Senin, 30 April 2018

Iskandar Zulkarnain dalam Negeri Tua



Iskandar Zulkarnain

Negeri Tua
Negeriku sudah tua
Penyair disangka pesulap oleh pemerintah
Sebagai terdakwah penggelapan negro
Mahasiswa berdemo tadi pagi sebelum pak tinggi datang
Polisi main petak umpet di balik layar
Tentara nembak layar

Negeriku kian matang usianya
Hingga kerutan dahinya berwarna pelangi
Merah kuning hijau kombinasi yang sempurna
Pak tinggi mulai mengaduk warna itu
Hingga belepotan pada mata dan sebagian masuk kedalam jidat
Otak merah
Mata biru
Campuran dari pelangi itu ada pada mulut
Merah kuning hijau di mulut yang baru
Janji bau pesing
sebabkan wanita bunting.
Annuqayah 2018

Iskandar Zulkarnain,  kelahiran Sumenep, merupakan pembaca dan penulis yang aktif di LPM Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) dan anak asuh Sanggar Basmalah. Sekarang sedang menetap di Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa Selatan Blok B /08. Sebagian karyanya sudah banyak yang dimuat di media, utamanya koran lokal.



Ancis Mura dalam Bersetubuh

Ancis Mura
Bersetubuh
(Ranjang Demokrasi yang Acak-acakan)

Sajakku bergerilya
Menjelajahi lekuk lekuk tubuhmu
Dan aromamu tak perna menyudahi
Birahi yang membuncah
Meletup letup
Ingin
Inginku taklukan sendi-sendimu, dengan tombaku
yang selalu kau anggap tumpul tuk lubangi
nikmatmu
kau tak jua ambruk.

Berbagai gaya dan posisi telah ku coba
Tetapi kau terlalu kokoh tuk ku taklukan
Birahimu meletup lagi
tiada henti
hingga tiang listrikpun kau gagahi
kali ini ku yakin kau tersengat racun
yang ku oles di ujung tombakku
kau mengerang
merintih sakit di pojok ranjang yang acak acakan
aku tersenyum puas
melihat kedua bola matamu nyaris terbalik
akhhhh...
kita sama sama mengerang
kau kesakitan
aku kenikmatan

di pojok ranjang yang acak acakan
melihatmu meratapi diri yang tidak suci lagi
seperti belia lepas perawan
kau menangis
Meski ku tahu
Air matamu lebih didominasi
Air mata buaya
( Maumere , November 2017)

Ancis Mura, merupakan nama pena dari Fransiskus Mura. Lahir di Diawatu, Nagekeo-Flores 13 April 1993.Menulis puisi di beberapa media lokal yakni Harian Pagi Pos Kupang dan beberapa media online seperti Floressastra.com, Vox NTT, Flores Post dan lain-lain. Saat ini berstatus sebagai Mahasiswa aktif di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik – Ledalero- Flores, NTT. Berdiam di Maumere-Flores-NTT.

M. Rofiqi Fahmi HR dalam Sebatas Mimpi

M. Rofiqi Fahmi HR

Sebatas Mimpi

Bangsaku sungguh indah nan elok
Yang telah diciptakan oleh-Nya
Tapi membuatku tertawa
Dengan bangsaku

Lenyaplah
Seperti daun malam
Belum terhembus angin suci
Yang menyeruap pada samudra
Untuk mngelurkan amarahnya

Mabuklah
Seperti capung malam
Yang belum terampung hidupnya
Susah dipandang
Tapi rindu di pandang

Tehembuslah oleh waktu
Terlelaplah oleh jiwa

Bangsaku hanya dijadikan guyonan bersama
Yang tak menghasilkan apa-apa

Mari kita penerus bangsa
Tanamkan keadilan dulu
Sehingga kita dapat menemukan mutiara kehidupan
Sumenep, 0-04-2018

M. Rofiqi Fahmi HR-Penulis kelahiran Lombang Gili Genting Sumenep. Ia  pembaca dan penulis yang masih menginjak bangku siswa kelas akhir MA 1 Annuqayah dan merupakan anak asuh Sanggar Basmalah.

