Senin, 13 April 2020

Is Mugiyarti PENSIL

102.Is Mugiyarti

PENSIL
pensil terserut
dipilin-pilin
cemas tergigit
menggelinding di bawah meja

anak itu ...
sang murid
coba mengambil
tangan munggil
gigit jari

SAPU!
pekiknya riang
ditolaknya terlalu kencang
ke bawah sepatu bapaknya
patah jadi dua

ditimangnya
pensil tak bisa diraut
sedang buku-buku
diam masam

pun bapaknya datang
dua pensil disorongkan

pensil terserut
dipilin-pilin
cemas tergigit
dan suatu malam
anak itu
demam terbatuk covid
Sragen, 6 April 2020
       

Andi Jamaluddin, AR. AK. DI TAHAJJUD

100.Andi Jamaluddin, AR. AK.

DI TAHAJJUD

Lewat angin, kukirimkan :
tahajjud. Suara kubelah tipis
jauhkan covid-19
ke tidur pulas. Selamanya

Kuingin berteduh
di pembaringan damai
mendengar lantunan takbir :
ke antero jagat

Rindu hati membara
menyatukan jiwa. Keresahan
simpang siur, dari nyata

//ajarak/11.04.20/02.02/pgt.tanbu//

















MASKER ITU BERLAPIS CINTA

bertebar Covid-19
di semua ruang. Mengintip
Kasat; tak berwajah
lebih dari debu
pelan menyusup

masker kian merindu
tipis, berlapiskan cinta
mengapa galai
mengasah pedang, tebasi diri
mengkarantina bara ambisi
;hanya berjeda. Perangi ego

//ajarak/12.04.20/06.17/pgt.tanbu//







YOE IRAWAN CORONA

 99.YOE IRAWAN

CORONA

Kubaca pandemi
Wuhan yang asing tiba-tiba telah berdiri di samping
Kegaduhan pasarnya serasa di kelokan jalan depan gerbang
Membawa corona sampai tak berjarak. Tak bisa ditolak
Sampai kota demi kota dibuatnya bertumbangan



Ya. Jauh-jauh hari corona sampai di sini
Tetapi kedatangannya telah ditutupi aksi politik
Padahal seluruh kota tengah menggelepar. Satu demi satu terpapar.
Satu demi satu terkapar
Haruskah politik selalu dibuat begitu pelik?



Ayolah, ini tentang nyawa kemanusiaan
Lihatlah para tenaga medis telah berdiri di garis terdepan
berjibaku tanpa pencitraan. Gigih melawan
Demi tubuh yang lain tubuh sendiri jadi taruhan



Kau baca pandemi. Jagalah negeri
Menolaklah untuk kehilangan
Rasa seiring seperjalanan

                             Sukabumi, 11 April 2020


KEPALA TEROMPET CORONA

Membayangkan kepala terompetmu, Corona
Berpuluh-puluh kepala terompet dalam tubuhmu yang tambun
Aku teringat penyedot debu yang kejam

Sepertinya kamu tak punya hati selain kepala terompetmu
Menyedot sel, menguasai udara di dalam paru-paru atau apalah tanpa ampun
Jika satu terlepas maka kepala terompetmu yang lain
Akan menghisap dengan buas. Lusinan kepala terompetmu
Beramai-ramai menghisap kematian tiada terkira

Kamu terlalu tega, Corona
Kota demi kota banjir bandang duka lara

Kepala terompetmu terus merajalela
Merubah tatanan sosial dan sendi-sendi kehidupan
Kamu bolak-balikkan segala yang sudah mapan
Kamu lengkingkan kesenyapan tak bertepian

Kini di balik pintu
Aku hanya bisa mengutukimu
: pulanglah ke haribaan Tuhan!

Sukabumi, 11 April 2020






Yoe Irawan lahir di Kendal, Jawa Tengah, pada 26 Juni. Menetap di Kota Sukabumi, Jawa Barat, Indonesia. Karya cerpen dan puisinya tergabung dalam banyak antologi, di antaranya: Antologi Puisi Indonesia 1997 (Komunitas Sastra Indonesia & Penerbit Angkasa, Bandung, 1997), Jakarta Dalam Puisi Mutakhir (Dinas Kebudayaan Jakarta dan Masyarakat Sastra Jakarta, 2000), 142 Penyair Menuju Bulan (Kelompok Studi Sastra Banjarbaru & Kalalatu Press, Kalimantan Selatan, 2006), Negeri Pesisiran, Dari Negeri Poci 9 (kumpulan puisi, Komunitas Radja Ketjil 2019), When The Days Were Raining (kumpulan puisi, Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival 2019), Perjalanan Merdeka – Independent Journey (Antologi Puisi Internasional Dua Bahasa, Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia, 2020), dan lain-lain. Sedang karya cerpennya termuat dalam majalah Ummi dan Annida, juga dimuat dalam antologi cerpen Anak Mimpi (Kumpulan Cerpen Anak, Fam Publishing, 2015). Pernah memenangi lomba menulis cerita pendek islami LMCPI I UMMI tahun 2000 dengan judul Urip Pergi Lagi, Cerpen Guru Untuk Ra menjadi cerpen terpilih dalam lomba cerpen Kagama Virtual 2  tahun 2017, serta Cerpen Sepotong Sayap Di Bulan Mei menjadi cerpen terbaik dalam Lomba Cerpen yang diadakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta bersama Yayasan Hari Puisi tahun 2019 (Kota Kata Kita, Disparbud DKI dan YHP 2019).


