...
rg bagus warsono, 4 Maret 2019




Rg Bagus Warsono, nama lainnya Agus Warsono lahir di Tegal 29 Agustus 1965. Ia dibesarkan dalam keluarga pendidik yang dekat dengan lingkungan buku dan membaca. Ayahnya bernama Rg Yoesoef Soegiono seorang guru di Tegal, Jawa Tengah. Rg Bagus warsono menikah dengan Rofiah Ross pada bulan Desember 1993. Dari pernikahan itu ia dikaruniai 2 orang anak. Ia mulai sekolah dasarnya di SDN Sindang II Indramayu dan tamat 1979, masuk SMP III Indramayu tamat tahun 1982, melanjutkan di SPGN Indramayu dan tamat 1985. Lalu ia melanjutkan kuliah di D2 UT UPBBJJ Bandung dan tamat tahun 1998, Kemudian kuliah di STAI di Salahuddin Jakarta dan tamat 2014 , pada tahun 2011 tamat S2 di STIA Jakarta. Setelah tamat SPG, Rg Bagus Warsono menjadi guru sekolah dasar, kemudian pada tahun 2004 menjadi kepala sekolah dasar, dan kemudian 2015 pengawas sekolah. Tahun 1992 menjadi koresponden di beberapa media pendidikan seperti Gentra Pramuka, Mingguan Pelajar dan rakyat Post. Pada 1999 mendirikan Himpunan Masyarakat Gemar Membaca di Indramayu. Menjadi anggota PWI Jawa Barat. Rg Bagus Warsomo juga menulis di berbagai surat kabar regional dan nasional seperti PR Edisi Cirebon, Pikiran rakyat, Suara karya dan berbagai majalah pendidikan regional maupun nasional,




Puisi Pensil Kajoe dalam ACP

12. Pensil Kajoe
Semalam Kubertemu Rendra

Si Burung Merak menyibakkan rambutnya
suaranya berat ketika menyapaku
laki - laki itu mengingatkan pada rindu
yang dulu pernah disandingkan dengan dua gelas kopi
hujan temaram saputkan bulan sabit
di celah daun kelapa dia mengintip
asik mendengarkan cerita kami berdua
laki-laki itu bernama Rendra
dia bercerita banyak tentang orang-orang yang ditemuinya
Anita, si Koyan, Atmo Karpo, Sumijah
orang-orang yang pernah menjadi puisinya
bahkan menyampaikan pesan dari ayahku
"Tetaplah menjadi dirimu, jika ingin dikenang ketika ketiadaanmu tiba."
laki-laki Burung Merak meraih tanganku
dan menyalaminya seraya berbisik
"Tulislah nama-nama dengan tanganmu, tanpa harus menjadi seperti mereka, termasuk namaku,"
kemudian dia mengepakkan ke dua sayapnya
dan menghilang di balik pintu cafe.
04032819


Senin, 06 Mei 2019

Puisi-puisi Heru Mugiarso dalam ACP

13.Heru Mugiarso
Arsitektur Hujan Bulan Juni

Percakapan dengan Afrizal Malna
 mempertemukan kami dengan hujan bulan Juni
Kami membangun banyak Sapardi dalam diksidiksi puisi
Lalu dengan tabah disimpannya rintik itu agar tidak ada jendela
Bagi tubuhtubuh kami yang terbuka

Sapardi dengan topi petnya terus membangun  dukaMu abadi
Sambil sesekali  bertanya : Tuan, Tuhan bukan?
Sebelum Afrizal keburu akhirnya membangunkan aku dari mimpi
Tentang para perempuan yang berpantalon dan berdasi
Sementara aku terpaksa menikahkan Sarwono dan Pingkan
Dalam arsitektur perkawinan yang dibangun dari katakata yang tak pernah

