Jumat, 13 Mei 2016

Patungan Kenang-kenangan

Di negeri Dishanalah murid-murid sekolah dasar diajari menabung. Pak dan Bu Guru mengajari hidup hemat pada Si Kecil. Paribahasanya pun diajarkan: "Berakit-rakit kehulu, berenang-renang ketepian", " Sedikit-demi sedikit , lama-lama jadi bukit", dan "Hemat pangkal kaya". Paribahasa biasanya menjadi kenyataan setelah dilaksanakan (terjadi) karena itulah Si Kecil rela mengurangi uang jajannya untuk menabung di Bapak Ibu Guru.
Di negeri Dishanalah guru banyak kebutuhan, gajinya dipotong pijaman rumah, mobil, dan pakaian. Lembur tak ada, tunjangan profesi akan keluar setelah menunggu hutang guru bertumpuk. Kebutuhan mendadak pun segera ditangulangi.
Ada pinjaman "lunak" , selunak "bandeng tanpa duri" yakni tabungan murid-muridnya. Aman tidak pakai persyaratan juga tak berbunga . Karena yang mengepul tabungan juga Bapakdan Ibu Guru.
Akhir tahun Si Kecil menghitung banyak tabungan. Katanya betul Pak dan Bu Guru mengatakan peribahasa itu, Aku dapat banyak katanya.
Namun Pak dan Bu Guru bingung!, Program tabungan berhasil tapi uang tabungan siswa berkurang , Hah. Tadi yang dipinjam Pak dan Bu Guru itu jumlahnya banyak dan kebanyakan. Dikembalikan pun dari mana uangnya? karena sudah tak lagi miliki kesempatan untuk dapat peroleh pinjaman.
Dasar guru pinter. Akhirnya ngarang patungan. Karena patungan harus ada barangnya untuk membeli apa dan itu juga harus dibeli, maka patungan kali ini dikarang lagi yakni patungan "kenang-kenangan buat Pak dan Bu Guru "
Ternyata enak juga Bandeng tampa duri itu. Si Kecil pun bertanya pada Ibunya di rumah, "Kok pribahasa itu menjadi "...barsakit-sakit kemudian."
(RgBagus warsono, 13-05-16)