Nok Ir PANDEMI JERI

98.Nok Ir

PANDEMI JERI

/ 1 / Desah Wabah

Hujan sepagi ini mengabarkan duka dunia
Menjarum tajam tajam di berbagai belahan
Merinai kelam lumat rupa alam
Kelabui semburat negeri hingga tak elok lagi

Kataku, keegoisan manusialah yang mengedepan
Menyalak riang di antero bumi 
Mentertawai harmoni alam yang terabai berkepanjangan

Jiwa digdaya menjelma nelangsa

/ 2 / Emak Bapak Bersitatap

       Bahkan, dalam bertinggal diri di kediaman
       Ku mengharuskan lewat paham
       Ku kail berdarah darah pengetahuan 
       Hingga menderaikan cucur jeri ngeri
        Luapkan peluh penat setiap saat
        Hanya untuk sekedar mengerti
        Dengan bekal seberapa untuk anak pinak

        Mengasupi perut, membeli petutup mulut,
        menyedia sabun basuh kalut

        Kemana harus meratap harap, pintu pengail
        rejeki tlah tertutup rapi

        Tinggal sunyi mendera pedih perut perih



/ 3 / Murid Menjerit

Pergantian hari tanpa seri
Tanpa rehat di kantin ataupun senam pagi
Jungkat jungkit menjerit sakit
Tak ada tandangan gelak tawa
Belajar di daring tanpa bel berdering
Tugas saling bergegas haruslah lekas
Tak berdiskusi tak berembug lagi
Pekik mereka : aku rindu guru, walau dengan gerutu



/ 4 / Guru Mengulum Kelu

Bunyi telpon sering berdering
Grup grup riuh meletup-letup
Murid menjerit kebingungan
Kapan sekolah kembali terolah
Orangtua meronta penuh tanya
Tak sanggup mendampingi lebih berperi
Belum lagi pekik dapur minta terus mengepul

/ 5 / Tanah Meratap Lemah

Retak yang lama bergemeretak
Alir nadi di bawahnya tlah lantak
Akar-akar menjelma cengkeram cakar
Matahari kini menjadi nyawa diri
Erupsi gencar di sana sini
Jumawa tetap digadang bangga
Bilakah paham untuk tundukkan badan

Sumenep, 11 April 2020




Nok Ir, lahir di Demak, 28 Januarai. Telah menulis puisi dan cerpen sejak remaja. Karya-karyanya telah terhimpun dalam puluhan antologi puisi bersama kawan penyair di dalam dan luar negeri, diantaranya 1000 Guru Menulis Puisi yang memecahkan rekor MURI sebagai antologi dengan penulis terbanyak, Kitab Pentigraf 2, 3, dan 4, Independence Journey, Berbisik pada Dunia serta yang lainnya.











Diah Natalia C - nomor 19

97.Diah Natalia

C - nomor 19


Satu dasawarsa dimulai pada tahun yang berakhir dengan angka 0
berakhir pada tahun dengan angka akhir 9
C memilih menjadi angka 1
Populer dan diberikan angka 1 untuk akhir-akhir yang dicipta
C nomor 19 memberikan arti kesabaran.

Dia tidak kecil dan bisa dibaca
Jejemari kebaikan dan mulut-mulut yang merapal doa
Langkah-langkah yang tak berhenti hanya pada kebajikan
Merujuk pada penghindaran untuk si Nomor 1 dan 9.

Memperpanjang nafas bumi dari derak-derak kerusakan
Akibat manusia-manusia bodoh, menyalahkan lain manusia
Tak mengerti mana dirinya ataupun alam punya kuasa
Seolah itu tugasnya untuk bertahan hidup.

C bukan nomor 1 - C adalah nomor 19,
Tak secepat gelombang tercepat melaju
Tapi memberikan kejut pada angka pada yang sudah menyerah
Meredam euforia hal yang tidak berguna bagi sesama
Memegas iman-iman yang rapuh.

Hukum C Nomor 19 akan tercatat dengan hati –

Bali, 12.04.20


Corona dan Aku


Namaku Covid diberi nomor 19
Aku kecil tak kasat mata
Aku iri dengan hidup-hidup lain yang lebih sempurna
Bahkan aku tak tahu iriku menjadi dengki.

Aku suka dengan suasanan dingin
Jauh dari bahan-bahan kimia
Aku tak mengenal manusia ataupun hewan.

Aku evolusi dari kakaku SARS-
Dan aku belajar jauh lebih baik darinya
Aku senang mengambil nafas-nafas yang tak terdera
Aku akan menari dan kau merasakan gigilan demam.

Mereka berusaha memusnahkanku dengan apapun
Membuangku dengan batuk dan helaan nafas yang lain
Aku kadang tak paham mengapa mereka menghancurkanku

Aku punya hak hidup yang sama
Aku masih enggan memberikan jawaban atas kemusnahanku
Aku ingin hidup berdampingan

Dan terus mencari cara untuk bertahan.
Sebagai aku – aku tak bersalah
Aku hanya mencari hidupku.