Rahmat Akbar dalam Di Negeri Seribu Wajah


Rahmat Akbar

Di Negeri Seribu Wajah
Bila kau ingin melihat Negeri seribu wajah
Tidak perlu harus jalan-jalan ke luar Negeri
Sebab kau tidak akan melihat tikus dan kadal pemuas diri
Di Negeri seribu wajah orangnya lucu berpakaian rapi
Mereka duduk di kursi dan malam-malamnya terus mencuri

Bila kau ingin berjalan di Negeri seribu wajah
Maka kau akan melihat tikus dan kadal ramai di televisi
Mulutnya manis tapi berbau terasi
Mereka umbar senyum-senyum penuh pasti
Padahal, sebenarnya itu hanya sebuah amunisi

Di Negeri seribu wajah
Manusia bermata merah bersuka ria
Demokrasi memang benar terjadi
Tapi mereka tidak pernah perduli
Sebab di Negeri seribu wajah tikus dan kadal hanya mementingkan diri sendiri

Di Negeri seribu wajah derai air mata berpesta pora
Di kolong jembatan
Di emperan toko
Di diskotik
Di jalan-jalan kota sampai pelosok desa
Lalu ada seorang yang tertawa ria: yaitu’
Tikus dan kadal yang menggambil hak saudaranya sendiri

Di Negeri seribu wajah
Istana bertrali besi bagai rumah sendiri
Bebas keluar ke sana ke mari
Bahkan ada yang bisa jalan-jalan ke Bali
Makanya tikus dan kadal hanya senyum
Sebab hukum hanya dijadikan sebuah ilustrasi
Di Negeri seribu wajah ada anak-anak Negeri
yang masih setia berorasi
Berdoa agar tikus dan kadal yang berpakaian rapi
Menggingat tentang amanah yang suci
Kotabaru, Maret 2018

Rahmat Akbar,lahir di Kotabaru 04 Juli 1993 tepatnya di Kalimantan Selatan. Puisinya, pernah menggisi media Tribun Bali, Media Kalimantan, puisinya “Hitammu Di Tanahku” antologi puisi ASKS Ke 13 KALSEL 2016, puisinya di antologi “ Gemuruh1001 Kuda Padang Sabana, antologi puisi “ Empat Ekor Belatung Bersarang di Ubun-Ubunku, antologi puisi “Tadarus Puisi Kalsel 2017”, antologi puisi ASKS ke 14 KALSEL 2017, antologi puisi “Puputan Melawan Korupsi” Bali.
Penyair ini kesehariannya adalah guru Bahasa Indonesia di SMA Garuda Kotabaru dan aktiv tergabung di komunitas Taman Sastra SMA Garuda Kotabaru.


Rahel Tambun dalam “Kerinduan akan Pembebasan”

Rahel Tambun
“Kerinduan akan Pembebasan”

Kita adalah anak-anak bangsa yang ditirikan,
Pembangunan di Negeri ini tidak tumbuh untuk anak-anak tiri Negeri
Tapi berdiri atas industri pengusaha asing yang berinvestasi untuk meraup kekayaan alam ibu pertiwi

Kitalah bangsa yang ditendang menjadi gelandangan
Kita bersama telah menjadi pengungsi di tanah leluhur sendiri

Orang-orang tiri di desa
Berhamburan mengejar mimpi-mimpi di kota
Menjadi tenaga pekerja oleh orang asing yang semena-mena hanya untuk meraup kekayaan di Negeri sendiri

Sampai kapan..
Aku, kamu dan kita
Bisa merasakan kedamaian, kenyamanan dan tidak adanya lagi kesenjangan sosial dalam Negeri kita ini

Siapa yang kita salahkan?
Siapa yang kita tuntut?
Siapa yang akan bertanggungjawab?

Kawan..
Kita siap tergilas jika kita terpaku dengan kondisi.

