Sabtu, 23 Mei 2020

70-Wyaz Ibn Sinentang Ramadhan Memuncak Syawal

70-Wyaz Ibn Sinentang


Ramadhan Memuncak Syawal


Ramadhan hampir memuncak syawal
rinduku mengalir mencari makna terkandung
lantaran kali ini suasana sungguh tak lazim
mesjidku hening lapang tak bersajadah
berdiri kukuh di antara keramaian mall



Rinduku menyesak dada tiada berakhir
memandang pelataran sunyi
dan tiang empat penjuru termangu
tabuh bedug yang lama tak bergema
tautkan adzan waktu ke waktu shalat



Ramadhan berlalu terkenang nan lalu
wajah-wajah uzur tersenyum ramah
berisik bocah-bocah kecil menggemaskan
tumpah ruah padati megahnya rumah Allah
: ada rindu saling menanti

Bumi Ale-Ale, 22 Mei 2020








Wyaz Ibn Sinentang

Jumat Terakhir di Bulan Ramadhan

Penghujung waktu tinggal asa membludak
lapar dahaga masih bisa ditahan
lima waktu jalani sendiri
ada yang hilang batin tertekan
kebersamaan wajib tiba-tiba terabaikan
bukan salah tak juga membenarkan
: habluminallah

Bumi Ale-Ale, 22 Mei 2020







Wahyudi Abdurrahman Zaenal IBN SINENTANG lahir di kota Pontianak tanggal 24 April 1966. Mulai menulis puisi sejak tahun 1980. Karya-karyanya pernah dimuat di beberapa media lokal, Nasional/luar pulau, Negeri Jiran,  dan online.Karyanya juga terangkum dalam beberapa kumpulan puisi dan cerpen bersama. Antologi Puisi tunggalnya BERSAMA HUJAN (Kelompok Empat Kreatif, 2011), HIJRAH (Kelopak Poedjangge/SEC, 2012), NYANYIAN LILIN PUTIH (Shell-Jagad Tempurung, 2012), PERJALANAN SAJAK BULAN KOSONG (Kelopak Poedjangge/SEC, 2013), REKAH CAMELIA DI LANGIT DESEMBER (Kelopak Poedjangge/SEC, 2014), TIGA IBU (Guepedia, 2016), Kumpulan Cerpen tunggalnya PUING (Jentera Pustaka, 2014).

69.Barokah Nawawi Pintu Langit Ramadhan

69.Barokah Nawawi

Pintu Langit Ramadhan

Ya Allah, di ujung malam ini aku bersimpuh
Mengetuk pintu langit ampunan Mu
Dengan air mata sesal yang mengalir tanpa henti.

Kusadari betapa tebal kerak-kerak dosa
Yang telah kutoreh sepanjang perjalanan waktu
Adakah penyesalan masih bermakna bagi-Mu
Bagi diri ini yang selalu mengulang dosa dan maksiat
Meneriakkan kebohongan demi kebohongan
Yang tak pernah jelas ujung pangkalnya
Selain hanya sekedar mengipasi selera massa yang riuh.

Dan kini bumiku dilanda bencana
Yang meluluh lantakkan seluruh sendi kehidupan.
Hingga akhirnya Ramadhan tahun ini hanya di rumah saja
Merenungi dan menyesali yang tak mungkin kembali.

Dan malam ini kembali aku bersimpuh
Terus mengetuk pintu langit Ramadhan tanpa henti
Berharap anugerah akan kesempatan baru yang Kau berikan
Untuk memperbaiki kembali bumi ini
Demi anak cucu kami
Ampuni kami, Tuhanku.

Semarang, Mei 2020








Barokah, lahir di Pacitan 18 Agustus 1954.
Menulis puisi sejak remaja di berbagai media massa.
Buku antologi puisi tunggalnya, Bunga bunga semak, diterbitkan Pustaka Haikuku 2017.Buku haiku tunggal, Serampai Haiku Pancaran Hati, diterbitkan Pustaka Haikuku 2019.Ikut antologi puisi bersama dengan Lumbung Puisi, antara lain, Mblekethek, Anak Cucu Pujangga, dan Perjalanan Merdeka.Saat ini berdomisili di Semarang sebagai seorang pensiunan dari PT Telkom.



Di rumah Saja Pegantar Antologi Tadarus Puisi IV

Di rumah Saja Pegantar Antologi Tadarus Puisi IV:

Istimewanya Tadarus Puisi Ramadhan IV itu penyairnya dirumah, sehingga kesan di rumah saja terdapat dalam beberapa puisi penyair kita. Ternyata puisi [uisi itu seperti tema dalam Antologi Tadarus Puisi ini yakni Rumah Kita yang Indah/

Keindahan rumah iru dipotret dalam syair-syair penyair dalam berbagai sudut pandangnya yang kaya hayal itu.

Ternyata di rumah kita yang indah adalah tempat dimana produk kebaikan berasal.