Bali , 12.04.20




Diah Natalia., S.Si., Apt – Lahir di Jakarta 36 tahun yang lalu – Prestasi yang pernah diraih sebanyak 26 macam dimulai tahun 1999 – 2018,
Saya adalah apoteker yang masih berjuang meraih gelar master demi kehidupang yang lebih layak, gemar menulis menjadi pelampiasan segala suasana hati supaya tidak sableng .FB : diahnatalia23@gmail.com – Twitter : @keikokinanti



Sumrohadi CORONA

96. Sumrohadi


CORONA

Dia yang mengendap - endap
Hinggap
Merayap
Menghadirkan pengap
Membunuh dalam senyap
Membuat kita kalap

Dia tak terlihat
Dalam gawat
Memaksa semua manusia berobat
Melalui tobat
Menjauhi maksiat

Mengunci segala laku diri
Membuka hati
Mengetuk nurani
Mengajak berbagi

Dia begitu perkasa
Mengombang ambingkan asa
Hingga tiada tersisa
Kecuali berserah segalanya
Kepada Yang Maha Kuasa

JAKARTA 12042020

Minggu, 12 April 2020

ARSIL ARPIN

           Wedi Langka Padane
Bentuk rupane ora jelas
Geger anjer kabeh menusa
Memuja ning masjid ora bisa
Corona sakti mandraguna

Jaluk tulung kabeh menusa
Maring Gusti sing kuasa
Sesambat ning jero umah
Gage taubat durung terlambat

Corona aja  den wedeni
Hayu pada diadepi
Waspada sesuci den lakoni
Bersih dhohir lan batine
Corona sirna pitulung Gusti
                                          11-03-2020

H.ARSIL ARIPIN

            Kudu nurut ning pitutur
Bokat wis kudune dilala kersane Gusti
Cocoba maring badane
Corona nempel ora pandang bulu
Rakyat,pejabat,pangkat di dekemi
Manggon kang ora dikarepi

Hayu bareng bareng diladeni
Aja metu sing panggonan
Memuji kang ni suci
Dedonga mugiya corona sirna
Nurut manut pitutur wong tua

Corona  luruh batur jalma susah diatur
Aja sombong lan takabur
Dikongkon meneng pada kabur
Pada kumpul kaya jamur
Elinga kita lagi kenang panggebug

                      12 - 02 -2020

[14:30, 4/11/2020] h asril: H.Arsil Aripin


      Kelingan
Bocah cilik wedi ning culik
Wong macule pada mendelik
Majikan sinjange lurik
Manggul ceting,iwake betik

Guru nulis masih ning  blagbag
mangkat  sekolah ceplekan  bae
Blibisa,maca nulis disetraf
Ngadeg ning arep ora iyeg

Pit ontel tunggangane mantri
Wibawah kaya pa mentri
Ora ana wong kang pada wani
Murid nurut  pada ngerteni dawuh

  Desa Duwur 10-03-2020

H.ARSIL ARIPIN lahir di Indramayu 10-02-1963
 Pendidikan :
SDN Diponegoro Pusakaratu Subang 1976'
SMP Yaker Kertasemaya 1980
SPG Gunungjati Cirebon 1984
STAIC Cirebon 2004
Pekerjaan
Guru SD Sukalila I Jatibarang 1986-1992 mutasi Ke SDN Jambe III Larangan jambe Kertasemaya, 1992 -2007 dan  Kepala SDN Jambe I   2007 -2013 dan alih tugas ke Pengawas SD di Kec Sukagumiwang 2013 sampai sekarang
Organisasi semasa di SPG bergabung di Teater NARA Cirebon  asuhan Andrian Harjo



Puisi-puisi : Wyaz Ibn Sinentang DIAM DALAM DIAM

Puisi-puisi : Wyaz Ibn Sinentang



DIAM DALAM DIAM

(ketika Corona  menggucang bumi)



Berseteru dengan ujud tak berbentuk

tinggalkan seribu tanya tak berujung

ujug-ujug panik menyusupi, akal remuk

sepanjang waktu terus menggelembung



Kata-kata bijak pun tak mampu meredam

lantaran ciut dalam ketakutan duniawi

yang hadir saat nurani tenggelam

diam dalam diam pada jiwa sepi



Bumi Ale-Ale, 4 April 2020





























TENTANG KEMATIAN

( catatan harian sang pemungut kata )



KELAKAR duniawi berbisa undang amarah semesta tak pandang bulu

beton kukuh dengan arogansinya lupa akan tangan-tangan yang kelu

irama kehidupan jelata sayup terdengar janji pun tinggal berlalu



Semena-mena ternyata pemantik dari wabah corona kerdilkan hati manusia

yang tak seharusnya disantap malah dijadikan ajang popularitas semata

yang jelas-jelas dilarang akidah terus dilakukan tanpa timbang rasa



Berbagai teori dan spekulasi bermunculan akhirnya semua terbantahkan juga

perlahan dunia digenggamnya, kematian menanti dalam kecemasan tiada rupa

segala penjuru kelimpungan melawan ganas ujud renik yang menggila



Bumi Ale-Ale, 20 Maret 2020



































BIOGRAFI PENULIS



WYAZ (Wahyudi Abdurrahman Zaenal) IBN SINENTANG lahir di kota Pontianak tanggal 24 April 1966. Mulai menulis puisi sejak tahun 1980. Karya-karyanya pernah dimuat di beberapa media lokal, Nasional/luar pulau, Negeri Jiran,  dan online.