Diucapkan api kepada kayu yang menjadikannya abu.
2019

 Heru Mugiarso

Aku Ingin

Aku ingin
         Menjadi  seperti Amir Hamzah
         Bernyanyi dalam sunyi  lariklarik puisi
         Dan di ujung kehidupannya
         Berkubang darah  korban revolusi
Aku ingin
         Menjadi seperti Chairil Anwar
         Mau hidup seribu tahun lagi
         Pacaran dengan banyak perempuan
         Namun pada akhir hidupnya
         Terkena tifus dan penyakit kelamin
Aku ingin
        Menjadi seperti  WS Rendra
         Berwajah ganteng  jadi  pujaan  banyak wanita
         Yang mengagumi sajaksajaknya
         Dan diakhir hidupnya
         Tetap istiqomah berkarya
Aku ingin menjadi seperti Hartoyo Andangjaya
        Lugu dan bersahaja
        Sangat mencintai dan dihormati murid-muridnya
           Menutup usianya
           Dalam  kehidupan sederhana
Aku ingin menjadi seperti Soebagio Sastrowardojo
           Penyair filsuf  dan pemikir keren
           Dan diujung tarikan nafasnya
           Mewariskan  Dian Sastro cucunya yang begitu jelita
            Dan selalu mempertanyakan Ada apa dengan Cinta?
Aku ingin menjadi anak cucu pujangga
            Walau tak bertalian darah  dengan mereka
                      Setidaknya dari mereka aku bisa mencontek
                              Kesetiaan berpuisi
            Walaupum pada kenyataannya
Di akhir hidup tidak selalu sukses

Karena bukankah Noorca Marendra  Massardi pernah bilang:
“Banyak orang sukses setelah jadi penyair
Tapi sedikit penyair sukses setelah jadi orang”.
2019



Heru Mugiarso, lahir di Purwodadi Grobogan, 2 Juni 1961. Menulis puisi sejak masih duduk di bangku SMP.  Karya-karya berupa puisi, esai dan cerpen serta artikel di muat di berbagai media lokal dan nasional. Sekitar hampir tujuh puluhan  judul buku  memuat karya-karyanya.Penghargaan yang diperoleh adalah Komunitas Sastra Indonesia Award 2003 sebagai penyair terbaik tahun 2003 Namanya tercantum dalam buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia (2017.) Pegiat gerakan sekaligus inisiator Puisi  Menolak Korupsi ( 2013 - ). Membacakan karyanya di berbagai kota seperti : Tanjung Pinang, Jakarta, Bandung, Jogyakarta, ,Malang, Tegal, Banyuwangi, Kupang. Aktif sebagai nara sumber acara sastra pada program Bianglala sastra Semarang TV. Juga, Pembina Komunitas Lentera Sastra mahasiswa jurusan Bimbingan Konseling Unnes.


Puisi Emby B. Metha dalam ACP

14.Emby B. Metha

                                 * Tuhan Ku Dimana

Aku tengah melihat
Langit membentang
Juga sedang menatap
Bumi terbentang
Ku hayati segenap kekuasaan

Gunung-gunung
Lautan
Bulan
Bintang
Dan matahari

Siapa cipta mereka  ?
Bukan aku
Bukan  jua kau
Lalu siapa

Tentu,
Mereka punya pencipta
Mereka milik sang kuasa
Seperti kita
Serupa manusia
Adalah tuhan

Namun,
Tuhan ku dimana  ?
Di rimba aku berkelana
Di samudera aku menjajah
Tapi tidak ku temui jejak tuhan

Oh Tuhan ku dimana  ?
Di pagi aku mencari
Di malam aku menanti
Namun tidak ku dapati rupa tuhan

Tuhan ku dimana

Jejak-jejak puisi
Jakarta, 2014


Emby B. Metha, lahir : Lamahala Flores Timur,  29 Oktober 1995.