Kenapa di rumah? jawannya adalah pada masa antologi ini dibuat Indonesia tengah memberlakukan Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) dikarenakan terjadinya pandemi yaitu epidemi dalam skala besar yang mempengaruhi beberapa kelompok penduduk di lokasi yang berbeda atas berkembangnya virus yang dapat mematikan manusia.

Keadaan demikian itu tidak mengurangi kegairahan penyair dalam menulis puisi bahkan di rumah saja itu tetap produksi.

Wajah Puisi Tadarus Puisi Ramadhan IV juga dipengaruhi oleh situasi dirumah saja masyarakat yang mengakibatkan berkurangnya aktifitas kerja dan sumber pendapatan masyarakat. Dampak itu tak luput dari bidikan penyair penyair kita yang walau dirumah saja tetapi mampu meneropong dunia luar. (bersambung)

68.Salimi Ahmad Ramadhan dan Corona

68.Salimi Ahmad

Ramadhan dan Corona



sebelum ini, sudah jarang aku mampir ke rumahmu
di samping suka menggampangkan, tapak kakiku ini
lebih mudah melangkah ke kerumunan orang
mengikuti matahari yang datang, melengkapi
malam yang melenggang sepi

terkadang saja, jika kebetulan lewat, aku mampir,
misalnya sepekan sekali ketika orang-orang
berombongan datang,  meramaikan shaf-shafmu,
menunggu waktu, menjenguk teduhmu di tengah simpuh
di khutbah yang memuji dan mengagungkan namamu



ketika virus corona datang menyebar, mendatangi
ke tiap-tiap orang, memporakporandakan tatanan,
juga negeri ini, kota ini, desa ini, seantero dunia
dilanda kepanikan bertubi-tubi, aku makin tak pasti
menjaga silaturahmi

dunia seperti hendak meredam penyebarannya
mengambil tindakan dan himbauan; jaga jarak
dengan sesama orang, dan hindari kerumunan,
diam di rumah lebih baik untuk mencegah terjadi kontak
; aku semakin merasa menjauhi rumahmu

sungguh semua kerja, aktivitas gerak jadi kian terbatas.
pagi berjemur membuat imun tubuh dengan hangat matahari
makan-minum di ruang ke ruang membikin tambah bosan
kembali dari itu ke itu lagi. seluruh ruang kujelajahi
dengan cara yang sama, dengan pikiran hampir tak berubah



lalu ramadhanmu datang, diri ini kian merasa disiksa ulang
shalat tarawih bersama ditiadakan, riuh kangen suara
anak-anak yang bercanda di belakang, kini tak terdengar
masjid sudah kosong melompong, yang terdengar tinggal azan,
karpet dan sajadah tergulung sudah, tersimpan di sudut menara.

inikah kutukan seperti yang sudah kau firmankan
seperti yang telah diurai dalam sabda rasul akhir jaman,
 “pada suatu hari nanti, masjid-masjid akan dibangun megah
tapi para jamaah meninggalkannya, tiada lagi ada yang ingin
memakmurkannya.”

sungguh takut, akukah orang yang kausebut dalam riwayat itu.
akukah orang yang termasuk telah mendustakan kalimatmu
o, begitu asing diriku. begitu semakin terasingnya aku
duka corona bertambah-tambah mengacaukan diriku.

kuakui, aku telah banyak berbuat dhalim kepada diriku
telah banyak melakukan ingkar kepada pikiranku
ya Allah, ya Rabb, betapa banyak aku diserang keraguan
dari berbagai arah, dari simulasi bencana ini

ampunilah aku atas semua kedhalimanku
ampunilah aku atas banyak perbuatan ingkarku

Jakarta, 22 Mei 2020










Salimi Ahmad
Doa Tutup Ramadhan

1
biarkan nafsu jadi bagian yang membawa langkahmu
seperti laut bagi kapalmu, jalani bentangan luas samudera
berlayar di permukaannya begitu menyenangkan senantiasa

ia boleh berombak, memain-mainkan pesonanya saat melaju
namun jangan biarkan ia masuk mengisi lambung kapalmu
nanti kau tenggelam, dan terkubur hingga ke dasar debur.

2
apa yang telah kau suguhkan pada mereka untuk puasamu
padahal setiap berbuka, kau telah banyak menerima suguhannya?

apa yang telah kau sampaikan pada mereka dengan puasamu
padahal dalam puasamu kau telah banyak menerima pesan-pesannya?

terpujilah rasa lapar dan dahaga
yang bersamanya, kau wangikan bau mulutmu untuk sesama

3
kita hanya tumpukan airmata
yang disimpan awan mengelilingi luasnya angkasa
pada waktunya, kita akan dibuatnya terperangah
ketika ia tumpah, menggenapi tugasnya
menghidupi mereka yang didera kering dan hampa

4
akankah kau biarkan diriku menjadi kota
tempat anak bermain dengan segala gemerlap cahaya
tiada bisakah diriku menjadi padang rumput belantara
tempat berlarian mereka, nikmati basah embun
juga hakekat wewangian daun, saat rebah-lelah mencium

5
beban yang berat, kita pikul untuk diantar ke pemiliknya
sedikit bagian kita terima sebagai upah angkutnya

memahami lahir dan hidup, bukanlah sia-sia
kecuali kita bermain memainkan diri sendiri
dan melupakan lainnya

Jakarta. 27 Juli 2014 – 22 Mei 2020.

