Senin, 28 Agustus 2017

Bhara Martilla Rully Ardian dalam Kita Dijajah Lagi : Gantung Diri!





Bhara Martilla Rully Ardian
Gantung Diri!

Pagut pagut itu tak kunjung susut,
membuat lekas lekas menjadi memburu waktu yang cepat lepas,
aku di keranjang sampah masa depan, berenang!
Mayat mayat riwayat tak mengumat, tak sempat!
Esok itu sejarah menderu, konsonansi pergerakan perubahan, memekik!
Kemarin itu mimpi, anjing tidur di kolong alasan keladi, menari!
Emak!, aku di puncak payudara bumi, berenang!, di punting menari bersama celeng.
Emak?, aku di lembah, di dubur tabiat!, berdoa bersama segerombol mani.
Bapak?, apa itu emak?. Lalu di mana kasihku pak?,
tidak punyakah aku sandaran kepastian?
Pak, emak, aku seharusnya punya kenangan,
semestinya punya riwayat,
setidaknya tape compo bobrok itu pernah merekamku sebelum mati.
Lihat!, Hebat Pak, Mak, aku punya cucu!
Dia tidur pulas di khayalan buruh,
siang itu dia menyeka keringatku,
aku siap berpeluh di pabrik milik para pelit itu Pak!
gantung diri!


Minggu, 27 Agustus 2017

Aldy Istanzia Widuna dalam Kita Dijajah Lagi : Daging Merah, Tulang Putih





Aldy Istanzia Wiguna

Daging Merah, Tulang Putih

Pada kibaran kain bendera. Kita pernah merapal makna. Mengeja tanda usia, lalu melarung alasan-alasan berkabut tentang negeri yang merdeka. Berjuang di tapal batas kemungkinan ketika usiran para penjajah berulang dalam satu langkah tak biasa. Menyeret banyak kaki dalam pusaran-pusaran tak menentu ketika daging-daging merah di negeri ini tetap diperebutkan mereka yang digoda syahwat kuasa. Lalu tulang belulang putih para pejuang hanya diingat ketika kibaran bendera di langit khatulistiwa menjadi semacam penjelas atas kabar kabur tentang tirani yang tak mau dikalahkan begitu saja. Tentang syahwat kuasa, kursi empuk hingga tumpukan harta yang tetap membuat banyak mulut bungkam meski para tiran itu mengubah tampilan tak lagi berdasi tapi bersongkok dan mulai menyipitkan mata.

Lalu, dalam diam kita pernah menunduk lebih dalam. Menyaksikan ribuan orang berduyun-duyun melangkahkan kaki ke pulau seberang. Berharap hidup layak sementara daging dan tulang yang menyusun hidup mereka hanya diperah lewat upah tak seberapa. Atau kita tetap ingin menenun lupa, membiarkan generasi babu menjadi satu dari sekian pertanda negeri ini semakin kalap dijajah mereka yang lagi-lagi menyamar menjadi orang baik tapi berwatak tuan. Ah, adakah kita sudah merdeka hari ini ? 
2017
 Aldy Istanzia Wiguna, lahir di Bandung 20 Maret 1991. Telah menyelesaikan pendidikan terakhirnya di jurusan Pendidikan Bahasa Sastra Idonesia dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Bale Bandung. Sehari-hari beraktivitas sebagai guru bahasa Indonesia di Pesantren Persis 20 Ciparay. Baru menulis sekitar 47 antologi bersama dan 15 buku solo. Terakhir, penulis baru saja menyelesaikan kumpulan sajaknya yang berjudul Suluk Daun.

