Proses pembelajaran pada
Kurikulum 2013 untuk jenjang SMP dan SMA atau yang sederajat dilaksanakan
menggunakan pendekatan ilmiah. Proses pembelajaran menyentuh tiga ranah, yaitu
sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Dalam proses pembelajaran berbasis pendekatan
ilmiah, ranah sikap menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar
peserta didik “tahu mengapa.” Ranah keterampilan menggamit transformasi substansi atau materi
ajar agar peserta didik “tahu bagaimana”. Ranah pengetahuan menggamit
transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu apa.” Hasil akhirnya adalahpeningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk
menjadi manusia yang baik(soft skills) dan manusia yang memiliki
kecakapan dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skills) dari
peserta didik yang meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan
pengetahuan.
PENDEKATAN PENDEKATAN ILMIAH DALAM PEMBELAJARAN
A.
Esensi Pendekatan Ilmiah
Pembelajaran merupakan proses ilmiah. Karena itu Kurikulum
2013 mengamanatkan esensi pendekatan ilmiah dalam pembelajaran. Pendekatan ilmiah diyakini
sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan
peserta didik. Dalam pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria
ilmiah, para ilmuwan lebih mengedepankan pelararan induktif (inductive
reasoning) ketimbang penalaran deduktif (deductive reasoning). Penalaran deduktif melihat
fenomena umum untuk kemudian menarik simpulan yang spesifik. Sebaliknya,
penalaran induktif memandang fenomena atau situasi spesifik untuk kemudian
menarik simpulan secara keseluruhan. Sejatinya, penalaran induktif menempatkan
bukti-bukti spesifik ke dalam relasi idea yang lebih luas. Metode ilmiah
umumnya menempatkan fenomena unik dengan kajian spesifik dan detail untuk
kemudian merumuskan simpulan umum.
Metode
ilmiah merujuk pada teknik-teknik investigasi atas fenomena atau gejala, memperoleh
pengetahuan baru, atau mengoreksi dan memadukan pengetahuan sebelumnya. Untuk
dapat disebut ilmiah, metode pencarian (method
of inquiry) harus berbasis pada bukti-bukti dari objek yang dapat
diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-prinsip penalaran yang
spesifik. Karena itu,
metode ilmiah umumnya memuat serial aktivitas pengoleksian data melalui
observasi dan ekperimen, kemjdian memformulasi dan menguji hipotesis.
B.
Pendekatan Ilmiah dan Nonilmiah dalam
Pembelajaran
Pembelajaran berbasis pendekatan
ilmiah itu lebih efektif hasilnya dibandingkan dengan pembelajaran tradidional.
Hasil penelitian membuktikan bahwa pada pembelajaran tradisional, retensi
informasi dari guru sebesar 10 persensetelah lima belas menit dan perolehan
pemahaman kontekstual sebesar 25 persen. Pada pembelajaran berbasis pendekatan
ilmiah, retensi informasi dari guru sebesar lebih dari 90 persen setelah dua
hari dan perolehan pemahaman kontekstual sebesar 50-70 persen.
Proses pembelajaran harus dipandu dengan kaida-kaidah
pendekatan ilmiah. Pendekatan ini bercirikan penonjolan dimensi pengamatan,
penalaran, penemuan, pengabsahan, dan penjelasan tentang suatu kebenaran.
Dengan demikian, proses pembelajaran harus dilaksanakan dengan dipandu
nilai-nilai, prinsip-prinsip, atau kriteria ilmiah. Proses pembelajaran disebut
ilmiah jika memenuhi kriteria seperti berikut ini.
1.
Substansi atau materi pembelajaran berbasis pada fakta atau
fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas
kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata.
2.
Penjelasan guru, respon peserta didik, dan interaksi
edukatif guru-peserta didik terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran
subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.
3.
Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara
kritis, analistis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan
masalah, dan mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran.
4.
Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu berpikir
hipotetik dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari
substansi atau materi pembelajaran.
5.
Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu memahami,
menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam
merespon substansi atau materi pembelajaran.
6.
Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat
dipertanggungjawabkan.
7.
Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas,
namun menarik sistem penyajiannya.
Proses pembelajaran harus terhindar dari sifat-sifat atau
nilai-nilai nonilmiah.Pendekatan nonilmiah dimaksud meliputisemata-mata
berdasarkan intuisi, akal sehat,prangka, penemuan melalui coba-coba, dan asal berpikir
kritis.
1.
Intuisi. Intuisi sering dimaknai sebagai
kecakapan praktis yang kemunculannya bersifat irasional dan individual. Intuisi
juga bermakna kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki oleh seseorang atas dasar
pengalaman dan kecakapannya. Istilah ini sering juga dipahami sebagai penilaian
terhadap sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara cepat dan berjalan dengan
sendirinya. Kemampuan intuitif itu biasanya didapat secara cepat tanpa melalui
proses panjang dan tanpa disadari. Namun demikian, intuisi sama sekali
menafikan dimensi alur pikir yang sistemik dan sistematik.
2.
Akal sehat. Guru dan peserta didik harus menggunakan
akal sehat selama proses pembelajaran, karena memang hal itu dapat menunjukan ranah
sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang benar. Namun demikian, jika guru dan
peserta didik hanya semata-mata menggunakan akal sehat dapat pula menyesatkanmereka
dalam proses dan pencapaian tujuan pembelajaran.
3.
Prasangka.
Sikap,
keterampilan, dan pengetahuan yang diperoleh semata-mata atas dasar akal sehat (comon sense) umumnya sangat kuat dipandu
kepentingan orang (guru, peserta didik, dan sejenisnya) yang menjadi pelakunya.
Ketika akal sehat terlalu kuat didompleng kepentingan pelakunya, seringkali
mereka menjeneralisasi hal-hal khusus menjadi terlalu luas. Hal inilah yang
menyebabkan penggunaan akal sehat berubah menjadi prasangka atau pemikiran
skeptis. Berpikir skeptis atau prasangka itu memang penting, jika diolah secara
baik. Sebaliknya akan berubah menjadi prasangka buruk atau sikap tidak percaya,
jika diwarnai oleh kepentingan subjektif guru dan peserta didik.
4.
Penemuan
coba-coba. Tindakan atau aksi coba-coba seringkali melahirkan wujud
atau temuan yang bermakna. Namun demikian, keterampilan dan pengetahuan yang
ditemukan dengan caracoba-coba selalu bersifat tidak terkontrol, tidak memiliki
kepastian, dan tidak bersistematika baku. Tentu saja, tindakan coba-coba itu
ada manfaatnya dan bernilai kreatifitas. Karena itu, kalau memang tindakan
coba-coba ini akan dilakukan, harus diserta dengan pencatatan atas setiap
tindakan, sampai dengan menemukan kepastian jawaban. Misalnya, seorang peserta
didik mencoba meraba-raba tombol-tombol sebuah komputer laptop, tiba-tiba dia
kaget komputer laptop itu menyala. Peserta didik pun melihat lambang tombol
yang menyebabkan komputer laptop itu menyala dan mengulangi lagi tindakannya,
hingga dia sampai pada kepastian jawaban atas tombol dengan lambang seperti apa yang bisa memastikan bahwa
komputer laptop itu bisa menyala.
5.