Salimi Ahmad, lahir di Jakarta 22 Mei 1956. Buku puisinya ‘Di Antara Kita’ (2009), dan beberapa puisinya tersebar di beberapa 

Selamat Idul Fitri 1441 H


Apa itu penyair : 1 Tulisan yang membuat gairah pembaca untuk dibaca

Apa itu penyair :

Tulisan yang membuat gairah pembaca untuk dibaca

Salah satu pengakuan bahwa Anda seorang penyair adalah karya Anda itu dibaca orang lain. Semakin banyak pembaca karya Anda maka semakin banyak orang tahu penulisnya, Semakin banyak lagi karya Anda dibaca orang lain maka tubuh pengakuan publik. Kemudian semakin bayak lagi oang membaca maka semakin yakin Anda seorang penyair dengan karya yang nyata. Karena itu peran pembaca karya syair yang Anda tulis sangat penting bagi seseorang yang terjun ke dunia kepenyairan. Hal membaca tentu terdapat berbagai tingkatannya hinga membaca apresiatif dengan kemudian si pembaca melakukan aktifitas setelah membaca tulisan tadi. Tulisan Anda kelak setelah dibaca akan memunculkan resensi, kritik, esai, ulasan, tinjauan, atau tulisan itu menjadi rujukan referensi yang mengkokohkan kepenyairan itu. Lambat laun publik akan menilai sebuah karya dan penulisnya apakah layak atau tidak disebut sebuah karya seni dan penulisnya disebut seorang penyair. Oleh karena itu untuk memberikan respon baik bagi pembaca sebaiknya penyair membuat tulisan yang membuat gairah pembaca untuk dibaca. Ini jelas berarti sebuat tulisan harus menarik bagi sasaran (pembaca) yang dikehendakinya.

68.Salimi Ahmad Ramadhan dan Corona

68.Salimi Ahmad

Ramadhan dan Corona

sebelum ini, sudah jarang aku mampir ke rumahmu
di samping suka menggampangkan, tapak kakiku ini
lebih mudah melangkah ke kerumunan orang
mengikuti matahari yang datang, melengkapi
malam yang melenggang sepi

terkadang saja, jika kebetulan lewat, aku mampir,
misalnya sepekan sekali ketika orang-orang
berombongan datang,  meramaikan shaf-shafmu,
menunggu waktu, menjenguk teduhmu di tengah simpuh
di khutbah yang memuji dan mengagungkan namamu



ketika virus corona datang menyebar, mendatangi
ke tiap-tiap orang, memporakporandakan tatanan,
juga negeri ini, kota ini, desa ini, seantero dunia
dilanda kepanikan bertubi-tubi, aku makin tak pasti
menjaga silaturahmi

dunia seperti hendak meredam penyebarannya
mengambil tindakan dan himbauan; jaga jarak
dengan sesama orang, dan hindari kerumunan,
diam di rumah lebih baik untuk mencegah terjadi kontak
; aku semakin merasa menjauhi rumahmu

sungguh semua kerja, aktivitas gerak jadi kian terbatas.
pagi berjemur membuat imun tubuh dengan hangat matahari
makan-minum di ruang ke ruang membikin tambah bosan
kembali dari itu ke itu lagi. seluruh ruang kujelajahi
dengan cara yang sama, dengan pikiran hampir tak berubah



lalu ramadhanmu datang, diri ini kian merasa disiksa ulang
shalat tarawih bersama ditiadakan, riuh kangen suara
anak-anak yang bercanda di belakang, kini tak terdengar
masjid sudah kosong melompong, yang terdengar tinggal azan,
karpet dan sajadah tergulung sudah, tersimpan di sudut menara.

inikah kutukan seperti yang sudah kau firmankan
seperti yang telah diurai dalam sabda rasul akhir jaman,
 “pada suatu hari nanti, masjid-masjid akan dibangun megah
tapi para jamaah meninggalkannya, tiada lagi ada yang ingin
memakmurkannya.”

sungguh takut, akukah orang yang kausebut dalam riwayat itu.
akukah orang yang termasuk telah mendustakan kalimatmu
o, begitu asing diriku. begitu semakin terasingnya aku
duka corona bertambah-tambah mengacaukan diriku.

kuakui, aku telah banyak berbuat dhalim kepada diriku
telah banyak melakukan ingkar kepada pikiranku
ya Allah, ya Rabb, betapa banyak aku diserang keraguan
dari berbagai arah, dari simulasi bencana ini

ampunilah aku atas semua kedhalimanku
ampunilah aku atas banyak perbuatan ingkarku

Jakarta, 22 Mei 2020










Salimi Ahmad
Doa Tutup Ramadhan

1
biarkan nafsu jadi bagian yang membawa langkahmu
seperti laut bagi kapalmu, jalani bentangan luas samudera
berlayar di permukaannya begitu menyenangkan senantiasa

ia boleh berombak, memain-mainkan pesonanya saat melaju
namun jangan biarkan ia masuk mengisi lambung kapalmu
nanti kau tenggelam, dan terkubur hingga ke dasar debur.

