Jumat, 29 Juli 2016

Anjrah Lelono Broto: Tikus-Tikus Candi Tikus



Anjrah Lelono Broto:
Tikus-Tikus Candi Tikus
--- sebuah sajak pamflet


andaikata tiba-tiba terlukis wajah tikus di cermin kamarmu,
apakah kau malu? apakah kau malu? apakah kau malu?
andaikata tiba-tiba ternyata
tikus adalah moyang dalam silsilah keluargamu,
apakah kau mampu jujur mengaku? kau? kau?
jikalau lalu bertahtalah seorang guru di dalam kelas,
yang bagimu menjewer telinga anakmu tanpa belas,
apakah kau juga melapor ke kantor polisi lekas-lekas?
sementara, wajah di profil sosmed anakmu, bapak-ibu,
adalah wajah seekor tikus. 

tanpa kutanya pada rumput yang bergoyang
tentu kalian bantah dengan suara gundah
kalau tikuslah dirimu, tikuslah leluhurmu, tikuslah anak-cucumu
karena kita, manusia-manusia di dunia
hanyalah pemuja kautaman
namun bukan pelakon-pelakonnya di panggung kehidupan
kita pandai menuturkan tapi jauh api dari panggang
k’tika jejak kita buat di jejalanan kehidupan

tapi kamu bukan aku
kamu, kamu, kamu, kamu, kamu, kalian bukanlah aku
karena aku menancapkan pisau di dada kemunafikan
dengan jantan membuat proklamasi pengakuan
bahwa aku adalah binatang berotak-berpikiran
aku adalah tikus yang mengerat habis kambium-kambium bumi
aku adalah tikus yang menyetubuhi undang-undang demi kursi
aku adalah tikus yang mengangkat agama semata panji-panji

mengapa aku begini

Anjrah Lelono Broto: Harimau yang Hilang Pandang Nyalang, Aum



Anjrah Lelono Broto:
Harimau yang Hilang Pandang Nyalang, Aum


telah hilang pandang nyalang itu. tak tahu
hilang di mana? dihilangkan siapa? lalu,
apa kita harus menangis menderu dalam debar deburan debu?
empu pandang nyalang itu pun juga kehilangan aum. tak tahu
hilang di mana? dihilangkan siapa? lalu,
apa kita harus menangis menderu dalam debar deburan debu?
jeruji-jeruji bisu itu yang tahu, hilang di mana, dihilangkan siapa
pandang nyalang dan aum itu. sayang, meski mereka
bukan batu namun mereka musykil mengeja aksara
tentang nestapa kepergian pandang nyalang dan aum yang di rimba
begitu perkasa. tak pernah ada yang menangis, tak pernah ada yang
membincang, hingga ajal datang pada empu pandang nyalang
dan aum itu karena kelaparan.
Yang bersinggasana di perutnya, bukan daging segar
kaya vitamin dan kaya mineral mineral,
justru daun-daun, kulit kacang, dan sampah bungkus nasi,
tersisa di perut yang kini membangkai
terlalu banyak kehilangan pada harimau itu, ahai
di kebun binatang


Mojokerto, 2016






Navys Ahmad MONOLOG PARA PEMBANGUN RUMAH TANAH



Navys Ahmad

MONOLOG PARA PEMBANGUN RUMAH TANAH

saudara-saudara bangsa manusia
berjuta tahun lalu kami membangun rumah tanah
di alas warisan nenek moyang ratu induk
rumah yang menumbuh dari ludah-ludah
yang merekat kuat bertingkat-tingkat
berkamar-kamar yang di dalamnya
kami bertelur, beranak-pinak
cucu-mencucu, cicit-mencicit.

berjuta tahun lalu kami bahu-membahu
kaki-mengkaki, tangan-menangan
dalam racauan kemelut suara alam
dalam tiupan hujan tarian topan
rumah kami tak hancur
rumah kami hanya merapuh.

di alas ini kami taat beribadah
melaksanakan perintah tuhan
menggigit, memotong, menggotong
mengumpulkan remah-remah pohon
tak ada yang menyembunyikan
tak ada yang mengambil hak bersama
tak ada yang menyakiti saudara.

saudara-saudara bangsa manusia
kami yang bicara sekarang
adalah generasi cicit jutaan tahun
dari cicit cicitnya cicit moyang kami
para pembangun rumah tanah
di alas warisan moyang ratu induk.

di alas baru ini kami tetap taat beribadah
melaksanakan perintah tuhan
kami tetap bahu-membahu
menyatukan tangan dan kaki kami yang kecil
di antara tarian sendok semen
di antara deruan buldozer
di antara derap selinder.

kami sekarang membangun rumah tanah
di atas lantai semen, konblok, tembok
marmer, keramik, granit, plastik
dan kami terus bekerja
menggigit, memotong, menggotong
mengumpulkan remah-remah semen.

kulit jari-jari tangan kami melepuh
gigi-gigi kami gemetar gemeretak
beberapa tanggal gusinya berdarah.

saudara-saudara bangsa manusia
kami para pembangun rumah tanah
telah kehilangan tanah
tapi tak pernah kehilangan
nyala merah dalam darah.

Tangerang, 23-7-2016

Hadi sastra / Washadi MEMBACA BINATANG



Hadi sastra / Washadi
MEMBACA BINATANG
: analogi realitas dan makna

Aku tak ingin menjadi macan jika jiwaku gersang
tanpa rerimbun hutan yang mengayomi
tanpa kawanan binatang yang mengelilingi
tanpa titah yang ditaati. Tak bernyawa
hanya auman kosong, cakaran kuku-kuku cuma membekas
Sungguh tak ingin. Jika tahta menjadi belenggu
mengekang kekuatan sahaja 

Aku tak ingin menjadi gajah jika raga yang diterka
dengan kekokohan otot belalai
sanggup mencabut pohon hingga ke ujung akar
atau meratakan benteng beton
namun tunduk oleh angkusa dan serati
Sungguh tak ingin. Jika kebesaran tak berharga  
tanpa kedalaman ilmu dan logika 

Aku tak ingin menjadi burung jika terbangku kopong
tanpa keyakinan arah dan tujuan
tanpa ketangkasan melawan angin
sebentar di dahan, mengumbar siul dan kicauan 
lalu mengawang lagi. Lepas 
Sungguh tak ingin. Jika kebebasan menjadi petaka
menyekat ketajaman paradigma 

Pun tak ingin menjadi semut, lebah, kelelawar
dan binatang-binatang lain yang berkelompok
jika hanya sebatas beramai-ramai
namun tak paham realitas dan makna
terbius oleh kuantitas. Tanpa kualitas
Sungguh tak ingin. Jika kebersamaan menjadi hampa
mengaburkan kedahsyatan koloni
                                                            Tangsel, Juni 2016