Jumat, 01 September 2017

Muhammad Lefand dalam Kita Dijajah Lagi : Catatan Pendek Tentang Rakyat Jelata



CATATAN PENDEK TENTANG RAKYAT JELATA

sesungguhnya tak ada kata
merdeka, bagi rakyat jelata
apalagi yang menghuni pinggiran kota
dianggap perusak tatanan kota

kemerdekaan rakyat Indonesia
hanya dari Jepang dan Belanda
tapi tidak dari penguasa dan pengusaha
begitulah sebagaimana kenyataannya

negeri demokrasi, katanya
kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat
tapi pada kenyataannya tidak
rakyat menjadi korban kebijakan saja

merdeka masih jauh dari ideal
jika rakyat masih memikirkan tingginya
harga sembako, padahal has
dibeli murah dengan alasan barang melimpah


tak ada kata merdeka bagi rakyat
mereka tak bisa memutuskan sendiri nasibnya
karena semua tergantung penguasa
dan penguasa. merdeka hanya slogan saja


Jember, 31 Agustus 2017


Muhammad Lefand, penulis yang lahir di Sumenep Madura dengan nama Muhammad, sekarang tinggal di Ledokombo Jember. Adalah seorang perantauan yang senang menulis puisi.

Sokanindya Pratiwi Wening dalam Kita Dijajah Lahi : Pilu

 
 
Pilu

merindu kampung kelahiran
kusempatkan pulang walau sebentar
besok idul adha
silaturahim ke kerabat bunda
pun menikmati jajanan khasnya

penat badan tak kurasa
kususur jalanan kota
yang kurasa aku ada di tempat berbeda
wajah kota demikian meriah
penuh polesan namun tak lagi ramah

tak kutemu gerobak mi rebus tambi
atau sate padang bang kumis
tak kusua jua bandrek si agam
yang rasanya ngangeni, 
mau lagi - mau lagi

berganti gedung angkuh
menjual aneka kuliner pun kopi
dengan label luar neg'ri
dipenuhi anak negeri 
yang  bangga membeli gengsi

siapa yang tak kenal kopi siantar
kini dijual di pinggir trotoar
di bawah tenda dingin dengan lampu remang
aromanya yang dulu dirindu
serasa cuma menambah pilu

kotaku berubah
tak lagi ada gedung tua
warisan penjajah dulu kala
yang tertinggal cuma kita
yang tak merasa terus dijajah,
merasa bahagia
dan kaya...?!

Pematang Siantar, 31/08/2017

Wirol O. Haurissa dalam Kita Dijajag Lagi : Remi



attrydos
REMI

untuk tahun-tahun umurmu
pertama-pertama langit merah
tak jua memutihkn tangismu
tadinya menyenangkan berkata merdeka
tapi di ujungnya rasanya
tetap di bawah tiang bendeara

hormat grak

tidak tegap-tegap
dari beribu-ribu tahun lalu
semenjak nelayan mendayung perahu
membentuk indonesia
dan berciri seperti film inda  

hidup lama
masuk istana dan bertarung
dengan nyawa-nyawa
layu uyu-uyu  

dari situ, dunia ini memang lebih gila dari pikiran
lebih-lebih berisi banyak isyarat

di ruang besi yang menggunakan sandi
bersembunyi rezim pemburu
dengan keinginan kaya ditutup jendela emas
dan bunga-bunga mawar besar

aku sebenarnya bingung
antara mencintai dan berkelahi
semua seperti bermusuhan
termasuk negaramu terhadap kau
ya kau, iya kau



Surabaya, 17 Agustus 2017 

Wirol O. Haurissa (attrydos) lahir di Ambon Maluku, 1 September 1988. Sarjana Sains Teologi, Fakultas Filsafat Teologi di Universitas Kristen Indonesia Maluku. Dan study Magister Ilmu Susastra, Universitas Kristen Petra, Surabaya. Sesehari menulis puisi, cerita pendek dan skrip teater, mendirikan Bengkel Sastra Batu Karang, menjalani pementasan-pementasan independen teater dan sastra di kota Ambon, kota Depok, Surabaya dan kota Salatiga. Puisi dan esai tersebar di media online. Beberapa puisi termuat dalam Antologi Penyair Maluku Biarakan Kami Bakale, Revolusi cendrawasih, Mata Aru, Pemberontakan Dari Timur, Sastra Kepulauan VIII, SekarpeMu, Surat Cinta Untuk Makassar dan Bilingual Short Fiction by The Infernon - Love to Whom It may Concern ajd Other Stories . Pernah menjadi juara satu lomba Menulis dan Baca Puisi Universitas Swasta Wilayah XII Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat di Ternate. Pernah menjadi juri Lomba Baca Puisi Pelajar SMP sepulau Ambon dalam memperingati Hari Ulang Tahun Merah Saga. Pernah menjadi Fasilitator Pelatihan Cipta dan Baca Puisi Perdamaian di Pusat Studi Perdamaian, Pascasarjana Teologi UKIM Ambon.

