Jumat, 29 Juli 2016

Dedy Tri Riyadi, Rusa Balada Tukang Kuda



Dedy Tri Riyadi, Rusa

Balada Tukang Kuda

Dia hampiri
hamparan rerumput
dengan sejumput niat
-- meletakkan kiat melekat erat
pada sebungkuk punggung.
Punggung yang lama memanggungkan sejarah agung
laskar penyerbu bermata lamur dari sebelah timur.
Punggung yang ketika membungkuk,
sedepa demi sedepa bangsa-bangsa bangkit dan takluk,
dan mengira kutukan telah ditimpakan
sejak besi-besi itu ditempa.
Meski besi berupa sanggurdi dan ujung pelana,
dia juga pedang dan cerana.
Pada sisinya, dia merasa dunia jadi meja judi
dan sebuah kekalahan pertama.
Tapi dia bukan seorang dari Pandawa.
Dia hanya tukang kuda.
Pemelihara yang memicu sebuah pacuan
dan penyedia pakan. Dan pada hamparan rerumput itu,
dia berjalan.
Dia berjalan seperti membawa susu
untuk bayi dalam dirinya. Dunia, katanya,
tak lebih dari dengus semata.
Selebihnya gema.
Karenanya dia berjalan,
bukan berlari.
Sebab dia membawa bayi dalam diri.
Bayi yang belum bisa mengerti
betapa bahaya ular yang menanti
di dekat akar dan sumber air.
Ular yang mengerti -- "O. Betapa sukar bisa memberi..."
Dia berjalan di rerumputan
tidak seperti Gautama pada kuntum padma.
Dia akan berjalan sampai padam warna matahari.
Sampai semua kuda habis dipacu,
di bawah basuhan biru langit itu.
Langit yang terbuka serupa matanya.
Serupa pandang yang tak tamat ditumpahkan
pada sebuah padang, di mana dia temukan
-- dirinya seperti deru ladam
di dalam sebuah pacuan.
Dan dia dengar kembali
gemerincing itu.
2016

Dedy Tri Riyadi, Rusa Rusa



Dedy Tri Riyadi, Rusa
Rusa
Aku tak pernah tahu --
apakah dia bahagia
ketika pintu di lambung
perahu dibuka.
Seperti dari Mesir, ada yang
dipanggil untuk memanggul
sebatang dosa.
Aku bisa juga menduga --
dia berpura-pura.
Seperti dulu di Mara,
orang terpaksa minum
air pahit dari telaga.
Menuruni Ararat, dia menangis.
Merasa banjir belum berakhir.
Sewaktu merpati membawa
setangkai daun zaitun,
dia merasa begitu getun.
Barangkali, dia ingin berlari
mengitari padang. Atau berbaring
di samping batang tarbantin.
Barangkali dia memang ingin
berpaling dari kemah Si Tua
itu dan tak lagi menoleh
jejak tangis yang mulai kering.
Barangkaliinitak lain
karena dia hanya
seekor rusa.
2015








Anjrah Lelono Broto: Tikus-Tikus Candi Tikus



Anjrah Lelono Broto:
Tikus-Tikus Candi Tikus
--- sebuah sajak pamflet


andaikata tiba-tiba terlukis wajah tikus di cermin kamarmu,
apakah kau malu? apakah kau malu? apakah kau malu?
andaikata tiba-tiba ternyata
tikus adalah moyang dalam silsilah keluargamu,
apakah kau mampu jujur mengaku? kau? kau?
jikalau lalu bertahtalah seorang guru di dalam kelas,
yang bagimu menjewer telinga anakmu tanpa belas,
apakah kau juga melapor ke kantor polisi lekas-lekas?
sementara, wajah di profil sosmed anakmu, bapak-ibu,
adalah wajah seekor tikus. 

tanpa kutanya pada rumput yang bergoyang
tentu kalian bantah dengan suara gundah
kalau tikuslah dirimu, tikuslah leluhurmu, tikuslah anak-cucumu
karena kita, manusia-manusia di dunia
hanyalah pemuja kautaman
namun bukan pelakon-pelakonnya di panggung kehidupan
kita pandai menuturkan tapi jauh api dari panggang
k’tika jejak kita buat di jejalanan kehidupan

tapi kamu bukan aku
kamu, kamu, kamu, kamu, kamu, kalian bukanlah aku
karena aku menancapkan pisau di dada kemunafikan
dengan jantan membuat proklamasi pengakuan
bahwa aku adalah binatang berotak-berpikiran
aku adalah tikus yang mengerat habis kambium-kambium bumi
aku adalah tikus yang menyetubuhi undang-undang demi kursi
aku adalah tikus yang mengangkat agama semata panji-panji

mengapa aku begini

Anjrah Lelono Broto: Harimau yang Hilang Pandang Nyalang, Aum



Anjrah Lelono Broto:
Harimau yang Hilang Pandang Nyalang, Aum


telah hilang pandang nyalang itu. tak tahu
hilang di mana? dihilangkan siapa? lalu,
apa kita harus menangis menderu dalam debar deburan debu?
empu pandang nyalang itu pun juga kehilangan aum. tak tahu
hilang di mana? dihilangkan siapa? lalu,
apa kita harus menangis menderu dalam debar deburan debu?
jeruji-jeruji bisu itu yang tahu, hilang di mana, dihilangkan siapa
pandang nyalang dan aum itu. sayang, meski mereka
bukan batu namun mereka musykil mengeja aksara
tentang nestapa kepergian pandang nyalang dan aum yang di rimba
begitu perkasa. tak pernah ada yang menangis, tak pernah ada yang
membincang, hingga ajal datang pada empu pandang nyalang
dan aum itu karena kelaparan.
Yang bersinggasana di perutnya, bukan daging segar
kaya vitamin dan kaya mineral mineral,
justru daun-daun, kulit kacang, dan sampah bungkus nasi,
tersisa di perut yang kini membangkai
terlalu banyak kehilangan pada harimau itu, ahai
di kebun binatang


Mojokerto, 2016