Bogor, 21 April 2018

Rahel Tambun S.Pd, lahir di Silombu Bagasan, 27 Agustus 1995, menamatkan sekolah dasar di SD Negeri 173660, SMP Negeri 2 Lumban Julu,  SMA Negeri 1 Pardinggaran dan melanjutkan pendidikan Ke perguruan Tinggi Negeri Medan (UNiMED) dan menamatkan kuliahnya pada tahun 2017.

Yemi alfiani dalam Negeri Para Pendongeng


Yemi alfiani

Negeri Para Pendongeng

Telah dikisahkan dahulu
Kala aku masih dalam buaian ibu
Tentang saktinya negeri pertiwi
Menjadi buah bibir banyak orang

Apabila ditancapkan kayu di tanah
Maka akan tumbuh
Apabila dibasahi rintik-rintik hujan
Akan subur tanaman
Tatkala terik mentari menyerang
Tetap ditemukan rasa nyaman bersandar di bawah pohon menjulang

Kini, negeriku terlelap pulas
Telah terlena dengan dongeng-dongeng
Dalam buaian
Mimpi-mimpi hanya omongan
Jagad pertiwi terasa hanya persinggahan

Tidak ada lagi damai
Tanah sudah berlumpur api
Rintik hujan bisa menjadi bencana
Terik mentari terasa membakar
Seiring waktu saktinya pun memudar

Seiring waktu tanah surga yang dulu dipuja, lambat laun menjelma neraka.
KRC, April 2018


Yemi Alfiani

Syurga yang Membuat Sengsara
Konon, segumpal tanah dari syurga
Telah dicampak ke bumi
Segumpal itu menjadi negeri
Negeri yang asri
Sejuk dan menghijau alamnya
Teramat indah pantainya
Menjulang kokoh gunung-gunungnya
Membuat mata memandang tanpa henti bersyukur
Keindahannya pula
Menjadi awal sengsara
Berdatanganlah penghuni asing
Untuk melihat indahnya negeri lintasan khatulistiwa
Lama waktu berlalu

Kini.
Aku lapar, aku tidak bisa makan nasi ataupun ubi
Aku haus, aku tidak bisa minum air bersih
Aku ingin melihat langit yang membiru
Aku ingin berlari di bibir pantai
Tapi aku tidak bisa
Gunung-gunung sampah telah menjamur
Air bersih sangat langka
Ketika mengadah menggumpal awan hitam
Limbah pabrik ikut serta memberi warna
Yang katanya tanah syurga telah tiada
Telah lenyap bersama guliran waktu
KRC, April  2018
Yemi Alfiani , lahir di Koto Rendah, 15 Juni 1993. Kerinci Profinsi Jambi. Tinggal di Kab. Kerinci.

Najibul Mahbub dalam Maafkan Kartini


Najibul Mahbub
Maafkan Kartini

Maafkan Kartini
Sementara ber ibu-ibu
Berkebaya bernostalgia
Kami masih mengerjakan
Soal-soal ujian yang semakin tak jelas arahnya
Sementara membaca sangatlah asing
Bagi kami
Sedang menonton lebih asyik
Mengunggah rasa
Menjadi baper bukannya pinter

Maafkan kami Kartini
Jika kebaya yang kau sandingkan
"Dihujat" dan " dikafirkan"
Oleh sebagian suara
Sedang "ninja" menjadi "idola"
"Pengkapling surga"

Suratmu kepada abandenon kembali
Bertebaran
Memenuhi serambi grup WhatsApp ku
Suratmu kembali
Mengingat kepada kearifan
Dalam beragama dan berbudaya
Karena Eropa bukanlah menjadi idola
Tapi negeri inilah
Moncer luar biasa

Maafkan kami Kartini
Hari lahirnya
Kugunakan mencuci baju
Yang telah dipakai istriku
Menyambut miladmu