Berpikir kritis.Kamampuan berpikir kritis itu ada
pada semua orang, khususnya mereka yang normal hingga jenius. Secara akademik
diyakini bahwa pemikiran kritis itu umumnya dimiliki oleh orang yang bependidikan
tinggi. Orang seperti ini biasanya pemikirannya dipercaya benar oleh banyak
orang. Tentu saja hasil pemikirannya itu tidak semuanya benar, karena bukan
berdasarkan hasil esperimen yang valid dan reliabel, karena pendapatnya itu hanya
didasari atas pikiran yang logis semata.
C.
Langkah-langkah
Pembelajaran dengan Pendekatan Ilmiah
Kurikulum 2013 menekankan pada
dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu menggunakan pendekatan
ilmiah. Pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran
sebagaimana dimaksud meliputi mengamati, menanya, mencoba, mengolah,
menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta untuk semua mata pelajaran. Untuk mata
pelajaran, materi, atau situasi
tertentu, sangat mungkin pendekatan ilmiah ini tidak selalu tepat
diaplikasikan secara prosedural. Pada kondisi seperti ini, tentu saja proses
pembelajaran harus tetap menerapkan nilai-nilai atau sifat-sifat ilmiah dan
menghindari nilai-nilai atau sifat-sifat nonilmiah. Pendekatan ilmiah
pembelajaran disajikan berikut ini.
1.
Mengamati
Metode mengamati mengutamakan kebermaknaan
proses pembelajaran (meaningfull learning).
Metode ini memiliki keunggulan tertentu,
seperti menyajikan media obyek secara nyata, peserta didik senang dan
tertantang, dan mudah pelaksanaannya. Tentu saja kegiatan mengamati dalam
rangka pembelajaran ini biasanya memerlukan waktu persiapan yang lama dan
matang, biaya dan tenaga relatif banyak, dan jika tidak terkendali akan
mengaburkan makna serta tujuan pembelajaran.
Metode mengamati sangat
bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu peserta didik. Sehingga proses
pembelajaran memiliki kebermaknaan yang tinggi. Dengan metode observasi peserta
didik menemukan fakta bahwa ada hubungan antara obyek yang dianalisis dengan
materi pembelajaran yang digunakan oleh guru.
Kegiatan mengamati dalam
pembelajaran dilakukan dengan menempuh langkah-langkah seperti berikut ini.
a.
Menentukan objek apa yang
akan diobservasi
b.
Membuat pedoman
observasi sesuai dengan lingkup objek yang akan diobservasi
c.
Menentukan secara jelas
data-data apa yang perlu diobservasi, baik primer maupun sekunder
d.
Menentukan di mana tempat
objek yang akan diobservasi
e.
Menentukan secara
jelas bagaimana observasi akan dilakukan untuk mengumpulkan data agar berjalan
mudah dan lancar
f.
Menentukan cara dan
melakukan pencatatan atas hasil observasi , seperti menggunakan buku catatan,
kamera, tape recorder, video perekam, dan alat-alat tulis lainnya.
Kegiatan observasi dalam proses pembelajaran meniscayakan
keterlibatan peserta didik secara langsung. Dalam kaitan ini, guru harus
memahami bentuk keterlibatan peserta didik dalam observasi tersebut.
a.
Observasi biasa (common observation). Pada observasi
biasa untuk kepentingan pembelajaran, peserta didik merupakan subjek yang
sepenuhnya melakukan observasi (complete
observer). Di sini peserta didik sama sekali tidak melibatkan diri dengan
pelaku, objek, atau situasi yang diamati.
b.
Observasi terkendali
(controlled observation). Seperti halnya observasi biasa, padaobservasi
terkendali untuk kepentingan pembelajaran, peserta didiksama sekali tidak
melibatkan diri dengan pelaku, objek, atau situasi yang diamati.Merepa juga tidak
memiliki hubungan apa pun dengan pelaku, objek, atau situasi yang diamati. Namun
demikian, berbeda dengan observasi biasa, pada observasi terkendalipelaku atau
objek yang diamati ditempatkan pada
ruang atau situasi yang dikhususkan. Karena itu, pada pembelajaran dengan observasi
terkendali termuat nilai-nilai percobaan atau eksperimen atas diri pelaku atau objek yang diobservasi.
c.
Observasi partisipatif
(participant observation). Pada observasi
partisipatif, peserta didik melibatkan diri secara langsung dengan pelaku atau
objek yang diamati. Sejatinya, observasi semacam ini paling lazim dilakukan dalam
penelitian antropologi khususnya etnografi. Observasi semacam ini mengharuskan
peserta didik melibatkan diri pada pelaku, komunitas, atau objek yang diamati.
Di bidang pengajaran bahasa, misalnya, dengan menggunakan pendekatan ini
berarti peserta didik hadir dan “bermukim” langsung di tempat subjek atau
komunitas tertentu dan pada waktu tertentu pula untuk mempelajari bahasa atau dialek setempat, termasuk
melibakan diri secara langsung dalam situasi kehidupan mereka.
Selama proses pembelajaran,
peserta didik dapat melakukan observasi dengan dua cara pelibatan diri. Kedua
cara pelibatan dimaksud yaitu observasi
berstruktur dan observasi tidak berstruktur, seperti dijelaskan berikut ini.
a.
Observasi berstruktur. Pada observasi berstruktur dalam rangka
proses pembelajaran, fenomena subjek, objek, atau situasi apa yang ingin
diobservasi oleh peserta didik telah direncanakan oleh secara sistematis di
bawah bimbingan guru.
b.
Observasi tidak berstruktur.
Pada observasi yang tidak berstruktur dalam rangka proses pembelajaran, tidak
ditentukan secara baku atau rijid mengenai apa yang harus diobservasi oleh
peserta didik. Dalam kerangka ini, peserta didik membuat catatan, rekaman, atau
mengingat dalam memori secara spontan atas subjek, objektif, atau situasi yang
diobservasi.
Praktik observasi dalam
pembelajaran hanya akan efektif jika peserta didik dam guru melengkapi diri
dengan dengan alat-alat pencatatan dan alat-alat lain, seperti: (1) tape
recorder, untuk merekam pembicaraan; (1) kamera, untuk merekam objek atau kegiatan
secara visual; (2) film atau video, untuk merekam kegiatan objek atau secara
audio-visual; dan (3) alat-alat lain sesuai dengan keperluan.
Secara lebih luas, alat atau
instrumen yang digunakan dalam melakukan observasi, dapat berupa daftar cek (checklist), skala rentang (rating scale), catatan anekdotal (anecdotal record), catatan berkala, dan
alat mekanikal (mechanical device).
Daftar cek dapat berupa suatu daftar yang berisikan nama-nama subjek, objek,
atau faktor- faktor yang akan diobservasi. Skala rentang , berupa alat untuk
mencatat gejala atau fenomena menurut tingkatannya. Catatan anekdotalberupa
catatan yang dibuat oleh peserta didik dan guru mengenai kelakuan-kelakuan luar
biasa yang ditampilkan oleh subjek atau objek yang diobservasi. Alat mekanikalberupa alat mekanik yang dapat
dipakai untuk memotret atau merekam peristiwa-peristiwa tertentu yang
ditampilkan oleh subjek atau objek yang diobservasi.
Prinsip-prinsip yang harus
diperhatikan oleh guru dan peserta didik selama observasi pembelajaran
disajikan berikut ini.
a.
Cermat, objektif, dan
jujur serta terfokus pada objek yang diobservasi untuk kepentingan
pembelajaran.
b.