Karyanya juga terangkum dalam beberapa kumpulan puisi dan cerpen bersama. Antologi Puisi tunggalnya BERSAMA HUJAN (Kelompok Empat Kreatif, 2011), HIJRAH (Kelopak Poedjangge/SEC, 2012), NYANYIAN LILIN PUTIH (Shell-Jagad Tempurung, 2012), PERJALANAN SAJAK BULAN KOSONG (Kelopak Poedjangge/SEC, 2013), REKAH CAMELIA DI LANGIT DESEMBER (Kelopak Poedjangge/SEC, 2014), TIGA IBU (Guepedia, 2016), Kumpulan Cerpen tunggalnya PUING (Jentera Pustaka, 2014).

        Menetap di kota Ketapang (Kalimantan Barat), Jalan Gatot Subroto Gang Hadi No.A6, Payak Kumang. Email: wahyuaz53@yahoo.com. FB : Wahyu Yudi.





Dian Rusdi DISEMINASI VIRUS

Dian Rusdi

DISEMINASI VIRUS



Tak ada yang bisa ditemukan di Wuhan

Selain sisa kehidupan yang berubah jadi aksara-aksara kematian

Di berita elektronik dan lembaran kertas cetak

Buah bibir di pertengahan musim dingin

Irisan musim paling memilukan



Gedung-gedung kosong jadi pesta debu dan kuman

Rumah-rumah mewah sepi bagai di pekuburan

Pohon dan hewan isyaratkan keras dalam kedukaan

Sepanjang jalan angin berembus terasa begitu sunyi

Memainkan debu dan daun-daun kering

Sejak kehidupan kota ini direnggut virus mematikan



Wanita dan anak-anak pun tak terselamatkan

Burung bangkai mematuk mayat-mayat bergelimpang

Semilir angin menebar virus kematian

Mengirim anyir darah-darah busuk dan segar



Tak ada lagi yang bisa ditemukan di Wuhan

Selain pesta angin dan lalat-lalat yang kelaparan

Dusta mana lagi yang akan kau sembunyikan wahai, Wuhan!

Bandung 2020

SAJAK UNTUK PECUNDANG



Siapakah yang datang mengendap-endap

Lalu diam-diam ia memangsa

Begitu cepat menyerang pernapasan

Mengelabui tanpa berani terlihat

Mungkinkah dia seorang pecundang?



Siapakah yang diam-diam menebar ancam

Kota dan desa kini begitu mencekam

Meneror kami yang tak tahu apa-apa

Kehadirannya isyaratkan semua manusia

Bisakah engkau merevisi takdir Tuhan, wahai Corona



Kau yang datang dengan malu-malu

Sembunyi di balik droplet dan debu

Lalu menyerang tanpa ada perasaan

Satu persatu engkau renggut nyawa manusia

Pecundang! beraninya sembunyi-sembunyi



Kau yang datang tanpa mau permisi

Kenapa tak engkau mangsa saja para koruptor

Para begal sadis dan maling-maling bebal negara

Menari di atas luka rakyat-rakyat kecil

Janganlah menyerang dengan asal



Kepada kau yang selama ini membuat gunjing

Yang memutus keramaian dengan kesepian

Begitu najiskah bekasmu melebihi bangkai binatang

Di sana sini sebagian korban ditolak warga untuk dimakamkan

Pergilah, Corona! jangan pangkas negeri kami yang rentan



Pulang, pulanglah ke tempat asalmu ke alak paul

Ke laut yang dalam atau goa-goa gelap

Ke kerajaan langit atau kastil-kastil sunyi

Neraka mungkin tempat kelahiranmu telah menanti

Ataukah memang benar engkau seekor pecundang



Bandung 2020























Biodata singkat:

Dian Rusdi : lelaki kelahiran Cianjur yang kini tinggal di Bandung. Hobby menulis dan melukis serta traveling. Puisi dan karyanya pernah dimuat di beberapa media cetak dan online serta pernah tergabung dalam beberapa buku antologi puisi bersama bersama kawan penulis lainnya. Saat ini Dian Rusdi aktif dalam sebuah wadah sastra Yayasan Dapur Sastra Jakarta asuhan Bung Remmy Novaris DM dkk

Naning Scheid > KONTEMPLASI PENGASINGAN

KONTEMPLASI PENGASINGAN

: Naning Scheid



Sepi. Hampa. Menunggu

Kecemasan kutidurkan dengan susah payah

Hari-hari panjang berayun-ayun

Ketidakpastian beraroma getah



Berkelana aku dari satu mimpi ke mimpi

Galau. Galau. Galau



Sampai kapan tubuhku terbekap

di antara udara pengap

di bawah langit-langit atap?



Gusar menjadi liar. Nanar

Kenapa aku menjadi tahanan rumah

tanpa data kriminal?