Pekalongan, 21 April 2018

Najibul Mahbub, mengikuti   beberapa antologi bersama : Antologi 105 Penyair, Semanggi Surabaya, Indonesia dalam Titik 13, Penyair Menolak Korupsi jilid I, Penyair Menolak Korupsi Jilid II, Menuju Jalan Cahaya, Antologi tentang Gus Dur,  Habituasi Wajah Semesta, Daun Bersayap Awan, Ziarah Batin, Antologi Puisi 2 Koma 7, Puisi Menolak Korupsi Jilid I, Puisi menolak korupsi jilid 2, Antologi Wakil Rakyat, Memo Wakil Rakyat, Memo Anti terorisme, Memo Anti Kekerasan Anak, Memo untuk Presiden, AntologiPuisi Kampungan, Antologi Puisi “Ayo Goyang”,Antologi Puisi 122 Penyair “Cinta Rindu Damai dan Kematian”, Rasa Sejati (Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia), Memo Kepala Daerah, Kumpulan Esai PMK “Bungai Rampai PMK”, Antologi “Madah Merdu Kamadhatu” Magelang 2017, Antologi puisi religi “Tadarus Puisi” 2017, antologi kita dijajah lagi, antologimerawat kebhinekaan,dan  antologi jendela Pekalongan.
Penulis juga adalah guru Bahasa Indonesia dan juga pendiri teater Bayang di MAN 2 Pekalongan merupakan Pria kelahiran 13 Maret 1981.  Ia tinggal di Gubuk kecil di Jalan Nusa indah 11 Perumahan Taman Seruni Gamer Pekalongan.

Lina Kus Dwi Sukesi dalam Padiku Menguning di Atas Klakson Angin


Lina Kus Dwi Sukesi

Padiku Menguning di Atas Klakson Angin

Pertiwiku adalah lumbung yang hijau
Di mana bulir-bulir padi telah menguning
Bermanja di atas pucuk-pucuk daun kering

Goyang tangkainnya, bagai gemulai penari
Menanti petani untuk menuai panen hari ini

Di sudut petak yang lain
Sawah telah dibajak, untuk ditanami kembali
Begitu cepat, laksana peredaran matahari

Berjuta-juta ton gabah dihasilkan dari sawah
Menjelma butir-butir Kristal putih
Mewangikan tungku di dapur yang sunyi

Di sisi lain, pada titik nadi
Aliran darahku berhenti
Biji pepadi yang tumbuh begitu rimbun
Tiada cukup untuk membuat kenyang negeri ini

Hingga dating hasil panen
Dengan kapal-kapal laut
Bukan dari gerobak-gerobak tua
Yang ditarik kerbau jantan dan betina

Di antara redup dan terang matahari
Sejumput asa mengetuk nurani
Inikah gemah ripah loh jinawi ?
Madiun,21-04-2018

Lina Kus Dwi Sukesi, lahir di Madiun, 9 Juni 1983. Tinggal di Madiun.


Muttaqin Haqiqi dalam Senandung Palu

Muttaqin Haqiqi

Senandung Palu

Palu beradu dengan landas kayu
Ramai deru gemuruh
Beraneka ragam
Berbeda lagu
Pelan bak belaian angin pada untaian rambut
Pun menggelegar menggetar
Menggertak relung sedalam palung
Ada kala seirama senada
Juga sumbang tak beratur

Palu beradu dengan landas kayu
Senandung sumbang palu
Menggebuk seru ranting rapuh
Meremuk debu
Mengguncang batin kalbu
Ranting bingung sedih dan kalut
Seru haru sedan tak bertalun
Datang diundang diserbu serdadu
Komandan palu dingin dan acuh
Tak peduli ranting hancur mendebu
Palu beradu dengan landas kayu
Terketuk ria, lenggok merayu
Senandung merdu palu
Menyambut cabang bertamu
Cabang riang tertawa
Berdendang bersama berseru

Sungguh pun Palu suka melucu
Bercerita jenaka dagel
Menghibur negeri ini
Menggelitik akal
Mengocok perut
Sampai kapan palu terus bersenandung
Sampai kapan terus melucu

Muttaqin Haqiqi, lahir di Pemalang, 1 Mei 1998.Saat ini tercatat sebagai mahasiswa aktif semester 4 pada Universitas Negeri Semarang, jurusan Teknik Mesin.