Banyak atau sedikit
serta homogenitas atau hiterogenitas subjek, objek, atau situasi yang
diobservasi. Makin banyak dan hiterogensubjek, objek, atau situasi yang diobservasi,
makin sulit kegiatan obervasi itu dilakukan. Sebelum obsevasi dilaksanakan, guru
dan peserta didik sebaiknya menentukan dan menyepakati cara dan prosedur
pengamatan.
c.
Guru dan peserta
didik perlu memahami apa yang hendak dicatat, direkam, dan sejenisnya, serta bagaimana membuat catatan atas perolehan
observasi.
2.
Menanya
Guru yang efektif mampu
menginspirasi peserta didik untuk meningkatkan dan mengembangkan ranah sikap,
keterampilan, dan pengetahuannya. Pada saat guru bertanya, pada saat itu pula
dia membimbing atau memandu peserta didiknya belajar dengan baik. Ketika guru
menjawab pertanyaan peserta didiknya, ketika itu pula dia mendorong asuhannya
itu untuk menjadi penyimak dan pembelajar yang baik.
Berbeda dengan
penugasan yang menginginkan tindakan nyata, pertanyaan dimaksudkan untuk
memperoleh tanggapan verbal. Istilah “pertanyaan” tidak selalu dalam bentuk
“kalimat tanya”, melainkan juga dapat dalam bentuk pernyataan, asalkan keduanya
menginginkan tanggapan verbal. Bentuk pertanyaan, misalnya: Apakah ciri-ciri
kalimat yang efektif? Bentuk pernyataan, misalnya: Sebutkan ciri-ciri kalimat
efektif!
a.
Fungsi bertanya
§
Membangkitkan rasa
ingin tahu, minat, dan perhatian peserta
didik tentang suatu tema atau topik pembelajaran.
§
Mendorong dan
menginspirasi peserta didik untuk aktif belajar, serta mengembangkan pertanyaan
dari dan untuk dirinya sendiri.
§
Mendiagnosis
kesulitan belajar peserta didik sekaligus menyampaikan ancangan untuk mencari
solusinya.
§
Menstrukturkan
tugas-tugas dan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan
sikap, keterampilan, dan pemahamannya atas substansi pembelajaran yang
diberikan.
§
Membangkitkan
keterampilan peserta didik dalam berbicara, mengajukan pertanyaan, dan memberi
jawaban secara logis, sistematis, dan menggunakan bahasa yang baik dan benar.
§
Mendorong
partisipasipeserta didik dalam berdiskusi, berargumen, mengembangkan kemampuan
berpikir, dan menarik simpulan.
§
Membangun sikap
keterbukaan untuk saling memberi dan menerima pendapat atau gagasan, memperkaya
kosa kata, serta mengembangkan toleransi sosial dalam hidup berkelompok.
§
Membiasakan peserta
didik berpikir spontan dan cepat, serta sigap dalam merespon persoalan yang
tiba-tiba muncul.
§
Melatih kesantunan
dalam berbicara dan membangkitkan kemampuan berempati satu sama lain.
b.
Kriteria pertanyaan
yang baik
§
Singkat dan jelas.Contoh: (1) Seberapa jauh pemahaman
Anda mengenai faktor-faktor yang menyebabkan generasi muda terjerat kasus
narkotika dan obat-obatan terlarang? (2) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan
generasi muda terjerat kasus narkotika dan obat-obatan terlarang? Pertanyaan
kedua lebih singkat dan lebih jelas dibandingkan dengan pertanyaan pertama.
§
Menginspirasi jawaban. Contoh: Membangun semangat kerukunan
umat beragama itu sangat penting pada bangsa yang multiagama. Jika suatu bangsa
gagal membangun semangat kerukukan beragama, akan muncul aneka persoalan sosial
kemasyarakatan. Coba jelaskan dampak sosial apa saja yang muncul, jika suatu
bangsa gagal membangun kerukunan umat beragama?Dua kalimat yang mengawali
pertanyaan di muka merupakan contoh yang diberikan guru untuk menginspirasi
jawaban peserta menjawab pertanyaan.
§
Memiliki fokus. Contoh: Faktor-faktor apakah yang
menyebabkan terjadinya kemiskinan? Untuk pertanyaan seperti ini sebaiknya
masing-masing peserta didik diminta memunculkan satu jawaban. Peserta didik
pertama hingga kelima misalnya menjawab: kebodohan, kemalasan, tidak memiliki
modal usaha, kelangkaan sumber daya alam, dan keterisolasian geografis. Jika
masih tersedia alternatif jawaban lain, peserta didik yang keenam dan
seterusnya, bisa dimintai jawaban. Pertanyaan
yang luas seperti di atas dapat dipersempit, misalnya: Mengapa kemalasan menjadi penyebab
kemiskinan? Pertanyaan seperti ini dimintakan jawabannya kepada peserta
didik secara perorangan.
§
Bersifat probing atau divergen.Contoh: (1) Untuk
meningkatkan kualitas hasil belajar, apakah peserta didik harus rajin
belajar?(2) Mengapa peserta didik yang sangat malas belajar cenderung menjadi
putus sekolah? Pertanyaan pertama cukup dijawab oleh peserta didik dengan Ya atau Tidak.
Sebaliknya, pertanyaan kedua menuntut jawaban yang bervariasi urutan jawaban
dan penjelasannya, yang kemungkinan memiliki bobot kebenaran yang sama.
§
Bersifat validatif atau penguatan. Pertanyaan dapat diajukan dengan cara meminta kepada
peserta didik yang berbeda untuk
menjawab pertanyaan yang sama. Jawaban atas pertanyaan itu dimaksudkan untuk memvalidsi atau melakukan
penguatan atas jawaban peserta didik sebelumnya. Ketika beberapa orang peserta
didik telah memberikan jawaban yang sama, sebaiknya guru menghentikan
pertanyaan itu atau meminta mereka memunculkan jawaban yang lain yang berbeda,
namun sifatnya menguatkan. Contoh:
o
Guru: “mengapa
kemalasan menjadi penyebab kemiskinan”?
o
Peserta didik I:
“karena orang yang malas lebih banyak diam ketimbang bekerja.”
o
Guru: “siapa yang
dapat melengkapi jawaban tersebut?”
o
Peserta didik II:
“karena lebih banyak diam ketimbang bekerja, orang yang malas tidak produktif”
o
Guru : “siapa yang dapat melengkapi jawaban
tersebut?”
o
Peserta didik III:
“orang malas tidak bertindak aktif, sehingga kehilangan waktu terlalu banyak
untuk bekerja, karena itu dia tidak produktif.”
o
Dan seterusnya
§
Memberi kesempatan peserta didik untuk berpikir ulang.Untuk menjawab pertanyaan dari guru, peserta didik
memerlukan waktu yang cukup untuk memikirkan jawabannya dan memverbalkannya dengan
kata-kata. Karena itu, setelah mengajukan pertanyaan, guru hendaknya menunggu
beberapa saat sebelum meminta atau menunjuk peserta didik untuk menjawab
pertanyaan itu.
Jika dengan pertanyaan tertentu
tidak ada peserta didik yang bisa menjawah dengan baik, sangat dianjurkan guru
mengubah pertanyaannya. Misalnya: (1) Apa faktor picu utama Belanda menjajah
Indonesia?; (2) Apa motif utama Belanda menjajah Indonesia? Jika dengan
pertanyaan pertama guru belum memperoleh jawaban yang memuaskan, ada baiknya
dia mengubah pertanyaan seperti pertanyaan kedua.