Puisi-puisi Sami’an Adib dalam ACP

15.Sami’an Adib

Pewaris Celurit Emas

akhirnya kutemukan juga
setelah ribuan era ditempa
dalam sumber api utama
matahari semesta jiwa

berbekal setangkup doa
kupungut sepenuh cinta
celurit emas bersepuh purnama
mahadaya pengawal kelana

akan kusimpan di kedalaman palung paling rahasia
agar terhindar dari jamahan tangan penebar malapetaka
yang kerap menyalahgunakan pusaka demi kuasa semata

akhirnya kumiliki juga
celurit emas pusaka madura
tatahan empu yang bijaksana
:Zawawi Imron sang pujangga

dengan mahar sekuntum cinta
kupasrahkan segenap jiwa
demi menjaga warisan budaya
kearifan lokal yang kian langka

Jember, 2019



Sami’an Adib

Bermain Tebak-tebakan :gus mus
di halaman panjang
lebih tepatnya tanah lapang
kami duduk bertukar pandang
beradu kelakar dan tawa riang

entah dari mana engkau datang tiba-tiba
serupa bayangan menggalang sejumlah tanya
tentang hal yang tak terjabarkan oleh aplikasi apa pun
tentang mereka yang tak terdeteksi oleh intelijen mana pun
tentang peristiwa yang tak terungkap lewat rekayasa apa pun

Jangan tanya apa
Jangan tanya siapa
Jangan tanya mengapa
Tebak saja
demikian parau suaramu bergema

tapi bagaimana aku bisa menebak dengan jitu
ketika setiap hari silih berganti ragam isu
ujaran kebencian masuk tanpa ketuk pintu
menggiring keteguhan hati ke tubir ragu

bila kutebak tanpa olah penalaran
nanti dikira aku pemuda serampangan
yang tidak punya visi dan mimpi masa depan

baiklah, Gus! Kutebak saja
di balik fakta disharmoni bangsa
ada ribuan dusta di antara kita:
anak bangsa yang terpapar virus adu domba
dan menularkan delik pelik prahara

maaf, Gus! Aku hanya menerka
di antara sekian reka perkara
ada rentetan fiksi sepernovela
meja peradilan menjadi panggung pementasan drama
tragikomedi yang membuat penonton terkesima
larut dalam pusaran tangis dan tawa
umpatan dan pujian tertuju pada sang sutradara
yang ternyata iblis berwujud malaikat penjaga syurga
Gila!
Jember, 2019




Sami’an Adib, lahir di Bangkalan tanggal 15 Agustus 1971. Lulus Strata I pada jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Negeri Jember (Unej).  Prestasi kepenulisan antara lain: pernah memenangkan Juara III lomba mengarang cerpen yang diadakan BEM Fakultas Sastra Unej, Juara I Lomba Cipta puisi Gus Dur yang diselenggarakan Pelataran Sastra Kaliwungu (2016), Puisi Pilihihan II Poetry Prairie Literature Journal#5 (2017). Puisi-puisinya terpublikasikan di beberapa media cetak dan on line. Antologi puisi bersama antara lain: Requiem Tiada Henti (Dema IAIN Purwokerto, 2017),  Negeri Awan (DNP 7, 2017),  Lumbung Puisi V: Rasa Sejati (2017), PMK 6 (2017), Lebih Baik Putih Tulang daripada Putih Mata (2017), Baju Baru untuk Puisi dan Hal-hal yang Belum Kita Mengerti (Bebuku Pubisher, 2017),  Menderas Sampai Siak (2017), Timur Jawa: Balada Tanah Takat (2017), Hikayat Secangkir Robusta (Krakatau Awards 2017), Perjalanan Sunyi (Jurnal Poetry Prairie 2017), Sedekah Puisi (Penebar Media Pustaka, 2018),  Negeri Bahari (DNP 8, 2018), Menjemput Rindu di Taman Maluku (Bengkel Sastra, 2018), Lumbung Puisi VI: Indonesia Lucu (Penebar Media Pustaka, 2018), Kepada Toean Dekker (Dikbud Lebak, 2018), Satrio Piningit (Penebar Media Pustaka, 2018), Sepanjang Siring Laut (Dikbud dan Pariwisata Kotabaru, 2018), Bulan-bulan dalam Sajak(Temalitera, 2019), Mbelekethek (Penebar Media Pustaka, 2019), Gus Punk (Pelataran Sastra Kaliwungu, 2019), Seribu Sisi Dini (Bengkel Sastra, 2019), Risalah Api (Ziarah Kesenian, 2019), dan lain-lain. Aktivitas sekarang sebagai tenaga pendidik di sebuah Madrasah di Jember.