Rizki Andika dalam Indonesia Menonton Bioskop

Rizki Andika

Indonesia Menonton Bioskop

sepuluh ribu untuk tiket
masuk tanpa alas kaki
kursi kayu didapatnya
kisah mendatar dimulai

tak ada serius kali ini
layar makan tawa kering
perut buncit berisi kenyang
sisa jabat piring di bawah meja

kenal pemain dan sutradara
di layar adalah nikmat alur
sembunyi bukan tak kuat
biar cerita jadi menarik

pejabat kuasa main
jadi pemeran utama
indonesia menonton
di bioskop monoton
Karawang, April 2018




Rizki Andika

Warisan

sekarang sudah sampai kepala tujuh
dan sebentar akan jadi delapan
maaf aku harus begini bung
ini ada yang tak waras

sekarang orang sakit mimpin negara
mereka buang hajat kok di gunung
sungai jadi tempat cuci bokong
orang miskin dibikin kursi
agama dilelang murah

rakyat kecil simpan harapan
di sela pantat bandit politik
betapa kotornya posisi asa
di antara kelamin dan lubang

begini maksudku
bung warisanmu:
pancasila
hanya syarat upacara
Karawang, April 2018

Rizki Andika, lahir di Karawang, April 1997. Belajar menulis di Rumah Seni Lunar sejak 2017. Berkegiatan di Perpustakaan Jalanan Karawang dan menjadi mahasiswa di Universitas Singaperbangsa Karawang. Mengikuti antologi bersama The First Drop of Rain (2017), Anggrainim, Tugu dan Rindu (2018).

Nita Pujiasih dalam Pendidikan Indonesiaku


Nita Pujiasih
Pendidikan Indonesiaku
Alam berbisik
Mengalunkan melodi tentang rindu
Rindu akan sosok-sosok pemerhati ilmu
Rindu akan gairah semangat pemuda-pemudi
Pejuang sejati laksana Bacharuddin Jusuf Habibie

Alam pun merayu
Menatap awan yang berarak menyambut langit biru
Seraya berdoa kepada Sang Kholik
Wahai Tuhanku
Dengan sifat pemurahmu
Ciptakanlah Einstein dalam diri setiap makhluk yang paling mulia di muka bumi ini

Alam pun bergeming
Tanpa melantunkan gelora semangat
Menyapu pandangan seluruh angkasa raya
Mengintai dan meratap
Inikah wajah-wajah pahlawan ilmu masa depan?

Penyuapan ilmu telah membuncah di belahan negeri ini
Tidak terjadi hanya sekali saja
Namun berulang kali dan tak terhitung
Menyapa kepada setiap pejabat kaya
Merayu kepada setiap konglomerat
Menghampiri kepada setiap mereka yang berlimpah harta
Mendekati mereka yang mudah tergoyah imannya
Demi menempatkan anak-anaknya ke sekolah-sekolah ternama
Demi mendapatkan mawar kebanggaan dalam diri mereka

Lalu bagaimanakah nasib pemuda-pemudi bangsa yang mumpuni itu?
Mau dibawa kemanakah sosok cerdas seperti Habibie itu?
Bagaimana dengan sosok-sosok cemerlang seperti Einstein?
Jika kursi-kursi telah direbut oleh mereka yang senantiasa bangga dengan penyuapan ilmu
Padahal di negeri ini banyak kali pemuda-pemudi cerdas, cemerlang, dan juga inovatif
Yang kelak mampu menjunjung negeri ini dihadapan dunia

Inikah wajah budaya pendidikan kita?
Asa yang menggebu dalam diri setiap pemuda-pemudi berprestasi seakan tertutupi oleh debu yang menempel di ujung pena mereka
Menghapus jejak mimpi-mimpi mereka
Berserakan tak pasti dan terombang ambing
Mereka hanya bisa berbisik
Adakah tempat bagiku untuk terus melangkah?
Saat ku hanya ingin melaju melanjutkan semua mimpiku