§
Merangsang peningkatan tuntutan kemampuan kognitif. Pertanyaan guru yang baik membuka peluang peserta
didik untuk mengembangkan kemampuan berpikir yang makin meningkat, sesuai
dengan tuntunan tingkat kognitifnya. Guru mengemas atau mengubah pertanyaan
yang menuntut jawaban dengan tingkat kognitif rendah ke makin tinggi, seperti
dari sekadar mengingat fakta ke pertanyaan yang menggugah kemampuan
kognitif yang lebih tinggi, seperti pemahaman,
penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Kata-kata kunci pertanyaan ini,
seperti: apa, mengapa, bagaimana, dan seterusnya.
§
Merangsang proses interaksi. Pertanyaan guru yang baik mendorong munculnya interaksi dan suasana
menyenangkan pada diri peserta didik.Dalam kaitan ini, setelah menyampaikan
pertanyaan, guru memberikan kesempatan kepada peserta didik mendiskusikan
jawabannya. Setelah itu, guru memberi kesempatan kepada seorang atau beberapa
orang peserta didik diminta menyampaikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Pola
bertanya seperti ini memposisikan guru sebagai wahana pemantul.
c.
Tingkatan Pertanyaan
Pertanyaan guru yang baik dan benar menginspirasi peserta
didik untuk memberikan jawaban yang baik dan benar pula. Guru harus memahami
kualitas pertanyaan, sehingga menggambarkan tingkatan kognitif seperti apa yang
akan disentuh, mulai dari yang lebih rendah hingga yang lebih tinggi. Bobot
pertanyaan yang menggambarkan tingkatan kognitif yang lebih rendah hingga yang
lebih tinggi disajikan berikut ini.
Tingkatan
|
Subtingkatan
|
Kata-kata kunci
pertanyaan
|
Kognitif yang lebih rendah
|
§
Pengetahuan (knowledge)
|
§ Apa...
§ Siapa...
§ Kapan...
§ Di mana...
§ Sebutkan...
§ Jodohkan atau pasangkan...
§ Persamaan kata...
§ Golongkan...
§ Berilah nama...
§ Dll.
|
§
Pemahaman (comprehension)
|
§ Terangkahlah...
§ Bedakanlah...
§ Terjemahkanlah...
§ Simpulkan...
§ Bandingkan...
§ Ubahlah...
§ Berikanlah interpretasi...
|
§ Gunakanlah...
§ Tunjukkanlah...
§ Buatlah...
§ Demonstrasikanlah...
§ Carilah hubungan...
§ Tulislah contoh...
§ Siapkanlah...
§ Klasifikasikanlah...
|
Kognitif yang lebih tinggi
|
§ Analisislah...
§ Kemukakan bukti-bukti…
§ Mengapa…
§ Identifikasikan…
§ Tunjukkanlah sebabnya…
§ Berilah alasan-alasan…
|
§ Ramalkanlah…
§ Bentuk…
§ Ciptakanlah…
§ Susunlah…
§ Rancanglah...
§ Tulislah…
§ Bagaimanakita dapat memecahkan…
§ Apa yang terjadi seaindainya…
§ Bagaimana kita dapat memperbaiki…
§ Kembangkan…
|
§ Berilah pendapat…
§ Alternatif mana yang lebih baik…
§ Setujukah anda…
§ Kritiklah…
§ Berilah alasan…
§ Nilailah…
§ Bandingkan…
§ Bedakanlah…
|
3.
Menalar
a.
Esensi Menalar
Istilah “menalar” dalam kerangka proses
pembelajaran dengan pendekatan ilmiah yang dianut dalam Kurikulum 2013 untuk
menggambarkan bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif. Titik
tekannya tentu dalam banyak hal dan situasi peserta didik harus lebih aktif
daripada guru. Penalaran
adalah proses berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-kata empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan
berupa pengetahuan. Penalaran dimaksud
merupakan penalaran ilmiah, meski penakaran nonilmiah tidak selalu tidak
bermanfaat.
Istilah menalar di sini merupakan padanan dari associating; bukan merupakan terjemanan
dari reasonsing, meski istilah ini
juga bermakna menalar atau penalaran. Karena itu, istilah aktivitas menalar dalam
konteks pembelajaran pada Kurikulum 2013 dengan pendekatan ilmiah banyak
merujuk pada teori belajar asosiasi atau pembelajaran asosiatif. Istilah
asosiasi dalam pembelajaran merujuk pada kemamuan mengelompokkan beragam ide
dan mengasosiasikan beragam peristiwa untuk kemudian memasukannya menjadi
penggalan memori. Selama mentransfer peristiwa-peristiwa khusus ke otak, pengalaman
tersimpan dalam referensi dengan peristiwa lain. Pengalaman-pengalaman yang
sudah tersimpan di memori otak berelasi dan berinteraksi dengan pengalaman
sebelumnya yang sudah tersedia. Proses itu dikenal sebagai asosiasi atau
menalar. Dari persepektif psikologi, asosiasi merujuk pada koneksi antara
entitas konseptual atau mental sebagai hasil dari kesamaan antara pikiran atau kedekatan dalam ruang dan
waktu.
Menurut teori asosiasi, proses pembelajaran pembelajaran
akan berhasil secara efektif jika terjadi interaksi langsung antara pendidik
dengan peserta didik. Pola ineraksi itu dilakukan melalui stimulus dan respons
(S-R). Teori ini dikembangan kerdasarkan
hasil eksperimen Thorndike, yang kemudian dikenal dengan teori asosiasi. Jadi,
prinsip dasar proses pembelajaran yang dianut oleh Thorndike adalah asosiasi,
yang juga dikenal dengan teori Stimulus-Respon (S-R). Menurut Thorndike, proses
pembelajaran, lebih khusus lagi proses belajar peserta didik terjadi secara
perlahan atau inkremental/bertahap, bukan secara tiba-tiba. Thorndike
mengemukakan berapa hukum dalam proses pembelajaran.
§
Hukum efek
(The Law of Effect), di mana intensitas hubungan antara stimulus (S) dan respon
(R) selama proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh konsekuensi dari
hubungan yang terjadi. Jika akibat dari hubungan S-R itu dirasa menyenangkan,
maka perilaku peserta didik akan mengalami penguatan. Sebaliknya, jika akibat
hubungan S-R dirasa tidak menyenangkan, maka perilaku peserta didik akan
melemah. Menurut Thorndike, efek dari reward (akibat yang menyenangkan) jauh
lebih besar dalam memperkuat perilaku peserta didik dibandingkan efek
punishment (akibat yang tidak menyenangkan) dalam memperlemah perilakunya. Ini
bermakna bahwa reward akan meningkatkan perilaku peserta didik, tetapi
punishment belum tentu akan mengurangi atau menghilangkan perilakunya.
§
Hukum latihan
(The Law of Exercise). Awalnya, hukum
ini terdiri dari duajenis, yang setelah tahun 1930 dinyatakan dicabut oleh
Thorndike. Karena dia menyadari bahwa latihan saja tidak dapat memperkuat atau
membentuk perilaku. Pertama, Law of Use yaitu hubungan antara S-R
akan semakin kuat jika sering digunakan atau berulang-ulang. Kedua, Law of Disuse, yaitu hubungan antara S-R akan semakin melemah jika
tidak dilatih atau dilakukan berulang-ulang.Menurut Thorndike, perilaku dapat
dibentuk dengan menggunakan penguatan (reinforcement).
Memang, latihan berulang tetap dapat diberikan, tetapi yang terpenting adalah
individu menyadari konsekuensi perilakunya.