Tak satu suara menjawab

Ketika gema manusia bertanya

pertanyaan yang sama



Tapi, oh, kubaca kabar

Para pahlawan terkapar

Meregang nyawa. Berjuang tanpa senjata

Melawan tanpa senapan demi kemanusiaan



Lalu, kulihat dari balik jendela

Musang-musang melenggang di jalanan

Burung murai bersenandung kebebasan

Udara bersih menciumi leher jenjang pepohonan



Duhai, pengasingan

Nikmat kerinduan akan perjumpaan

Perenungan diri menuju kedalaman

: Tuhan sedang menyampaikan pesan!



Brussel, April 2020
Naning Scheid, lahir di Semarang, 5 Juni 1980. Penulis dan Pemain Teater. Pengajar di Fakultas Bahasa Inggris UPGRIS sebelum meninggalkan Indonesia. Aktif dalam kegiatan sosial kemanusiaan di Belgia. Sarjana Pendidikan Universitas PGRI Semarang dan Sarjana Manajemen Sumber Daya Manusia CEFORA Belgia. Berkebangsaan Indonesia. Tinggal di Brussel sejak 2006.



Menulis opini, puisi, dan cerpen di Scheid.be, Medium.com, Kliksolo.com, Basabasi.co, Pos Bali, Ideide.id, Wattpad.com, Buletin Pusat Kependudukan Perempuan dan Perlindungan Anak – Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas PGRI Semarang.

Eksan Su SAMA


Eksan Su

SAMA


Kalau engkau merasa terpenjara

Itu adalah India dan Rohingya

Yang hidup bergelimang derita

Kalau engkau sulit pergi ke masjid

Itu saudara kita di Uyghur

Yang hak-haknya terhimpit

Kalau engkau merasa di ujung kematian

Itu adalah Afghanistan dan Yaman

Yang selalu bermandikan tangisan

Kalau engkau sulit mendapatkan makanan

Itu sama dengan Afrika

Yang selalu dilanda kelaparan

Kalau orang yang kaucintai telah tiada

Itu nasib saudara kita di Suriah

Yang berusaha berlapang dada

Kalau engkau terisolasi

Itu adalah Palestina

Yang terpenjara di negerinya sendiri

Sekarang

Nasibmu sama saja bukan?







Malang, 05 April 2020









































Engkau Benar

(Karya: Eksan Su)



Engkau sungguh benar

Corona itu tentara Tuhan

Untuk menghukum kezaliman

Termasuk dirimu sendiri

Yang pandai berkutbah

Di mimbar-mimbar megah

Demi selembar rupiah

Sedangkan di sana

Saudaramu menderita

Tanpa pernah kauhiraukan

Kini

Bersiap-siap saja

Tentara-tentara Tuhan itu

Merajammu



Malang, 07 April 2020











































Salimi Ahmad PANDEMI COVID 19

Salimi Ahmad





PANDEMI COVID 19



otakku ini sepertinya harus dicuci

bukan dengan rinso atau bayclean

yang konon terbukti ampuh

membersihkan kotoran,

menghilangkan noda dan bercak

yang melekat



aku harus mencuci otakku, kukira

dari wabah virus corona ini

yang sedang gencar-gencarnya

memporanporandakan dunia

dunia nyata maupun dunia imajinasi

dari penduduknya yang gelisah



aku harus mencuci otakku, kukira

dari segenap kesalahan yang mungkin saja

telah diperbuatnya

dari penderitaan masyarakat bawah

yang terpangkas rejekinya akibat social distancing

dari kepanikan masyarakat menengah - atas

membayangkan akan kelaparannya

yang bakal membuat hidup kian susah lagi merana

dari pikiran membebaskan 30.000 napi kriminal

di penjara-penjara, hanya untuk maksud

yang sangat mudah dibaca: ketakutan para koruptor

mati terasing di kandang mewahnya - jeruji

yang tak bakal membawa kehormatan dirinya.



aku harus mencuci otakku, kukira

untuk tegar membelah semangat

para pejuang yang menjaga nyawa banyak orang

dan menebar kebangggaan

di tengah peralatan serba kekurangan

dokter, perawat, para relawan medika,

orang-orang yang mengasihi dan

berjuang menjaga hidup kemanusiaan



aku harus mencuci otakku, kukira

menjaga semangat dan bersemangat berjaga

jarak yang tak menimbulkan fitnah yang telah begitu

gencar mengisi banyak informasi, bertebaran,

kalap memahami “makna” wabah



aku harus mencuci otakku, kukira

bukan dengan segala benda-benda itu, bukan

sebagai pengetahuan, perselisihan, perdebatan

yang mengandung pembenaran takliq,

pengutipan doktrin manusia



aku akan bergembira mencuci otakku

bukankah shalat dan cinta, takkan terterima

ketika suci jadi permainan mata.





Jakarta, 8 April 2020










Biodata:

Salimi Ahmad, lahir di Jakarta 22 Mei 1956. Buku puisinya ‘Di Antara Kita’ (2009), dan beberapa puisinya tersebar di beberapa antologi puisi lainnya yang terbit sejak tahun 2010 – 2020.