2
apa yang telah kau suguhkan pada mereka untuk puasamu
padahal setiap berbuka, kau telah banyak menerima suguhannya?

apa yang telah kau sampaikan pada mereka dengan puasamu
padahal dalam puasamu kau telah banyak menerima pesan-pesannya?

terpujilah rasa lapar dan dahaga
yang bersamanya, kau wangikan bau mulutmu untuk sesama

3
kita hanya tumpukan airmata
yang disimpan awan mengelilingi luasnya angkasa
pada waktunya, kita akan dibuatnya terperangah
ketika ia tumpah, menggenapi tugasnya
menghidupi mereka yang didera kering dan hampa

4
akankah kau biarkan diriku menjadi kota
tempat anak bermain dengan segala gemerlap cahaya
tiada bisakah diriku menjadi padang rumput belantara
tempat berlarian mereka, nikmati basah embun
juga hakekat wewangian daun, saat rebah-lelah mencium

5
beban yang berat, kita pikul untuk diantar ke pemiliknya
sedikit bagian kita terima sebagai upah angkutnya

memahami lahir dan hidup, bukanlah sia-sia
kecuali kita bermain memainkan diri sendiri
dan melupakan lainnya

Jakarta. 27 Juli 2014 – 22 Mei 2020.

Salimi Ahmad, lahir di Jakarta 22 Mei 1956. Buku puisinya ‘Di Antara Kita’ (2009), dan beberapa puisinya tersebar di beberapa antologi puisi lainnya yang terbit sejak tahun 2010 – 2020.



67.Dwi Wahyu Candra Dewi Berbeda

67.Dwi Wahyu Candra Dewi

Berbeda

Suka cita tatkala Ramadan hendak menyapa,
apa daya harapan sirna ketika datang korona.
Seketika dunia menjadi berbeda,
Tak lagi ada jemaah menuju rumah ibadah
Tak lagi ada ‘dok der’ keramaian penggugah semangat sahur
Tak lagi ada tadarus generasi penerus di rumah-Mu.
Kebencian demi kebencian kian marak
Saling salah hingga terisak.
Kami hampir hilang iman
Kami hampir hilang sabar
Kami hampir hilang syukur
Jangan lagi Engkau turunkan ujian tuk menyadarkan
Alhamdulillah
Nama-Mu salalu menggema dalam hati, pikiran, tindakan
Sajadah tetap digelar
Takbir tetap diucapkan
Doa tetap dilangitkan
Dan ayat Qur’an tetap dilafalkan.

Blora, 23 Mei 2020













Dwi Wahyu Candra Dewi

Mengetuk Pintu-Mu

Ya Allah ya Rahman
Ramadan kan berlalu masihkan ada waktu tuk bertemu
Ramadan kan meninggalkan masihkah ada kesempatan.
Kami yang masih kerdil akan iman akankah Kau luluskan
Tak tahu kami akan berkah-Mu
Tak tahu kami akan ujian-Mu
Tak tahu kami karena kami terkadang lalai akan kemudahan
Ya Allah ya Karim
Petunjuk-Mu lah penguat kami
Karunia-Mu lah penenang kami
Berkah-Mu lah harapan kami
Ampunan selalu kami pinta karena dosa tak tahu batasnya.
Di ujung sujudku
Di setiap tengadahku
hanya pada-Mu lah ku bersimpuh.

Blora, 23 Mei 2020


Jumat, 22 Mei 2020

Tinjauan Puisi Rofiah Ross dalam karyanya : Ramadhan di Kampung Kami, Oleh Rg Bagus Warsono

 Puisi yang ditulis Rofiah Ross sungguh indah mengambarkan suasana desa. Pilihan kata yang bagus menyebabkan puisi pendek dalam Tadarus Puisi ini semakin kaya makna.

//Ramadhan di kampung kami
dari tengah malam ke tengah malam... //

 pembukaan yang menarik yang memberikan makna bahwa puisi ini sebulan masanya : Ramadhan.
//.../gema Islami bercampur suasana klasik budaya desa
Malam thadarus mengumandang di corong masjid desa/...// 

Ia hendak menceritakan banyak tetang kampung dalam satu baris. Ribut yang menggembirakan : 
//.../Di dapur tempat masak keluarga, blandongan ala desa
Satu dapur empat keluarga
keluarga kakak beradik
Masak ala desa sambil dan suara ibu-ibu meramu masak
ribut yang menggembirakan
di bawah terang lampu dan nyala api pawon.//

Tampaknya Rofiah Ross berhasil memberi gambaran sangat luas suasana Ramadhan dikampungnya. Bidikan tetang dapur keluarga yang ribut mengembirakan dapat mengundang daya hayal pembaca . Disini rofiah memberi makna kesibukan dan nyala api pawon mereka yang memasak untuk keluarganya. Puisi yang sederhana namun kuat menyimpan makna. Berikut Puisinya :

Ramadhan di kampung kami

dari tengah malam ke tengah malam
gema Islami bercampur suasana klasik budaya desa
Malam thadarus mengumandang di corong masjid desa
dan pemuda membangunkan sahur dengan musik jalanan
sesekali mereka melantunkan tembang khasidah populair
Di dapur tempat masak keluarga, blandongan ala desa
Satu dapur empat keluarga
keluarga kakak beradik
Masak ala desa sambil dan suara ibu-ibu meramu masak
ribut yang menggembirakan
di bawah terang lampu dan nyala api pawon.