§
Hukum
kesiapan (The Law of Readiness). Menurut
Thorndike, pada prinsipnya apakah sesuatu itu akan menyenangkan atau tidak
menyenangkan untuk dipelajari tergantung pada kesiapan belajar individunya. Dalam
proses pembelajaran, hal ini bermakna bahwa jika peserta dalam keadaan siap dan
belajar dilakukan, maka merekaakan merasa puas. Sebaliknya, jika pesert didik
dalam keadaan tidak siap dan belajar terpaksa dilakukan, maka mereka akan
merasa tidak puas bahkan mengalami frustrasi. Prinsip-prinsip dasar dari
Thorndike kemudian diperluas oleh B.F. Skinner dalam Operant Conditioning atau pelaziman/pengkondisian operan. Pelaziman
operan adalah bentuk pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku
menghasilkan perubahan dalam probabilitas perilaku itu akan diulangi.
Merujuk pada teori S-R, proses pembelajaran akan makin
efektif jika peserta didik makin giat belajar. Dengan begitu, berarti makin
tinggi pula kemampuannya dalam menghubungkan S dengan R. Kaidah dasar yang
digunakan dalam teori S-R adalah:
§
Kesiapan (readiness). Kesiapan diidentifikasi berkaitan langsung dengan
motivasi peserta didik. Kesiapan itu harus ada pada diri guru dan peserta didik.
Guru harus benar-benar siap mengajar dan peserta didik benar-benar siap
menerima pelajaran dari gurunya. Sejalan dengan itu, segala sumber daya
pembelajaran pun perlu disiapkan secara baik dan saksama.
§
Latihan (exercise). Latihan merupakan kegiatan
pembelajaran yang dilakukan secara berulang oleh peserta didik. Pengulangan ini
memungkinkan hubungan antara S dengan R makin intensif dan ekstensif.
§
Pengaruh (effect). Hubungan yang intensif dan
berulang-ulang antara S dengan R akan meningkatkan kualitas ranah sikap,
keterampilan, dan pengetahuan peserta didik sebagai hasil belajarnya. Manfaat
hasil belajar yang diperoleh oleh peserta didik dirasakan langsung oleh mereka
dalam dalam dunia kehidupannya.
Kaidah atau prinsip “pengaruh” dalam pembelajaran
berkaitan dengan kemamouan guru menciptakan suasana, memberi penghargaan,
celaan, hukuman, dan ganjaran. Teori S – S ini memang terkesan robotik.
Karenanya, teori ini terkesan mengenyampingkan peranan minat, kreativitas, dan
apirasi peserta didik.
Oleh karena tidak semua perilaku belajar atau
pembelajaran dapat dijelaskan dengan pelaziman sebagaimana dikembangkan
oleh Ivan Pavlov, teori asosiasi biasanya
menambahkan teori belajar sosial (social
learning) yang dikembangkan oleh Bandura. Menurut Bandura, belajar terjadi
karena proses peniruan (imitation).
Kemampuan peserta didik dalam meniru respons menjadi pengungkit utama aktivitas
belajarnya. Ada empat konsep dasar teori belajar sosial (social learning theory) dari Bandura.
§
Pertama, pemodelan (modelling), dimana peserta didik belajar
dengan cara meniru perilaku orang lain (guru, teman, anggota masyarakat, dan
lain-lain) dan pengalaman vicarious yaitu belajar dari keberhasilan dan
kegagalan orang lain itu.
§
Kedua, fase belajar, meliputi fase memberi perhatian terhadap
model (attentional), mengendapkan hasil memperhatikan model dalam pikiran pebelajar
(retention), menampilkan ulang perilaku model oleh pebelajar (reproduction),
dan motivasi (motivation) ketika peserta didik berkeinginan mengulang-ulang
perilaku model yang mendatangkan konsekuensi-konsekuensi positif dari
lingkungan.
§
Ketiga, belajar vicarious, dimana peserta didik belajar dengan
melihat apakah orang lain diberi ganjaran atau hukuman selama terlibat dalam
perilaku-perilaku tertentu.
§
Keempat, pengaturan-diri (self-regulation), dimana peserta didik
mengamati, mempertimbangkan, memberi ganjaran atau hukuman terhadap perilakunya
sendiri.
Teori asosiasi ini sangat efektif menjadi landasan
menanamkan sikap ilmiah dan motivasi pada peserta didik berkenaan dengan
nilai-nilai instrinsik dari pembelajaran partisipatif. Dengan cara ini peserta
didik akan melakukan peniruan terhadap apa yang nyata diobservasinya dari
kinerja guru dan temannya di kelas.
Bagaimana aplikasinya dalam proses pembelajaran? Aplikasi
pengembangan aktivitas pembelajaran untuk meningkatkan daya menalar peserta
didik dapat dilakukan dengan cara berikut ini.
§
Guru menyusun
bahan pembelajaran dalam bentuk yang sudah siap sesuai dengan tuntutan
kurikulum.
§
Guru tidak
banyak menerapkan metode ceramah atau metode kuliah. Tugas utama guru adalah
memberi instruksi singkat tapi jelas dengan disertai contoh-contoh, baik
dilakukan sendiri maupun dengan cara simulasi.
§
Bahan pembelajaran
disusun secara berjenjang atau hierarkis, dimulai dari yang sederhana (persyaratan
rendah) sampai pada yang kompleks (persyaratan tinggi).
§
Kegiatan pembelajaran
berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati
§
Seriap kesalahan
harus segera dikoreksi atau diperbaiki
§
Perlu
dilakukan pengulangan dan latihan agar perilaku yang diinginkan dapat menjadi
kebiasaan atau pelaziman.
§
Evaluasi atau
penilaian didasari atas perilaku yang nyata atau otentik.
§
Guru mencatat
semua kemajuan peserta didik untuk kemungkinan memberikan tindakan pembelajaran
perbaikan.
d.
Cara menalar
Seperti telah dijelaskan di muka, terdapat dua
cara menalar, yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif merupakan cara menalardengan
menarik simpulan dari fenomena atau atribut-atribut khusus untuk hal-hal yang
bersifat umum. Jadi, menalar secara induktif adalah proses penarikan simpulan
dari kasus-kasus yang bersifat nyata secara individual atau spesifik menjadi simpulan
yang bersifat umum.Kegiatan menalar secara induktif lebih banyak berpijak pada
observasi inderawi atau pengalaman empirik.
Contoh:
v
Singa binatang
berdaun telinga, berkembangbiak dengan cara melahirkan
v
Harimau binatang
berdaun telinga, berkembangbiak dengan cara melahirkan
v
Ikan Paus binatang berdaun
telinga berkembangbiak dengan melahirkan
v
Simpulan: Semua binatang
yang berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan
Penalaran deduktif merupakan cara menalar dengan menarik simpulan dari
pernyataan-pernyataan atau fenomena yang bersifat umum menuju pada hal yang
bersifat khusus. Pola penalaran deduktif dikenal dengan pola silogisme. Cara
kerja menalar secara deduktif adalah menerapkan hal-hal yang umum terlebih
dahulu untuk kemudian dihubungkan ke dalam bagian-bagiannya yang khusus.
Ada tiga jenis silogisme, yaitu silogisme kategorial, silogisme hipotesis,
silogisme alternatif. Pada penalaran deduktif tedapat premis, sebagai proposisi
menarik simpulan. Penarikan simpulan dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu langsung dan tidak langsung. Simpulan secara
langsung ditarik dari satu premis,sedangkan simpulan tidak langsung ditarik
dari dua premis.