Wadie Maharief > Virus Corona

Virus Corona

begitu mencekam
begitu mencemaskan
begitu khawatir
takut, panik
kau sebut virus corona
serupa teror kematian
bahkan mengerikan
semua mengurung diri bingung
dunia pun menjadi kecil dan senyap
semua lunglai tak berdaya
sementara Tuhan pun dijauhi
lalu siapa pelindungmu dari teror kematian ini?

oh corona
virus kecil yang perkasa
kau buat dunia porak poranda
antar saudara tak bisa saling sapa
oh corona celaka
pergilah ke musim panas yang bara
musnahkanlah penyakitmu perusak raga
kami bisa mati kapan saja
atas kehendakNya
bukan atas kehendakmu makhluk pembawa wabah...

- Yogya 12 April 2020
Nanang R Supriyatin

SEMBAKO

Ribuan sembako menggantung di udara
Jutaan orang tengadah ke langit

Ribuan orang ikhlas memberi
Jutaan orang siap menerima

Ada anak berteriak lapar
Ada ibu berkata sabar

Ada ibu bertanya pada bapak:
"Kapan kita terima sembako?"
Ada bapak menjawab
"Sabar, semua sedang diatur."

"Kita di rumah saja," ucapnya
Berharap ada kiriman sembako
Sabar, sabar...
"Masih ada Ojol lain yang lewat."

Ribuan sembako menggantung di udara
Jutaan orang tengadah ke langit

"Kapan sembako sampai ke rumah kita, Ayah?"
"Sebentar lagi, Nak, sebentar lagi. Sudah ada sinyal itu... Kita tak akan lapar."

Jutaan orang tengadah ke langit
Ribuan sembako menggantung di udara

11/04/2020


TERKARANTINA

Tuhan,
Saat ini aku terkarantina
Aku tak sakit
Aku percaya pada pemerintah
Dan barangkali ini tujuanMu juga
Agar aku lebih khusyuk
Menjaga diriku dari ancaman-ancaman
Menjaga anak-anakku dari pergaulan
Menjaga orang lain dari virus-virus mematikan

Lebih enak begini, Tuhan
Karantina mandiri
Dari pada masuk penjara
Dalam ruang yang sempit dan mungkin padat
Sementara di rumah aku bebas memilih duniaku
Belajar sejarah dari buku-buku
Belajar dan mengajari anak-anak tentang
Bagaimana beretika dan bercengkerama
Dengan televisi, gadget bahkan laptop

Dalam rumahku sudah Kau sediakan
Masker, sarung tangan dan hand sanitizer
Sudah tersedia juga makanan siap saji
Beras, telor, roti, minyak goreng serta bumbu-bumbu dapur
Menurutku, rumahku sudah bersih
Steril dari virus-virus
Karena aku rutin membersihkan pintu, jendela, lantai dan barang pecah belah

Mungkin ini sudah jalanmu, Tuhan
Agar aku betah di rumah
Menjaga tubuhku dari serangan-serangan
Mungkin ini sudah kehendakmu, Tuhan
Mengajari anak-anakku tentang tata tertib
Mengolah hidup dan kehidupan
Mungkin ini maumu, Tuhan
Menghindar aku dari dunia yang gaduh

Tuhan,
Saat ini aku terkarantina
Tapi aku dapat menari dan menyanyi
Menari tarianMu
Menyanyi nyanyianMu
Jika Kau pinta aku mati
Matilah aku dalam pangkuanMu

06/04/2020


CORONA

Corona, Corona
Kau datang tanpa di undang
Memeluk tubuh musim
Hingga dunia meradang
Menangisi garangmu

Corona, Corona
Virus dalam tubuhmu telah memecah
Bersama angin dan gerak batin
Hidungku mampat
Mulutku merapat
Telapak tanganku kejang
Katakan Corona apa maumu

Corona, Corona
Setiap saat kematian datang
Orang-orang panik
Negara gelisah
Para medis bekerja
Ulama dan pendeta terus berdoa
Tempat ibadah ditutup
Kantor-kantor diliburkan
Oleh karena virusmu, Corona
Kami selalu jaga jarak

Corona, Corona
Telah kami manfaatkan masker
Penutup wajah
Telah kami manfaatkan sarung tangan
Penutup tangan
Disinfektan telah kami buat dan semprotkan
Kami saling menjaga
Buat keamanan kami

Tuhan sudah menegur kita
Dengan cara yang tak biasa
Kumpul dengan keluarga
Bekerja di rumah
Beribadah bersama
Meskipun berjarak
Tapi kami khusyuk

Corona, Corona
Kota kami kini bersih
Gunung dan bukit kian tampak
Tak ada polusi
Tak ada bising mesin
Tak ada hiruk pikuk manusia

Corona, Corona
Sudahlah kita akhiri saja rindu ini
Sebentar lagi datang Ramadan
Pergi kau, Corona
Ini bukan rumahmu
Rumahmu bukan di sini
Pergi jauh Corona
Ke dunia yang tak kusinggahi

11/04/2020
Nanang R. Supriyatin kelahiran Jakarta, 6 Agustus. Menulis puisi, cerita pendek dan esai sastra sejak tahun 1980-an dan dimuat lebih dari 50 media massa. Sudah memiliki buku 7 Antologi Puisi tunggal. Saat ini dipercaya menjadi Dewan Redaksi Tabloid Alinea Baru, di samping itu masih aktif sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).***

Rayako Dekar King, SY Kopi Corona

Rayako Dekar King, SY

Kopi Corona

Baris berbaris seperti polisi
Bercabang dan beranting
Buah-buah merah bergantungan
Di kebun kopi
Kami nikmati malam dengan bulan
Mencintai kebun kopi
Menjauhi virus korona

Vilar Wih Ilang, April 2020


Rayako Dekar King, SY adalah putra Gayo kelahiran tahun 2010. Masih tercatat sebagai siswa di MIN No. 2 Kota Takengon – Aceh Tengah. Mempunyai hobi sebagai fotografer, menulis dan membaca puisi.