Anggoro Suprapto dalam Kita Dijajah Lagi : Tuhan Menjawablah


Anggoro Suprapto:

                                            Tuhan Menjawablah

Tuhan benarkah Kau ciptakan
Satu agama saja yang seragam?
Lalu di luar itu: kesesatan?
Harus diperangi dan dimusnahkan
Jadi aku bertanya apa artinya:
Maha Pengasih dan
Maha Penyayang
Rahman dan Rahim

Tuhan benarkah ada perintah-Mu?
Menjajah sesama manusia
yang tak sepaham
tak segolongan tak sealiran
Menghancurkan kemanusiaan
Menghancurkan kebudayaan
Menghancurkan peradaban
Lalu dengan entengnya mengatakan:
Semua atas nama kebenaran Tuhan

Jadi, kenapa Kau ciptakan
Bermacam jenis bunga yang indah berwarna-warni
Bermacam hewan yang lucu
serangga, ular, burung-burung
tak sama bentuknya
Kenapa Kau ciptakan manusia
berbagai ras dan warna kulit
berbeda satu sama lain
Maka, kalau tak mau ada perbedaan
Bukankah itu melanggar kodrat-Mu?

Kenapa Engkau diam saja
menyaksikan semua ini, ya Tuhan
Kenapa Engkau yang Maha Tahu
Berabad-abad membisu
Engkau yang Maha Melihat
Kenapa membuta
Maha Mendengar
Kenapa menuli
Sementara mereka diam-diam
menebar kebencian
Dengan mencatut nama-Mu
Aku bertanya ya Tuhan
Menjawablah
Agar kami yakin
Engkau Ada dalam Tiada

Semarang, Februari 2016


Anggoro​ Suprapto

Amrin Moha dalam Kita Dijajah Lagi : Sajak Tempat Tinggal




Amrin Moha

Sajak Tempat Tinggal

Aku berdiri di tanah legenda
Menengadah menahan amarah
Menggigit mulai sempit
Tanahku rimbun ladang keserakahan
Persembahan para penguasa pembangunan
Taman bermain
tempat ibadah
Ditutupi jaring-jaring kabel

Tanah legenda yang malang
Ceritamu digerus cerita hayal
Krisis moral membanggakan bangsa
Usia muda lebih manja dan sok tua
“Anak-anak kebanyakan nonton”
Seru Orang tua dalam batin
Kita sudah terlupakan lebih cepat
Sejarah-sejarah sulit didengar dan diceritakan
Semuanya dilindas atas nama moralitas

Aku masih berdiri di tanah legenda
Terlalu banyak noda di jari-jari modernisasi
Mimpi-mimpi hanya masuk penampungan
Senyum-senyum ramah diperjualbelikan
Air mata jadi sarapan 
Bahasa-bahasa mulai sulit di terjemahkan

Duduk di tanah legenda
Orang-orang miskin di jalanan
Mengangkat tangan bernyanyi sumbang
Anak-anak
Orang tua 
Mengadu nasib dalam pergulatan jaman
Karena diledek mimpi dan ditinggalkan

Hidup di tanah legenda
Antara martabat perjuangan bangsa
Dan tuntutan memanjakan dunia
Waktu melaju lebih cepat mendera
Berakhir sengsara atau terhina
Aku merindukan keajaiban pancasila.

Cirebon, dalam bingkai Agustus 2017


AMRIN MOHA, Lahir di Karangampel Indramayu dan lulus dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNWIR Indramayu. Puisi-puisi dimuat di Harian Radar Cirebon (Jawa Pos Group). Antologi Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia (2014), Antologi Pusi Penyair Indonesia Bertema Margasatwa (2016), Antologi Bersama Moratorium Senja (2016), Antologi Bersama Kolaborasi Karya (2016), Antologi Bersama Di Balik Tulisanku Aku Bercerita (2016), Antologi Bersama Di Balik Jendela Demokrasi (2016), Antologi Bersama Satu Nusa Satu bangsa (2016), Antologi Bersama Sajak Pujangga Negeri (2016), Antologi Negeri yang Terluka (2016). Antologi bersama Rasa Sejati (2017), Antologi Bersama Tadarus Puisi (2017). Tinggal di Desa Sampiran Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon dan menjadi jurnalis media elektronik.