Contoh :
v
Kamera adalah barang elektronik
dan membutuhkan daya listrik untuk beroperasi
v
Telepon genggam
adalah barang elektronik dan membutuhkan daya listrik untuk beroperas.
v
Simpulan: semua
barang elektronik membutuhkan daya listrik untuk beroperasi
e.
Analogi
dalam Pembelajaran
Selama proses pembelajaran, guru dan pesert didik sering
kali menemukan fenomena yang bersifat analog atau memiliki persamaan. Dengan
demikian, guru dan peserta didik adakalamua menalar secara analogis. Analogi adalah
suatu proses penalaran dalam pembelajaran dengan cara membandingkan sifat
esensial yang mempunyai kesamaan atau persamaan.
Berpikir analogis sangat penting dalam pembelajaran,
karena hal itu akan mempertajam daya nalar peserta didik. Seperti halnya
penalaran, analogi terdiri dari dua jenis, yaitu analogi induktif dan analogi
deduktif. Kedua analogi itu dijelaskan berikut ini.
Analogi induktif disusun berdasarkan persamaan yang ada
pada dua fenomena atau gejala. Atas dasar persamaan dua gejala atau fenomena
itu ditarik simpulan bahwa apa yang ada pada fenomena atau gejala pertama
terjadi juga pada fenomena atau gejala kedua. Analogi
induktif merupakan suatu “metode menalar” yang sangat bermanfaat untuk membuat
suatu simpulan yang dapat diterima berdasarkan pada persamaan yang terbukti
terdapat pada dua fenomena atau gejala khusus yang diperbandingkan.
Contoh:
Peserta didik Pulan merupakan pebelajar yang tekun. Dia lulus
seleksi Olimpiade Sains Tingkat Nasional tahun ini. Dengan demikian, tahun ini
juga,Peserta didik Pulan akan mengikuti kompetisi pada Olimpiade Sains Tingkat
Internasional. Untuk itu dia harus belajar lebih tekun lagi.
Analogi deklaratif merupakan suatu“metode menalar” untuk
menjelaskan atau menegaskan sesuatu fenomena atau gejala yang belum dikenal atau
masih samar, dengan sesuatu yang sudah dikenal.Analogi
deklaratif ini sangat bermanfaat karena ide-ide baru, fenomena, atau gejala
menjadi dikenal atau dapat diterima apabila dihubungkan dengan hal-hal yang
sudah dketahui secara nyata dan dipercayai.
Contoh:
Kegiatan kepeserta didikan akan berjalan baik jika
terjadi sinergitas kerja antara kepala sekolah, guru, staf tatalaksana, pengurus
organisasi peserta didik intra sekolah, dan peserta didik. Seperti halnya
kegiatan belajar, untuk mewujudkan hasil yang baik diperlukan sinergitas antara
ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
f.
Hubungan
Antarfenomena
Seperti halnya penalaran dan analogi, kemampuan
menghubungkan antarfenomena atau gejala sangat penting dalam proses
pembelajaran, karena hal itu akan mempertajam daya nalar peserta didik. Di
sinilah esensi bahwa guru dan peserta didik dituntut mampu memaknai hubungan
antarfenonena atau gejala, khususnya hubungan sebab-akibat.
Hubungan sebab-akibat diambil dengan menghubungkan satu
atau beberapa fakta yang satu dengan datu atau beberapa fakta yang lain.Suatu simpulan
yang menjadi sebab dari satu atau beberapa fakta itu atau dapat juga menjadi
akibat dari satuatau beberapa fakta tersebut.
Penalaran sebab-akibat ini masuk dalam ranah penalaran
induktif, yang disebut dengan penalaran induktif sebab-akibat. Penalaran
induksi sebab akibat terdiri dri tiga jenis.
§
Hubungan
sebab–akibat. Pada penalaran hubungan sebab-akibat, hal-hal yang menjadi sebab dikemukakan
terlebih dahulu, kemudian ditarik simpulan yang berupa akibat.
Contoh:
Bekerja keras, belajar tekun, berdoa, dan tidak putus asa
adalah faktor pengungkit yang bisa
membuat kita mencapai puncak kesuksesan.
§
Hubungan
akibat–sebab. Pada penalaran hubungan akibat-sebab, hal-hal yang menjadi akibat
dikemukakan terlebih dahulu, selanjutnya ditarik simpulan yang merupakan penyebabnya.
Contoh :
Akhir-ahir ini sangat marak kenakalan remaja, angka putus
sekolah, penyalahgunaan Nakoba di kalangan generasi muda, perkelahian antarpeserta
didik, yang disebabkan oleh pengabaian orang tua dan ketidaan keteladanan tokoh
masyarakat, sehingga mengalami dekandensi moral secara massal.
§
Hubungan
sebab–akibat 1 – akibat 2. Pada penalaran hubungan sbab-akibat 1 –akibat 2,
suatu penyebab dapat menimbulkan
serangkaian akibat. Akibat yang pertama menjadi penyebab, sehingga menimbulkan
akibat kedua. Akibat kedua menjadi penyebab sehingga menimbulkan akibat ketiga,
dan seterusnya.
Contoh:
Masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, hidupnya
terisolasi. Keterisolasian itu menyebabkan mereka kehilangan akses untuk
melakukan aktivitas ekonomi, sehingga muncullah kemiskinan keluarga yang akut.
Kemiskinan keluarga yang akut menyebabkan anak-anak mereka tidak berkesempatan
menempuh pendidikan yang baik. Dampak lanjutannya, bukan tidak mungkin terjadi
kemiskinan yang terus berlangsung secara siklikal.
§
Mencoba
Untuk memperoleh hasil belajar yang nyata atau otentik,
peserta didik harus mencoba atau melakukan percobaan, terutama untuk materi
atau substansi yang sesuai. Pada mata pelajaran IPA, misalnya,peserta didik
harus memahami konsep-konsep IPA dan kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.
Peserta didik pun harus memiliki keterampilan proses untuk mengembangkan
pengetahuan tentang alam sekitar, serta mampu menggunakan metode ilmiah dan
bersikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari.
Aplikasi metode eksperimen atau mencoba dimaksudkan untuk
mengembangkan berbagai ranah tujuan belajar, yaitu sikap, keterampilan, dan
pengetahuan. Aktivitas pembelajaran yang nyata untuk ini adalah: (1) menentukan
tema atau topik sesuai dengan kompetensi dasar menurut tuntutan kurikulum; (2)
mempelajari cara-cara penggunaan alat dan bahan yang tersedia dan harus
disediakan; (3)mempelajari dasar teoritis yang relevan dan hasil-hasil
eksperimen sebelumnya; (4) melakukan dan mengamati percobaan; (5) mencatat
fenomena yang terjadi, menganalisis, dan menyajikan data;(6) menarik simpulan
atas hasil percobaan; dan (7)membuat laporan dan mengkomunikasikan hasil
percobaan.
Agar
pelaksanaan percobaan dapat berjalan lancar
maka: (1) Guru hendaknya merumuskan tujuan eksperimen yanga akan dilaksanakan
murid (2) Guru bersama murid mempersiapkan perlengkapan yang dipergunakan (3)
Perlu memperhitungkan tempat dan waktu (4) Guru menyediakan kertas kerja untuk
pengarahan kegiatan murid (5) Guru membicarakan masalah yanga akan yang akan
dijadikan eksperimen (6) Membagi kertas kerja kepada murid (7) Murid
melaksanakan eksperimen dengan bimbingan guru, dan (8) Guru mengumpulkan hasil
kerja murid dan mengevaluasinya, bila dianggap perlu didiskusikan secara
klasikal.