Jumat, 10 April 2020

Rosmita PEMBUNUH BERDARAH DINGIN

Rosmita

PEMBUNUH BERDARAH DINGIN

Si kecil viral ,tak kasat mata
Manusia di dunia ini engkau sambangi satu persatu
Gugur seketika ,akibat ulahmu
begitu kejam
Hingga semua lumpuh tanpa ampun
belum puaskah ?

Atau kau ingin ambil semua napas
yang hanya tinggal satu satu ini ?
Lihatlah sayang !
Dunia ini sudah begitu mencekam Tak tahu lagi akan sanak saudara
Mereka semua berlari sembunyikan diri menghindari sapamu

Lihat di sana-sini
Anak-anak kami menangis menahan rasa paling tersiksa dalam kerinduan
Paling dalam,kami ingin bahagia seperti dulu saat engkau tertidur tidakkah engkau merindukan tempat asalmu ?

Pulanglah !
Kasihanlah,jangan menambah beban lagi ,pundak ini sudah begitu penat memanggulnya
Pulanglah ,wahai si kecil pembunuh berdarah dingin

Wahai Rabku jangan biarkan dia menjadi sang pengusa ,membuat kami tak mampu bertahan hingga beribadah di rumah-Mu semua
di larang .
Rabb mohon bebaskan umatmu yang telah lemah untuk bertahan

Jambi 2020

Rosmita, Lahir di Provinsi Nangroe Aceh 20 April menetap di Jambi
Pernah kuliah di UNJA dan UT Jambi selesai 2010
Bekerja sebagai Kepala Sekolah
di salah satu sekolah yang berada
di lingkungan
Kabupaten Muaro Jambi
Provinsi Jambi
Anggota ASPI 2017
Pembaca dan penulis Puisi.
Penggagas Antologi
Admin bengkel puisi perruas Asnur
Anggota grup pantun Perruas Asnur
Penulis 5 judul Antologi dan
40 judul antologi bersama

Kamis, 09 April 2020

Syahriannur Khaidir Corona atau Coro-Nya


85.Syahriannur Khaidir


Corona atau Coro-Nya

Gelap dalam sedikit bintang di langit
Dia menyapa sunyiku termenung
Lidah Wuhan memanjangkan kabar duka
Menerobos rontok tembok Cina
Berlayar hingga menyusupi Nusantara

Di televisi para praktisi berkomentar seperti ayam aduan
Mungkin Corona
Mungkin coro-Nya
Mereka berargumen asik menggelitik
Sambil meraba-raba menduga-duga
Teori wacana suka-suka
Obat atau tobat
Ciat atau sekarat
Meluluhkan batu hati
Menggetarkan congkak penguasa
Memutar otak piawai para penyambung nyawa
Membuka sipit mata dunia
Centang gentayang Covid-19
Di langit-langit waktu
Di awang-awang kegelisahan
Di ruang-ruang perenungan
Diguman gamang ketakberdayaan

Luka pun mencekik tenggorokan
Nafas pun tersengal-sengal
Curiga pun semakin meninggikan wabah
Mereka tutup hidung kemana-mana
Dalam masker ketakutan
wahing dan batuk dijadikan simbol kutukan
Atas dasar ini itu anu yang tercerai-berai
Menunggu genting jawaban demi jawaban
Kapan Corona
Kapan coro-Nya
Bergulir mengukir jalan akhir

Kini
Aku yang tersudut di pojok-pojok harapan
Sambil mencuci tangan dengan air mata
Sudahi bala ini pintaku menengadah ke langit
Saat gerimis menutup tirai senja

Sampang,  Maret 2020


Giyanto Subagio (Jakarta). Virus Corona Realitas 2020

81.Giyanto Subagio (Jakarta).


Virus Corona Realitas 2020

Copid 19 mengetuk pintu rumahmu bagai hantu kelam yang begitu menakutkan.


Di ujung gang tak ada tanda
 kabung, kecuali jalan setapak yang sunyi dan mencekam.

Malam bulan kehilangan cahaya kehidupan. Sebab, lampu-lampu kota pucat pasi serupa tarian mayat-mayat.

Sirine ambulance meraung-raung membelah kota Jakarta yang sepi bak kota mati.


Indri Yuswandari SIAPA BISA MENERKA

82.Indri Yuswandari


SIAPA BISA MENERKA

Siapa bisa menerka
Kejadian yang akan datang
Langit sejuta misteri
Jawaban takbisa sekedar cari
Arak-arakan angin menyebar virus
Corona! Jangan mendekat!