Rg Bagus Warsono, Penyair dan Kritikus sastra 

65.SUKMA PUTRA PERMANA PESAN WHATSAPP TERAKHIR KEPADA IBUNDA, DARI SEORANG ANAK SEMATA WAYANG, YANG WAFAT DALAM BERTUGAS DI GARIS TERDEPAN PERANG MELAWAN VIRUS CORONA.

65.SUKMA PUTRA PERMANA

PESAN WHATSAPP TERAKHIR KEPADA IBUNDA, DARI SEORANG ANAK SEMATA WAYANG, YANG WAFAT DALAM BERTUGAS DI GARIS TERDEPAN PERANG MELAWAN VIRUS CORONA.



Ibu, Lebaran tahun ini ananda tidak bisa pulang. Keadaan belum memungkinkan. Di tempatku bertugas masih banyak pasien. Memenuhi ruang-ruang perawatan. Yang positif atau terindikasi terinfeksi virus menakutkan. Dalam keadaan sangat mengkhawatirkan. Bahkan terancam kematian. Karena belum ada obat yang bisa diandalkan. Jumlah dokter dan paramedis yang ada juga sangat terbatas. Jadi, kami harus bekerja keras. Nyaris tanpa jeda untuk lepas menarik napas. Atau sekadar duduk di lantai dan bersandar lemas.

Ibu, doakan ananda agar tetap sehat, kuat, dan sabar menjalani tugas. Karena justru kami petugas kesehatan yang rawan tertular virus. Beberapa teman kami sudah ada yang wafat. Tertular virus ketika merawat pasien dalam keadaan badan yang kurang sehat. Ibu juga selalu ananda doakan agar senantiasa dalam keadaan sehat dan cukup istirahat. Kalau malam, Ibu jangan tidur telat. Agar di penghujung malam masih dapat bangun sholat. Sahur pun jadi tidak terlambat.

Ibu, ananda ingin memeluk Ibu karena rindu sekali. Rindu berbulan puasa bersama lagi. Seperti tahun-tahun lewat yang pernah kita alami. Jauh sebelum datangnya musim pandemi ini. Rindu ingin berjalan perlahan berdampingan. Menuju mushola di depan rumah di seberang jalan. Peninggalan yang tercinta mendiang Ayah. Yang insya Allah menjadi amal jariyah dan penuh barokah. Untuk masa sekarang ibu beribadah di rumah saja, ya. Karena usia Ibu menjadikan antibodi yang sangat lemah. Sehingga sangat rentan tertular jika keluar rumah.

O, iya, untuk barang-barang dan bahan makanan keperluan bulanan. Ananda rutin pesankan secara online. Dan akan diantar sampai di depan teras rumah kita. Jadi, Ibu tidak usah bingung memikirkannya. Ibu dapat menelepon ananda kapan saja. Jika ada kebutuhan mendesak segera. Pulsa dan kuotanya akan selalu ananda isikan. Ibu jangan lupa untuk sering memperhatikan  baterai teleponnya, ya.

Semoga Allah segera menghilangkan wabah ini dari negeri kita ya, Bu. Agar semuanya dapat kembali berjalan normal. Ananda pun dapat cepat pulang untuk segera mendekap Ibu. Dan kita dapat kembali hidup berdua dengan tenang dan damai.

Sembah sujud dan peluk cium rindu dari ananda di tempat tugas.



SUKMA PUTRA PERMANA lahir di Jakarta, 3 Februari 1971. Beberapa antologi puisi terbaru yang memuat karya-karyanya antara lain: Yogya Dalam Nafasku, Klungkung: Tanah Tua Tanah Cinta, Kenangan Semalam di Cianjur, DNP 7: Negeri Awan, DNP 8: Negeri Bahari, DNP 9: Pesisiran, Segara Sakti Rantau Bertuah, Perjalanan Merdeka, Wong Kenthir, dan CORONA. Sedangkan buku puisi tunggalnya adalah: Sebuah Pertanyaan Tentang Jiwa Yang Terluka. Sampai sekarang masih giat berproses kreatif sebagai penyair, penulis, dan editor di Komunitas Belajar Menulis (KBM) Yogyakarta. Alamat: RingRoad Timur Mutihan No.362 RT.05, Wirokerten, Bantul, D.I.Yogyakarta 55194. HP/WA: +6281392018181. E-mail: sukmaputrapermana1@gmail.com

64.Erena Marsiana Pada Sepertiga Malam


64.Erena Marsiana

Pada Sepertiga Malam

Di kesepian malam
Jiwa meronta resah
Termenung kulminasi dosa
Merangkai kembali belenggu lupa,
Walau sebatas bayang kelam
Mengenang pekik perbuatan
Abu-abu, antara dosa dan amal
Lalu segera bangkit dari
lelapnya tidur
Diri masih bertanya
Apa yang sedang terjadi?