Kegiatan pembelajaran dengan
pendekatan eksperimen atau mencoba dilakukan melalui tiga tahap, yaitu,
persiapan, pelaksanaan, dan tindak lanjut. Ketiga tahapan eksperimen atau
mencoba dimaksud dijelaskan berikut ini.
a.
Persiapan
§
Menentapkan tujuan eksperimen
§
Mempersiapkan alat atau bahan
§
Mempersiapkan tempat eksperimen
sesuai dengan jumlah peserta
didikserta alat atau
bahan yang tersedia. Di sini guru perlu
menimbang apakah peserta didik akan melaksanakan eksperimen
atau mencoba secara serentak atau dibagi menjadi beberapa kelompok secara
paralel atau bergiliran
§
Memertimbangkanmasalah keamanan dan kesehatan
agar dapat memperkecil atau menghindari risiko yang mungkin timbul
§
Memberikan penjelasan mengenai apa
yang harus diperhatikan dan tahapa-tahapan yang harus dilakukan peserta didik, termasuk hal-hal yang dilarang atau membahayakan.
b.
Pelaksanaan
§
Selama proses
eksperimen atau mencoba, guru ikut membimbing dan mengamati proses percobaan. Di sini guru harus memberikan dorongan dan bantuan
terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh peserta didik agar kegiatan itu berhasil dengan baik.
§
Selama proses eksperimen atau mencoba, guru hendaknya memperhatikan situasi secara keseluruhan, termasuk membantu mengatasi dan memecahkan
masalah-masalah yang akan menghambat kegiatan pembelajaran.
c.
Tindak lanjut
a.
Peserta didik mengumpulkan laporan hasil eksperimen kepada
guru
b.
Guru
memeriksa hasil eksperimen peserta didik
c.
Guru
memberikan umpan balik kepada peserta didik atas hasil eksperimen.
d.
Guru dan
peserta didik mendiskusikan masalah-masalah yang ditemukan selama eksperimen.
e.
Guru dan
peserta didik memeriksa dan menyimpan kembali segala bahan dan alat yang digunakan
Apa yang dimaksud dengan pembelajaran kolaboratif? Pembelajaran
kolaboratif merupakan suatu filsafat personal, lebih dari sekadar sekadar
teknik pembelajaran di kelas-kelas sekolah. Kolaborasi esensinya merupakan filsafat
interaksi dan gaya hidup manusia yang menempatkan dan memaknaikerjasama sebagai
struktur interaksi yang dirancang secara baik dan disengaja rupa untuk
memudahkan usaha kolektif dalam rangka mencapai tujuan bersama.
Pada pembelajaran kolaboratif kewenangan guru fungsi guru
lebih bersifat direktif atau manajer belajar, sebaliknya, peserta didiklah yang
harus lebih aktif. Jika pembelajaran
kolaboratif diposisikan sebagai satu falsafah peribadi, maka ia menyentuh
tentang identitas peserta didik terutama jika mereka berhubungan atau
berinteraksi dengan yang lain atau guru. Dalam situasi kolaboratif itu, peserta
didik berinteraksi dengan empati, saling menghormati, dan menerima kekurangan
atau kelebihan masing-masing. Dengan cara semacam ini akan tumbuh rasa aman,
sehingga memungkin peserta didik menghadapi aneka perubahan dan tntutan belajar
secara bersama-sama.
Hasil penelitian Vygotsky membuktikan
bahwa ketika peserta didik diberi tugas untuk dirinya sediri, mereka akan
bekerja sebaik-baiknya ketika bekerjasama atau berkolaborasi dengan temannya.
Vigotsky merupakan salah satu pengagas teori konstruktivisme sosial. Pakar ini
sangat terkenal dengan teori “Zone of Proximal Development” atau ZPD. Istilah ”Proximal”
yang digunakan di sini bisa bermakna “next“. Menurut Vygotsky, setiap manusia (dalam konteks ini disebut
peserta didik) mempunyai potensi tertentu. Potensi tersebut dapat
teraktualisasi dengan cara menerapkan ketuntasan belajar (mastery learning).
Akan tetapi di antara potensi dan
aktualisasi peserta didik itu terdapat terdapat wilayah abu-abu. Guru memiliki
berkewajiban menjadikan wilayah “abu-abu”yang ada pada peserta didik itu dapat
teraktualisasi dengan cara belajar kelompok.
Seperti termuat dalam gambar, Vygostsky mengemukakan tiga
wilayah yang tergamit dalam ZPD yang
disebut dengan “cannot yet do”, “can do with help“,
dan “can
do alone“. ZPD merupakan wilayah “can do with
help”yang sifatnya tidak permanen, jika proses pembelajaran
mampu menarik pebelajar dari zona tersebut dengan cara kolaborasi atau
pembelajaran kolaboratif.
Ada empat sifat kelas atau pembelajaran
kolaboratif. Dua sifat berkenaan dengan perubahan hubungan antara guru dan peserta
didik. Sifat ketiga berkaitan dengan pendekatan baru dari penyampaian guru selama
proses pembelajaran. Sifat keempat menyatakan isi kelas atau pembelajaran kolaboratif.
§
Guru dan peserta didik saling berbagi informasi. Dengan
pembelajaran kolaboratif, peserta didik memiliki ruang gerak untuk
menilai dan membina ilmu pengetahuan, pengalaman personal, bahasa
komunikasi, strategi dan konsep pembelajaran sesuai dengan teori, serta
menautkan kondisi sosiobudaya dengan situasi pembelajaran. Di sini, peran guru
lebih banyak sebagai pembimbing dan manajer belajar ketimbang memberi instruksi
dan mengawasi secara rijid.
Contoh:
Jika guru mengajarkan topik “hidup
bersama secara damai.” Peserta didik yang mempunyai pengalaman yang berkaitan
dengan topik tersebut berpeluang menyatakan sesuatu pada sesi pembelajaran,
berbagi idea, dan memberi garis-garis besar arus komunikasi antar peserta
didik. Jika peserta didikmemahami dan melihat fenomena nyata kehidupan bersama
yang damai itu, pengalaman dan pengetahuannya dihargai dan dapat dibagikan
dalam jaringan pembelajaran mereka. Mereka pun akan termotivasi untuk melihat
dan mendengar. Di sini peserta didik juga dapat merumuskan kaitan antara proses
pembelajaran yang sedang dilakukan dengan dunia sebenarnya.
a.
Berbagi tugas dan kewenangan. Pada
pembelajaran atau kelas kolaboratif, guru berbagi tugas dan kewenangan
dengan peserta didik, khususnya untuk hal-hal tertentu. Cara ini memungkinan
peserta didik menimba pengalaman mereka sendiri, berbagi strategi dan
informasi, menghormati antarsesa, mendoorong tumbuhnya ide-ide cerdas, terlibat
dalam pemikiran kreatif dan kritis serta memupuk dan menggalakkan mereka
mengambil peran secara terbuka dan bermakna.
b.
Guru sebagai mediator.Pada
pembelajaran atau kelas kolaboratif, guru berperan sebagai mediator atau perantara. Guru berperan membantu
menghubungkan informasi baru dengan pengalaman yang ada serta membantu peserta
didik jika mereka mengalami kebutuan dan bersedia menunjukkan cara bagaimana mereka
memiliki kesungguhan untuk belajar.
c.