Salimi Ahmad dalam Kita Dijajah Lagi : Dijajah (Lagi)


Salimi Ahmad
DIJAJAH (lagi)

jika kukatakan, langit sedang hitam sekarang, kau percaya?
"aku percaya"
jika kukatakan, langit sedang hitam dan di tengah angkasa raya, bunga-bunga sedang berpesta pora bermain kembang api, kau percaya?
"sangat percaya"
dari bunga-bunga yang meletakkan kembang itu, muncul kebakaran, dan seluruh api itu turun ke bumi, dan anak-anak bersorak kegirangan. Kau percaya?
"sungguh aku akan mempercayai ksta-katamu"
anak-anak yang bersorak kegirangan itu, kemudian membawa kebakaran itu keliling kota, dan di tiap-tiap persimpangan jalan, mereka menangis serentak, bersama-sama, menciptakan orkestrasi yang membuat orang-orang yang menonton, menampung airmatanya, dan membuangnya ke tengah laut. Tahukah kau, apa yang terjadi setelah itu?
"aku tunggu kisahnya selanjutnya, karena aku percaya ceritamu"
kapal-kapal asing berdatangan, ikan dan tripang bergerombol berenang, terumbu karang memecahkan dirinya, bangkai kapal yang tenggelam tiba-tiba terbang bersama seluruh isinya, angin tertawa, ombak melena, dan langit ikut memejamkan matanya yang sudah hitam. Kau percaya?
"sekali lagi kujelaskan dengan pasti, aku percaya, karena kau telah mengatakannya"
jika bukan aku yang mengatakannya, kau masih tetap percaya?
"aku akan mencari penjajah baru, yang tak bisa kupercaya bahwa kata-katanya akan berwarna lebih merah, yang terbuat dari bibir yang dipenuhi muslihat."
siapa mereka itu?
"para koruptor yang mengaku-ngaku sebagai korban tipu dayanya sendiri"

Jakarta, 21 Agustus 2017.

Kamis, 31 Agustus 2017

Marsetio Hariadi dalam Kita Dijajah lagi : Pertemuan Malam Tadi


PERTEMUAN MALAM TADI

dalam mimpiku malam lalu
kau yang kusayang
memeluk dan membelai-belai rambut ini
aku sedang lelah
termenung di pintu kaca

mari mendeskripsikan kita dan keadaan
teriakan yang terdengar sendu dan ikhlas di tiap-tiap kamar bersalin
generasi baru dan suci dilahirkan
bapak dan keberanian
jiwa-jiwa jujur dimatikan mendahului kuasa Tuhan
menanti, mendoakan, dan memandang lama-lama pigora foto keluarga
memejamkan mata, menyanyikan lagu perjuangan dengan khusyuk dan bersedih hatinya
Jumat dan Minggu manggut-manggut setuju untuk tidak mencuri, merampok, memfitnah, iri dengki, memerkosa, dan minum alkohol
menyebut nama Tuhan
dalam sunyi yang bergemuruh
dalam gemuruh yang kosong
berdiri menunggu di pinggir jalan bertahun lamanya
menuntut keadilan dan pengakuan negara atas kejahatan yang sempurna
induk kucing memperhatikan lama-lama anaknya yang dilindas mobil
roda-roda saling menyentak meminta jalan
knalpot meraung-raung sampai dini hari
tertawa-tawa menghina diri sendiri
tenggelam dalam maya, tidur kehabisan tenaga dalam nyata
menghafalkan buku sejarah, lagu cinta dan bangun kesiangan
mencari jati diri
genteng gerabah pontang-panting oleh puting beliung atau alat berat
oleh tanah longsor, banjir, atau sepatu lars
memekakkan telinga
bocah-bocah menangis takut
menyelamatkan karung beras dan kardus mi instan adalah kewajiban
membaca kitab, menambal atap yang bocor, menanak nasi, menidurkan bayi, lalu merencanakan bunuh diri
kerbau dan caping melenguh dan mengeluh
besok hijau padi digantikan abu-abu pagar
tiap batang rokok yang disulut adalah akhir kerja di bawah terik matahari
lampu karaoke, botol bir, dan keringat perempuan menderita menghiasi penat penghitungan angka-angka
putra-putrinya menginjak tanah negeri dan hormat pada bendera Merah Putih
Melantunkan Indonesia Raya di senin pagi

air mata adalah fitrah manusia
kita tidak pernah merencanakan tangisan

kapan kita terakhir kali
menangis duka untuk orang lain?

kau lontarkan senyum padaku malam tadi
mencita-citakan harapan
dan masa depan kemanusiaan

***
Marsetio Hariadi, Malam 26 April 2017
Untuk Adik-adikku Teater Rumpun Padi
Marsetio Hariadi, 23 tahun, berdomisili di Surabaya, minat belajar menulis dan membacakan puisi sejak tahun 2015.
-Antologi Puisi Sakkarepmu: Penyair Mbeling Indonesia, 2015, Sibuku, Jogjakarta
-Juara III Penulisan Puisi kategori Umum, Festival Sastra UGM 2017