Jam dinding berdetak
melampaui tengah malam
Memecah keheningan sukma
Dinding-dinding membeku oleh embun
Di kejauhan hanya terdengar sayup
suara binatang malam
Hingga membuat bulu kuduk berdiri

Tetapi ini dinding hati,
Niat sudah bulat,
Tekad sudah berapi-api
Kalau tidak sekarang, kapan lagi?

Di tengah kebekuan malam
Kaki-kaki melawan kaku
Beranjak mengambil wudhu
Sembari melafazhkan asma-Mu



Raga memberanikan diri
menghadap istana-Mu yang megah
Untuk tunduk sujud dipangkuan-Mu
Hamba yang hina tak berdaya,
Mengharap dosa-dosa berguguran,
Melalui celah do’a-do’a yang dipanjatkan
Do’a Penghujung Ramadhan

Gema takbir memecah angkasa
Pertanda bulan yang suci ini
perlahan meninggalkan diri
Ia ada diantara bulan-bulan
yang penuh dengan harapan
Terasa sangat istimewa,
Karena dinanti-nanti berjuta umat
Bulan seribu bulan
Manusia berlomba menuju fitrah,
Ramadhan nama bulan ini

Kini hanya tersisa kenangan,
ketika amal perbuatan baik diganjar
berlipat-lipat
Berharap umur dipanjangkan
Diberikan nikmat sehat
Seraya memanjatkan do’a
dipertemukan
kembali dengan bulan suci itu
Ramadhan, kami semua merindukanmu



63. BAITI JANNATI Asih Minanti Rahayu

BAITI JANNATI

Asih Minanti Rahayu

Baiti Jannati,
Rumahku surgaku,
Tempat bernaung keluarga,
Anak, ayah dan Ibu,
Tempat bercengkrama di dunia,
Dan pusat-pusat cahaya semesta,

Baiti Jannati,
Hari-hari ini,
Ramai berbondong-bondong,
Orang-orang kembali,
Pada baiti jannati,
Harap-harap surga,
Pada tali kasih keluarga,

Baiti Jannati,
Karena corona virus merajalela,
Kita berdiam di rumah saja,
Kita bak suluk bersama-sama,
Fokus di rumah dan ibadah semata,
Menjauhkan diri dari hiruk pikuk dunia,
Memperbanyak dzikir dan shalawat saja,
Menyambungkan hati pada Yang Kuasa,
Menyambungkan ruhani pada Nabi kita,

Kita berjihad fisabilillah,
Dalam kerangka baiti jannati,
Yang semula Duha di kantor,
hanya dua rakaat,
Di rumah bisa merasakan,
Syahdunya Duha 12 rakaat,

Yang semula shalat di kantor,
tergesa-gesa,
Kita di rumah,
lebih khusuk terasa...

Sedang murid-muridku,
Sedang berjuang dengan sapu,
dengan wajan di dapur,
dengan tanamannya,
dan dengan binatang peliharaannya,
Sesuai perintah Sang Guru,
dan Pendampingan Orang Tua selalu,

Dalam hidup selalu ada ruang,
Dan bumi Allah luas dimana-mana,
Tidak menyempitkan dada,

Oh, baiti jannati,
Suluk bersama-sama,
dengan keluarga dirumah saja,
Makan seadanya,
Menghentikan hura-hura,
Hening Cipta.

Catatan:
Suluk adalah tradisi Islam dalam aliran tarekat, biasanya berdiam di rumah untuk beribadah menjauhkan diri dari dunia.

62. Oka Miharzha.S DIRUMAHKU ADA SENOKTAH SURGA

62. Oka Miharzha.S

DIRUMAHKU ADA SENOKTAH SURGA

Di rumahku ada senoktah surga
di malam paling suci
di penghujung ramadan
peperangan memang belum usai
wahai sahabat
dan senjata-senjata musuh hampir rampung kulucuti
tapi mereka masih ada sembunyi
dalam retakan nafsuku
boleh barangkali aku harus waspada
dengan serangan balik mereka
karena peperangan kali ini
bermantra ganda banyak sekali
sangat mengerikan dan mesiunya
benar-benar mematikan ranting-ranting peradaban
hanya puisi Tuhanlah
yang kuasa menahan dan memusnahkan
lantunkan puisi-puisi suci-Nya sembari berdoa
aku yakin perang pasti berakhir
kemenangan mutlak ada
pada kita sahabat
rumahku
rumahmu sahabat, sungguh sahdu
malam ini
mari sama-sama melewatinya
dengan penuh tawadu
dalam dekapan bingkai suasana sunyi dan diam sendiri
istigfarlah
dan malam ini
kurasakan tebaran senoktah surga
bebar-benar menyinari
Batulicin 29 Ramadan 1441 H
Oka Miharzha.S

