Senin, 21 Agustus 2017

Tiya Laraswati dalam Kita Dijajah Lagi : Masih Sedang Terjajah





Masih dan Sedang Terjajah  

Setelah tiga setengah abad, tiga setengah tahun
Negeri nyata nyata Terjajah
Rakyat nyata nyata Terjarah
Perih pedih berlumur darah

Tujuh puluh dua tahun terlewati
Masih terasa pedih dalam lubuk pertiwi
Atas keserakahan dan kekejian,
Para Nippon dan Kompeni

Kemerdekaan
Menjadi obat penawar kehancuran
Tapi Sang Proklamator takut akan renkarnasi kolonial
Kekuasaan bayangan dan siluman anak bangsa


Sekarang
Biru langit menjelma abu-abu penuh debu
Penjajahan atas nama industri
Rakyat jadi abdi wara wiri

Sekarang
Tarian ronggeng Jarang tampil
Wayang dan Reog hanya simbol
Lagi lagi budaya hedonisme membudaya

Sekarang
Anak bangsa terus mengkhianati banngsa
Atas nama kekuasaan dan kekayaan
Banyak dana dan kerjasama siluman


Sekarang
Sekarang
Merebak produk produk berkedok
Jubah kekuasaan menaungi wajah munafik
Rakyat tertipu, penguasa membisu

Sekarang
Perhatian anak bangsa dialih fungsikan
Dengan teknologi yang berkemajuan
Mereka terbuai akan hiburan yang penuh kesia-siaan
Mereka diracuni akan merebaknya ajaran kebencian
Dan akhirnya mereka minim kelakuan

Kita dijajah
Kita dijajah

Kita dijajah lagi

Dan lagi



Purwokerto, 02 Agustus 2017

Tiya Laraswati

Dea Lingkar dalam Kita Dijajah Lagi Pagi Bukan Seperti Pagi





Dhea Lingkar

Pagi Bukan Seperti Pagi


Hujan menyapa
Pagi bukan seperti pagi
Menangis di bawah deras rintik air hujan
Gemetar hati untuk berkata
Menahan dingin tetesan
Membasahi tubuh
Masa-masa di mana
Semua orang tak bisa berbicara
Tentang kemerdekaan
Hanyalah angan
Keadilan hanya imajinasi
Hatiku berontak terkekang oleh peraturan
Orde baru
Apalah daya rakyat kecil
Terombang-ambing atas kesabaran
Aku selau ingin berdiri
Dengan mata tajam
Penuh makna
Lelah menjalani kehidupan
Namun waktu belum menjawab
Tetsan tumpah darah untuk negeriku
Aku berteriak dalam hening
Apakah sinar cahaya
untuk menghirup udara angin utara
Segera keluar dari api neraka
Namun cahaya pagi itu
Kembali memudar
Selama-lamanya

madiun

Minggu, 20 Agustus 2017

Nur Komar dalam Kita Dijajah Lagi : Kemurungan wajahmu



Nur Komar

Kemurungan Wajahmu

Murung adalah warna pudar Sang Saka
dalam lindap damai kata merdeka
Murung adalah compang-campingnya bulu garuda
meriap duka pengkhianatan menyesakkan dada
Murung adalah runtuhnya cinta yang agung
di mana kita enggan saling menyambung
; ada apa ini?
negeriku terkoyak kini

Siapakah yang mengotori bajumu?
hingga permusuhan tiada jemu
Maka, murung wajahmu harus diterjemahkan
kekonyolan ini harus dibumi hanguskan
Kemurungan ini sudah sepatutnya melecut
bahwa kita bukan bangsa pengecut
Budaya santun agar tetap bisa menuntun
gemah ripah loh jinawe hidup rukun
; o, ada apa ini
negeriku jangan kehilangan nurani





Jepara, 02-08-2017

Gilang Teguh dalam Kita Dijajah Lagi : Menulis Apa Kita







Gilang Teguh Pambudi

Menulis Apa Kita
Muhammad Toha
ditulis anakku
Depan rumah makan Sunda
Sebagai perlawanan yang siap meledak
Dengan bom di tangan
Menjadi kesejahteraan
Aku menulis apa dalam kesaksian yang tua?
Pintui ruang dalam
Kesejahteraan adalah tempat tidur
Bagi segelintir keras kepala dan hati api
Yang menimang serba  keuntungan sendiri
Dan sebagian pesta korupsi
Muntah daging ditulis anakku
Karena t-pintu kesejahteraan itu ditutup kembali
Lalu d ragedi anak negri yang tidak bisa menelan tubuhnya sendiri
Dengan ziarah kesalehan
Karena selalu berdarah kecelakaan sosial yang parah
Tetapi engkau malah tokoh pribumi yang menjual narkoba kepada anak kandung sendiri
Aku harus menulis apa
Melawan bangsa sendiri?

Kemayoran, 01082017