Kelompok peserta didik yang heterogen. Sikap,
keterampilan, dan pengetahuan peserta didk yang tumbuh dan berkembang sangat penting untuk memperkaya
pembelajaran di kelas. Pada kelas kolaboratif peserta didikdapat menunjukkan
kemampuan dan keterampilan mereka, berbagi informasi,serta mendengar atau
membahas sumbangan informasi dari peserta didik lainnya. Dengan cara seperti
ini akan muncul “keseragaman” di dalam heterogenitas peserta didik.
2.
Contoh Pembelajaran Kolaboratif
Guru ingin mengajarkan tentang konsep, penggolongan sifat,
fakta, atau mengulangi informasi tentang objek. Untuk keperluan
pembelajaran ini dia menggunakan media sortir kartu (card sort).
Prosedurnya dapat dilakukan seperti berikut ini.
§ Kepada peserta didik diberikan kartu indeks
yang memuat informasi atau contoh yang cocok dengan satu atau lebih katagori.
§ Peserta didik diminta untuk mencari temannya
dan menemukan orang yang memiliki kartu dengan katagori yang sama.
§ Berikan kepada peserta didik yang kartu
katagorinya sama menyajikan sendiri kepada rekanhya.
§ Selama masing-masing katagori dipresentasikan
oleh peserta didik, buatlah catatan dengan kata kunci (point) dari pembelajaran tersebut yang dirasakan penting.
a.
Macam-macam
Pembelajaran Kolaboratif
Banyak merode yang dipakai dalam pembelajaran atau kelas
kolaboratif. Beberapa di antaranya dijelaskan berikut ini.
§
JP = Jigsaw Proscedure. Pembelajaran dilakukan dengan cara peserta didik sebagai
anggota suatu kelompok diberi tugas yang berbeda-beda mengenai suatu pokok
bahasan. Agar masing-masing peserta didik anggota dapat memahami keseluruhan
pokok bahasan, tes diberikan dengan materi yang menyeluruh. Penilaian didasari pada
rata-rata skor tes kelompok.
§
STAD = Student Team Achievement
Divisions.Peserta didik dalam suatu kelas dibagi menjadi beberapa
kelompok kecil. Anggota-anggota dalam setiap kelompok bertindak saling
membelajarkan. Fokusnya adalah keberhasilan seorang akan berpengaruh terhadap
keberhasilan kelompok dan demikian pula keberhasilan kelompok akan berpengaruh
terhadap keberhasilan individu peserta didik lainnya. Penilaian didasari pada
pencapaian hasil belajar individual maupun kelompok peserta didik.
§
CI = Complex Instruction.Titik tekan metode ini adalam pelaksanaan suatu proyek yang
berorientasi pada penemuan, khususnya dalam bidang sains, matematika, dan ilmu pengetahuan
sosial. Fokusnya adalah menumbuhkembangkan ketertarikan semua peserta
didiksebagai anggota kelompok terhadap pokok bahasan. Metode ini umumnya
digunakan dalam pembelajaran yang bersifat bilingual (menggunakan dua bahasa) dan di antara para peserta
didik yang sangat heterogen. Penilaian didasari pada proses dan hasil kerja
kelompok.
§
TAI = Team Accelerated
Instruction. Metodeini merupakan kombinasi antara pembelajaran
kooperatif/kolaboratif dengan pembelajaran individual. Secara bertahap, setiap peserta
didik sebagai anggota kelompok diberi soal-soal yang harus mereka kerjakan
sendiri terlebih dulu. Setelah itu dilaksanakan penilaian bersama-sama dalam
kelompok. Jika soal tahap pertama telah diselesaikan dengan benar, setiap peserta
didik mengerjakan soal-soal berikutnya. Namun jika seorang peserta didik belum
dapat menyelesaikan soal tahap pertama dengan benar, ia harus menyelesaikan
soal lain pada tahap yang sama. Setiap tahapan soal disusun berdasarkan tingkat
kesukaran soal. Penilaian didasari pada hasil belajar individual maupun
kelompok.
§
CLS = Cooperative Learning
Stuctures. Pada penerapan metode pembelajaran ini setiap kelompok
dibentuk dengan anggota dua peserta didik (berpasangan). Seorang peserta didik
bertindak sebagai tutor dan yang lain menjadi tutee.
Tutor
mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh tutee. Bila jawaban tutee benar,
ia memperoleh poin atau skor yang telah ditetapkan terlebih dulu. Dalam selang
waktu yang juga telah ditetapkan sebelumnya, kedua peserta didik yang saling
berpasangan itu berganti peran.
§
LT = Learning Together. Pada metode ini
kelompok-kelompok sekelas beranggotakan peserta didik yang beragam
kemampuannya. Tiap kelompok bekerjasama untuk menyelesaikan tugas yang
diberikan oleh guru. Satu kelompok hanya menerima dan mengerjakan satu set
lembar tugas. Penilaian didasarkan pada hasil kerja kelompok.
§
TGT = Teams-Games-Tournament. Pada metode ini, setelah
belajar bersama kelompoknya sendiri, para anggota suatu kelompok akan berlomba
dengan anggota kelompok lain sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing.
Penilaian didasari pada jumlah nilai yang diperoleh kelompok peserta didik.
§
GI = Group Investigation. Pada metode ini semua anggota
kelompok dituntut untuk merencanakan suatu penelitian beserta perencanaan
pemecahan masalah yang dihadapi. Kelompok menentukan apa saja yang akan
dikerjakan dan siapa saja yang akan melaksanakannya berikut bagaimana
perencanaan penyajiannya di depan forum kelas. Penilaian didasari pada proses
dan hasil kerja kelompok.
§
AC = Academic-Constructive
Controversy. Pada metode ini setiap anggota kelompok dituntut
kemampuannya untuk berada dalam situasi konflik intelektual yang dikembangkan
berdasarkan hasil belajar masing-masing, baik bersama anggota sekelompok maupun
dengan anggota kelompok lain. Kegiatan pembelajaran ini mengutamakan pencapaian
dan pengembangan kualitas pemecahan masalah, pemikiran kritis, pertimbangan,
hubungan antarpribadi, kesehatan psikis dan keselarasan. Penilaian didasarkan
pada kemampuan setiap anggota maupun kelompok mempertahankan posisi yang
dipilihnya.
§
CIRC = Cooperative Integrated
Reading and Composition. Pada metode pembelajaran ini mirip dengan TAI. Metode
pembelajaran ini menekankan pembelajaran membaca, menulis dan tata bahasa.
Dalam pembelajaran ini, para peserta didik saling menilai kemampuan membaca,
menulis dan tata bahasa, baik secara tertulis maupun lisan di dalam
kelompoknya.
b.
Pemanfaatan
Internet
Pemanfaatan internet sangat dianjurkan dalam
pembelajaran atau kelas kolaboratif. Karena memang, internet merupakan salah satu
jejaring pembelajaran dengan akses dan ketersediaan informasi yang luas dan
mudah. Saat ini internet telah
menyediakan diri sebagai referensi yang murah dan mudah bagi peserta didik atau
siapa saja yang hendak mengubah wajah dunia.
Penggunaan internet disarakan makin mendesak sejalan
denan perkembangan pengetahuan terjadi secara eksponensial. Masa depan adalah
milik peserta didik yang memiliki akses hampir ke seluruh informasi tanpa batas
dan mereka yang mampu memanfaatkan informasi diterima secepat mungkin.