MEMBAGI RINDU BERTADARUS DI RUMAH

Membagi rindu
kurasa tak sulit
bertadarus pun bisa khusyuk
ngajinya khatam
terimalah Tuhan demi ramadan
apalah dayaku
aku ingin
rinduku tak sia-sia
benar-benar sampai
hanya itu

Batulicin 22 Mei 2020


















Oka Miharzha S. adalah nama pena dari Abdul Karim ia menulis puisi sejak tahun 1980 berdomisili di Kota Batulicin Kabupaten Tanah Bumbu Kalsel Jl Kupang Rt 07 No 18 Desa Sarigadung Kec Simpang Empat Tanah Bumbu
Penyair ini pernah menerbitkam Antologi puisi pribadinya (Sungai Kenangan Tahun 2010) dan turut serta pada banyak antologi puisi bersama baik Kab Tanah Bumbu, Kalsel dan Nasional serta aktif ikut serta pada beberapa kegiatan Kesastraan lokal/ daerah regional dan nasional kontak Person Hp/ Wa 082255572727 Fb Damang Tanbu email abdulkarim6112@ gmail.com.





61.Siti Khodijah Nasution Menuju Rumahmu

61.Siti Khodijah Nasution
Menuju Rumahmu

Ramadan
kembali segala hati durjana
berpulang segenap jiwa pendosa

Ramadan
meronce zikir
merapal namamu, dekat!
duri menancap, dikurung sekat
aku. Rumahrumah tebarkan kasih
adanya saja!

Ya, habibana
Menuju rumahmu.
dalam diam… memeluk sunya
memanterai jejak
hanya kerundukan. Menggulirlah untai tasbih
Panjatkan selaksa doa akan yang meraja ini!

Kiranya langit mendengar
Menuju rumahmu

Jakarta, Akhir Ramadan
Sujud Pendoa
Oleh: Siti Khodijah Nasution

Bilik-bilik pendoa
Memanjangkan sajadah
Bermunajat
Akan negri



Dari kemungkaran yang melata
Tak terbendung
PadaMu
Kurapalkan doa
Kedamaian
Akan negri

Sajadah perekat sujudku
Luruhkan keampunan
Merekat buhul kasih sayang
Akan negri
Ya, Ilahi

Garam-garam kehidupan ini
Larungkan ruh mata
Sujud sebasah-basahnya
di PintuMu
ramadan bulan ampunan

Jakarta- Dije 22 Mei 2020








60.Riswo Mulyadi BULAN TINGGAL SEPERTIGA

60.Riswo Mulyadi

BULAN TINGGAL SEPERTIGA

ia tetap dalam kesepiannya
hanya hiruk knalpot sepeda motor barisan anak muda tanpa beban
menghentak sunyi

suara-suara sakral menepi ke sudut sunyi
di ruang batin para pemuja
yang tak lagi dibatasi apa-apa
mereka menghuni ruang bulan tanpa tepi

sepertiga bulan,  tetap saja sunyi
dari suara pengeras suar di atas kubah
suara-suara itu berdetak dalam irama nadi para penikmat sunyi
berdenyut di dada tanpa sastra
menelisik diri
di ruang muhasabah cinta
seirama hembus napas
lepas

Gigir Bukit,  14052020











Riswo Mulyadi

KESEPIAN

seorang lelaki yang selalu berdiri paling depan mengurut dada
kelopak matanya berembun saat ia membalikan badan
menatap ruang kosong

ia rindu keramaian
walau ia pun sadar,  keramaian tak menjamin kebersamaan
sunyi pun tak berarti sendiri

ia berusaha tersenyum
ya tersenyum
dengan senyum yang ia sembunyikan di balik masker
senyum yang entah apa maknanya
setidaknya ia masih bisa tersenyum

seorang lelaki tertegun di ambang subuh
menatap bayang sunyi
pada sajadah yang amat lebar

Gigir Bukit Sinawing, Mei 2020


59.Elly Azizah DESAKU


59.Elly Azizah

DESAKU

1/
Tapak ini gemetar
Maju menyambar
Mata nanar terlempar
Asa ini tetap membara
Menyongsong angin kembara

2/
Pantang kata surut
Selagi kapal singgah di dermaga
Selagi janggut masih di dagu
Selagi mentari terbit pagi hari
Asa menyala bagi desaku

3/
Aku hanya punya tongkat
Pemandu jalan pulang
Lalu kabut merona bias
Terperangkap dalam gelas

Ea, 2019










Elly Azizah

RAMADAN SEJUK

Pasa saat sepenggal bulan tabik
Sayup sayu mata pandang menukik
Buluh perindu getar mengusik
Nun Ramadan datang menabik