Sang penjaga masih bertapa
Jurubicaranya belum bersuara
Mungkin sedang menunggu isyarat
Kursi-kursi telanjur dilempar
Wajah-wajahnya mencipta perang
Sewarna bendera berebut stempel

Menyepi di kamarnya yang sepi
Penyair tua menatap cakrawala
Senyumnya getir memilin bibir
Memanggil rindunya yang tawar
Kepada binarmata serupa mawar
Ilham puisi menggigil mimpi

11.02.2020

SILIVESTER KIIK CORONA DAN SEBUAH RITUAL DI PERKAMPUNGAN PARA LELUHUR

83.SILIVESTER KIIK

CORONA DAN SEBUAH RITUAL DI PERKAMPUNGAN PARA LELUHUR

Dari sudut perkampungan para leluhur

Sebuah ritual bermantra doa kepada Sang Pencipta

Melalui tetesan darah ayam merah

Tembok penahan membentang dari pantai ke gunung

Dari lembah-lembah yang menganga

Dan dari tanah ke cakrawala saling menatap

Melenyapkan penderitaan (Corona) di tempat kehidupan ini

Naiklah nakhodamu untuk pulang pada ketiadaan

Sebab kami tak lagi sanggup menatap kehadiranmu

Jangan lingkar persahabatan ini menjadi renggang

Dan jangan merampas hak Tuhan untuk mencabut nyawa kami

Sebab tiada pengampunan bagimu di kerajaanNya

Apa kesalahan dunia ini hingga kau begitu egois?

Membuat semuanya harus berdiam diri

Tanpa genggaman tangan

Dan kami bagai anak yatim piatu yang berdiam diri dalam kesedihan

Lepaskan kami untuk terus bernapas

Biarkan anak-anak kami kembali menatap jejak perjalanannya

Biarkan pergumulan kami di tempat-tempat ibadah terjadi lagi

Sebab kami telah berseru dengan damai

Untukmu pulanglah

Atambua, 07 April 2020







MENGENANG TUHAN DALAM TANGAN CORONA

Tuhan, pada keagunganMu

Lilin-lilin kecil ini tetap bernyala dalam kamar

Untuk mengenangMu dalam sebait doa yang sederhana dan tetesan air mata

Aku berseru padaMu: berilah kekuatan kepada hamba-hambaMu

Untuk selamat dari ancaman Corona ini

Sebab aku tidak paham maksudnya

Dan hanya padaMu aku berharap

Tuhan, ribuan nyawa telah tiada

Apa salah dan dosa mereka?

Sebab aku tidak mampu menjelaskannya padaMu

Bagaimana dengan jiwa mereka?

Semoga ada kediaman yang tenang dalam kerajaanMu

Tuhan, Engkau sendiri yang mengetahuinya

Ke dalam tanganMu yang mulia aku serahkan peristiwa yang sedang terjadi ini

Atambua, 07 April 2020

TANGISAN IBU PERTIWI

Ibu pertiwi dalam pangkuan pilu

Menatap ruang-ruang yang kini menjadi hampa

Di isi oleh penderitaan

Air mata

Kelaparan

Dan masih banyak lagi yang mengantri

Wajahmu kini mengerut oleh amarah-amarah duniawi

Atap rumahmu diganti dengan berbagai dosa

Bahkan yang lainnya sedang sibuk menenun ketidakpedulian padamu

Jika peristiwa-peristiwa yang terjadi saat ini adalah teguranmu

Beri kami waktu untuk membenah diri

Sebab air matamu adalah sebuah anugerah terindah

Atambua, 07 April 2020


Silivester Kiik, lahir di sebuah Desa terpencil yang jauh dari pusat hiruk-pikuk suara keramain yakni Bani-Bani (Tunmat) Kecamatan Io Kufeu Kabupaten Malaka pada tanggal 14 September 1987. Saat ini tinggal di Kota Perbatasan RI-RDTL (Atambua-Belu-NTT). Beberapa buku antologi yang telah hadir di tangan para pembaca yakni: Antologi Puisi: “Sepotong Hati yang Terluka, Tetes Embun Masa Lalu, Seutas Memori dalam Aksara, Warna-Warni Aksara (Jilid II), Laki-Laki Perkasa yang Tak Pernah Menangis, Diam yang Bersuara, Prelude, Romantisme Perahu Kertas, Montase Kenangan, Berapi, Pucuk-Pucuk Harapan, Bercengkerama di Musim Rindu, Topeng Jiwa, Sepasang Tangan yang Terpasung, Sajak-Sajak Penaku dan yang Bersemayam dalam Diri, Segelintir Kesucian, Selamat Datang Mas Nadiem: Gagasan Literasi Maju untuk Menteri Baru), dan Amor”. Karya-karya lain juga hadir melalui media cetak maupun online. Selain itu, penulis bersama teman-teman penggiat Relawan Literasi Belu mendirikan sebuah komunitas yang dinamakan dengan “Komunitas Pensil”. Komunitas ini terbentuk dengan tujuan memberikan nuansa baru dalam menumbuh dan mengembangkan kreativitas dan minat baca anak-anak di wilayah perbatasan Kabupaten Belu-NTT dengan menyediakan bahan-bahan bacaan. Penulis dapat dihubungi melalui via Email: kiiksilivester@gmail.com; Instagram: @silivester_kiik; Facebook: @Silivester Kiik, @Pecinta Sastra dan Budaya Lokal; Twitter: @kiik_silivester; dan Handphone/WA: +6285239940460.