Meratap dalam kegelapan
Seorang anak miskin mengadu diri
Tuhan kemanakah aku harus melangkah
Bisakah daku bersaing mendapatkan tiket pendidikan?
Setelah pintu gerbang seakan tertutup oleh mereka yang tak takut dosa
Tidakkah mereka memikirkan nasib saudaranya di dunia ini
Tidakkah mereka memberiku kesempatan untuk terus berkarya dalam setiap mimpiku
Aku pun ingin berjuang membanggakan negeri ini
Tidakkah mereka melihat kemampuanku
Tidakkah mereka memberiku kesempatan untuk terus berjuang
Melanjutkan mimpi besarku, meraih cita-citaku

Wahai kalian yang berlimpah harta
Bagaimana aku bisa turut membanggakan Indonesia
Bila kursi-kursi sekolah telah engkau beli demi putra-putrimu yang  belum bisa mendapatkan almamater ternama
Bahkan yang pesimis dengan kemampuannya
Tidak bisakah anak-anakmu bertindak sportif
Berjuang bersama meraih kursi impian
Tidakkah kau tahu?
Memetik bintang tak semudah kita dalam mengedipkan kedua mata
Segala sesuatu juga membutuhkan perjuangan dan proses

Wahai kalian yang berlimpah harta
Aku hanya ingin kalian mendengar bisikan hati kami yang begitu bergelora meraih mimpi
Aku hanya ingin kalian memandang kemampuan kami
Aku hanya ingin kalian mengetahui prestasi kami
Bahwa kami pantas bersanding menuntut ilmu seperti Habibie atau bahkan Insinyur Soekarno
Izinkanlah kami untuk membangun Indonesia Emas 2045
Wujudkanlah pintaku ini
Hapuslah penyuapan ilmu dalam diri kalian demi generasi penerus bangsa ini
Bimbinglah putra-putimu untuk dapat mengukir prestasi
Agar kelak mampu bersanding dengan kami
Mewujudkan Indonesia Emas 2045 Satu Nusa Satu Bangsa
Untuk negeri Garuda Indonesia


Nita Pujiasih
Siapakah dikau?

Aku bertanya pada dikau
Siapakah dikau?
Gayus Tambunan kah?
Neneng Sri Wahyuni kah?
Atau justru Yahya Fuad?
Siapapun kamu yang jelas kau bukanlah Dilan

Hey dikau
Masih sajakah kau begitu?
Janji-janjimu pada rakyatmu dulu
Hah…itu sudah menjadi janji palsu
Lalu masih sajakah kau mengelak?
Jika iya itu sungguh memalukan

Administrasi negara berantakan
Pembangunan tak terselesaikan
Rakyat kecil terabaikan
Lalu masih sajakah kau mengelak?
Jika iya sungguh itu tidaklah adil

Sadarlah dikau para penggelap uang negara
Akan kau kemanakan para rakyatmu
Mau dibawa kemana kemajuan Indonesiamu
Jangan biarkan bangsa ini mati karakter karenamu
Ingatlah
Bukanlah kita meminta Indonesia untuk bisa memberi kita keuntungan
Namun apa yang bisa kita berikan untuk Indonesiaku
Camkan kata-kata Soekarno itu

MUHAMMAD Fawaz" dalam Topeng


"MUHAMMAD Fawaz"
                         Topeng
Sembunyikan agar tak tahu
Menggunakan wajah wajah palsu
Menari bak angin baru
Terbang tinggi hidupkan lucu
   Indonesiaku........
   Denganmu ku lestarikan
   Tari,lagu,dan keajaiban
Topengmu.....
Mempunyai aneka gaya bahasa
Membuat mereka semua tertawa
Indah budaya indah tiada tara                
Memangku warisan dengan tawa          
    Bangga akan mengawalmu
    Bahagia karena kayamu
Topeng memberi cerita legenda
Dan  memberi warna indonesia

Kenali Tokoh Kita dengan Membaca











Perluas wawasan di literanesia.com

Mengenal Karya-karya WS Rendra