Dalam kesejukan Ramadan ini
Berkah nafasmu kupeluk dengan damai
Baris ayat-ayat pun kulantun sendu
Dalam lirih senandungku

Bergetar jiwaku
Saat bermunajat dalam sunyi
Bertatapan dengan mu Robbi

Ea, 2020









58. Tabaheriyanto PERIUK

58. Tabaheriyanto

PERIUK

periuk kaya
lama telungkup
mejigkom ganti mengatup

periuk lara
lama telentang
tiada beras menantang

periuk kita
mencari bara
di atas bumi fana

mp, 2020


Tabaheriyanto

PANTAI MALABERO

air laut surut
kapal ikan membuang sauh
air laut pasang
kapal rindu ke laut jauh

mp, 2020






57.Sugeng Joko Utomo LEBARAN DI RANTAU

Sugeng Joko Utomo 

LEBARAN DI RANTAU

Menjelang akhir bulan ramadhan
Mendekati hari lebaran
Sesak dada terhimpit berat beban menekan
Terasa perih di hati tak kuasa menahan

Hasrat kalbu ingin pulang kampung
Tetapi pikiran dirancu bingung
Angan pun tinggi melambung
Jiwa terhuyung tertatih limbung
Mendapati di sani-sini
Pos jaga Covid tegak berdiri
Petugas bekerja tiada henti
Agar pembawa virus terdeteksi

Allahu Akbar Allahu Akbar
Lailaha ilallahu Allahu Akbar
Allahu Akbar walilaailhamdu
Di rumah saja dahulu
Beribadah semakin khusyu'
Sambil meniti rentang waktu
Aral melintang segera hilang berlalu

Biarlah kutahan kerinduan
Pada desa tempat kelahiran
Karena kondisi tak memungkinkan
Untuk bertandang menengok handaitaulan

Barangkali nanti
Setelah aman situasi
Bisa berpuas diri
Meluapkan seronok riang hati
Tasikmalaya, 21 Mei 2020

56.Anisah Effendi DI RUMAH (1)

56.Anisah Effendi

DI RUMAH (1)

Di rumah
Nestapa dan bahagia berpaut dalam hati dalam rasa

Di rumah
Tawa dan tangis tak jarang beriringan datang

Namun di rumah juga harapan dan cita-cita selalu kita kumandangkan
Untuk senantiasa berdendang
Agar tak ada ruang bagi muram durja meraja
Agar hidup tak redup

Di rumah
Kita tetap bisa memandang semesta
Seluas-luasnya
Sepuas-puasnya
Mendengar burung berkicau dan angin berdesir
Tersenyum kepada matahari siang
Menyapa rembulan dan bintang-gemintang di malam hari

Di rumah
Demi keluarga dan umat manusia
Demi kasih sayang dan persaudaraan
Demi peradaban dan kemanusiaan
Jagalah cinta dalam hati
Agar tetap utuh mengada

Danawinangun, 18 Mei 2020



Anisah Effendi

DI RUMAH (2)

Di rumah
Aku menjaga keluargaku
Mereka yang terkasih

Di rumah
Ku sembuhkan lukaku
Ku hapus pedihku
Ku sapu perihku
Dalam peluk kasih keluargaku

Di rumah
Dari jendela kamarku
Aku menatap langit
Ku sambut matahari pagi
Ku sapa dedaunan pohonan
Ku biarkan senja datang menghampiri

Di rumah
Dalam kamarku
Aku tersenyum
Aku tertawa
Aku menangis
Aku melamun
Lalu ku tulis puisi

Danawinangun, 18 Mei 2020




Anisah Effendi, menyukai puisi sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Beberapa kali mengikuti antologi puisi bersama, di antaranya Puisi Menolak Korupsi 5, Antologi Puisi 1000 Guru dan Antologi Corona Mencatat Peristiwa Negeri. Bisa ditemui di alamat: blok Lor, desa Tugu, Sliyeg, Indramayu, atau blok Kajengan, desa Danawinangun, Klangenan, Cirebon.





Kamis, 21 Mei 2020

55.Wadie Maharief , DZIKIR DI PERSIMPANGAN

DZIKIR DI PERSIMPANGAN

adakah engkau berdzikir di setiap persimpangan jalan
ketika lampu lalu lintas menyala merah mengisyaratkan segala bahaya, berhentilah berbuat jahat dan maksiat, kalau tidak segera tobat Allah akan murka dan melaknat

adakah engkau berdzikir di setiap persimpangan jalan
ketika lampu lalu lintas menyala kuning, mengisyaratkan waspadalah segala goda dan rayuan, berjalanlah terus dan lurus, beribadah dengan tulus, Allah akan memberikan barokah dan pahala yang bagus

adakah engkau berdzikir di setiap persimpangan jalan
ketika lampu lalu lintas menyala hijau, mengisyaratkan sabar dan ikhlas, hidupmu akan bahagia, tentram dan sejahtera, Allah menyertai selamanya

dzikir lampu lintas, merah, kuning dan hijau, ingatlah Allah...

--- Yogya 200520